Bingwen dan Ming tidak menyadari sedari tadi ada orang lain memperhatikan keduanya. Sorot mata tajam itu tak sekalipun berpaling dari keduanya, terutama Bingwen. Karena rasa peka Bingwen tinggi, pemuda mengedarkan pandangannya. Firasat Bingwen teramat kuat bahwa ada yang mengamatinya, tapi dia tidak tahu siapa orang tersebut. "Ada apa? Kenapa kamu gelisah begitu? Hei sudahlah, rileks kan dirimu sebentar saja." Ming bukan meragukan apa yang Bingwen katakan, hanya saja dia tidak ingin Bingwen dianggap aneh oleh orang lain. "Sumpah, Ming. Ada orang yang terus mengamati kita," bisik Bingwen. "Iya, aku tahu. Sekarang tidak ada lagi bukan?" tanya Ming mencoba menenangkan hati Bingwen. "Iya, kamu benar. Sudah tidak ada," jawab Bingwen dengan perasaan bersalah. Bingwen sendiri juga bingung kenapa akhir-akhir ini dia merasa bahwa ada yang berbeda dengannya. Seolah bukan dirinya yang biasanya, padahal tidak pernah sekalipun Bingwen merasa kalau dia tidak berdaya. "Aku kenap
Bingwen hampir tidak percaya dengan apa yang dia lihat, semua yabg sebelumnya tampak baik-baik saja itu kini telah porak poranda. Firasatnya selama ini benar, rasa tidak nyaman yang dia rasakan ketika bertemu pertama kali dengan putri Tuang Feng ternyata adalah ini. "Gila, jadi selama ini kita ngobrol dengan siluman?" Ming yang pertama kali mengatakan bawah Ouji Ni adalah gadis yang paling cantik, di antara banyak gadis yang dia temui. Mungkin saat ini Ming menyesali apa yang dia ucapkan dulu, semua itu terlihat jelas dari raut wajah Ming yang pucat pasih. "Kamu kenapa?" "Haa... Aku menarik kembali yang mengatakan bahwa dia gadis yang cantik," sahut Ming. Bingwen ingin saja terkekeh saat ini, tapi sayangnya situasinya tidak tepat . Dia harus membereskan siluman yang kini tengah memporak-porandakan tempat tersebut. "Gawat, Bingwen. Dia ke mari." Ming mundur beberapa langkah, dia tidak mempunyai senjata maupun kekuatan untuk melawan musuh mereka kali ini. "Mundu
"Sekarang apa yang harus kita lakukan?" tanya Ming yang bingung melihat mayat-mayat bergelimpangan. "Apa lagi? Ya tentu saja kita pergi dari sini. Untuk apa kita menetap di tempat yang sudah hancur ini," ucap Bingwen. Ming mengikuti langkah Bingwen, keduanya mengambil barang milik mereka pribadi sebelum akhirnya meninggalkan kediaman Tuan Feng yang kini tak ubahnya seperti tempat pemakaman umum. Penduduk sekitar yang mengetahui kejadian tersebut menatap takjub pada Bingwen, sebab pemuda itulah yang telah mengalahkan siluman mengerikan itu. Ketika Bingwen dan Ming hendak keluar dari pintu gerbang, seorang gadis berlari ke arah kediaman Tuan Feng. "Bingwen, dia asli?" Ming tidak ingin terkecoh untuk kesekian kalinya, dia tidak mau berasumsi kalau gadis itu adalah putri Tuan Feng yang asli.."Nona Ouji! Benarkan ini Nona?"Dayang yang bekerja di Tuan Feng, langsung menghampiri gadis itu. Sepertinya dia benar tahu bahwa gadis itu adalah putri Tuan Feng yang asli.."Di mana Ayah? Apa
Bingwen dan Ming berhasil mengelabuhi mata-mata yang dari tadi membututi keduanya, berkat ide yang dibisikkan Bingwen. Bingwen dan Ming sebelumnya merencanakan untuk berpisah di tengah jalan, demi mengecohkan mata-mata tersebut. Beruntunglah malam itu bulan tidak tampak di permukaan, sehingga rencana mereka berjalan dengan lancar. Sesuai apa yang Bingwen duga, mata-mata itu memang menargetkan dirinya. Buktinya ketika dia meminta Ming agar berjalan ke arah yang berlawanan dengannya dan Bingwen berpura-pura masih bersama dengan Ming. Sepanjang jalan itu memang Bingwen selalu mengajak Ming berbincang, padahal tentunya Ming tidak menjawab sama sekali. Itu artinya mata-mata yang mengikutinya ini bukanlah mata-mata yang handal, atau mereka bahkan tidak tahu jika Bingwen dan Ming tidak berada dalam satu tempat. Setelah berhasil mengecoh mata-mata tadi menuju arah yang seharusnya, Bingwen pun mencari keberadaan Ming. Kondisi Ming belum lah pulih sepenuhnya, jika saja hari ini tidak ada
Sinar mentari membangunkan Bingwen dari lelapnya,Semalaman dia tidak bisa tidur karena harus berjaga, dia tidak bisa mengambil resiko adanya mata-mata yang kembali mengintai.Namun, Bingwen bersyukur setidaknya untuk sementara waktu dia bisa bernapas lega. Mata-mata kemarin tidak menunjukkan dirinya. "Bingwen, cepat sekali kamu bangun? Semalam kamu tidak tidur?" Ming yang baru membuka matanya itu terkejut saat Bingwen sudah pun membakar ubi jalar hutan."Makanlah, setelah ini kita akan ke perkampungan." Ming mengambil ubi yang disodorkan Bingwen. Persetan dengan cuci muka, perutnya sekarang jauh lebih penting. Setelah menghabiskan ubi, Ming dan Bingwen pun kembali melanjutkan perjalanan. Mereka tidak memiliki uang sepeserpun, sehingga mereka harus bekerja dulu di kampung terdekat. Menjadi kuli panggul di pasar ataupun pekerjaan lainnya. Kampung yang mereka kunjungi ini cukup bersahabat, penduduknya tidak saling berbisik. Sangat beda dengan penduduk kampung di mana mereka tinggal s
"Rupanya kamu kabur di sini?" Ni Me yang menyadari akan keberadaan Bingwen langsung berjalan ke arahnya. "Pantas saja aku tidak pernah melihatmu belakangan ini. Kamu bekerja sebagai pelayan? Ya memang cocok pekerjaan ini untuk pecundang sepertimu," ucap Ni Me. Ni Me bahkan meludah tepat di wajah Bingwen, kegaduhan tidak terelakan saat itu. Pemilik kedai meminta maaf pada Ni Me dan memohon agar Ni Me tidak menghancurkan mata pencahariannya. "Kamu lihat itu, Bingwen? Dimanapun kamu berada, kamu hanya menjadi benalu bagi orang lain." Ni tanpa banyak pikir lagi lalu menyeret paksa Bingwen, dia ingin kembali mengulang perbuatan yang pernah dia lakukan dulu kala. "Duh, kenapa bisa ketemu dengan mereka sekarang? Jadi sebenarnya dua orang itu masih hidup? Kupikir sudah mati, karena mereka menghilang begitu saja setelah peristiwa penyerangan waktu itu," gumam Ming. Ming yang tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa Bingwen, dia pun langsung menyusul Bingwen dan Ni Me. "Lepaskan aku, Ni M
Bingwen bertanya, "Haruskah aku tidak meladeninya ketika dia saja sudah bersikap keterlaluan?" Ming dapat menebak apa yang ada didalam hati Bingwen saat ini. Amarah yang sudah lama dia pendam. Apa lagi Ni Me dan Ni Lou masih terus mengusiknya. "Aku paham apa yang kamu pikirkan, Bingwen. Namun, coba kamu pikir lagi, berurusan dengan mereka tidak akan berakhir baik." Ming tidak bisa mencegah Bingwen jika memang Bingwen sudah memutuskan untuk melawan Ni Me, dia hanya tidak ingin keadaan semakin runyam. Bingwen tidak menjawab pun juga dia tidak berpindah tempat. Menyaksikan Bingwen dan Ming terus bergumam, Ni Me naik darah. "Ngapain kalian bisik-bisik? Kalau mau kabur ya kabur saja sana. Jangan banyak alasan. Dasar pengecut!" Ni Me yang memang tipe orang dengan sumbu pendek itu pun langsung mengarahkan tinjunya ke arah Bingwen. Pukulan yang tiba-tiba itu biasanya akan langsung mengenai sasaran, tapi itu dulu. Ketika Bingwen masih belum bisa melakukan apapun dan hanya m
"Oh, jadi kamu juga mau berlagak seperti pahlawan?" tanya Ni Lou yang kesal akan kehadiran Ming. "Kenapa tidak?" Ming yang memang sudah punya dendam kesumat dengan Ni Lou pun mulai mengambil ancang-ancang. Pertempuran kini makin memanas, ketika Bingwen melawan Ni Me dan Ni Lou melawan Ming. Tidak ada yang berani menghentikan pertempuran tersebut. Pasalnya aura di sekitar mereka terasa berbeda. "Yakin nih kita tidak perlu memanggil pengawas?" "Tidak usah, lagian kamu memangnya tidak merasa itu, udara di sana terasa jauh lebih panas?" "Kamu benar juga." Begitulah isi percakapan beberapa penduduk yang saat itu sedang menonton pertarungan keempat lelaki itu. Aura atau kondisi keadaan di sekitar Bingwen terasa panas, itu karena Bingwen memang sedang mengontrol kekuatan pedangnya agar tidak keluar melebihi batas. Bukan karena Bingwen tidak ingin langsung mengalahkan Ni Me, hanya saja banyak penduduk kampung yang ada di sana. Bingwen tidak ingin mereka juga terkena dampak dari kekua