Keesokan harinya, Yung Yin serta adiknya bersiap untuk pulang ke kampung halamannya. Walau Guru Bao dan Mei Lin meminta agar keduanya menetap lebih lama lagi, tapi Yung Yin merasa tidak enak hati karena sudah begitu banyak merepotkan mereka. "Guru, Yang Yin akan belajar pedang juga nanti." Celotehan Yang Yin disambut dengan tepuk tangan dan dukungan semangat untuk anak kecil itu. "Bagus, Yang Yin. Dengan begitu, tidak akan ada yang berani mengganggumu dan kakakmu," sahut Mei Lin. Yang Yin tiba-tiba terseipu malu, anak kecil itu kemudian bersembunyi di balik tubuh kakaknya. "Loh, kamu kenapa? Ayo keluar, kita harus pamitan agar bisa berangkat. Biar tidak kemalaman di jalan nanti," ujar sang kakak. Yang Yin yang masih belum mempersiapkan hatinya, hanya menurut saja. Dia kemudian memeluk Mei Lin dan mengatakan hal yang tidak diduga. "Kakak, kalau saya sudah besar. Saya akan menikah dengan Kakak. Kakak sangat cantik, pintar masak, dan bisa mengobati saya," ucapnya dengan lantang.
Suara serangga di malam hari begitu menenangkan hingga membuat Bingwen terlena. Dia sampai tidak mendengar panggilan Mei Lin.Gadis itu mengambil tempat di samping Bingwen. Sinar bulan malam itu pun begitu terang menyinari malam yang dingin itu. "Kamu sedang apa? Serius amat," ucap Mei Lin. Gadis itu masih belum mengetahui rencana Bingwen, seandainya dia tahu sudah pasti Mei Lin akan merengek ingin ikut dengannya. Benar-benar seperti tidak ingin terpisahkan dari Bingwen lagi. Alasan itulah yang membuat Bingwen tidak berani untuk mengatakannya pada Mei Lin. Rasa takut kehilangan gadis itu melebihi rasa takut dirinya yang terancam bahaya. Bingwen masih mengingat dengan jelas raut wajah Mei Lin yang pucat pasi, bak mayat. Tubuh Mei Lin yang dingin saat itu juga masih dapat dia rasakan. "Aku tidak ingin merasakan semua itu lagi," gumamnya. Karena tidak ada respon dari Bingwen, Mei Lin menepuk punggung pemuda itu sekeras mungkin. "Aduh! Sakit loh, Mei Lin. Kamu ini jadi gadis itu y
Suasana hati Mei Lin sungguh buruk, dari pagi tidak terlihat senyum di wajah manisnya. Iya, Mei Lin bukan tipe gadis yang memiliki paras cantik nan rupawan. Namun dia memiliki wajah yang manis, yang tidak akan membuat orang lain bosan saat melihat wajahnya itu. Apa lagi jika Mei Lin tersenyum, makin manislah gadis itu. Yang bisa membuat para pemuda terkesima dan menginginkannya. Hanya saja, untuk gadis yang tidak begitu suka menanggapi lawan jenis ketika mereka mengajaknya berkenalan. Menjadikan Mei Lin menjomblo sampai sekarang, padahal teman sebayanya sebagian besar sudah berumah tangga. Bukan hal aneh di zaman itu, anak gadis yang sudah menginjak usia 14 dan 15 tahun menikah. Bagi kebanyakan orang tua, beranggapan bahwa seorang perempuan tidak perlu untuk melakukan hal lain selain pekerjaan rumah. Karena bagi mereka, seorang perempuan hanya memiliki tugas utama dalam sebuah keluarga. Apa lagi jika bukan kasur, sumur, dan dapur. Mei Lin beruntung, sebab dia terlahir dari keluarga
Hari demi hari sudah Bingwen dan Ming lalui, keduanya masih belum sampai di tempat yang akan mereka tuju. Hutan demi hutan, berbagai rintangan telah mereka hadapi. Sebagian besar memang Bingwen lah yang menghadapi semuanya. Ming juga turut membantu walau tidak sebanyak yang dilakukan Bingwen. Sudah hampir dua minggu lamanya, perbekalan mereka juga semakin menipis. Beruntungnya Bingwen yang sudah pernah hidup di tengah hutan, delapan tahun silam. Hingga pengalamannya itu dapat dia manfaatkan sekarang, Bingwen yang berburu hewan buruan untuk menghemat bekal yang mereka bawa. Sementara Ming yang mengolah hewan hasil tangkapan Bingwen.Keduanya saling melengkapi kekurangan masing-masing, berharap semua jerih payah yang mereka rasakan dapat berbuah manis kedepannya. Malam itu cuaca cerah, sinar bulan purnama yang begitu terang membuat Bingwen dapat melihat bintang yang bertaburan di atas sana. Sinar bintang yang berkelap-kelip mengingatkan Bingwen akan Mei Lin. Gadis itu sangat suka meli
Bingwen dan Ming terpojok, di belakang mereka jurang yang bahkan tidak diketahui seberapa dalam seandainya mereka memilih jatuh ke bawah sana. Sementara Bingwen yang sedang mencari cara untuk melawan kedua harimau, Ming justru makin membuat suasana mencekam. "Bingwen, apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Ming yang tubuhnya sudah menggigil ketakutan. "kenapa kamu takut begini? Bukannya kamu selama ini pantang menyerah?" "Ya itu beda cerita, Bingwen. Kalai lawannya manusia aku bisa bertahan, lah ini hewan buas loh," jawab Ming. Bingwen menghela nafasnya, dia cukup kesal dengan jawaban Ming. Bukankah melawan hewan buas dan manusia sama saja? Sama-sama bertahan hidup. Bahkan yang paling menakutkan menurut Bingwen adalah manusia yang sifatnya menyerupai hewan buas. "Ya sudah, biar aku yang hadapi." Tidak mau berdebat terlalu lama, Bingwen akhirnya memilih untuk menghadapi kedua harimau tersebut.Dia jadi teringat kejadian saat dirinya meninggalkan hutan di mana dia dan Fei Hun
"Ming, kita harus kembali melanjutkan perjalanan. Sebelum hari makin gelap dan dingin," ujar Bingwen. "Kamu yakin kita tidak perlu membunuh harimau-harimau itu, Bingwen? Bagaimana jika seandainya mereka sadar dan kembali menyerang kita?" Ming sesekali masih menoleh ke tempat di mana dua harimau itu terkapar. "Tidak akan, sudah ayo cepat." Bingwen berjalan mendahului Ming, dia tidak ingin terlalu lama di tengah hutan. Jika perhitungannya benar, maka akan ada jalan yang menghubungkan dengan desa terdekat. Ming yang tidak ingin ditinggal pun langsung menyusul Bingwen, lebih baik dia menuruti apa yang Bingwen katakan. Dari pada dia harus melawan hewan buas lainnya seorang diri. "Bingwen tunggu aku!" Dengan langkah yang terburu-buru, keduanya berjalan menjauhi pedalaman hutan. Suara angin berhembus kencang membuat suasana saat itu terasa makin sunyi. Bingwen tidak menghiraukan rasa lelahnya, tujuan utamanya sekarang adalah sampai di desa terdekat dan mencari tempat untuk bermalam.
"Bingwen, lihat!" Ming menunjuk ke arah depan yang tidak jauh dari tempat mereka berada. Sebuah kereta kuda seorang bangsawan yang tengah dikepung oleh sejumlah penyamun. "Kita harus menolong mereka, Ming." Ming mengangguk, dia dan Bingwen berlari sekuat tenaga untuk segera sampai ke tempat tersebut. Suara jeritan penyamun yang ingin mengambil segala harta benda pemilik kereta kuda itu, terdengar begitu menakutkan. Jumlah total dari para penyamun adalah 10 orang, dengan tubuh mereka yang berbadan besar. Seperti kebanyakan penyamun pada umumnya, mereka mengenakan kain untuk menutupi sebagian wajahnya. "Berhenti!" seru Bingwen. "Sialan! Siapa kalian? Jangan sok menjadi pahlawan. Pergi dari sini sebelum nyawa kalian pun akan berakhir sama seperti mereka!" jawab salah satu dari penyamun itu sambil menunjuk pada prajurit-prajurit yang telah berhasil mereka tumbangkan. Panah dan luka pedang yang bersarang di tubuh prajurit-prajurit yang gugur itu menunjukkan bahwa para penyamun,
Pertarungan antara Bingwen dan para penyamun, dimenangkan oleh Bingwen. Sebenarnya Bingwen cukup kesulitan melawan mereka sekaligus, hanya saja salah satu kehebatan manusia adalah saat mereka sedang berada di ambang kematian dan terpojok maka dia akan berusaha untuk bertahan hidup. Hal ini lah yang dilakukan oleh Bingwen. Bingwen yang sudah terbiasa menghadapi segala rintangan bahkan sebelum dirinya yang sekarang, bertahan hidup hingga titik darah penghabisan menjadi hal yang wajar baginya. Bingwen memasukan kembali pedangnya ke dalam sarung pedang di pinggangnya, dia kemudian menghampiri Ming yang sudah terluka parah. Bahkan bisa dikatakan Ming ini tengah berada di ambang kematian. "Ming, kamu bisa dengar suaraku?" tanyanya, tapi tidak ada jawaban dari Ming. "Ming hampir kehila gan kesadarannya, jika tidak segera ditolong dia tidak akan bisa selamat." Bingwen mencoba menghentikan pendarahan parah di tubuh Ming. Hanya ini yang dia bisa, dia sekarang tengah bingung. Tempatnya