Hari sudah semakin larut, Bingwen, Mei Lin, dan kakak perempuan Yung Yin diperbolehkan menginap di rumah Kakek Changmin. Sementara Ming, adik perempuannya, dan ketiga gadis korban culik lainnya menginap di rumah salah satu penduduk. Bingwen yang tidak bisa melelapkan matanya, akhirnya duduk termenung di teras rumah si kakek. Lamunannya entah sudah sejauh mana, hingga saat Kakek Changmin memanggilnya pun Bingwen tidak dengar. "Maaf, Kek. Saya sedang memikirkan sesuatu," ucapnya menunduk lesu. "Tidak masalah. Sepertinya juga bukan hanya satu atau dua yang kamu pikirkan, Nak." Bingwen membisu, dia tidak tahu apakah harus bercerita atau tidak. Meskipun Kakek Changmin sudah menolong Mei Lin, tapi tetap saja apa yang dia alami bukan hal yang sembarangan. "Kamu bukan orang biasa ya?" Tiba-tiba Kakek Changmin mengajukan pertanyaan yang sukses membuat Changmin tercengang. "Maksud Kakek?" tanyanya pura-pura tidak tahu akan pertanyaan dari kakek tua itu. Kakek Changmin tersenyum simpul,
Menjadi pusat perhatian tentu bukan keiinginan siapapun termasuk juga Bingwen. Dia yang masih bingung bagaimana caranya menjelaskan apa yang dia lihat, sementara semua orang yang ada di ruangan itu seakan menagih sebuah penjelasan. "Bingwen, sebenarnya apa yang kamu katakan barusan?" Kakek Changmin yang sudah menebak bahwa Bingwen memang bukan pemuda biasa, kini dia makin yakin dengan apa dugaannya. Keempat orang itu masih menatap Bingwen dengan penuh rasa penasaran yang tinggi, suasana tegang nan mencekam terasa makin kuat. Beruntung hari sudah pagi bukan lagi malam. Di saat ketegangan itu berlangsung, suara nyaring Ming yang memanggil Bingwen memecah keheningan di ruangan tersebut. "Bingwen, kamu ngapain di sini? Dari tadi aku mencarimu ke mana-mana," ucapnya. Sepuluh pasang mata itu pun langsung mengalihkan pandangannya pada Ming, yang tanpa rasa bersalah dan dengan ekspresi polosnya duduk di samping Bingwen. Tidak ada yang memulai pembicaraan, bahkan Bingwen yang diajak bica
Seperti yang telah direncanakan, ke-15 orang yang menderita wabah penyakit kulit itu semuanya dikumpulkan di satu ruangan. Bingwen dan Mei Lin, serta Kakek Changmin yang hanya diperbolehkan berada di ruangan tersebut. Hal ini sebagai syarat yang diberikan oleh Bingwen kepada Kakek Changmin. Kakek Changmin sendiri tidak mempermasalahkannya, sementara itu penduduk kampung juga mengikuti keputusan dari Kakek Changmin. Rupanya kakek tua itu memiliki pengaruh yang cukup besar. Walau bukan pemimpin di kampung itu, tapi karena Kakek Changmin adalah satu-satunya tabib yang mereka miliki. "Baiklah, semua yang sakit telah dikumpulkan di sini. Apa kita akan memulainya sekarang, Mei Lin?" tanya Bingwen. "Iya, bisa." Kerjasama Bingwen dan Mei Lin yang saling bahu membahu itu telah berhasil memurnikan hampir sebagian dari penderita wabah, masih ada tujuh orang lagi yang harus dimurnikan. Namun, Bingwen menyadari sesuatu yang lain. "Mei Lin, aku rasa yang sebelah sini tidak bisa kamu atasi," uc
Pertarungan sengit tadi kini telah berakhir, kekacauan itu sudah selesai. Bahkan kedua monster tadi setelah berhasil dikalahkan oleh Bingwen, langsung berubah menjadi debu. Nafas Bingwen terasa hampir putus, rasa lelahnya jauh lebih terasa berkali lipat dari pada pertarungannya dengan ketua bandit beberapa waktu lalu. Bingwen juga bisa mengontrol auranya, hingga hanya kekuatan Goujien saja yang dia kerahkan. Tanah yang menghitam akibat monster telah termurnikan oleh kekuatan pedang Bingwen. Kenyataan baru yang Bingwen ketahui lagi. Goujien bak pedang dengan dua bilah, satu bilah untuk membunuh sementara bilah yang lainnya untuk memurnikan energi negatif. Menyadari kenyataan terbaru itu, Bingwen mencoba untuk memurnikan seluruh kampung. Dia masih sangat yakin, orang yang merencanakan hal itu tidak mungkin hanya menanam dua cikal bakal monster, di tubuh manusia yang kosong tanpa keiinginan hidup. "Bingwen, mau ke mana?" tanya Ming yang masih membantu ketua kampung mengevakuasi par
Hari sudah menjelang siang saat rombongan Bingwen telah kembali dari hutan terlarang. Entah siapa yang menyebarkan kabar tentang dirinya, yang telah membantu penduduk kampung yang terkena dampak wabah penyakit kulit. Kedatangan Bingwen dan yang lainnya disambut suka cita oleh sebagian besar penduduk Shinmei. Mereka salut akan perjuangan Bingwen, Mei Lin, dan Ming. Tidak jarang juga ada yang memberikan Bingwen hadiah, berupa bahan makanan. "Bingwen, pasti menakutkan sekali ya kejadian itu," ucap salah satu penduduk. Bingwen hanya tersenyum tipis, dia sudah terlalu lelah. Pertarungan di hutan terlarang dan membasmi wabah penyakit kulit itu banyak memakan tenaganya. Penduduk yang masih penasaran akan kisah heroik Bingwen, masih mengerumuni Ming. Hanya Ming dan adiknya yang masih setia melayani mereka. "Kakak... Aku sangat bersyukur Kakak masih hidup," ujar Yang Yin sembari memeluk kakak perempuan yang juga anggota keluarganya yang masih tersisa. "Iya, Kakak juga t
Keesokan harinya, Yung Yin serta adiknya bersiap untuk pulang ke kampung halamannya. Walau Guru Bao dan Mei Lin meminta agar keduanya menetap lebih lama lagi, tapi Yung Yin merasa tidak enak hati karena sudah begitu banyak merepotkan mereka. "Guru, Yang Yin akan belajar pedang juga nanti." Celotehan Yang Yin disambut dengan tepuk tangan dan dukungan semangat untuk anak kecil itu. "Bagus, Yang Yin. Dengan begitu, tidak akan ada yang berani mengganggumu dan kakakmu," sahut Mei Lin. Yang Yin tiba-tiba terseipu malu, anak kecil itu kemudian bersembunyi di balik tubuh kakaknya. "Loh, kamu kenapa? Ayo keluar, kita harus pamitan agar bisa berangkat. Biar tidak kemalaman di jalan nanti," ujar sang kakak. Yang Yin yang masih belum mempersiapkan hatinya, hanya menurut saja. Dia kemudian memeluk Mei Lin dan mengatakan hal yang tidak diduga. "Kakak, kalau saya sudah besar. Saya akan menikah dengan Kakak. Kakak sangat cantik, pintar masak, dan bisa mengobati saya," ucapnya dengan lantang.
Suara serangga di malam hari begitu menenangkan hingga membuat Bingwen terlena. Dia sampai tidak mendengar panggilan Mei Lin.Gadis itu mengambil tempat di samping Bingwen. Sinar bulan malam itu pun begitu terang menyinari malam yang dingin itu. "Kamu sedang apa? Serius amat," ucap Mei Lin. Gadis itu masih belum mengetahui rencana Bingwen, seandainya dia tahu sudah pasti Mei Lin akan merengek ingin ikut dengannya. Benar-benar seperti tidak ingin terpisahkan dari Bingwen lagi. Alasan itulah yang membuat Bingwen tidak berani untuk mengatakannya pada Mei Lin. Rasa takut kehilangan gadis itu melebihi rasa takut dirinya yang terancam bahaya. Bingwen masih mengingat dengan jelas raut wajah Mei Lin yang pucat pasi, bak mayat. Tubuh Mei Lin yang dingin saat itu juga masih dapat dia rasakan. "Aku tidak ingin merasakan semua itu lagi," gumamnya. Karena tidak ada respon dari Bingwen, Mei Lin menepuk punggung pemuda itu sekeras mungkin. "Aduh! Sakit loh, Mei Lin. Kamu ini jadi gadis itu y
Suasana hati Mei Lin sungguh buruk, dari pagi tidak terlihat senyum di wajah manisnya. Iya, Mei Lin bukan tipe gadis yang memiliki paras cantik nan rupawan. Namun dia memiliki wajah yang manis, yang tidak akan membuat orang lain bosan saat melihat wajahnya itu. Apa lagi jika Mei Lin tersenyum, makin manislah gadis itu. Yang bisa membuat para pemuda terkesima dan menginginkannya. Hanya saja, untuk gadis yang tidak begitu suka menanggapi lawan jenis ketika mereka mengajaknya berkenalan. Menjadikan Mei Lin menjomblo sampai sekarang, padahal teman sebayanya sebagian besar sudah berumah tangga. Bukan hal aneh di zaman itu, anak gadis yang sudah menginjak usia 14 dan 15 tahun menikah. Bagi kebanyakan orang tua, beranggapan bahwa seorang perempuan tidak perlu untuk melakukan hal lain selain pekerjaan rumah. Karena bagi mereka, seorang perempuan hanya memiliki tugas utama dalam sebuah keluarga. Apa lagi jika bukan kasur, sumur, dan dapur. Mei Lin beruntung, sebab dia terlahir dari keluarga