Hari sudah menjelang siang saat rombongan Bingwen telah kembali dari hutan terlarang. Entah siapa yang menyebarkan kabar tentang dirinya, yang telah membantu penduduk kampung yang terkena dampak wabah penyakit kulit. Kedatangan Bingwen dan yang lainnya disambut suka cita oleh sebagian besar penduduk Shinmei. Mereka salut akan perjuangan Bingwen, Mei Lin, dan Ming. Tidak jarang juga ada yang memberikan Bingwen hadiah, berupa bahan makanan. "Bingwen, pasti menakutkan sekali ya kejadian itu," ucap salah satu penduduk. Bingwen hanya tersenyum tipis, dia sudah terlalu lelah. Pertarungan di hutan terlarang dan membasmi wabah penyakit kulit itu banyak memakan tenaganya. Penduduk yang masih penasaran akan kisah heroik Bingwen, masih mengerumuni Ming. Hanya Ming dan adiknya yang masih setia melayani mereka. "Kakak... Aku sangat bersyukur Kakak masih hidup," ujar Yang Yin sembari memeluk kakak perempuan yang juga anggota keluarganya yang masih tersisa. "Iya, Kakak juga t
Keesokan harinya, Yung Yin serta adiknya bersiap untuk pulang ke kampung halamannya. Walau Guru Bao dan Mei Lin meminta agar keduanya menetap lebih lama lagi, tapi Yung Yin merasa tidak enak hati karena sudah begitu banyak merepotkan mereka. "Guru, Yang Yin akan belajar pedang juga nanti." Celotehan Yang Yin disambut dengan tepuk tangan dan dukungan semangat untuk anak kecil itu. "Bagus, Yang Yin. Dengan begitu, tidak akan ada yang berani mengganggumu dan kakakmu," sahut Mei Lin. Yang Yin tiba-tiba terseipu malu, anak kecil itu kemudian bersembunyi di balik tubuh kakaknya. "Loh, kamu kenapa? Ayo keluar, kita harus pamitan agar bisa berangkat. Biar tidak kemalaman di jalan nanti," ujar sang kakak. Yang Yin yang masih belum mempersiapkan hatinya, hanya menurut saja. Dia kemudian memeluk Mei Lin dan mengatakan hal yang tidak diduga. "Kakak, kalau saya sudah besar. Saya akan menikah dengan Kakak. Kakak sangat cantik, pintar masak, dan bisa mengobati saya," ucapnya dengan lantang.
Suara serangga di malam hari begitu menenangkan hingga membuat Bingwen terlena. Dia sampai tidak mendengar panggilan Mei Lin.Gadis itu mengambil tempat di samping Bingwen. Sinar bulan malam itu pun begitu terang menyinari malam yang dingin itu. "Kamu sedang apa? Serius amat," ucap Mei Lin. Gadis itu masih belum mengetahui rencana Bingwen, seandainya dia tahu sudah pasti Mei Lin akan merengek ingin ikut dengannya. Benar-benar seperti tidak ingin terpisahkan dari Bingwen lagi. Alasan itulah yang membuat Bingwen tidak berani untuk mengatakannya pada Mei Lin. Rasa takut kehilangan gadis itu melebihi rasa takut dirinya yang terancam bahaya. Bingwen masih mengingat dengan jelas raut wajah Mei Lin yang pucat pasi, bak mayat. Tubuh Mei Lin yang dingin saat itu juga masih dapat dia rasakan. "Aku tidak ingin merasakan semua itu lagi," gumamnya. Karena tidak ada respon dari Bingwen, Mei Lin menepuk punggung pemuda itu sekeras mungkin. "Aduh! Sakit loh, Mei Lin. Kamu ini jadi gadis itu y
Suasana hati Mei Lin sungguh buruk, dari pagi tidak terlihat senyum di wajah manisnya. Iya, Mei Lin bukan tipe gadis yang memiliki paras cantik nan rupawan. Namun dia memiliki wajah yang manis, yang tidak akan membuat orang lain bosan saat melihat wajahnya itu. Apa lagi jika Mei Lin tersenyum, makin manislah gadis itu. Yang bisa membuat para pemuda terkesima dan menginginkannya. Hanya saja, untuk gadis yang tidak begitu suka menanggapi lawan jenis ketika mereka mengajaknya berkenalan. Menjadikan Mei Lin menjomblo sampai sekarang, padahal teman sebayanya sebagian besar sudah berumah tangga. Bukan hal aneh di zaman itu, anak gadis yang sudah menginjak usia 14 dan 15 tahun menikah. Bagi kebanyakan orang tua, beranggapan bahwa seorang perempuan tidak perlu untuk melakukan hal lain selain pekerjaan rumah. Karena bagi mereka, seorang perempuan hanya memiliki tugas utama dalam sebuah keluarga. Apa lagi jika bukan kasur, sumur, dan dapur. Mei Lin beruntung, sebab dia terlahir dari keluarga
Hari demi hari sudah Bingwen dan Ming lalui, keduanya masih belum sampai di tempat yang akan mereka tuju. Hutan demi hutan, berbagai rintangan telah mereka hadapi. Sebagian besar memang Bingwen lah yang menghadapi semuanya. Ming juga turut membantu walau tidak sebanyak yang dilakukan Bingwen. Sudah hampir dua minggu lamanya, perbekalan mereka juga semakin menipis. Beruntungnya Bingwen yang sudah pernah hidup di tengah hutan, delapan tahun silam. Hingga pengalamannya itu dapat dia manfaatkan sekarang, Bingwen yang berburu hewan buruan untuk menghemat bekal yang mereka bawa. Sementara Ming yang mengolah hewan hasil tangkapan Bingwen.Keduanya saling melengkapi kekurangan masing-masing, berharap semua jerih payah yang mereka rasakan dapat berbuah manis kedepannya. Malam itu cuaca cerah, sinar bulan purnama yang begitu terang membuat Bingwen dapat melihat bintang yang bertaburan di atas sana. Sinar bintang yang berkelap-kelip mengingatkan Bingwen akan Mei Lin. Gadis itu sangat suka meli
Bingwen dan Ming terpojok, di belakang mereka jurang yang bahkan tidak diketahui seberapa dalam seandainya mereka memilih jatuh ke bawah sana. Sementara Bingwen yang sedang mencari cara untuk melawan kedua harimau, Ming justru makin membuat suasana mencekam. "Bingwen, apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Ming yang tubuhnya sudah menggigil ketakutan. "kenapa kamu takut begini? Bukannya kamu selama ini pantang menyerah?" "Ya itu beda cerita, Bingwen. Kalai lawannya manusia aku bisa bertahan, lah ini hewan buas loh," jawab Ming. Bingwen menghela nafasnya, dia cukup kesal dengan jawaban Ming. Bukankah melawan hewan buas dan manusia sama saja? Sama-sama bertahan hidup. Bahkan yang paling menakutkan menurut Bingwen adalah manusia yang sifatnya menyerupai hewan buas. "Ya sudah, biar aku yang hadapi." Tidak mau berdebat terlalu lama, Bingwen akhirnya memilih untuk menghadapi kedua harimau tersebut.Dia jadi teringat kejadian saat dirinya meninggalkan hutan di mana dia dan Fei Hun
"Ming, kita harus kembali melanjutkan perjalanan. Sebelum hari makin gelap dan dingin," ujar Bingwen. "Kamu yakin kita tidak perlu membunuh harimau-harimau itu, Bingwen? Bagaimana jika seandainya mereka sadar dan kembali menyerang kita?" Ming sesekali masih menoleh ke tempat di mana dua harimau itu terkapar. "Tidak akan, sudah ayo cepat." Bingwen berjalan mendahului Ming, dia tidak ingin terlalu lama di tengah hutan. Jika perhitungannya benar, maka akan ada jalan yang menghubungkan dengan desa terdekat. Ming yang tidak ingin ditinggal pun langsung menyusul Bingwen, lebih baik dia menuruti apa yang Bingwen katakan. Dari pada dia harus melawan hewan buas lainnya seorang diri. "Bingwen tunggu aku!" Dengan langkah yang terburu-buru, keduanya berjalan menjauhi pedalaman hutan. Suara angin berhembus kencang membuat suasana saat itu terasa makin sunyi. Bingwen tidak menghiraukan rasa lelahnya, tujuan utamanya sekarang adalah sampai di desa terdekat dan mencari tempat untuk bermalam.
"Bingwen, lihat!" Ming menunjuk ke arah depan yang tidak jauh dari tempat mereka berada. Sebuah kereta kuda seorang bangsawan yang tengah dikepung oleh sejumlah penyamun. "Kita harus menolong mereka, Ming." Ming mengangguk, dia dan Bingwen berlari sekuat tenaga untuk segera sampai ke tempat tersebut. Suara jeritan penyamun yang ingin mengambil segala harta benda pemilik kereta kuda itu, terdengar begitu menakutkan. Jumlah total dari para penyamun adalah 10 orang, dengan tubuh mereka yang berbadan besar. Seperti kebanyakan penyamun pada umumnya, mereka mengenakan kain untuk menutupi sebagian wajahnya. "Berhenti!" seru Bingwen. "Sialan! Siapa kalian? Jangan sok menjadi pahlawan. Pergi dari sini sebelum nyawa kalian pun akan berakhir sama seperti mereka!" jawab salah satu dari penyamun itu sambil menunjuk pada prajurit-prajurit yang telah berhasil mereka tumbangkan. Panah dan luka pedang yang bersarang di tubuh prajurit-prajurit yang gugur itu menunjukkan bahwa para penyamun,
"Apa kamu yakin surat yang kita kirimkan itu akan sampai ke tangan Guru Bao?" tanya Ming ketika Bingwen kembali. Ming membiarkan Bingwen menghabiskan makanannya lebih dulu, sama seperti dia yang kelaparan. Bingwen pun pasti demikian. Apalagi Bingwen yang lebih banyak menggunakan tenaga dari pada dia. "Iya tenang saja. Hanya aku dan Guru Bao yang paham tentang metode itu," jawab Bingwen. Diambilnya beberapa uang koin perak dan memberikannya pada pemilik kedai. Uang yang dia miliki pun makin berkurang. Dia harus mencari pekerjaan sementara sambil menunggu surat balasan dari Guru Bao. Setidaknya Minggu ini dia harus menetap di tempat ini terlebih dahulu. "Kita mau ke mana sekarang?" Tanya Ming. "Cari penginapan, kita kehabisan uang." "Oh! Kebetulan, tadi aku lihat ada orang yang sedang mencari prajurit bayaran. Katanya untuk mengisi kekosongan saat acara festival rakyat berlangsung, apa kita coba saja?" Ming sempat mendengar obrolan para pemuda yang duduk tidak jauh darinya di ked
Setelah perjalanan yang cukup panjang, kini Bingwen sudah berada di pusat kota kekaisaran. Suasana di pusat kota jauh lebih ramai dari pada di tempat lainnya, mengingat banyaknya aktivitas yang dilakukan penduduk setempat maupun pendatang. Tidak aneh juga jika pusat kota jauh lebih hidup, di mana di sini lah tempat mereka saling melakukan transaksi jual beli. Barang yang diperdagangkan pun jauh lebih beragam. Kain-kain sutra dengan kualitas terbaik, giok yang beraneka jenis ragamnya dan kualitasnya. Pandai besi yang memiliki kemampuan tinggi, sehingga senjata yang dia buat pun dijamin bagus. Di saat semua kemewahan tersedia di pusat kota kekaisaran, bukan tidak mungkin masih adanya tindak kejahatan. Pencopet ada di mana-mana, jika tidak ingin uang atau benda berhagamu hilang. Maka kamu harus lebih hati-hati dengan barang bawaanmu. "Kita mau ke mana, Bingwen?" tanya Ming. "Ayo cari makan dulu, kamu pasti lapar." Dari tadi Bingwen dapat mendengar gemuruh dari perut Ming. Ya ma
Baik Bingwen maupun Ming keduanya tercengang dengan apa yang mereka dengar. Bingwen memang menduga bahwa masih ada keturunan penyihir putih yang tersisa, tapi tidak dengan kenyataan bahwa Fei Hung yang selama ini dia kenal ternyata salah satunya. Bahkan empat keturunan penyihir putih yang tersisa. "Jadi, kamu benar keturunan langsung dari penyihir putih ini?" tanya Ming yang masih tidak percaya dengan semua hal yang dia ketahui. Fakta bahwa bangsa peri itu nyata saja merupakan hal yang mengejutkan bagi, Ming. Apa lagi makhluk yang ada di depannya ini merupakan keturunan dari penyihir putih dengan bangsa peri. "Begitulah, aku dan ketiga kakak laki-laki ku. Jadi totalnya ada empat, setelah ibu kami meninggal setelah melahirkanku," ujar Fei Hung. Ada mendung di raut wajah Fei Hung, ketika dia mengatakan meninggalnya sang ibu yang mana merupakan penyihir putih yang murni terakhir. Pasti ada rasa bersalah di hati Fei Hung, menyalahkan takdir. "Hei, jangan bersedih. Maaf ya kalau ucapa
"Ambil ini," ucap Fei Hung sambil memberikan sebuah alat pada Bingwen. "Apa ini?" "Alat komunikasi, jika kamu mengalami kesulitan dalam rencanamu maka jangan segan untuk menghubungiku." "Eh, tapi, bukankah ayahmu bilang kalau dia tidak akan ikut campur dengan masalah kami?" tanya Ming. "Ayah hanya mengatakan saja, tapi bukan benar-benar akan dilakukan. Tidak mungkin kami diam saja jika benar para penyihir ilmu hitam itu ikut terlibat," sahut Fei Hung. Fei Hung kemudian menceritakan alasan kenapa bangsa peri menjauh dari hubungan kerja sama dengan bangsa manusia dan penyihir ilmu hitam. Dua ratus tahun yang lalu, ada dua ilmu sihir yang ada di kontinen saat itu. Penyihir putih yang menggunakan ilmu sihirnya untuk menolong siapapun yang membutuhkan, termasuk bangsa manusia. Awalnya ketiga ras ini hidup dalam kerukunan yang damai, hingga suatu saat ketua penyihir ilmu hitam mengetahui kenyataan bahwa pihak penyihir putih mengetahui adanya sihir terlarang yang telah di segel ribuan
Raja Fei Gu, terdiam untuk beberapa saat. Sebab apa yang ditanyakan Bingwen bukan menjadi tanggung jawabnya. Ada batas yang tidak boleh dilanggar, meski penyihir hitam dan para peri tidak saling hidup berdampingan. Selagi kelompok penyihir hitam tersebut tidak melakukan kesalahan atau mengganggu bangsa peri terlebih dahulu, maka Raja Fei Gu juga tidak akan memulai duluan. "Katakan apakah yang kamu tanyakan ini berhubungan dengan kerjaan peri. Sebab apa yang kamu tanyakan itu murni berhubungan dengan manusia saja, tidak ada sangkut pautnya dengan bangsa peri," ujar Raja Fei Gu. Tergambar raut kekecewaan dan kesedihan di wajah Bingwen. Ketika harapan yang dia yakini telah dipatahkan langsung oleh sang raja. Menyadari suasana hati Bingwen yang langsung gelap, Fei Hung berjalan ke arah tahta ayahnya. "Ayah, izinkan saya berbicara sebentar dengan Ayah." Fei Hung tidak mengatakan dengan suara latang, sebab apa yang akan dia katakan adalah sebuah rahasia besar. Sesudah Fei Hung berbisik
"Jadi? Kenapa dua manusia ini bisa ada di wilayah kekuasaan kita?" tanya Fei Zhi yang masih tidak suka akan kedatangan Bingwen dan Ming. Bingwen tidak gentar sedikitpun dengan tekanan yang diberikan oleh kakak laki-laki Fei Hung. Di saat Ming ketakutan dan tidak bisa berbicara dengan benar, Bingwen justru tersenyum saja melihat kelakuan Ming. "Apa yang kamu lakukan? Beginikah sikap manusia tidak tahu diri yang tiba-tiba muncul tanpa pemberitahuan terlebih dahulu? Apa kamu kira aku ini badut yang bisa kamu tertawakan seperti itu?" Fei Zhi makin kesal akan tingkah lamu Bingwen yang disangka untuknya, padahal tidak demikian. "Oh, maafkan saya, Tuan. Saya tidak bermaksud demikian. Saya tidak menertawakan Anda, tapi pada teman saya ini. Padahal dia anak yang cerewet, tapi sekarang dia bahkan tidak bisa berkata sepatah kata pun," tutur Bingwen. Bingwen tidak mau memberi kesan buruk pada orang yang mungkin membantunya, makanya dia sebisa mungkin memperhatikan kalimat yang dia ucapk
"Jadi, apa yang membawamu ke sini?" tanya Fei Hung tanpa berbasa-basi. Kedatangan Bingwen saja sudah membuatnya penasaran Bagaimana bisa Bingwen menemukan portal menuju dunia para peri? Sementara hanya mereka yang keturunan peri dan orang tertentu saja yang diizinkan melewati portal tersebut. "Apa karena dia keturunan terakhir dari keluarga ahli pedang itu?" tanya Fei Hung dalam hatinya. Fei Hung tidak bisa meyakinkan dirinya akan pertanyaannya itu, meski benar apa yang menjadi alasan Bingwen bisa melewati portal yang memisahkan antara dunia manusia dan dunia peri adalah karena hal itu. Tentu hal tersebut juga tidak bisa diterima, sebab keluarga ahli pedang itu bahkan belum pernah ada yang menginjakkan kaki di tanah para peri. Lamunan Fei Hung buyar ketika Bingwen memanggil namanya dengan suara lantang. "Jangan teriak-teriak begitu, aku tidak tuli," ketus Fei Hung. Bingwen terkekeh melihat wajah kesal Fei Hung dan berkata, "Tingkahmu tidak ada yang berubah, Fei Hung.
"B-bingwen ... kenapa kamu berhenti?" tanya Ming yang gugup sebab Bingwen tiba-tiba berhenti begitu saja. Firasat Ming seketika langsung buruk, dia tidak yakin apakah Bingwen merasakan hal yang sama. "Ming, kita telah sampai.""Hah? Maksudmu?" "Kita telah tiba di kerajaan para peri," ujar Bingwen. Ming pun langsung mengedarkan pandangannya, memastikan apa yang dia dengar bukan hanya halusinasinya saja. "Haaa ... jadi negeri para peri itu benar adanya? Bukan hanya kisah dongeng belaka?" gumam Ming setelah dia melihat perbedaan yang ketara dari suasana di dunia manusia. "Gimana bisa, Bingwen?" tanya Ming lagi. Dia masih bingung kenapa tiba-tiba sudah pindah tempat begitu saja, padahal terakhir kali yang dilihat Ming hanyalah luasnya hutan belantara yang tertutup kabut tebal. Bingwen tidak menjawab pertanyaan temannya itu, sebab memang hanya dirinya saja yang dapat melihat bahwa mereka telah melewati garis ruang dan waktu. Jikalau pun Bingwen menceritakannya pada Ming, Ming pasti
Kabut tebal menyambut perjalanan Bingwen dan Ming kali ini, keduanya bahkan tidak bisa bergerak sembarang jika ingin selamat. Hutan belantara itu yang awalnya sudah sangat sulit ditaklukkan, kini makin menjadi seperti medan perang. "Apa yang harus kita lakukan, Bingwen? Kalau begini terus, jangankan menemukan kerajaan peri. Yang ada malah kita akan tersesat dan menjadi makanan binatang buas," ujar Ming. "Jangan menyerah begitu, kita datang ke sini memiliki niat yang baik. Pasti ada jalan. Dan jangan pernah berpikiran buruk ketika kita sedang berada di tempat seperti ini," sahut Bingwen.Bingwen bukan tidak mengerti akan kebimbangan yang Ming alami, hanya saja menyerah ketika sudah melewati perjalanan jauh dan menantang itu tentu bukan pilihan yang bijak. Akhirnya, Bingwen memutuskan untuk menggunakan kekuatannya. Indera penglihatannya dia pertajam, hingga walau setebal apapun kabut yang menghadang jalannya, dia bisa berjalan tanpa kesulitan. "Bingwen, entah kenapa matamu kok berb