Pertarungan masih terus berlanjut, hingga keempatnya hampir kehabisan tenaga. Bingwen bisa saja menggunakan kekuatan pedangnya, tapi situasi saat ini tidak memungkinkannya untuk melakukan hal tersebut. Pertempuran itu terhenti ketika seorang prajurit datang dan melerai mereka. Salah seorang prajurit terlihat berbicara dengan Ni Lou, entah apa yang mereka perbincangkan hingga akhirnya Ni Lou dan Ni Mei memutuskan untuk pergi dari tempat tersebut. "Tunggu pembalasanku, Bingwen. Pertarungan kita belum selesai!" ancamnya sebelum beranjak melewati Bingwen. Bingwen tidak menjawab, dia hanya menatap punggung Ni Lou. Ada perasaan bangga sebab dia yang selama ini tidak pernah bisa melawan Ni Lou dan Ni Mei, sekarang dia bukan hanya bertahan tapi juga menyerang balik dua orang yang pernah membuat masa kecilnya menderita. Bingwen berjalan dan membantu Ming berdiri, temannya itu mengalami beberapa luka di lengan dan wajahnya. "Kita pergi dari sini setelah mengobati lukamu, Ming," ucap Bingwe
Mendengar cerita yang disampaikan oleh pemilik kedai, membuat Bingwen makin yakin bahwa ada yang sengaja dalam menyebarkan penyakit menular tersebut. Dan jika tebakannya juga benar, maka si pelaku menggunakan ilmu sihir hitam yang terlarang. Meski Bingwen belum pernah mempelajari ilmu sihir, tapi dia ingat akan cerita Fei Hung yang mengatakan bahwa di dunia ini ada dua jenis ilmu sihir. Yang pertama sihir hitam dan sihir putih. Sihir hitam biasanya digunakan oleh para penganutnya untuk melakukan tindakan yang terlarang. Jika sudah berhubungan dengan sihir hitam, maka semuanya menjadi mungkin. Bahkan menurut Fei Hung, ada juga sihir yang membangkitkan orang yang sudah mati. Sihir ini termasuk sihir hitam paling tinggi, di mana si penganut berusaha menentang hukum alam. "Bingwen, sekarang kita harus gimana? Jangkauan yang harus kita selidiki makin luas. Kita juga tidak tahu harus mulai dari mana lagi," tutur Ming."Jangan khawatir, Ming. Aku tahu kita harus ke mana." Bingwen dan Min
Perjalanan menuju tempat Fei Hung ternyata tidak semudah itu, banyak rintangan yang harus Bingwen dan Ming lalui. Hutan belantara dengan segala binatang buasnya, terkadang ada juga jebakan yang dibuat manusia yang berburu. Sudah setengah hari keduanya menyusuri hutan, tapi lokasi kerajaan peri itu masih juga belum terlihat. Hingga keduanya kelelahan dan memutuskan untuk beristirahat sejenak."Kamu yakin tempat yang akan kita tuju ini berada di jalan ini?" tanya Ming yang mulai berputus asa. "Iya, seiingatku Fei Hung pernah bilang kalau penghubung antara kerajaannya dan dunia manusia ada di sekitar hutan ini," ucap Bingwen. Ming tidak bisa berbuat apapun lagi jika memang itu yang Bingwen yakini, setidaknya jika Bingwen begitu yakin itu artinya ada kemungkinan bahwa kerajaan peri memang ada dan nyata. Bukan hanya sekedar dongeng anak-anak semata. "Tapi, Bingwen, aku jadi penasaran," kata Ming. "Penasaran kenapa?""Dari mana kamu kenal dengan peri itu? Siapa namanya? Fai Hung?""Fei
Kabut tebal menyambut perjalanan Bingwen dan Ming kali ini, keduanya bahkan tidak bisa bergerak sembarang jika ingin selamat. Hutan belantara itu yang awalnya sudah sangat sulit ditaklukkan, kini makin menjadi seperti medan perang. "Apa yang harus kita lakukan, Bingwen? Kalau begini terus, jangankan menemukan kerajaan peri. Yang ada malah kita akan tersesat dan menjadi makanan binatang buas," ujar Ming. "Jangan menyerah begitu, kita datang ke sini memiliki niat yang baik. Pasti ada jalan. Dan jangan pernah berpikiran buruk ketika kita sedang berada di tempat seperti ini," sahut Bingwen.Bingwen bukan tidak mengerti akan kebimbangan yang Ming alami, hanya saja menyerah ketika sudah melewati perjalanan jauh dan menantang itu tentu bukan pilihan yang bijak. Akhirnya, Bingwen memutuskan untuk menggunakan kekuatannya. Indera penglihatannya dia pertajam, hingga walau setebal apapun kabut yang menghadang jalannya, dia bisa berjalan tanpa kesulitan. "Bingwen, entah kenapa matamu kok berb
"B-bingwen ... kenapa kamu berhenti?" tanya Ming yang gugup sebab Bingwen tiba-tiba berhenti begitu saja. Firasat Ming seketika langsung buruk, dia tidak yakin apakah Bingwen merasakan hal yang sama. "Ming, kita telah sampai.""Hah? Maksudmu?" "Kita telah tiba di kerajaan para peri," ujar Bingwen. Ming pun langsung mengedarkan pandangannya, memastikan apa yang dia dengar bukan hanya halusinasinya saja. "Haaa ... jadi negeri para peri itu benar adanya? Bukan hanya kisah dongeng belaka?" gumam Ming setelah dia melihat perbedaan yang ketara dari suasana di dunia manusia. "Gimana bisa, Bingwen?" tanya Ming lagi. Dia masih bingung kenapa tiba-tiba sudah pindah tempat begitu saja, padahal terakhir kali yang dilihat Ming hanyalah luasnya hutan belantara yang tertutup kabut tebal. Bingwen tidak menjawab pertanyaan temannya itu, sebab memang hanya dirinya saja yang dapat melihat bahwa mereka telah melewati garis ruang dan waktu. Jikalau pun Bingwen menceritakannya pada Ming, Ming pasti
"Jadi, apa yang membawamu ke sini?" tanya Fei Hung tanpa berbasa-basi. Kedatangan Bingwen saja sudah membuatnya penasaran Bagaimana bisa Bingwen menemukan portal menuju dunia para peri? Sementara hanya mereka yang keturunan peri dan orang tertentu saja yang diizinkan melewati portal tersebut. "Apa karena dia keturunan terakhir dari keluarga ahli pedang itu?" tanya Fei Hung dalam hatinya. Fei Hung tidak bisa meyakinkan dirinya akan pertanyaannya itu, meski benar apa yang menjadi alasan Bingwen bisa melewati portal yang memisahkan antara dunia manusia dan dunia peri adalah karena hal itu. Tentu hal tersebut juga tidak bisa diterima, sebab keluarga ahli pedang itu bahkan belum pernah ada yang menginjakkan kaki di tanah para peri. Lamunan Fei Hung buyar ketika Bingwen memanggil namanya dengan suara lantang. "Jangan teriak-teriak begitu, aku tidak tuli," ketus Fei Hung. Bingwen terkekeh melihat wajah kesal Fei Hung dan berkata, "Tingkahmu tidak ada yang berubah, Fei Hung.
"Jadi? Kenapa dua manusia ini bisa ada di wilayah kekuasaan kita?" tanya Fei Zhi yang masih tidak suka akan kedatangan Bingwen dan Ming. Bingwen tidak gentar sedikitpun dengan tekanan yang diberikan oleh kakak laki-laki Fei Hung. Di saat Ming ketakutan dan tidak bisa berbicara dengan benar, Bingwen justru tersenyum saja melihat kelakuan Ming. "Apa yang kamu lakukan? Beginikah sikap manusia tidak tahu diri yang tiba-tiba muncul tanpa pemberitahuan terlebih dahulu? Apa kamu kira aku ini badut yang bisa kamu tertawakan seperti itu?" Fei Zhi makin kesal akan tingkah lamu Bingwen yang disangka untuknya, padahal tidak demikian. "Oh, maafkan saya, Tuan. Saya tidak bermaksud demikian. Saya tidak menertawakan Anda, tapi pada teman saya ini. Padahal dia anak yang cerewet, tapi sekarang dia bahkan tidak bisa berkata sepatah kata pun," tutur Bingwen. Bingwen tidak mau memberi kesan buruk pada orang yang mungkin membantunya, makanya dia sebisa mungkin memperhatikan kalimat yang dia ucapk
Raja Fei Gu, terdiam untuk beberapa saat. Sebab apa yang ditanyakan Bingwen bukan menjadi tanggung jawabnya. Ada batas yang tidak boleh dilanggar, meski penyihir hitam dan para peri tidak saling hidup berdampingan. Selagi kelompok penyihir hitam tersebut tidak melakukan kesalahan atau mengganggu bangsa peri terlebih dahulu, maka Raja Fei Gu juga tidak akan memulai duluan. "Katakan apakah yang kamu tanyakan ini berhubungan dengan kerjaan peri. Sebab apa yang kamu tanyakan itu murni berhubungan dengan manusia saja, tidak ada sangkut pautnya dengan bangsa peri," ujar Raja Fei Gu. Tergambar raut kekecewaan dan kesedihan di wajah Bingwen. Ketika harapan yang dia yakini telah dipatahkan langsung oleh sang raja. Menyadari suasana hati Bingwen yang langsung gelap, Fei Hung berjalan ke arah tahta ayahnya. "Ayah, izinkan saya berbicara sebentar dengan Ayah." Fei Hung tidak mengatakan dengan suara latang, sebab apa yang akan dia katakan adalah sebuah rahasia besar. Sesudah Fei Hung berbisik