Bingwen berhasil berteduh di gua yang berada di dekat dia tadi jatuh. Gua itu tidak begitu besar dan tidak pula menyeramkan.
"Semoga tidak ada hal buruk lagi. Izinkan aku istirahat demi memulihkan kondisiku," gumam Bingwen.Disekanya air hujan di wajahnya, karena luka cakaran harimau itu masih mengeluarkan darah. Bingwen merobek baju yang dia kenakan, untuk menutup luka tersebut. Jangan ditanya gimana rasanya, tentu sakit sekali. Namun Bingwen tidak bisa berbuat apapun selain menahan rasa sakit itu.Mungkin akibat kelelahan dan rasa sakit di sekujur tubuhnya, Bingwen pun terlelap begitu saja. Tanpa dia mengkhawatirkan akan adanya hewan buas lainnya.Malam makin larut, hujan di luar gua juga sekarang sudah berhenti. Meninggalkan dingin yang membuat tubuh Bingwen menggigil. Bingwen terbangun dari tidurnya, kondisinya masih belum begitu pulih. Akan tetapi jauh lebih baik dari pada sebelumnya."Syukurlah ternyata gua ini jauh lebih aman dari pada tempat latihan." Bingwen mulai mengamati dalamnya gua tersebut."Nampaknya gua ini pernah disinggahi manusia," gumamnya. Ketika dia melihat adanya beberapa goresan di tembok-tembok gua."Aku rasa ini bukan goresan semata? Apa ya? Mirip orang yang sedang bertarung. Apa dulu ada orang yang menggambarnya di sini? Lalu apa maksudnya untuk meninggalkan jejak keberadaan orang itu?" Bingwen menyadari satu hal menarik dari coretan gambar di tembok tersebut.Entah siapa yang melakukannya, tapi Bingwen terpegun dengan pedang yang digenggam oleh ksatria di dalam gambar tersebut."Pedang yang sangat indah dan keren. Aku baru pertama kali melihat ada pedang seperti ini, bahkan pedang Guru Bao saja tidak sebanding."Bingwen menyentuh gambar pedang tersebut, seakan ada energi kuat yang memintanya untuk menyentuhnya. Ketika kulit jari jemarinya dia letakkan di gambar pedang tersebut, saat itulah Bingwen merasa ada perasaan asing yang dia rindukan."Kenapa aku merasa familiar dengan pedang ini?" gumamnya.Berapa kali pun Bingwen berusaha mengingat ingatan tentang pedang tersebut, tapi tidak juga dia temukan. Hingga akhirnya Bingwen menganggap hal itu hanya khayalannya semata.Perut Bingwen berbunyi begitu nyaring dan bergema di dalam gua itu, seharian ini dia belum mengisi perutnya sama sekali. Tidak aneh jika suara cacing yang hidup di dalam perutnya berontak dengan kuat."Haaa... Apa di gua ini ada makanan?" Bingwen melangkah perlahan, menyusuri gua tersebut. Tidak sangka setelah hujan yang teramat deras itu, bulan menampakkan dirinya. Sehingga memudahkan Bingwen untuk melihat."Tidak ada yang bisa di makan. Apakah aku harus keluar dari gua dan mencari makanan di luar sana? Tapi giman kalau ada harimau atau binatang buas lainnya?"Bingwen tidak punya perlengkapan apa-apa, tidak mungkin juga berburu dalam keadaannya sekarang."Aku tunggu sampai besok saja kalau gitu, mungkin ada penduduk desa yang mencari kayu bakar. Dengan begitu aku bisa meminta tolong padanya," ucap Bingwen.Anak lelaki itu kembali duduk dengan kaki selonjoran, lelahnya bukan main mengitari gua yang tidak seberapa luas itu."Mungkin karena aku luka-luka, jadinya kekuatan fisikku lebih buruk dari sebelumnya."Bingwen mencoba memejamkan matanya kembali, tapi sialnya rasa lapar membuatnya susah untuk tidur. Akhirnya hal yang bisa dilakukan Bingwen saat ini hanya menatap langit-langit gua.Dia teringat akan Guru Bao yang selalu memperhatikannya. Jika Guru Bao tahu dia hilang, pasti Guru Bao akan khawatir."Guru.... Aku kangen Guru..." Hampir saja Bingwen menangis.Walau Bingwen selalu diperlakukan buruk oleh Ni Lou dan Ni Me, tapi tidak pernah sekalipun Bingwen menangis karenanya. Bagi Bingwen, menangis bukan cara menyelesaikan masalah. Menangis tidak akan membuatnya kuat."Sadarlah, Bingwen. Jangan lemah. Kalau seperti ini saja kamu tidak bisa menanganinya, maka kamu tidak akan pernah bisa maju."Air mata yang hampir menyeruak itu dia tarik kembali, padahal tidak boleh ada yang melarang untuk menangis di saat suasana hati memang tidak mendukung untuk itu. Namun tidak bagi Bingwen. Kalau Ni Lou dan Ni Me memergokinya menangis, maka hukuman yang akan Bingwen terima jauh lebih banyak lagi."Ween.....""Bingwen....!""Bingwen....!"Sayup-sayup Bingwen seperti mendengar suara Guru Bao memanggil dirinya beberapa kali."Guru Bao? Apa benar itu suara Guru? Ku dengar ada penghuni gunung yang dapat meniru suara manusia?"Bingwen bingung apa yang harus dia lakukan, dia tidak harus membalas atau tidak panggilan suara tersebut."Bingwen! Kamu ada di sini? Ini Guru Bao!" Suara itu kembali memanggil Bingwen. Kali terdengar sangat jelas, yang artinya dia tidak berhalusinasi. ."Bingwen...!"Bingwen bangun dari duduknya dan berjalan mendekati pinggiran gua yang tertutup oleh pohon."Benar itu Guru Bao!""Guru! Guru Bao! Saya ada di sini!"Sekuat tenaga Bingwen memanggil sang guru. Suara panggilan Bingwen mengalahkan suara seraknya, karena tidak diberi minum seharian penuh.Suara langkah kaki berlari menuju arahnya makin dekat, sesekali orang tersebut juga kerap kali memanggil kak."Bingwen! Akhirnya ketemu juga.…" Guru Bao dengan wajahnya yang penuh khawatir itu langsung memeluk tubuh anak muridnya itu."Apa yang terjadi? Kenapa kamu menderita banyak luka? Ni Lou bilang kalau kamu sedih karena tidak bisa menahan serangannya.Ni Lou juga bilang kalau tidak mau pulang dulu, sampai kamu berhasil menguasai jurus pertama," ujar Guru Bao."Tidak, Guru, Ni Lou berbohong. Bukan aku yang tidak mau pulang tapi mereka yang meninggalkanku, padahal saya terluka cukup parah."Bingwen tidak mau lagi menutupi perbuatan Ni Lou dan Ni Me, biarlah jika dia dianggap sebagai tukang lapor."Lalu, kenapa dengan lenganmu? Apa Ni Lou yang memberikan luka di sekujur tubuhmu ini?" tanya Guru Bao."Bukan, Guru. Ini sebenarnya......."Bingwen kemudian mulai menceritakan pertarungannya dengan harimau dan bagaimana dia jatuh dari tebing itu."Bingwen....!"Pelukan Guru Bao makin erat, hampir membuat Bingwen kesulitan bernafas."Sungguh luar biasa kamu lolos dari target-an sang harimau. Pantas saja dari atas tebing sana ada jejak habis bertarung, lalu ada tanda kalau seseorang habis jatuh dari tebing.""Sini, biar Guru obati lukamu."Bingwen mengangguk dan menuruti perintah gurunya, dia duduk membelakangi sang guru. Bingwen mendengar gurunya bergumam sesuatu.Bugh...!Telapak tangan Guru Bao memukul kuat punggung Bingwen, yang membuat anak laki-laki itu terbatuk dan mengeluarkan darah."Kamu tidak apa-apa?" tanya Guru Bao."Iya, Guru. Guru, kenapa Guru sudah ada dini? Bukankah Guru akan kembali esok lusa?" Pertanyaan beruntun Bingwen tidak langsung dijawab sang guru."Urusanku lebih cepat selesai dari yang aku lihat, tapi saat aku kembali justru kamu yang menghilang," ucap Guru Bao.Bingwen dan Guru Bao tidak menyadari ada sesuatu di pojok gua yang terus memperhatikannya. Bingwen yang mengalami proses penyembuhan secara bertahap."Sebaiknya kita pulang sekarang, luka luarmu harus segara ditangani juga," ucap Guru Bao setelah dirinya selesai mengobati luka dalam Bingwen. "Terima kasih banyak, Guru. Berkat Guru kondisi saya jauh lebih baik sekarang.""Masih belum, kita harus menyembuhkan luka luarmu juga. Naiklah ke punggungku, kita pulang sekarang." "A--apa? Guru, saya tidak mau merepotkan Guru lagi. Pasti berat, lagi pula jalan pegunungan juga pasti licin sehabis hujan deras tadi," ujar Bingwen. Rasa malu dan bersalah saat itu menghantui dirinya, Bingwen bukan anak yang tidak tahu diri. Dia tidak ingin merepotkan gurunya lagi. "Sudah jangan banyak mikir, kamu harus segera mendapat pengobatan," sanggah Guru Bao. Butuh waktu beberapa saat, sampai akhirnya Bingwen mau mengikuti saran dari sang guru. "Saya pasti berat, Guru. Maafkan saya karena menyusahkan Guru," ucap Bingwen setelah dia berada di punggung gurunya. "Kamu kurus begini, berat dari mana. Coba kamu cek ulang apa ada barang yang ketinggalan," tit
Beberapa hari kemudian, Bingwen yang sudah hampir sembuh segera bersiap untuk mengunjungi gua waktu itu. Anak lelaki itu sibuk menyiapkan apa yang patut dia bawa, sesekali Bingwen bersenandung. Suasana hatinya sedang bagus hari ini. Pintu rumah terbuka dan Mei Lin muncul dengan raut wajah heran, "Kamu mau ke mana?" "Aku mau ke gua waktu itu." "Ngapain? Baru juga sembuh," ucap Mei Lin lalu dia duduk di kursi yang ada di sebelah Bingwen. "Ada hal yang mau aku periksa. Gimana kamu mau ikut?" tanya Bingwen. "Hm, boleh juga. Aku bosan, Ayah juga sibuk dengan serangakaian urusannya," keluh Mei Lin. Guru Bao memang sudah dua hari ini selalu pulang pergi ke pusat kota, saat ditanya Guru Bao selalu bilang kalau dirinya punya pekerjaan tambahan. Sedangkan sesi latihan dilakukan oleh murid senior yang ditunjuk sebagai pelatih sementara. Mei Lin yang terjebak diantara para murid Guru Bao yang kebanyakan laki-laki, hanya bisa memantau dari jauh. Mei Lin tidak diizinkan untuk berlatih belad
Bingwen mengangkat benda dari dalam kotak tersebut, benda yang cukup berat baginya. "Pedang macem apa ini, Bingwen? Sudah berkarat sekali, jangankan untuk mengalahkan lawan. Paling buat motong sayuran juga tidak akan bisa," celetuk Mei Lin setelah Bingwen membuka pembungkus benda tersebut. "Masa kamu bilang begitu? Bukankah kamu merasa ada yang aneh dengan pedang ini?" tanya Bingwen sambil membolak-balik pedang yang sudah berkarat itu. Walau agak berat dan karatan, tapi bentuk pedang tersebut masih kokoh. Bahkan terdapat ukiran naga di gagang pedang. "Hal aneh apa? Aku tidak merasakan apapun kok. Mending kamu kembalikan saja pedang itu ke tempatnya, Bingwen. Karena kita sudah tahu isi dari kotak tersebut, kita pulang saja yuk. Aku takut Ayah sudah pulang. Pasti Ayah akan khawatir," ujar Mei Lin. "Kamu benar, Mei Lin. Kita pulang saja, tapi kalau aku bawa pedang ini bisa kali ya. Kan pedang ini juga pasti sudah dibuang, buktinya sampai keadaannya begini saja tidak ada yang mengam
"Ada apa? Kenapa panik begitu?" Guru Bao mempunyai firasat buruk akan hal itu. Pendengarannya yang tajam dapat menangkap suara derap laju kuda, bukan hanya satu atau dua. Ada banyak, mungkin puluhan jumlahnya. "Guru, pasukan musuh sudah memasuki wilayah kita. Apa yang harus kita lakukan?" jawab orang yang tadi berlari dari arah lereng gunung. "Sudah sampai? Bukankah pasukan kerajaan sudah menghalangi mereka? Nampaknya lawan kali ini jauh lebih kuat, kerajaan barat rupanya tidak bisa diambil remeh." "Ungsikan semua perempuan, anak kecil, dan orang tua. Siapapun yang bisa bertarung, ikut aku maju di garda depan. Jangan panik, kita semua sudah terlatih!" Seru Guru Bao memberi perintah pada penduduk kampung. Tanpa mengulang perintah lagi, pasukan khusus dari Perguruan Bao pun sudah siap siaga di posisinya masing-masing. Termasuk Ni Lou dan Ni Me. "Guru Bao, tolong izinkan aku juga untuk turut serta," pinta Bingwen. "Jangan bodoh, Bingwen. Apa yang kamu lakukan? Ayo kita harus sembu
Seumur hidup Bingwen, baru kali ini dia berhadapan dengan tiga orang lawan sekaligus. Selama ini dia hanya meladeni permainan Ni Lou dan Ni Me saja. Dia cukup senang karena bisa menghindari serangan dari tiga lawannya, kondisi Guru Bao yang sudah terluka parah membuatnya tidak bisa membantu Bingwen. "Bingwen, larilah. Tinggalkan aku di sini, panggil bala bantuan. Cepat!" Seru Guru Bao. Guru itu tidak sanggup melihat Bingwen kewalahan menangani tiga lawan sekaligus. Apa lagi senjata yang dimiliki ketiganya sudah dilumuri racun yang dapat melumpuhkan syaraf. "Tidak, Guru. Aku tidak akan meninggalkan Guru." Nafas Bingwen hampir putus rasanya, tat kala dirinya nyaris tertebas oleh pedang lawannya. "Sialan, apa yang harus aku lakukan?" "Saat ini aku memang beruntung belum terkena senjata mereka, tapi staminaku sudah terkuras habis. Aku benci dengan tubuh lemah ini!" Gerutuan Bingwen hanya dibalas gelak tawa oleh ketiga orang tersebut. "Heh, anak kecil. Lebih baik kamu menyerah saja
Hembusan angin mulai kencang, suara pertarungan di bagian sudut lain terdengar saling bersahutan dengan deru angin. Bingwen masih duduk termenung, dia tidak mengerti dengan kondisi tubuhnya yang seolah sudah kehabisan tenaga. Entah apa yang terjadi sebelumnya, seingat Bingwen dia hendak mengayunkan pedang temuannya pada ketiga lawannya. Setelah itu Bingwen tidak memiliki ingatan apa pun. Dia juga dibuat makin bingung ketika kesadarannya telah kembali, ketiga kawannya tersebut telah tumbang. Tidak mungkin Guru Bao yang mengalahkan ketiganya, mengingat sang guru juga tidak sadarkan diri. "Sebenarnya apa yang terjadi? Tubuhku lemas begini, aku belum pernah merasakan hal yang seperti ini sebelumnya walau sesulit apa latihan yang aku lakukan," gumam Bingwen.Ketika Bingwen kebingungan itulah Mei Lin dan dua orang penduduk kampung menghampirinya. "Hei, Bingwen. Kamu mau cari mati ya! Kenapa pergi begitu saja, aku tahu kamu ingin menolong tapi bukan waktunya sekarang," omel Mei Lin. Mei
Guru Bao meminta mereka yang ada di sekitarnya untuk meninggalkan dirinya dan Bingwen. Setelah hanya keduanya yang tersisa di ruangan tersebut, barulah Guru Bao memanggil Bingwen agar mendekat padanya. "Bingwen, tahukah kamu gambar yang terukir di punggungmu itu artinya apa?" tanya Guru Bao. "Tidak Guru, bukankah dulu aku tidak mempunyai gambar atau tanda lahir seperti yang digambarkan oleh tabib tadi?""Memang benar, aku lah yang menemukan kamu di depan rumahku saat kamu masih bayi. Aku juga yang membesarkan kamu, jadi aku pasti tahu jika ada tanda lahir yang unik seperti yang kamu miliki sekarang," ujar Guru Bao.."Lalu, apa arti tanda ini Guru? Apakah akan membahayakan hidupku nanti?" "Aku belum tahu pasti, hanya saja aku ingat tanda itu merujuk kemana. Lima ratus tahun lalu ada keluarga ahli pedang, di antara keturunan keluarga tersebut yang paling menonjol dan menjadi kepala keluarganya diketahui memiliki ciri tanda gambar pedang. Persis seperti yang ada di punggungmu itu, Bin
Dua minggu setelah penyerangan itu, suasana di tempat tinggal Bingwen masih tampak kacau. Perbaikan rumah penduduk masih berlangsung. Guru Bao sedang menghadap baginda kaisar. Tampaknya ada hal yang lebih serius dari kasus penyerangan tersebut. Mei Lin yang baru saja kembali dari rumah penduduk, membantu mereka yang terluka. Gadis itu menghempaskan dirinya di samping Bingwen yang duduk termenung menatap langit yang mendung. Hembusan angin pun mulai kencang, cuaca yang sangat cocok untuk bermalas-malasan. Namun tidak bagi penduduk setempat, bulan ini sudah memasuki musim hujan. Jika curah hujan lebat tiap hari, bayang-bayang tanah longsor selalu menghantui mereka. Bukan hal aneh jika musim hujan dan bencana longsor terjadi. Penduduk yang tinggal di lereng gunung tersebut, bukan tidak mau berpindah tempat. Hanya saja mereka sudah mendarah daging menyukai tanah kelahiran mereka. "Ngapain kamu duduk di sini? Mau hujan loh bentar lagi, kamu nggak masuk ke dalam? Bukannya kamu takut ba
"Apa kamu yakin surat yang kita kirimkan itu akan sampai ke tangan Guru Bao?" tanya Ming ketika Bingwen kembali. Ming membiarkan Bingwen menghabiskan makanannya lebih dulu, sama seperti dia yang kelaparan. Bingwen pun pasti demikian. Apalagi Bingwen yang lebih banyak menggunakan tenaga dari pada dia. "Iya tenang saja. Hanya aku dan Guru Bao yang paham tentang metode itu," jawab Bingwen. Diambilnya beberapa uang koin perak dan memberikannya pada pemilik kedai. Uang yang dia miliki pun makin berkurang. Dia harus mencari pekerjaan sementara sambil menunggu surat balasan dari Guru Bao. Setidaknya Minggu ini dia harus menetap di tempat ini terlebih dahulu. "Kita mau ke mana sekarang?" Tanya Ming. "Cari penginapan, kita kehabisan uang." "Oh! Kebetulan, tadi aku lihat ada orang yang sedang mencari prajurit bayaran. Katanya untuk mengisi kekosongan saat acara festival rakyat berlangsung, apa kita coba saja?" Ming sempat mendengar obrolan para pemuda yang duduk tidak jauh darinya di ked
Setelah perjalanan yang cukup panjang, kini Bingwen sudah berada di pusat kota kekaisaran. Suasana di pusat kota jauh lebih ramai dari pada di tempat lainnya, mengingat banyaknya aktivitas yang dilakukan penduduk setempat maupun pendatang. Tidak aneh juga jika pusat kota jauh lebih hidup, di mana di sini lah tempat mereka saling melakukan transaksi jual beli. Barang yang diperdagangkan pun jauh lebih beragam. Kain-kain sutra dengan kualitas terbaik, giok yang beraneka jenis ragamnya dan kualitasnya. Pandai besi yang memiliki kemampuan tinggi, sehingga senjata yang dia buat pun dijamin bagus. Di saat semua kemewahan tersedia di pusat kota kekaisaran, bukan tidak mungkin masih adanya tindak kejahatan. Pencopet ada di mana-mana, jika tidak ingin uang atau benda berhagamu hilang. Maka kamu harus lebih hati-hati dengan barang bawaanmu. "Kita mau ke mana, Bingwen?" tanya Ming. "Ayo cari makan dulu, kamu pasti lapar." Dari tadi Bingwen dapat mendengar gemuruh dari perut Ming. Ya ma
Baik Bingwen maupun Ming keduanya tercengang dengan apa yang mereka dengar. Bingwen memang menduga bahwa masih ada keturunan penyihir putih yang tersisa, tapi tidak dengan kenyataan bahwa Fei Hung yang selama ini dia kenal ternyata salah satunya. Bahkan empat keturunan penyihir putih yang tersisa. "Jadi, kamu benar keturunan langsung dari penyihir putih ini?" tanya Ming yang masih tidak percaya dengan semua hal yang dia ketahui. Fakta bahwa bangsa peri itu nyata saja merupakan hal yang mengejutkan bagi, Ming. Apa lagi makhluk yang ada di depannya ini merupakan keturunan dari penyihir putih dengan bangsa peri. "Begitulah, aku dan ketiga kakak laki-laki ku. Jadi totalnya ada empat, setelah ibu kami meninggal setelah melahirkanku," ujar Fei Hung. Ada mendung di raut wajah Fei Hung, ketika dia mengatakan meninggalnya sang ibu yang mana merupakan penyihir putih yang murni terakhir. Pasti ada rasa bersalah di hati Fei Hung, menyalahkan takdir. "Hei, jangan bersedih. Maaf ya kalau ucapa
"Ambil ini," ucap Fei Hung sambil memberikan sebuah alat pada Bingwen. "Apa ini?" "Alat komunikasi, jika kamu mengalami kesulitan dalam rencanamu maka jangan segan untuk menghubungiku." "Eh, tapi, bukankah ayahmu bilang kalau dia tidak akan ikut campur dengan masalah kami?" tanya Ming. "Ayah hanya mengatakan saja, tapi bukan benar-benar akan dilakukan. Tidak mungkin kami diam saja jika benar para penyihir ilmu hitam itu ikut terlibat," sahut Fei Hung. Fei Hung kemudian menceritakan alasan kenapa bangsa peri menjauh dari hubungan kerja sama dengan bangsa manusia dan penyihir ilmu hitam. Dua ratus tahun yang lalu, ada dua ilmu sihir yang ada di kontinen saat itu. Penyihir putih yang menggunakan ilmu sihirnya untuk menolong siapapun yang membutuhkan, termasuk bangsa manusia. Awalnya ketiga ras ini hidup dalam kerukunan yang damai, hingga suatu saat ketua penyihir ilmu hitam mengetahui kenyataan bahwa pihak penyihir putih mengetahui adanya sihir terlarang yang telah di segel ribuan
Raja Fei Gu, terdiam untuk beberapa saat. Sebab apa yang ditanyakan Bingwen bukan menjadi tanggung jawabnya. Ada batas yang tidak boleh dilanggar, meski penyihir hitam dan para peri tidak saling hidup berdampingan. Selagi kelompok penyihir hitam tersebut tidak melakukan kesalahan atau mengganggu bangsa peri terlebih dahulu, maka Raja Fei Gu juga tidak akan memulai duluan. "Katakan apakah yang kamu tanyakan ini berhubungan dengan kerjaan peri. Sebab apa yang kamu tanyakan itu murni berhubungan dengan manusia saja, tidak ada sangkut pautnya dengan bangsa peri," ujar Raja Fei Gu. Tergambar raut kekecewaan dan kesedihan di wajah Bingwen. Ketika harapan yang dia yakini telah dipatahkan langsung oleh sang raja. Menyadari suasana hati Bingwen yang langsung gelap, Fei Hung berjalan ke arah tahta ayahnya. "Ayah, izinkan saya berbicara sebentar dengan Ayah." Fei Hung tidak mengatakan dengan suara latang, sebab apa yang akan dia katakan adalah sebuah rahasia besar. Sesudah Fei Hung berbisik
"Jadi? Kenapa dua manusia ini bisa ada di wilayah kekuasaan kita?" tanya Fei Zhi yang masih tidak suka akan kedatangan Bingwen dan Ming. Bingwen tidak gentar sedikitpun dengan tekanan yang diberikan oleh kakak laki-laki Fei Hung. Di saat Ming ketakutan dan tidak bisa berbicara dengan benar, Bingwen justru tersenyum saja melihat kelakuan Ming. "Apa yang kamu lakukan? Beginikah sikap manusia tidak tahu diri yang tiba-tiba muncul tanpa pemberitahuan terlebih dahulu? Apa kamu kira aku ini badut yang bisa kamu tertawakan seperti itu?" Fei Zhi makin kesal akan tingkah lamu Bingwen yang disangka untuknya, padahal tidak demikian. "Oh, maafkan saya, Tuan. Saya tidak bermaksud demikian. Saya tidak menertawakan Anda, tapi pada teman saya ini. Padahal dia anak yang cerewet, tapi sekarang dia bahkan tidak bisa berkata sepatah kata pun," tutur Bingwen. Bingwen tidak mau memberi kesan buruk pada orang yang mungkin membantunya, makanya dia sebisa mungkin memperhatikan kalimat yang dia ucapk
"Jadi, apa yang membawamu ke sini?" tanya Fei Hung tanpa berbasa-basi. Kedatangan Bingwen saja sudah membuatnya penasaran Bagaimana bisa Bingwen menemukan portal menuju dunia para peri? Sementara hanya mereka yang keturunan peri dan orang tertentu saja yang diizinkan melewati portal tersebut. "Apa karena dia keturunan terakhir dari keluarga ahli pedang itu?" tanya Fei Hung dalam hatinya. Fei Hung tidak bisa meyakinkan dirinya akan pertanyaannya itu, meski benar apa yang menjadi alasan Bingwen bisa melewati portal yang memisahkan antara dunia manusia dan dunia peri adalah karena hal itu. Tentu hal tersebut juga tidak bisa diterima, sebab keluarga ahli pedang itu bahkan belum pernah ada yang menginjakkan kaki di tanah para peri. Lamunan Fei Hung buyar ketika Bingwen memanggil namanya dengan suara lantang. "Jangan teriak-teriak begitu, aku tidak tuli," ketus Fei Hung. Bingwen terkekeh melihat wajah kesal Fei Hung dan berkata, "Tingkahmu tidak ada yang berubah, Fei Hung.
"B-bingwen ... kenapa kamu berhenti?" tanya Ming yang gugup sebab Bingwen tiba-tiba berhenti begitu saja. Firasat Ming seketika langsung buruk, dia tidak yakin apakah Bingwen merasakan hal yang sama. "Ming, kita telah sampai.""Hah? Maksudmu?" "Kita telah tiba di kerajaan para peri," ujar Bingwen. Ming pun langsung mengedarkan pandangannya, memastikan apa yang dia dengar bukan hanya halusinasinya saja. "Haaa ... jadi negeri para peri itu benar adanya? Bukan hanya kisah dongeng belaka?" gumam Ming setelah dia melihat perbedaan yang ketara dari suasana di dunia manusia. "Gimana bisa, Bingwen?" tanya Ming lagi. Dia masih bingung kenapa tiba-tiba sudah pindah tempat begitu saja, padahal terakhir kali yang dilihat Ming hanyalah luasnya hutan belantara yang tertutup kabut tebal. Bingwen tidak menjawab pertanyaan temannya itu, sebab memang hanya dirinya saja yang dapat melihat bahwa mereka telah melewati garis ruang dan waktu. Jikalau pun Bingwen menceritakannya pada Ming, Ming pasti
Kabut tebal menyambut perjalanan Bingwen dan Ming kali ini, keduanya bahkan tidak bisa bergerak sembarang jika ingin selamat. Hutan belantara itu yang awalnya sudah sangat sulit ditaklukkan, kini makin menjadi seperti medan perang. "Apa yang harus kita lakukan, Bingwen? Kalau begini terus, jangankan menemukan kerajaan peri. Yang ada malah kita akan tersesat dan menjadi makanan binatang buas," ujar Ming. "Jangan menyerah begitu, kita datang ke sini memiliki niat yang baik. Pasti ada jalan. Dan jangan pernah berpikiran buruk ketika kita sedang berada di tempat seperti ini," sahut Bingwen.Bingwen bukan tidak mengerti akan kebimbangan yang Ming alami, hanya saja menyerah ketika sudah melewati perjalanan jauh dan menantang itu tentu bukan pilihan yang bijak. Akhirnya, Bingwen memutuskan untuk menggunakan kekuatannya. Indera penglihatannya dia pertajam, hingga walau setebal apapun kabut yang menghadang jalannya, dia bisa berjalan tanpa kesulitan. "Bingwen, entah kenapa matamu kok berb