Hari demi hari sudah Bingwen dan Ming lalui, keduanya masih belum sampai di tempat yang akan mereka tuju. Hutan demi hutan, berbagai rintangan telah mereka hadapi. Sebagian besar memang Bingwen lah yang menghadapi semuanya. Ming juga turut membantu walau tidak sebanyak yang dilakukan Bingwen. Sudah hampir dua minggu lamanya, perbekalan mereka juga semakin menipis. Beruntungnya Bingwen yang sudah pernah hidup di tengah hutan, delapan tahun silam. Hingga pengalamannya itu dapat dia manfaatkan sekarang, Bingwen yang berburu hewan buruan untuk menghemat bekal yang mereka bawa. Sementara Ming yang mengolah hewan hasil tangkapan Bingwen.Keduanya saling melengkapi kekurangan masing-masing, berharap semua jerih payah yang mereka rasakan dapat berbuah manis kedepannya. Malam itu cuaca cerah, sinar bulan purnama yang begitu terang membuat Bingwen dapat melihat bintang yang bertaburan di atas sana. Sinar bintang yang berkelap-kelip mengingatkan Bingwen akan Mei Lin. Gadis itu sangat suka meli
Bingwen dan Ming terpojok, di belakang mereka jurang yang bahkan tidak diketahui seberapa dalam seandainya mereka memilih jatuh ke bawah sana. Sementara Bingwen yang sedang mencari cara untuk melawan kedua harimau, Ming justru makin membuat suasana mencekam. "Bingwen, apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Ming yang tubuhnya sudah menggigil ketakutan. "kenapa kamu takut begini? Bukannya kamu selama ini pantang menyerah?" "Ya itu beda cerita, Bingwen. Kalai lawannya manusia aku bisa bertahan, lah ini hewan buas loh," jawab Ming. Bingwen menghela nafasnya, dia cukup kesal dengan jawaban Ming. Bukankah melawan hewan buas dan manusia sama saja? Sama-sama bertahan hidup. Bahkan yang paling menakutkan menurut Bingwen adalah manusia yang sifatnya menyerupai hewan buas. "Ya sudah, biar aku yang hadapi." Tidak mau berdebat terlalu lama, Bingwen akhirnya memilih untuk menghadapi kedua harimau tersebut.Dia jadi teringat kejadian saat dirinya meninggalkan hutan di mana dia dan Fei Hun
"Ming, kita harus kembali melanjutkan perjalanan. Sebelum hari makin gelap dan dingin," ujar Bingwen. "Kamu yakin kita tidak perlu membunuh harimau-harimau itu, Bingwen? Bagaimana jika seandainya mereka sadar dan kembali menyerang kita?" Ming sesekali masih menoleh ke tempat di mana dua harimau itu terkapar. "Tidak akan, sudah ayo cepat." Bingwen berjalan mendahului Ming, dia tidak ingin terlalu lama di tengah hutan. Jika perhitungannya benar, maka akan ada jalan yang menghubungkan dengan desa terdekat. Ming yang tidak ingin ditinggal pun langsung menyusul Bingwen, lebih baik dia menuruti apa yang Bingwen katakan. Dari pada dia harus melawan hewan buas lainnya seorang diri. "Bingwen tunggu aku!" Dengan langkah yang terburu-buru, keduanya berjalan menjauhi pedalaman hutan. Suara angin berhembus kencang membuat suasana saat itu terasa makin sunyi. Bingwen tidak menghiraukan rasa lelahnya, tujuan utamanya sekarang adalah sampai di desa terdekat dan mencari tempat untuk bermalam.
"Bingwen, lihat!" Ming menunjuk ke arah depan yang tidak jauh dari tempat mereka berada. Sebuah kereta kuda seorang bangsawan yang tengah dikepung oleh sejumlah penyamun. "Kita harus menolong mereka, Ming." Ming mengangguk, dia dan Bingwen berlari sekuat tenaga untuk segera sampai ke tempat tersebut. Suara jeritan penyamun yang ingin mengambil segala harta benda pemilik kereta kuda itu, terdengar begitu menakutkan. Jumlah total dari para penyamun adalah 10 orang, dengan tubuh mereka yang berbadan besar. Seperti kebanyakan penyamun pada umumnya, mereka mengenakan kain untuk menutupi sebagian wajahnya. "Berhenti!" seru Bingwen. "Sialan! Siapa kalian? Jangan sok menjadi pahlawan. Pergi dari sini sebelum nyawa kalian pun akan berakhir sama seperti mereka!" jawab salah satu dari penyamun itu sambil menunjuk pada prajurit-prajurit yang telah berhasil mereka tumbangkan. Panah dan luka pedang yang bersarang di tubuh prajurit-prajurit yang gugur itu menunjukkan bahwa para penyamun,
Pertarungan antara Bingwen dan para penyamun, dimenangkan oleh Bingwen. Sebenarnya Bingwen cukup kesulitan melawan mereka sekaligus, hanya saja salah satu kehebatan manusia adalah saat mereka sedang berada di ambang kematian dan terpojok maka dia akan berusaha untuk bertahan hidup. Hal ini lah yang dilakukan oleh Bingwen. Bingwen yang sudah terbiasa menghadapi segala rintangan bahkan sebelum dirinya yang sekarang, bertahan hidup hingga titik darah penghabisan menjadi hal yang wajar baginya. Bingwen memasukan kembali pedangnya ke dalam sarung pedang di pinggangnya, dia kemudian menghampiri Ming yang sudah terluka parah. Bahkan bisa dikatakan Ming ini tengah berada di ambang kematian. "Ming, kamu bisa dengar suaraku?" tanyanya, tapi tidak ada jawaban dari Ming. "Ming hampir kehila gan kesadarannya, jika tidak segera ditolong dia tidak akan bisa selamat." Bingwen mencoba menghentikan pendarahan parah di tubuh Ming. Hanya ini yang dia bisa, dia sekarang tengah bingung. Tempatnya
Hampir seminggu sudah Ming terbaring, racun yang ada ditubuhnya memang sudah dikeluarkan semua. Namun, efek samping dari racun itu yang membuat Ming belum menunjukkan kapan dirinya akan sadar. Bingwen yang tidak enak hati menetap di kediaman bangsawan yang telah dia selamatkan itu pun, akhirnya membuat Bingwen memutuskan untuk bekerja sebagai pengawal di saat tuan rumah yang dikenal sebagai Tuan Feng. "Terimakasih untuk kerja kerasnya hari ini, Bingwen," ucap Tuan Feng. "Anda tidak perlu mengucapkan terimakasih, Tuan. Ini sudah menjadi tugas dan kewajiban saya." Bingwen meletakkan barang bawaan Tuan Feng di ruang kerja tuannya itu. Niat hati ingin mengusut tuntas masalah virus penyakit yang sengaja disebarkan, justru dia harus tertahan terlalu lama di tempat itu. Bingwen tentu tidak bisa menyalahkan Ming. Sebab itu juga bukan kesalahan yang disengaja oleh sahabatnya tersebut. "Kamu pasti khawatir akan kondisi temanmu itu, bukan?" Tuan Feng yang peka, langsung menebak
Seperti yang diduga Bingwen, memang benar bahwa Tuan Feng akan mengadakan pesta ulang tahun untuk putri tunggalnya. Berbagai jenis hidangan tersaji di aula pertemuan. Bukan hanya kenalan Tuan Feng dari kalangan bangsawan saja yang diundang, melainkan penduduk sekitar pun turut hadir. "Tuan Feng ini, beda sekali dengan bangsawan pada umumnya ya, Bingwen." Bingwen hanya mengangguk saja, dia tidak begitu suka membicarakan orang lain. Melihat aneka makanan tersaji dengan begitu banyak, membuatnya teringat akan Mei Lin."Kamu kenapa bengong terus?" Ming yang tidak tahan dengan sifat Bingwen yang terlalu pendiam itu pun, akhirnya mengutarakan isi hatinya. "Tidak kok, aku hanya berpikir seandainya Mei Lin ada di sini juga dia pasti bisa merasakan makanan enak ini," jawab Bingwen. Ming yang mengerti akan hal itu menepuk punggung Bingwen, "Kita selesaikan misi kita, setelah itu kita kembali. Kita bisa juga sekalian bekerja. Jadi saat kita pulang, bisa bawa uang dan beli oleh-oleh untuk me
Suasana saat itu mulai gaduh,Bingwen yang tidak terima penghinaan terhadap keluarga ahli pedang. "Tuan Feng, kami tahu Anda bangsawan yang baik hati. Namun, kami rasa Anda telah salah menolong orang lain. Lihatlah anak muda ini, dia begitu tidak tahu sopan santun terhadap orang tua!""Benar, Tuan Feng. Padahal dia itu juga hanya seorang pendatang, seharusnya dia tahu diri. Bukan malah bersikap seenaknya seperti itu," sahut lainnya. Satu per satu penduduk yang tidak menyukai tindakan Bingwen mulai mengajukan protes pada Tuan Feng, atas sikap tidak sopan yang dilakukan oleh Bingwen. Mereka tidak suka atas perkataan Bingwen yang membela keluarga ahli pedang dan membantah ucapan mereka. Ketidaksukaan penduduk tersebut juga diawali oleh perlakuan baik yang kedua pendatang itu terima. "Tenang saudara-saudara, saya rasa anak muda ini tidak bermaksud buru. Saya minta maaf atas tindakannya," ucap Tuan Feng yang mencoba menengahi ketegangan di antara penduduk yang tidak menyukai Bingwen. B
"Apa kamu yakin surat yang kita kirimkan itu akan sampai ke tangan Guru Bao?" tanya Ming ketika Bingwen kembali. Ming membiarkan Bingwen menghabiskan makanannya lebih dulu, sama seperti dia yang kelaparan. Bingwen pun pasti demikian. Apalagi Bingwen yang lebih banyak menggunakan tenaga dari pada dia. "Iya tenang saja. Hanya aku dan Guru Bao yang paham tentang metode itu," jawab Bingwen. Diambilnya beberapa uang koin perak dan memberikannya pada pemilik kedai. Uang yang dia miliki pun makin berkurang. Dia harus mencari pekerjaan sementara sambil menunggu surat balasan dari Guru Bao. Setidaknya Minggu ini dia harus menetap di tempat ini terlebih dahulu. "Kita mau ke mana sekarang?" Tanya Ming. "Cari penginapan, kita kehabisan uang." "Oh! Kebetulan, tadi aku lihat ada orang yang sedang mencari prajurit bayaran. Katanya untuk mengisi kekosongan saat acara festival rakyat berlangsung, apa kita coba saja?" Ming sempat mendengar obrolan para pemuda yang duduk tidak jauh darinya di ked
Setelah perjalanan yang cukup panjang, kini Bingwen sudah berada di pusat kota kekaisaran. Suasana di pusat kota jauh lebih ramai dari pada di tempat lainnya, mengingat banyaknya aktivitas yang dilakukan penduduk setempat maupun pendatang. Tidak aneh juga jika pusat kota jauh lebih hidup, di mana di sini lah tempat mereka saling melakukan transaksi jual beli. Barang yang diperdagangkan pun jauh lebih beragam. Kain-kain sutra dengan kualitas terbaik, giok yang beraneka jenis ragamnya dan kualitasnya. Pandai besi yang memiliki kemampuan tinggi, sehingga senjata yang dia buat pun dijamin bagus. Di saat semua kemewahan tersedia di pusat kota kekaisaran, bukan tidak mungkin masih adanya tindak kejahatan. Pencopet ada di mana-mana, jika tidak ingin uang atau benda berhagamu hilang. Maka kamu harus lebih hati-hati dengan barang bawaanmu. "Kita mau ke mana, Bingwen?" tanya Ming. "Ayo cari makan dulu, kamu pasti lapar." Dari tadi Bingwen dapat mendengar gemuruh dari perut Ming. Ya ma
Baik Bingwen maupun Ming keduanya tercengang dengan apa yang mereka dengar. Bingwen memang menduga bahwa masih ada keturunan penyihir putih yang tersisa, tapi tidak dengan kenyataan bahwa Fei Hung yang selama ini dia kenal ternyata salah satunya. Bahkan empat keturunan penyihir putih yang tersisa. "Jadi, kamu benar keturunan langsung dari penyihir putih ini?" tanya Ming yang masih tidak percaya dengan semua hal yang dia ketahui. Fakta bahwa bangsa peri itu nyata saja merupakan hal yang mengejutkan bagi, Ming. Apa lagi makhluk yang ada di depannya ini merupakan keturunan dari penyihir putih dengan bangsa peri. "Begitulah, aku dan ketiga kakak laki-laki ku. Jadi totalnya ada empat, setelah ibu kami meninggal setelah melahirkanku," ujar Fei Hung. Ada mendung di raut wajah Fei Hung, ketika dia mengatakan meninggalnya sang ibu yang mana merupakan penyihir putih yang murni terakhir. Pasti ada rasa bersalah di hati Fei Hung, menyalahkan takdir. "Hei, jangan bersedih. Maaf ya kalau ucapa
"Ambil ini," ucap Fei Hung sambil memberikan sebuah alat pada Bingwen. "Apa ini?" "Alat komunikasi, jika kamu mengalami kesulitan dalam rencanamu maka jangan segan untuk menghubungiku." "Eh, tapi, bukankah ayahmu bilang kalau dia tidak akan ikut campur dengan masalah kami?" tanya Ming. "Ayah hanya mengatakan saja, tapi bukan benar-benar akan dilakukan. Tidak mungkin kami diam saja jika benar para penyihir ilmu hitam itu ikut terlibat," sahut Fei Hung. Fei Hung kemudian menceritakan alasan kenapa bangsa peri menjauh dari hubungan kerja sama dengan bangsa manusia dan penyihir ilmu hitam. Dua ratus tahun yang lalu, ada dua ilmu sihir yang ada di kontinen saat itu. Penyihir putih yang menggunakan ilmu sihirnya untuk menolong siapapun yang membutuhkan, termasuk bangsa manusia. Awalnya ketiga ras ini hidup dalam kerukunan yang damai, hingga suatu saat ketua penyihir ilmu hitam mengetahui kenyataan bahwa pihak penyihir putih mengetahui adanya sihir terlarang yang telah di segel ribuan
Raja Fei Gu, terdiam untuk beberapa saat. Sebab apa yang ditanyakan Bingwen bukan menjadi tanggung jawabnya. Ada batas yang tidak boleh dilanggar, meski penyihir hitam dan para peri tidak saling hidup berdampingan. Selagi kelompok penyihir hitam tersebut tidak melakukan kesalahan atau mengganggu bangsa peri terlebih dahulu, maka Raja Fei Gu juga tidak akan memulai duluan. "Katakan apakah yang kamu tanyakan ini berhubungan dengan kerjaan peri. Sebab apa yang kamu tanyakan itu murni berhubungan dengan manusia saja, tidak ada sangkut pautnya dengan bangsa peri," ujar Raja Fei Gu. Tergambar raut kekecewaan dan kesedihan di wajah Bingwen. Ketika harapan yang dia yakini telah dipatahkan langsung oleh sang raja. Menyadari suasana hati Bingwen yang langsung gelap, Fei Hung berjalan ke arah tahta ayahnya. "Ayah, izinkan saya berbicara sebentar dengan Ayah." Fei Hung tidak mengatakan dengan suara latang, sebab apa yang akan dia katakan adalah sebuah rahasia besar. Sesudah Fei Hung berbisik
"Jadi? Kenapa dua manusia ini bisa ada di wilayah kekuasaan kita?" tanya Fei Zhi yang masih tidak suka akan kedatangan Bingwen dan Ming. Bingwen tidak gentar sedikitpun dengan tekanan yang diberikan oleh kakak laki-laki Fei Hung. Di saat Ming ketakutan dan tidak bisa berbicara dengan benar, Bingwen justru tersenyum saja melihat kelakuan Ming. "Apa yang kamu lakukan? Beginikah sikap manusia tidak tahu diri yang tiba-tiba muncul tanpa pemberitahuan terlebih dahulu? Apa kamu kira aku ini badut yang bisa kamu tertawakan seperti itu?" Fei Zhi makin kesal akan tingkah lamu Bingwen yang disangka untuknya, padahal tidak demikian. "Oh, maafkan saya, Tuan. Saya tidak bermaksud demikian. Saya tidak menertawakan Anda, tapi pada teman saya ini. Padahal dia anak yang cerewet, tapi sekarang dia bahkan tidak bisa berkata sepatah kata pun," tutur Bingwen. Bingwen tidak mau memberi kesan buruk pada orang yang mungkin membantunya, makanya dia sebisa mungkin memperhatikan kalimat yang dia ucapk
"Jadi, apa yang membawamu ke sini?" tanya Fei Hung tanpa berbasa-basi. Kedatangan Bingwen saja sudah membuatnya penasaran Bagaimana bisa Bingwen menemukan portal menuju dunia para peri? Sementara hanya mereka yang keturunan peri dan orang tertentu saja yang diizinkan melewati portal tersebut. "Apa karena dia keturunan terakhir dari keluarga ahli pedang itu?" tanya Fei Hung dalam hatinya. Fei Hung tidak bisa meyakinkan dirinya akan pertanyaannya itu, meski benar apa yang menjadi alasan Bingwen bisa melewati portal yang memisahkan antara dunia manusia dan dunia peri adalah karena hal itu. Tentu hal tersebut juga tidak bisa diterima, sebab keluarga ahli pedang itu bahkan belum pernah ada yang menginjakkan kaki di tanah para peri. Lamunan Fei Hung buyar ketika Bingwen memanggil namanya dengan suara lantang. "Jangan teriak-teriak begitu, aku tidak tuli," ketus Fei Hung. Bingwen terkekeh melihat wajah kesal Fei Hung dan berkata, "Tingkahmu tidak ada yang berubah, Fei Hung.
"B-bingwen ... kenapa kamu berhenti?" tanya Ming yang gugup sebab Bingwen tiba-tiba berhenti begitu saja. Firasat Ming seketika langsung buruk, dia tidak yakin apakah Bingwen merasakan hal yang sama. "Ming, kita telah sampai.""Hah? Maksudmu?" "Kita telah tiba di kerajaan para peri," ujar Bingwen. Ming pun langsung mengedarkan pandangannya, memastikan apa yang dia dengar bukan hanya halusinasinya saja. "Haaa ... jadi negeri para peri itu benar adanya? Bukan hanya kisah dongeng belaka?" gumam Ming setelah dia melihat perbedaan yang ketara dari suasana di dunia manusia. "Gimana bisa, Bingwen?" tanya Ming lagi. Dia masih bingung kenapa tiba-tiba sudah pindah tempat begitu saja, padahal terakhir kali yang dilihat Ming hanyalah luasnya hutan belantara yang tertutup kabut tebal. Bingwen tidak menjawab pertanyaan temannya itu, sebab memang hanya dirinya saja yang dapat melihat bahwa mereka telah melewati garis ruang dan waktu. Jikalau pun Bingwen menceritakannya pada Ming, Ming pasti
Kabut tebal menyambut perjalanan Bingwen dan Ming kali ini, keduanya bahkan tidak bisa bergerak sembarang jika ingin selamat. Hutan belantara itu yang awalnya sudah sangat sulit ditaklukkan, kini makin menjadi seperti medan perang. "Apa yang harus kita lakukan, Bingwen? Kalau begini terus, jangankan menemukan kerajaan peri. Yang ada malah kita akan tersesat dan menjadi makanan binatang buas," ujar Ming. "Jangan menyerah begitu, kita datang ke sini memiliki niat yang baik. Pasti ada jalan. Dan jangan pernah berpikiran buruk ketika kita sedang berada di tempat seperti ini," sahut Bingwen.Bingwen bukan tidak mengerti akan kebimbangan yang Ming alami, hanya saja menyerah ketika sudah melewati perjalanan jauh dan menantang itu tentu bukan pilihan yang bijak. Akhirnya, Bingwen memutuskan untuk menggunakan kekuatannya. Indera penglihatannya dia pertajam, hingga walau setebal apapun kabut yang menghadang jalannya, dia bisa berjalan tanpa kesulitan. "Bingwen, entah kenapa matamu kok berb