Percakapan Bingwen dengan Guru Bao masih terus berlanjut, sekarang Bingwen sudah mengetahui jati dirinya. Serta dia juga sudah tahu siapa yang memerintahkan untuk membantai keluarganya. Pantas saja tidak ada yang melakukan perlawanan, sebab dalang dari aksi pembantaian itu justru orang paling tinggi di sebuah kerajaan. "Guru, sekarang apa yang harus aku lakukan? Tidak mungkin aku diam begitu saja setelah aku mengetahui kenyataan tentang diriku," ujar Bingwen. "Jangan gegabah. Kita tidak bisa melawannya untuk sekarang. Terlalu beresiko, Bingwen. Apa lagi jika langkah kita dianggap sebagai pemberontakan dan aksi kudeta. Bukan hanya kamu, aku ataupun Mei Lin yang akan dalam bahaya," jawab Guru Bao. Gemeretak gigi Bingwen, jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Keringat dingin pun sudah membasahi dahinya. Dia tidak berdaya, dia akui itu. Di saat dirinya sudah memegang kartu untuk menjatuhkan orang yang telah membuat hidupnya menderita, tapi sayangnya kartu itu tidak bisa di
Seminggu sudah Bingwen berlatih mengendalikan auranya, walau belum terlalu cukup mahir. Namun Bingwen setidaknya jauh lebih baik dari hari pertama dirinya mencoba untuk mengeluarkan aura yang dia miliki. Menurut apa yang Guru Bao katakan ketika Bingwen bisa mengontrol aura dengan baik, Bingwen bisa membunuh musuhnya hanya dengan auranya. "Tapi kamu harus ingat, Bingwen. Semakin besar aura yang kamu gunakan, maka makin besar pula resikonya," ucap Guru Bao. "Maksud Guru apa?" "Auramu ini berasal dari dalam dirimu, dalam sihir ini ibarat seperti 'mana'. Ketika kamu terlalu banyak mengeluarkan 'mana'' atau aura tersebut, maka hal itu akan membahayakan nyawamu sendiri.""Oh, jadi itulah kenapa aku harus belajar mengendalikan aura ini. Agar aku tidak menggunakannya secara berlebihan?" tanya Bingwen. "Benar. Kamu harus ingat itu. Gunakan auramu saat kamu benar-benar terpojok, hanya itu yang bisa aku sarankan." Bingwen mengangguk pelan, ternyata memang benar tidak ada hal yang mudah di
Angin berhembus dengan sepoi-sepoi di sore yang tenang itu, kedamaian yang begitu menenangkan dan nyaman. Rasanya sangat disayangkan ketika kedamaian itu tiba-tiba terenggut. Bingwen tengah duduk di halaman belakang sambil menikmati teh hitam, yang diseduh Mei Lin. Hari ini juga sesi latihan telah selesai semua, hingga kesempatan itu dimanfaatkan Bingwen untuk bersantai. Kedamaian yang Bingwen kira akan berlangsung lama itu ternyata tidak seperti yang pemuda itu harapkan. Sayup-sayup dari hutan kecil di depannya, terdengar suara tangis seorang anak kecil. Rasa penasarannya membuat Bingwen ingin memeriksa asal dari suara tersebut, dia pun beranjak berjalan menuju tangisan yang dia dengar. "Semak-semak ini sudah tinggi lagi, besok kalau aku senggang sebaiknya aku membersihkannya juga," gumam Bingwen. Cukup kesulitan bagi Bingwen untuk menyibak semak belukar yang kini mencapai pinggangnya, apa yang paling Bingwen risaukan hanyalah banyaknya ular yang bersembunyi di sekitar semak dan
"Kalian ingat, kalau dirasa kalian tidak bisa mengatasinya segera mengirim pesan," ucap Guru Bao. "Siap, Guru." Bingwen yang lebih dulu selesai berkemas untuk keberangkatannya dengan Mei Lin, demi menemukan kakak perempuan Yung Yin. "Bingwen, kamu hampir lupa pedangmu." Guru Bao menyerahkan pedang kuno yang telah dimodifikasi pada Bingwen."Lihatlah lebih dulu," titah Guru Bao. Bingwen menerima pedang tersebut dengan hati berdebar, debaran yang jauh lebih kuat dari saat pertama dia menemukan pedang tersebut. Tangan Bingwen bahkan sedikit gemetar ketika pedang itu sudah di tangannya. "Guru, bolehkah aku memeriksanya?" tanya Bingwen dengan ragu. "Tentu saja, pedang itu milikmu. Jadi kamu punya hak terhadapnya."Sebelum Bingwen mengeluarkan pedang tersebut dari sarung pedangnya, keringat dingin serta deru nafasnya memburu. Perlahan dan hati-hati Bingwen mengeluarkan pedangnya, matanya yang bulat berbinar seketika sewaktu dia melihat tampilan terbaru dari pedangnya. Bilah pedang ya
Hari sudah makin terik setibanya Bingwen, Mei Lin, dan Ming di tempat tujuan mereka. Walau saat ini masih siang hari, tapi suasana di hutan terlarang itu sudah mencekam. "Kamu yakin ada manusia yang pergi ke hutan ini? Sepi sekali loh, kamu ingat kan beberapa orang yang kita temui? Mereka menyarankan kita untuk kembali." Mei Lin bukan tipe orang yang penakut, hanya saja dia tidak mau mengambil resiko memasuki tempat yang berbahaya seperti itu dan tidak menghasilkan apapun. Belum masuk ke hutan yang dalam saja suasananya terlalu hening begini, apa lagi sudah memasuki wilayah hutan yang paling dalam? Entah akan ada binatang buas atau seperti rumor yang beredar.Adanya monster yang bersembunyi dan menjadi penghuni hutan ini. Bukan tidak aneh jika ada orang yang nekad pergi ke hutan ini dan tidak kembali lagi. "Hei, kenapa kalian diam saja?" tanya Mei Lin yang kesal karena ucapannya tidak direspon oleh Bingwen dan Ming. Kedua pemuda itu malah asik melihat ke tanah yang mereka pijak.
Bingwen dan Ming berjalan mengendap-endap menuju depan pondok, di mana ke delapan bandit yang tengah tepar. Langkah keduanya begitu pelan, walau delapan orang berbadan kekar itu tidak sadarkan diri. Bukan tidak mungkin mereka tiba-tiba bangun, berhati-hati jauh lebih baik dari pada membahayakan diri mereka sendiri. "Bingwen, biar aku yang menghabisi mereka. Kamu periksalah tempat yang lain," ucap Ming. "Kamu yakin bisa menghadapi mereka semua?" tanya Bingwen. "Tentu, aku yakin bisa. Walau aku tidak sehebat dirimu, aku tidak begitu buruk bukan?" Bingwen mengangguk, dia setuju dengan perkataan Ming. Tidak mungkin Ming diangkat sebagai pelatih bagi murid baru, jika kemampuannya belum diakui oleh gurunya. Guru Bao pasti sudah melihat kemampuan Ming, dia juga sudah beberapa kali duel dengan Ming. Walau Ming selalu kalah, tapi kemampuan Ming makin meningkat. "Baiklah, aku serahkan yang di sini padamu. Aku akan melihat bagian dalam pondok." Bingwen menyerahkan belati yang dia bawa d
"Kakak!" Seru Nye Na, saat dia melihat kakak laki-lakinya datang menyelamatkannya. "Nye Na, kamu baik-baik saja bukan?"tanya Ming, dia berusaha untuk melepaskan rantai di pintu kurungan tersebut. "Aku baik-baik saja Kak, bagaimana Kakak bisa sampai di sini?" Nye Na, tidak menyangka kalau kakaknya benar-benar datang. Dia yang dari tadi sudah pasrah akan nasibnya nanti itu pun jadi merasa bersalah karena meragukan kakaknya sendiri. "Jangan bodoh, memangnya aku ini kakak yang akan meninggalkan dan membiarkan adikku dalam bahaya? Tidak akan terjadi. Aku akan mencarimu sampai ketemu, Nye Na. Kalau tidak, aku tidak akan berani bertemu dengan orang tua kita dengan tenang," ujar Ming. "Maafkan aku, Kak. Aku sempat ragu apa Kakak benar akan datang." Ming menghapus air mata yang mulai mengalir di pipi adiknya itu. "Pasti kamu sangat ketakutan bukan? Maafkan Kakak, karena terlambat datang." "Sial, ini kenapa rantainya susah dilepaskan," gerutu Ming. Lelah dia mengutak-atik rantai itu aga
"Kita gunakan kereta kuda itu saja, sepertinya masih bisa digunakan," ujar Ming. Bingwen menurut tanpa banyak bicara, prioritasnya sekarang hanya untuk membawa Mei Lin pergi dari tempat itu. Mei Lin harus segera mendapat penanganan pertama. "Biar aku yang membawa kereta kudanya, aku tahu cara mengendarai kuda." Ming meminta adik dan yang lainnya untuk memasuki gerbong kereta kuda tersebut. Ming dengan lihai mengendalikan kuda di jalan hutan itu, beruntung malam ini bulan bersinar dengan terang. Sehingga memudahkan Ming dalam membawa kereta kuda tersebut. Sementara itu Bingwen masih memangku Mei Lin yang masih memejamkan matanya, pikiran Bingwen kacau. Kejadian ini tidak akan terjadi seandainya saja dia tidak meninggalkan gadis itu sendirian. Rasa bersalah yang teramat besar hinggap di hati Bingwen. Dibelainya pipi Mei Lin yang penuh dengan memar dan lebam. "Maafkan aku, Mei Lin," bisiknya sendu. Mei Lin yang biasanya selalu mengomel dan menegurnya itu kini tidak lagi terdengar