Bau tanah ketika terguyur hujan sungguh hal yang disukai Bingwen sejak dulu, baginya saat inilah dia bisa menenangkan pikirannya yang berantakan. Pemuda itu menatap kosong ke luar jendela, dia memang tidak mengalami luka dari kejadian sebelumnya. Namun Mei Lin memaksanya untuk tetap istirahat. Sementara Mei Lin sibuk dengan urusannya di dapur, Bingwen memanfaatkan kesempatan itu dengan melamun. Telinganya nyaris putus, jeweran Mei Lin masih sama menyakitkannya seperti dulu. "Padahal aku bosan duduk diam seperti ini, aku ingin menggerakkan tubuhku," gerutu Bingwen. Sebenarnya sebelum hujan turun, dia hendak keluar sembunyi-sembunyi. Tujuan awalnya adalah untuk memastikan kembali apakah benar dia selamat dari serangan prajurit lawan, karena faktor beruntung? "Ingatan terakhirku itu aku memegang pedang berkarat yang aku temukan, setelahnya aku tidak ingat apapun. Apakah itu hal yang wajar?" Lamunan Bingwen makin panjang, dia menerka-nerka apakah dia benar ada sangkut-pautnya dengan
Debaran jantung Mei Lin begitu berisik, semakin dekat prajurit itu ke arah gentong air. Rasanya Mei Lin seperti berhenti bernafas. Dia bahkan tidak berani membuka matanya. Prajurit itu berdiri tepat di samping gentong tersebut. "Bagiamana, ada tidak?" Prajurit yang mengerikan itu hanya menggeleng, "Tidak ada seorang pun." Brak! Amarah prajurit yang memegangi Mei Lin nampaknya tidak bisa ditahan, dia menentang kursi yang ada di sampingnya. Kursi kayu itu akhirnya hancur berantakan. "Tidak mungkin dia tidak ada! Cari sampai ketemu! Aku yakin ada jalan keluar dari rumah ini!" titahnya pada kedua prajurit lainnya. Entah karena takut mereka akan mendapat masalah besar, jika tidak membawa Bingwen. Keduanya pun kembali mengobrak-abrik rumah Guru Bao. Hancur sudah rumah yang semula layak dihuni tersebut. Kursi, meja, kasur, lemari pakaian, bahkan tempat air semuanya diluluhlantakkan. Kebengisan ketiga prajurit itu laksana tirani, yang tidak peduli jeritan Mei Lin untuk menghentikan pe
Keesokan harinya, Mei Lin terbangun dengan kondisi tubuh yang remuk redam. Dia menata langit-langit ruangan yang dia tempati saat itu. "Ini bukan rumah kami? Aku ada di mana?" Sedetik kemudian Guru Bao memasuki ruangan tersebut, untuk memeriksa keadaan putrinya. "Mei Lin, kamu sudah sadar, Nak?" tanya Guru Bao. Dia langsung memeriksa putrinya, pernapasan Mei Lin sudah jauh lebih baik."Ayah, Bingwen di mana? Sudah ketemu?" Mei Lin bukannya mengkhawatirkan dirinya sendiri, hal pertama yang dia tanyakan justru Bingwen. Mei Lin mencoba bangun dari pembaringannya, dia harus menyaksikan Bingwen selamat dengan mata kepalanya sendiri. "Tenanglah, kondisimu juga belum pulih. Bingwen masih belum ditemukan. Ayah sudah mencarinya tapi belum ada tanda keberadaannya. Kamu yakin dia sembunyi di belakang gentong air di dalam rumah?" Guru Bao mencari kebenaran dari apa yang dia dengar sebelumnya. Jikalau benar Bingwen sembunyi di tempat itu, seharusnya dia ada. Sebab tidak ada jalan rahasia di ru
Hari sudah makin gelap, tapi Bingwen masih berkeliaran di hutan tersebut. Lelah sudah kakinya melangkah, menyusuri jalan setapak nan terjal, tapi sayangnya jalan pulang yang dia harapkan masih belum terlihat. Bahkan Bingwen merasa kalau dirinya hanya berputar di tempat yang sama saja. Sudah berkali-kali Bingwen mengelilingi tempat tersebut, kecurigaannya makin kuat tatkala dia melalui tanda yang sengaja dia buat. "Kenapa aku terus menerus melewati tempat ini? Perasaan tadi lancar saja," gumamnya. Keanehan yang Bingwen rasakan tatkala dia sudah berjalan hampir dua jam lamanya, ketika dia melewati bagian hutan yang memiliki jalan lebih mudah dari sebelumnya. Namun angan Bingwen untuk bisa sampai lebih cepat dari yang dia harapkan, tidak terwujud juga. Anak lelaki itu melabuhkan dirinya di sebuah batu besar dekat dengan pohon yang menjulang tinggi. Jika dilihat dari besarnya pohon dan akar pohon tersebut, Bingwen pastikan kalau pohon yang ada di dekatnya itu sudah sangat berumur. "K
Langit kini sudah hitam pekat, suara-suara serangga malam mulai terdengar dari berbagai penjuru hutan. Keheningan di tempat Bingwen berada justru lebih menegangkan. Hanya sorot mata Bingwen dan si putri peri saja yang saling mengisi kesunyian itu. Bingwen masih bersikeras ingin mengetahui siapa orang tuanya dan bagaimana si putri peri bisa mengetahui namanya. Masih tidak ada yang bersuara, padahal sudah berjam-jam waktu berlalu. "Jadi kamu mau diam saja? Oke kalau begitu. Aku tidak akan menanyakan apapun lagi padamu. Terserah kamu mau cerita atau tidak. Aku sudah lelah dengan kebisuan ini." Bingwen melabuhkan dirinya di batu besar sebelumnya, pandangannya jauh menerawang cakrawala. Dia yakin si putri peri mengetahui asal-usul dan siapa dirinya sebenarnya. Namun, Bingwen tidak mengerti kenapa si putri peri masih saja bungkam akan kenyataan tersebut. Karena pelindung yang diciptakan oleh si putri peri, tidak ada angin kencang yang berhembus. Cukup bersyukur juga Bingwen akan hal it
Q"Bingwen, pantas saja kamu tidak bisa menggunakan pedang pusaka itu. Rupanya orang tuamu memberikan mantra di kedua pergelangan tanganmu," ujar Fei Hung. "Maksudmu apa? Apa gunanya mereka melakukan hal itu? Kalau aku tidak tersesat dan menemukan goa itu juga, aku tidak akan menemukan pedang berkarat ini," cibir Bingwen.Bingwen hampir tertawa ketika Fei Hung mengatakan, penyebab tiap kali dia mengangkat pedang itu terasa berat. Untuk apa orang tuanya melakukan hal yang tidak berguna demikian? Tanpa diberi mantra sekalipun, dengan tubuh lemahnya itu dia tidak mungkin bisa menggunakan pedang tersebut. "Hah, pedang pusaka kamu bilang? Kenapa pedang pusaka itu justru jauh tersembunyi di dalam goa? Kalau mau membohongiku jangan berlebihan deh. Tubuhku memang lemah, tapi tidak dengan otakku," sambung Bingwen. Fei Hung termenung, raut wajah sang putri peri itu tergambar rasa bersalah dan penyesalan yang mendalam. Rasa kasihan juga terlihat dengan jelas. "Hentikan tatapan tidak nyaman it
Hari berganti hari, bulan demi bulan pun berlalu. Tahun berganti tanpa Bingwen sadari. Sekarang sudah memasuki tahun kedelapan Bingwen berlatih di hutan tersebut dibimbing oleh Fei hung. Bingwen terus berlatih di bawah pengawasan Fei Hung. Semua latihan demi latihan yang Bingwen lakukan makin intens. Setelah tubuhnya sudah tidak tersegel lagi, Bingwen malah makin semangat dalam mempelajari berbagai teknik ilmu pedang yang dia ingat. "Terimakasih Fei Hung, berkat kamu aku jadi lebih semangat berlatih." "Tidak masalah, aku senang bisa membantumu. Ngomong-ngomong kamu ternyata sudah terbangun ya aura-nya," ujar Fei Hung. "Hah? Aura? Aura kasih? Aura wajah?" Bingwen yang bingung akan pertanyaan Fei Hung, mengerutkan alisnya. Apa lagi yang akan diberitahu Fei Hung, sang putri peri itu? Makin kesini makin banyak rahasia dalam dirinya yang sedikit demi sedikit terkuak. Bingwen jadi sadar bahwa dirinya bukan anak yang dibuang orang tuanya secara sengaja. Ada alasan dibalik orang tuanya
Keesokan harinya, Bingwen yang tengah bersiap dan akhirnya tinggal menemui Fei Hung untuk berpamitan. Akan tetapi dia tidak menemukan jejak Fei Hung di kawasan hutan yang biasa mereka tempati. Berkali-kali Bingwen memanggil Fei Hung dan mencari ke tempat yang kemungkinan putri peri itu berada. Namun sayangnya tidak juga dia temukan. Nafas Bingwen sampai tersengal, entah sudah berapa kali dia mengitari hutan itu untuk menemukan Fei Hung. "Kamu jahat sekali, Fei Hung. Padahal hari ini mungkin terakhir kalinya kita bertemu, tapi kamu malah menghilang begitu saja," gumam Bingwen. Di tatapnya goa yang selama ini menjadi tempat dirinya dan Fei Hung berteduh. Goa yang menjadi tempatnya melepas penat. Goa dan hutan sekitar itu, yang selama delapan tahun terakhir menjadi saksi biksu akan kerja keras dirinya. Air mata Bingwen hampir jatuh saat itu, ingatan demi ingatan terus membanjiri pikirannya. Apa lagi dia tidak bisa menemukan Feng Hui. Entah kapan lagi dirinya bisa berjumpa dengan sang