Keesokan harinya, Mei Lin terbangun dengan kondisi tubuh yang remuk redam. Dia menata langit-langit ruangan yang dia tempati saat itu. "Ini bukan rumah kami? Aku ada di mana?" Sedetik kemudian Guru Bao memasuki ruangan tersebut, untuk memeriksa keadaan putrinya. "Mei Lin, kamu sudah sadar, Nak?" tanya Guru Bao. Dia langsung memeriksa putrinya, pernapasan Mei Lin sudah jauh lebih baik."Ayah, Bingwen di mana? Sudah ketemu?" Mei Lin bukannya mengkhawatirkan dirinya sendiri, hal pertama yang dia tanyakan justru Bingwen. Mei Lin mencoba bangun dari pembaringannya, dia harus menyaksikan Bingwen selamat dengan mata kepalanya sendiri. "Tenanglah, kondisimu juga belum pulih. Bingwen masih belum ditemukan. Ayah sudah mencarinya tapi belum ada tanda keberadaannya. Kamu yakin dia sembunyi di belakang gentong air di dalam rumah?" Guru Bao mencari kebenaran dari apa yang dia dengar sebelumnya. Jikalau benar Bingwen sembunyi di tempat itu, seharusnya dia ada. Sebab tidak ada jalan rahasia di ru
Hari sudah makin gelap, tapi Bingwen masih berkeliaran di hutan tersebut. Lelah sudah kakinya melangkah, menyusuri jalan setapak nan terjal, tapi sayangnya jalan pulang yang dia harapkan masih belum terlihat. Bahkan Bingwen merasa kalau dirinya hanya berputar di tempat yang sama saja. Sudah berkali-kali Bingwen mengelilingi tempat tersebut, kecurigaannya makin kuat tatkala dia melalui tanda yang sengaja dia buat. "Kenapa aku terus menerus melewati tempat ini? Perasaan tadi lancar saja," gumamnya. Keanehan yang Bingwen rasakan tatkala dia sudah berjalan hampir dua jam lamanya, ketika dia melewati bagian hutan yang memiliki jalan lebih mudah dari sebelumnya. Namun angan Bingwen untuk bisa sampai lebih cepat dari yang dia harapkan, tidak terwujud juga. Anak lelaki itu melabuhkan dirinya di sebuah batu besar dekat dengan pohon yang menjulang tinggi. Jika dilihat dari besarnya pohon dan akar pohon tersebut, Bingwen pastikan kalau pohon yang ada di dekatnya itu sudah sangat berumur. "K
Langit kini sudah hitam pekat, suara-suara serangga malam mulai terdengar dari berbagai penjuru hutan. Keheningan di tempat Bingwen berada justru lebih menegangkan. Hanya sorot mata Bingwen dan si putri peri saja yang saling mengisi kesunyian itu. Bingwen masih bersikeras ingin mengetahui siapa orang tuanya dan bagaimana si putri peri bisa mengetahui namanya. Masih tidak ada yang bersuara, padahal sudah berjam-jam waktu berlalu. "Jadi kamu mau diam saja? Oke kalau begitu. Aku tidak akan menanyakan apapun lagi padamu. Terserah kamu mau cerita atau tidak. Aku sudah lelah dengan kebisuan ini." Bingwen melabuhkan dirinya di batu besar sebelumnya, pandangannya jauh menerawang cakrawala. Dia yakin si putri peri mengetahui asal-usul dan siapa dirinya sebenarnya. Namun, Bingwen tidak mengerti kenapa si putri peri masih saja bungkam akan kenyataan tersebut. Karena pelindung yang diciptakan oleh si putri peri, tidak ada angin kencang yang berhembus. Cukup bersyukur juga Bingwen akan hal it
Q"Bingwen, pantas saja kamu tidak bisa menggunakan pedang pusaka itu. Rupanya orang tuamu memberikan mantra di kedua pergelangan tanganmu," ujar Fei Hung. "Maksudmu apa? Apa gunanya mereka melakukan hal itu? Kalau aku tidak tersesat dan menemukan goa itu juga, aku tidak akan menemukan pedang berkarat ini," cibir Bingwen.Bingwen hampir tertawa ketika Fei Hung mengatakan, penyebab tiap kali dia mengangkat pedang itu terasa berat. Untuk apa orang tuanya melakukan hal yang tidak berguna demikian? Tanpa diberi mantra sekalipun, dengan tubuh lemahnya itu dia tidak mungkin bisa menggunakan pedang tersebut. "Hah, pedang pusaka kamu bilang? Kenapa pedang pusaka itu justru jauh tersembunyi di dalam goa? Kalau mau membohongiku jangan berlebihan deh. Tubuhku memang lemah, tapi tidak dengan otakku," sambung Bingwen. Fei Hung termenung, raut wajah sang putri peri itu tergambar rasa bersalah dan penyesalan yang mendalam. Rasa kasihan juga terlihat dengan jelas. "Hentikan tatapan tidak nyaman it
Hari berganti hari, bulan demi bulan pun berlalu. Tahun berganti tanpa Bingwen sadari. Sekarang sudah memasuki tahun kedelapan Bingwen berlatih di hutan tersebut dibimbing oleh Fei hung. Bingwen terus berlatih di bawah pengawasan Fei Hung. Semua latihan demi latihan yang Bingwen lakukan makin intens. Setelah tubuhnya sudah tidak tersegel lagi, Bingwen malah makin semangat dalam mempelajari berbagai teknik ilmu pedang yang dia ingat. "Terimakasih Fei Hung, berkat kamu aku jadi lebih semangat berlatih." "Tidak masalah, aku senang bisa membantumu. Ngomong-ngomong kamu ternyata sudah terbangun ya aura-nya," ujar Fei Hung. "Hah? Aura? Aura kasih? Aura wajah?" Bingwen yang bingung akan pertanyaan Fei Hung, mengerutkan alisnya. Apa lagi yang akan diberitahu Fei Hung, sang putri peri itu? Makin kesini makin banyak rahasia dalam dirinya yang sedikit demi sedikit terkuak. Bingwen jadi sadar bahwa dirinya bukan anak yang dibuang orang tuanya secara sengaja. Ada alasan dibalik orang tuanya
Keesokan harinya, Bingwen yang tengah bersiap dan akhirnya tinggal menemui Fei Hung untuk berpamitan. Akan tetapi dia tidak menemukan jejak Fei Hung di kawasan hutan yang biasa mereka tempati. Berkali-kali Bingwen memanggil Fei Hung dan mencari ke tempat yang kemungkinan putri peri itu berada. Namun sayangnya tidak juga dia temukan. Nafas Bingwen sampai tersengal, entah sudah berapa kali dia mengitari hutan itu untuk menemukan Fei Hung. "Kamu jahat sekali, Fei Hung. Padahal hari ini mungkin terakhir kalinya kita bertemu, tapi kamu malah menghilang begitu saja," gumam Bingwen. Di tatapnya goa yang selama ini menjadi tempat dirinya dan Fei Hung berteduh. Goa yang menjadi tempatnya melepas penat. Goa dan hutan sekitar itu, yang selama delapan tahun terakhir menjadi saksi biksu akan kerja keras dirinya. Air mata Bingwen hampir jatuh saat itu, ingatan demi ingatan terus membanjiri pikirannya. Apa lagi dia tidak bisa menemukan Feng Hui. Entah kapan lagi dirinya bisa berjumpa dengan sang
"Haaa.... Akhirnya sampai juga. Ya ampun lelah sekali aku," ucap Bingwen setelah dia sampai di tempat tujuan..Kampung Guan In, sebuah kampung di kaki lereng gunung. Dari kampung ini, hanya butuh waktu 30 menit saja sampai ke kampungnya. Rasa lelah yang Bingwen rasakan sebelumnya telah sedikit berkurang setelah dia sampai di kampung Guan In ini. Perjalanan dua minggu yang begitu melelahkan, apa lagi cuaca yang terkadang tidak menentu. Bingwen bersyukur dia sampai sesuai perkiraan. Sebenarnya kaki Bingwen sudah tidak sanggup lagi berjalan, tapi dia tidak ingin membuang waktu walau sejenak. Lebih cepat sampai justru lebih baik. "Aku nggak sabar ingin ketemu Mei Lin dan Guru Bao. Mereka pasti kaget melihatku pulang sekarang," gumamnya. Saat Bingwen melewati kampung Guan In, Fei Hung yang dari hari pertama menyertai perjalanan Bingwen dengan senyap pun menghentikan kepakan sayap kecilnya. Putri peri itu menatap punggung Bingwen yang mulai menjauh dan tidak lagi terlihat. "Selamat tin
Mei Lin mendorong pelan tubuh Bingwen, dari tadi sahabatnya itu diam membisu. Padahal orang yang tengah dia cari ada di depannya, hanya berjarak beberapa langkah saja. "Pergilah, kamu bilang ingin bertemu dengan Ayah bukan?" Bingwen mengangguk, diapun berjalan dengan langkah cepat. Rasa rindu pada sosok yang telah membesarkan dan merawatnya dari bayi, melebihi kerinduan terhadap orang tuanya sendiri. Terkadang Bingwen sering bertanya, apakah dirinya termasuk anak yang durhaka. Sebab Bingwen lebih menyayangi Guru Bao dari pada orang tuanya sendiri. Bagi orang lain mungkin sikap Bingwen itu salah, tapi dia juga tidak bisa membohongi hatinya. Bukan berarti Bingwen tidak merindukan orang tuanya, dia hanya ingin bertanya pada orang tuanya kenapa mereka tega membuang dirinya? Guru Bao menolehkan kepalanya, tepat di depan Bingwen berdiri di sampingnya. "B-Bingwen?" tanya laki-laki yang kini sudah berusia separuh abad itu. "Iya, Guru. Aku sudah pulang," jawab Bingwen. Suaranya parau m