"Rupanya kamu kabur di sini?" Ni Me yang menyadari akan keberadaan Bingwen langsung berjalan ke arahnya. "Pantas saja aku tidak pernah melihatmu belakangan ini. Kamu bekerja sebagai pelayan? Ya memang cocok pekerjaan ini untuk pecundang sepertimu," ucap Ni Me. Ni Me bahkan meludah tepat di wajah Bingwen, kegaduhan tidak terelakan saat itu. Pemilik kedai meminta maaf pada Ni Me dan memohon agar Ni Me tidak menghancurkan mata pencahariannya. "Kamu lihat itu, Bingwen? Dimanapun kamu berada, kamu hanya menjadi benalu bagi orang lain." Ni tanpa banyak pikir lagi lalu menyeret paksa Bingwen, dia ingin kembali mengulang perbuatan yang pernah dia lakukan dulu kala. "Duh, kenapa bisa ketemu dengan mereka sekarang? Jadi sebenarnya dua orang itu masih hidup? Kupikir sudah mati, karena mereka menghilang begitu saja setelah peristiwa penyerangan waktu itu," gumam Ming. Ming yang tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa Bingwen, dia pun langsung menyusul Bingwen dan Ni Me. "Lepaskan aku, Ni M
Bingwen bertanya, "Haruskah aku tidak meladeninya ketika dia saja sudah bersikap keterlaluan?" Ming dapat menebak apa yang ada didalam hati Bingwen saat ini. Amarah yang sudah lama dia pendam. Apa lagi Ni Me dan Ni Lou masih terus mengusiknya. "Aku paham apa yang kamu pikirkan, Bingwen. Namun, coba kamu pikir lagi, berurusan dengan mereka tidak akan berakhir baik." Ming tidak bisa mencegah Bingwen jika memang Bingwen sudah memutuskan untuk melawan Ni Me, dia hanya tidak ingin keadaan semakin runyam. Bingwen tidak menjawab pun juga dia tidak berpindah tempat. Menyaksikan Bingwen dan Ming terus bergumam, Ni Me naik darah. "Ngapain kalian bisik-bisik? Kalau mau kabur ya kabur saja sana. Jangan banyak alasan. Dasar pengecut!" Ni Me yang memang tipe orang dengan sumbu pendek itu pun langsung mengarahkan tinjunya ke arah Bingwen. Pukulan yang tiba-tiba itu biasanya akan langsung mengenai sasaran, tapi itu dulu. Ketika Bingwen masih belum bisa melakukan apapun dan hanya m
"Oh, jadi kamu juga mau berlagak seperti pahlawan?" tanya Ni Lou yang kesal akan kehadiran Ming. "Kenapa tidak?" Ming yang memang sudah punya dendam kesumat dengan Ni Lou pun mulai mengambil ancang-ancang. Pertempuran kini makin memanas, ketika Bingwen melawan Ni Me dan Ni Lou melawan Ming. Tidak ada yang berani menghentikan pertempuran tersebut. Pasalnya aura di sekitar mereka terasa berbeda. "Yakin nih kita tidak perlu memanggil pengawas?" "Tidak usah, lagian kamu memangnya tidak merasa itu, udara di sana terasa jauh lebih panas?" "Kamu benar juga." Begitulah isi percakapan beberapa penduduk yang saat itu sedang menonton pertarungan keempat lelaki itu. Aura atau kondisi keadaan di sekitar Bingwen terasa panas, itu karena Bingwen memang sedang mengontrol kekuatan pedangnya agar tidak keluar melebihi batas. Bukan karena Bingwen tidak ingin langsung mengalahkan Ni Me, hanya saja banyak penduduk kampung yang ada di sana. Bingwen tidak ingin mereka juga terkena dampak dari kekua
Pertarungan masih terus berlanjut, hingga keempatnya hampir kehabisan tenaga. Bingwen bisa saja menggunakan kekuatan pedangnya, tapi situasi saat ini tidak memungkinkannya untuk melakukan hal tersebut. Pertempuran itu terhenti ketika seorang prajurit datang dan melerai mereka. Salah seorang prajurit terlihat berbicara dengan Ni Lou, entah apa yang mereka perbincangkan hingga akhirnya Ni Lou dan Ni Mei memutuskan untuk pergi dari tempat tersebut. "Tunggu pembalasanku, Bingwen. Pertarungan kita belum selesai!" ancamnya sebelum beranjak melewati Bingwen. Bingwen tidak menjawab, dia hanya menatap punggung Ni Lou. Ada perasaan bangga sebab dia yang selama ini tidak pernah bisa melawan Ni Lou dan Ni Mei, sekarang dia bukan hanya bertahan tapi juga menyerang balik dua orang yang pernah membuat masa kecilnya menderita. Bingwen berjalan dan membantu Ming berdiri, temannya itu mengalami beberapa luka di lengan dan wajahnya. "Kita pergi dari sini setelah mengobati lukamu, Ming," ucap Bingwe
Mendengar cerita yang disampaikan oleh pemilik kedai, membuat Bingwen makin yakin bahwa ada yang sengaja dalam menyebarkan penyakit menular tersebut. Dan jika tebakannya juga benar, maka si pelaku menggunakan ilmu sihir hitam yang terlarang. Meski Bingwen belum pernah mempelajari ilmu sihir, tapi dia ingat akan cerita Fei Hung yang mengatakan bahwa di dunia ini ada dua jenis ilmu sihir. Yang pertama sihir hitam dan sihir putih. Sihir hitam biasanya digunakan oleh para penganutnya untuk melakukan tindakan yang terlarang. Jika sudah berhubungan dengan sihir hitam, maka semuanya menjadi mungkin. Bahkan menurut Fei Hung, ada juga sihir yang membangkitkan orang yang sudah mati. Sihir ini termasuk sihir hitam paling tinggi, di mana si penganut berusaha menentang hukum alam. "Bingwen, sekarang kita harus gimana? Jangkauan yang harus kita selidiki makin luas. Kita juga tidak tahu harus mulai dari mana lagi," tutur Ming."Jangan khawatir, Ming. Aku tahu kita harus ke mana." Bingwen dan Min
Perjalanan menuju tempat Fei Hung ternyata tidak semudah itu, banyak rintangan yang harus Bingwen dan Ming lalui. Hutan belantara dengan segala binatang buasnya, terkadang ada juga jebakan yang dibuat manusia yang berburu. Sudah setengah hari keduanya menyusuri hutan, tapi lokasi kerajaan peri itu masih juga belum terlihat. Hingga keduanya kelelahan dan memutuskan untuk beristirahat sejenak."Kamu yakin tempat yang akan kita tuju ini berada di jalan ini?" tanya Ming yang mulai berputus asa. "Iya, seiingatku Fei Hung pernah bilang kalau penghubung antara kerajaannya dan dunia manusia ada di sekitar hutan ini," ucap Bingwen. Ming tidak bisa berbuat apapun lagi jika memang itu yang Bingwen yakini, setidaknya jika Bingwen begitu yakin itu artinya ada kemungkinan bahwa kerajaan peri memang ada dan nyata. Bukan hanya sekedar dongeng anak-anak semata. "Tapi, Bingwen, aku jadi penasaran," kata Ming. "Penasaran kenapa?""Dari mana kamu kenal dengan peri itu? Siapa namanya? Fai Hung?""Fei
Kabut tebal menyambut perjalanan Bingwen dan Ming kali ini, keduanya bahkan tidak bisa bergerak sembarang jika ingin selamat. Hutan belantara itu yang awalnya sudah sangat sulit ditaklukkan, kini makin menjadi seperti medan perang. "Apa yang harus kita lakukan, Bingwen? Kalau begini terus, jangankan menemukan kerajaan peri. Yang ada malah kita akan tersesat dan menjadi makanan binatang buas," ujar Ming. "Jangan menyerah begitu, kita datang ke sini memiliki niat yang baik. Pasti ada jalan. Dan jangan pernah berpikiran buruk ketika kita sedang berada di tempat seperti ini," sahut Bingwen.Bingwen bukan tidak mengerti akan kebimbangan yang Ming alami, hanya saja menyerah ketika sudah melewati perjalanan jauh dan menantang itu tentu bukan pilihan yang bijak. Akhirnya, Bingwen memutuskan untuk menggunakan kekuatannya. Indera penglihatannya dia pertajam, hingga walau setebal apapun kabut yang menghadang jalannya, dia bisa berjalan tanpa kesulitan. "Bingwen, entah kenapa matamu kok berb
"B-bingwen ... kenapa kamu berhenti?" tanya Ming yang gugup sebab Bingwen tiba-tiba berhenti begitu saja. Firasat Ming seketika langsung buruk, dia tidak yakin apakah Bingwen merasakan hal yang sama. "Ming, kita telah sampai.""Hah? Maksudmu?" "Kita telah tiba di kerajaan para peri," ujar Bingwen. Ming pun langsung mengedarkan pandangannya, memastikan apa yang dia dengar bukan hanya halusinasinya saja. "Haaa ... jadi negeri para peri itu benar adanya? Bukan hanya kisah dongeng belaka?" gumam Ming setelah dia melihat perbedaan yang ketara dari suasana di dunia manusia. "Gimana bisa, Bingwen?" tanya Ming lagi. Dia masih bingung kenapa tiba-tiba sudah pindah tempat begitu saja, padahal terakhir kali yang dilihat Ming hanyalah luasnya hutan belantara yang tertutup kabut tebal. Bingwen tidak menjawab pertanyaan temannya itu, sebab memang hanya dirinya saja yang dapat melihat bahwa mereka telah melewati garis ruang dan waktu. Jikalau pun Bingwen menceritakannya pada Ming, Ming pasti