"Kalian ingat, kalau dirasa kalian tidak bisa mengatasinya segera mengirim pesan," ucap Guru Bao. "Siap, Guru." Bingwen yang lebih dulu selesai berkemas untuk keberangkatannya dengan Mei Lin, demi menemukan kakak perempuan Yung Yin. "Bingwen, kamu hampir lupa pedangmu." Guru Bao menyerahkan pedang kuno yang telah dimodifikasi pada Bingwen."Lihatlah lebih dulu," titah Guru Bao. Bingwen menerima pedang tersebut dengan hati berdebar, debaran yang jauh lebih kuat dari saat pertama dia menemukan pedang tersebut. Tangan Bingwen bahkan sedikit gemetar ketika pedang itu sudah di tangannya. "Guru, bolehkah aku memeriksanya?" tanya Bingwen dengan ragu. "Tentu saja, pedang itu milikmu. Jadi kamu punya hak terhadapnya."Sebelum Bingwen mengeluarkan pedang tersebut dari sarung pedangnya, keringat dingin serta deru nafasnya memburu. Perlahan dan hati-hati Bingwen mengeluarkan pedangnya, matanya yang bulat berbinar seketika sewaktu dia melihat tampilan terbaru dari pedangnya. Bilah pedang ya
Hari sudah makin terik setibanya Bingwen, Mei Lin, dan Ming di tempat tujuan mereka. Walau saat ini masih siang hari, tapi suasana di hutan terlarang itu sudah mencekam. "Kamu yakin ada manusia yang pergi ke hutan ini? Sepi sekali loh, kamu ingat kan beberapa orang yang kita temui? Mereka menyarankan kita untuk kembali." Mei Lin bukan tipe orang yang penakut, hanya saja dia tidak mau mengambil resiko memasuki tempat yang berbahaya seperti itu dan tidak menghasilkan apapun. Belum masuk ke hutan yang dalam saja suasananya terlalu hening begini, apa lagi sudah memasuki wilayah hutan yang paling dalam? Entah akan ada binatang buas atau seperti rumor yang beredar.Adanya monster yang bersembunyi dan menjadi penghuni hutan ini. Bukan tidak aneh jika ada orang yang nekad pergi ke hutan ini dan tidak kembali lagi. "Hei, kenapa kalian diam saja?" tanya Mei Lin yang kesal karena ucapannya tidak direspon oleh Bingwen dan Ming. Kedua pemuda itu malah asik melihat ke tanah yang mereka pijak.
Bingwen dan Ming berjalan mengendap-endap menuju depan pondok, di mana ke delapan bandit yang tengah tepar. Langkah keduanya begitu pelan, walau delapan orang berbadan kekar itu tidak sadarkan diri. Bukan tidak mungkin mereka tiba-tiba bangun, berhati-hati jauh lebih baik dari pada membahayakan diri mereka sendiri. "Bingwen, biar aku yang menghabisi mereka. Kamu periksalah tempat yang lain," ucap Ming. "Kamu yakin bisa menghadapi mereka semua?" tanya Bingwen. "Tentu, aku yakin bisa. Walau aku tidak sehebat dirimu, aku tidak begitu buruk bukan?" Bingwen mengangguk, dia setuju dengan perkataan Ming. Tidak mungkin Ming diangkat sebagai pelatih bagi murid baru, jika kemampuannya belum diakui oleh gurunya. Guru Bao pasti sudah melihat kemampuan Ming, dia juga sudah beberapa kali duel dengan Ming. Walau Ming selalu kalah, tapi kemampuan Ming makin meningkat. "Baiklah, aku serahkan yang di sini padamu. Aku akan melihat bagian dalam pondok." Bingwen menyerahkan belati yang dia bawa d
"Kakak!" Seru Nye Na, saat dia melihat kakak laki-lakinya datang menyelamatkannya. "Nye Na, kamu baik-baik saja bukan?"tanya Ming, dia berusaha untuk melepaskan rantai di pintu kurungan tersebut. "Aku baik-baik saja Kak, bagaimana Kakak bisa sampai di sini?" Nye Na, tidak menyangka kalau kakaknya benar-benar datang. Dia yang dari tadi sudah pasrah akan nasibnya nanti itu pun jadi merasa bersalah karena meragukan kakaknya sendiri. "Jangan bodoh, memangnya aku ini kakak yang akan meninggalkan dan membiarkan adikku dalam bahaya? Tidak akan terjadi. Aku akan mencarimu sampai ketemu, Nye Na. Kalau tidak, aku tidak akan berani bertemu dengan orang tua kita dengan tenang," ujar Ming. "Maafkan aku, Kak. Aku sempat ragu apa Kakak benar akan datang." Ming menghapus air mata yang mulai mengalir di pipi adiknya itu. "Pasti kamu sangat ketakutan bukan? Maafkan Kakak, karena terlambat datang." "Sial, ini kenapa rantainya susah dilepaskan," gerutu Ming. Lelah dia mengutak-atik rantai itu aga
"Kita gunakan kereta kuda itu saja, sepertinya masih bisa digunakan," ujar Ming. Bingwen menurut tanpa banyak bicara, prioritasnya sekarang hanya untuk membawa Mei Lin pergi dari tempat itu. Mei Lin harus segera mendapat penanganan pertama. "Biar aku yang membawa kereta kudanya, aku tahu cara mengendarai kuda." Ming meminta adik dan yang lainnya untuk memasuki gerbong kereta kuda tersebut. Ming dengan lihai mengendalikan kuda di jalan hutan itu, beruntung malam ini bulan bersinar dengan terang. Sehingga memudahkan Ming dalam membawa kereta kuda tersebut. Sementara itu Bingwen masih memangku Mei Lin yang masih memejamkan matanya, pikiran Bingwen kacau. Kejadian ini tidak akan terjadi seandainya saja dia tidak meninggalkan gadis itu sendirian. Rasa bersalah yang teramat besar hinggap di hati Bingwen. Dibelainya pipi Mei Lin yang penuh dengan memar dan lebam. "Maafkan aku, Mei Lin," bisiknya sendu. Mei Lin yang biasanya selalu mengomel dan menegurnya itu kini tidak lagi terdengar
Hari sudah semakin larut, Bingwen, Mei Lin, dan kakak perempuan Yung Yin diperbolehkan menginap di rumah Kakek Changmin. Sementara Ming, adik perempuannya, dan ketiga gadis korban culik lainnya menginap di rumah salah satu penduduk. Bingwen yang tidak bisa melelapkan matanya, akhirnya duduk termenung di teras rumah si kakek. Lamunannya entah sudah sejauh mana, hingga saat Kakek Changmin memanggilnya pun Bingwen tidak dengar. "Maaf, Kek. Saya sedang memikirkan sesuatu," ucapnya menunduk lesu. "Tidak masalah. Sepertinya juga bukan hanya satu atau dua yang kamu pikirkan, Nak." Bingwen membisu, dia tidak tahu apakah harus bercerita atau tidak. Meskipun Kakek Changmin sudah menolong Mei Lin, tapi tetap saja apa yang dia alami bukan hal yang sembarangan. "Kamu bukan orang biasa ya?" Tiba-tiba Kakek Changmin mengajukan pertanyaan yang sukses membuat Changmin tercengang. "Maksud Kakek?" tanyanya pura-pura tidak tahu akan pertanyaan dari kakek tua itu. Kakek Changmin tersenyum simpul,
Menjadi pusat perhatian tentu bukan keiinginan siapapun termasuk juga Bingwen. Dia yang masih bingung bagaimana caranya menjelaskan apa yang dia lihat, sementara semua orang yang ada di ruangan itu seakan menagih sebuah penjelasan. "Bingwen, sebenarnya apa yang kamu katakan barusan?" Kakek Changmin yang sudah menebak bahwa Bingwen memang bukan pemuda biasa, kini dia makin yakin dengan apa dugaannya. Keempat orang itu masih menatap Bingwen dengan penuh rasa penasaran yang tinggi, suasana tegang nan mencekam terasa makin kuat. Beruntung hari sudah pagi bukan lagi malam. Di saat ketegangan itu berlangsung, suara nyaring Ming yang memanggil Bingwen memecah keheningan di ruangan tersebut. "Bingwen, kamu ngapain di sini? Dari tadi aku mencarimu ke mana-mana," ucapnya. Sepuluh pasang mata itu pun langsung mengalihkan pandangannya pada Ming, yang tanpa rasa bersalah dan dengan ekspresi polosnya duduk di samping Bingwen. Tidak ada yang memulai pembicaraan, bahkan Bingwen yang diajak bica
Seperti yang telah direncanakan, ke-15 orang yang menderita wabah penyakit kulit itu semuanya dikumpulkan di satu ruangan. Bingwen dan Mei Lin, serta Kakek Changmin yang hanya diperbolehkan berada di ruangan tersebut. Hal ini sebagai syarat yang diberikan oleh Bingwen kepada Kakek Changmin. Kakek Changmin sendiri tidak mempermasalahkannya, sementara itu penduduk kampung juga mengikuti keputusan dari Kakek Changmin. Rupanya kakek tua itu memiliki pengaruh yang cukup besar. Walau bukan pemimpin di kampung itu, tapi karena Kakek Changmin adalah satu-satunya tabib yang mereka miliki. "Baiklah, semua yang sakit telah dikumpulkan di sini. Apa kita akan memulainya sekarang, Mei Lin?" tanya Bingwen. "Iya, bisa." Kerjasama Bingwen dan Mei Lin yang saling bahu membahu itu telah berhasil memurnikan hampir sebagian dari penderita wabah, masih ada tujuh orang lagi yang harus dimurnikan. Namun, Bingwen menyadari sesuatu yang lain. "Mei Lin, aku rasa yang sebelah sini tidak bisa kamu atasi," uc