"Bingwen, lihat!" Ming menunjuk ke arah depan yang tidak jauh dari tempat mereka berada. Sebuah kereta kuda seorang bangsawan yang tengah dikepung oleh sejumlah penyamun. "Kita harus menolong mereka, Ming." Ming mengangguk, dia dan Bingwen berlari sekuat tenaga untuk segera sampai ke tempat tersebut. Suara jeritan penyamun yang ingin mengambil segala harta benda pemilik kereta kuda itu, terdengar begitu menakutkan. Jumlah total dari para penyamun adalah 10 orang, dengan tubuh mereka yang berbadan besar. Seperti kebanyakan penyamun pada umumnya, mereka mengenakan kain untuk menutupi sebagian wajahnya. "Berhenti!" seru Bingwen. "Sialan! Siapa kalian? Jangan sok menjadi pahlawan. Pergi dari sini sebelum nyawa kalian pun akan berakhir sama seperti mereka!" jawab salah satu dari penyamun itu sambil menunjuk pada prajurit-prajurit yang telah berhasil mereka tumbangkan. Panah dan luka pedang yang bersarang di tubuh prajurit-prajurit yang gugur itu menunjukkan bahwa para penyamun,
Pertarungan antara Bingwen dan para penyamun, dimenangkan oleh Bingwen. Sebenarnya Bingwen cukup kesulitan melawan mereka sekaligus, hanya saja salah satu kehebatan manusia adalah saat mereka sedang berada di ambang kematian dan terpojok maka dia akan berusaha untuk bertahan hidup. Hal ini lah yang dilakukan oleh Bingwen. Bingwen yang sudah terbiasa menghadapi segala rintangan bahkan sebelum dirinya yang sekarang, bertahan hidup hingga titik darah penghabisan menjadi hal yang wajar baginya. Bingwen memasukan kembali pedangnya ke dalam sarung pedang di pinggangnya, dia kemudian menghampiri Ming yang sudah terluka parah. Bahkan bisa dikatakan Ming ini tengah berada di ambang kematian. "Ming, kamu bisa dengar suaraku?" tanyanya, tapi tidak ada jawaban dari Ming. "Ming hampir kehila gan kesadarannya, jika tidak segera ditolong dia tidak akan bisa selamat." Bingwen mencoba menghentikan pendarahan parah di tubuh Ming. Hanya ini yang dia bisa, dia sekarang tengah bingung. Tempatnya
Hampir seminggu sudah Ming terbaring, racun yang ada ditubuhnya memang sudah dikeluarkan semua. Namun, efek samping dari racun itu yang membuat Ming belum menunjukkan kapan dirinya akan sadar. Bingwen yang tidak enak hati menetap di kediaman bangsawan yang telah dia selamatkan itu pun, akhirnya membuat Bingwen memutuskan untuk bekerja sebagai pengawal di saat tuan rumah yang dikenal sebagai Tuan Feng. "Terimakasih untuk kerja kerasnya hari ini, Bingwen," ucap Tuan Feng. "Anda tidak perlu mengucapkan terimakasih, Tuan. Ini sudah menjadi tugas dan kewajiban saya." Bingwen meletakkan barang bawaan Tuan Feng di ruang kerja tuannya itu. Niat hati ingin mengusut tuntas masalah virus penyakit yang sengaja disebarkan, justru dia harus tertahan terlalu lama di tempat itu. Bingwen tentu tidak bisa menyalahkan Ming. Sebab itu juga bukan kesalahan yang disengaja oleh sahabatnya tersebut. "Kamu pasti khawatir akan kondisi temanmu itu, bukan?" Tuan Feng yang peka, langsung menebak
Seperti yang diduga Bingwen, memang benar bahwa Tuan Feng akan mengadakan pesta ulang tahun untuk putri tunggalnya. Berbagai jenis hidangan tersaji di aula pertemuan. Bukan hanya kenalan Tuan Feng dari kalangan bangsawan saja yang diundang, melainkan penduduk sekitar pun turut hadir. "Tuan Feng ini, beda sekali dengan bangsawan pada umumnya ya, Bingwen." Bingwen hanya mengangguk saja, dia tidak begitu suka membicarakan orang lain. Melihat aneka makanan tersaji dengan begitu banyak, membuatnya teringat akan Mei Lin."Kamu kenapa bengong terus?" Ming yang tidak tahan dengan sifat Bingwen yang terlalu pendiam itu pun, akhirnya mengutarakan isi hatinya. "Tidak kok, aku hanya berpikir seandainya Mei Lin ada di sini juga dia pasti bisa merasakan makanan enak ini," jawab Bingwen. Ming yang mengerti akan hal itu menepuk punggung Bingwen, "Kita selesaikan misi kita, setelah itu kita kembali. Kita bisa juga sekalian bekerja. Jadi saat kita pulang, bisa bawa uang dan beli oleh-oleh untuk me
Suasana saat itu mulai gaduh,Bingwen yang tidak terima penghinaan terhadap keluarga ahli pedang. "Tuan Feng, kami tahu Anda bangsawan yang baik hati. Namun, kami rasa Anda telah salah menolong orang lain. Lihatlah anak muda ini, dia begitu tidak tahu sopan santun terhadap orang tua!""Benar, Tuan Feng. Padahal dia itu juga hanya seorang pendatang, seharusnya dia tahu diri. Bukan malah bersikap seenaknya seperti itu," sahut lainnya. Satu per satu penduduk yang tidak menyukai tindakan Bingwen mulai mengajukan protes pada Tuan Feng, atas sikap tidak sopan yang dilakukan oleh Bingwen. Mereka tidak suka atas perkataan Bingwen yang membela keluarga ahli pedang dan membantah ucapan mereka. Ketidaksukaan penduduk tersebut juga diawali oleh perlakuan baik yang kedua pendatang itu terima. "Tenang saudara-saudara, saya rasa anak muda ini tidak bermaksud buru. Saya minta maaf atas tindakannya," ucap Tuan Feng yang mencoba menengahi ketegangan di antara penduduk yang tidak menyukai Bingwen. B
Bingwen dan Ming tidak menyadari sedari tadi ada orang lain memperhatikan keduanya. Sorot mata tajam itu tak sekalipun berpaling dari keduanya, terutama Bingwen. Karena rasa peka Bingwen tinggi, pemuda mengedarkan pandangannya. Firasat Bingwen teramat kuat bahwa ada yang mengamatinya, tapi dia tidak tahu siapa orang tersebut. "Ada apa? Kenapa kamu gelisah begitu? Hei sudahlah, rileks kan dirimu sebentar saja." Ming bukan meragukan apa yang Bingwen katakan, hanya saja dia tidak ingin Bingwen dianggap aneh oleh orang lain. "Sumpah, Ming. Ada orang yang terus mengamati kita," bisik Bingwen. "Iya, aku tahu. Sekarang tidak ada lagi bukan?" tanya Ming mencoba menenangkan hati Bingwen. "Iya, kamu benar. Sudah tidak ada," jawab Bingwen dengan perasaan bersalah. Bingwen sendiri juga bingung kenapa akhir-akhir ini dia merasa bahwa ada yang berbeda dengannya. Seolah bukan dirinya yang biasanya, padahal tidak pernah sekalipun Bingwen merasa kalau dia tidak berdaya. "Aku kenap
Bingwen hampir tidak percaya dengan apa yang dia lihat, semua yabg sebelumnya tampak baik-baik saja itu kini telah porak poranda. Firasatnya selama ini benar, rasa tidak nyaman yang dia rasakan ketika bertemu pertama kali dengan putri Tuang Feng ternyata adalah ini. "Gila, jadi selama ini kita ngobrol dengan siluman?" Ming yang pertama kali mengatakan bawah Ouji Ni adalah gadis yang paling cantik, di antara banyak gadis yang dia temui. Mungkin saat ini Ming menyesali apa yang dia ucapkan dulu, semua itu terlihat jelas dari raut wajah Ming yang pucat pasih. "Kamu kenapa?" "Haa... Aku menarik kembali yang mengatakan bahwa dia gadis yang cantik," sahut Ming. Bingwen ingin saja terkekeh saat ini, tapi sayangnya situasinya tidak tepat . Dia harus membereskan siluman yang kini tengah memporak-porandakan tempat tersebut. "Gawat, Bingwen. Dia ke mari." Ming mundur beberapa langkah, dia tidak mempunyai senjata maupun kekuatan untuk melawan musuh mereka kali ini. "Mundu
"Sekarang apa yang harus kita lakukan?" tanya Ming yang bingung melihat mayat-mayat bergelimpangan. "Apa lagi? Ya tentu saja kita pergi dari sini. Untuk apa kita menetap di tempat yang sudah hancur ini," ucap Bingwen. Ming mengikuti langkah Bingwen, keduanya mengambil barang milik mereka pribadi sebelum akhirnya meninggalkan kediaman Tuan Feng yang kini tak ubahnya seperti tempat pemakaman umum. Penduduk sekitar yang mengetahui kejadian tersebut menatap takjub pada Bingwen, sebab pemuda itulah yang telah mengalahkan siluman mengerikan itu. Ketika Bingwen dan Ming hendak keluar dari pintu gerbang, seorang gadis berlari ke arah kediaman Tuan Feng. "Bingwen, dia asli?" Ming tidak ingin terkecoh untuk kesekian kalinya, dia tidak mau berasumsi kalau gadis itu adalah putri Tuan Feng yang asli.."Nona Ouji! Benarkan ini Nona?"Dayang yang bekerja di Tuan Feng, langsung menghampiri gadis itu. Sepertinya dia benar tahu bahwa gadis itu adalah putri Tuan Feng yang asli.."Di mana Ayah? Apa