"Haaa.... Akhirnya sampai juga. Ya ampun lelah sekali aku," ucap Bingwen setelah dia sampai di tempat tujuan..Kampung Guan In, sebuah kampung di kaki lereng gunung. Dari kampung ini, hanya butuh waktu 30 menit saja sampai ke kampungnya. Rasa lelah yang Bingwen rasakan sebelumnya telah sedikit berkurang setelah dia sampai di kampung Guan In ini. Perjalanan dua minggu yang begitu melelahkan, apa lagi cuaca yang terkadang tidak menentu. Bingwen bersyukur dia sampai sesuai perkiraan. Sebenarnya kaki Bingwen sudah tidak sanggup lagi berjalan, tapi dia tidak ingin membuang waktu walau sejenak. Lebih cepat sampai justru lebih baik. "Aku nggak sabar ingin ketemu Mei Lin dan Guru Bao. Mereka pasti kaget melihatku pulang sekarang," gumamnya. Saat Bingwen melewati kampung Guan In, Fei Hung yang dari hari pertama menyertai perjalanan Bingwen dengan senyap pun menghentikan kepakan sayap kecilnya. Putri peri itu menatap punggung Bingwen yang mulai menjauh dan tidak lagi terlihat. "Selamat tin
Mei Lin mendorong pelan tubuh Bingwen, dari tadi sahabatnya itu diam membisu. Padahal orang yang tengah dia cari ada di depannya, hanya berjarak beberapa langkah saja. "Pergilah, kamu bilang ingin bertemu dengan Ayah bukan?" Bingwen mengangguk, diapun berjalan dengan langkah cepat. Rasa rindu pada sosok yang telah membesarkan dan merawatnya dari bayi, melebihi kerinduan terhadap orang tuanya sendiri. Terkadang Bingwen sering bertanya, apakah dirinya termasuk anak yang durhaka. Sebab Bingwen lebih menyayangi Guru Bao dari pada orang tuanya sendiri. Bagi orang lain mungkin sikap Bingwen itu salah, tapi dia juga tidak bisa membohongi hatinya. Bukan berarti Bingwen tidak merindukan orang tuanya, dia hanya ingin bertanya pada orang tuanya kenapa mereka tega membuang dirinya? Guru Bao menolehkan kepalanya, tepat di depan Bingwen berdiri di sampingnya. "B-Bingwen?" tanya laki-laki yang kini sudah berusia separuh abad itu. "Iya, Guru. Aku sudah pulang," jawab Bingwen. Suaranya parau m
Percakapan Bingwen dengan Guru Bao masih terus berlanjut, sekarang Bingwen sudah mengetahui jati dirinya. Serta dia juga sudah tahu siapa yang memerintahkan untuk membantai keluarganya. Pantas saja tidak ada yang melakukan perlawanan, sebab dalang dari aksi pembantaian itu justru orang paling tinggi di sebuah kerajaan. "Guru, sekarang apa yang harus aku lakukan? Tidak mungkin aku diam begitu saja setelah aku mengetahui kenyataan tentang diriku," ujar Bingwen. "Jangan gegabah. Kita tidak bisa melawannya untuk sekarang. Terlalu beresiko, Bingwen. Apa lagi jika langkah kita dianggap sebagai pemberontakan dan aksi kudeta. Bukan hanya kamu, aku ataupun Mei Lin yang akan dalam bahaya," jawab Guru Bao. Gemeretak gigi Bingwen, jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Keringat dingin pun sudah membasahi dahinya. Dia tidak berdaya, dia akui itu. Di saat dirinya sudah memegang kartu untuk menjatuhkan orang yang telah membuat hidupnya menderita, tapi sayangnya kartu itu tidak bisa di
Seminggu sudah Bingwen berlatih mengendalikan auranya, walau belum terlalu cukup mahir. Namun Bingwen setidaknya jauh lebih baik dari hari pertama dirinya mencoba untuk mengeluarkan aura yang dia miliki. Menurut apa yang Guru Bao katakan ketika Bingwen bisa mengontrol aura dengan baik, Bingwen bisa membunuh musuhnya hanya dengan auranya. "Tapi kamu harus ingat, Bingwen. Semakin besar aura yang kamu gunakan, maka makin besar pula resikonya," ucap Guru Bao. "Maksud Guru apa?" "Auramu ini berasal dari dalam dirimu, dalam sihir ini ibarat seperti 'mana'. Ketika kamu terlalu banyak mengeluarkan 'mana'' atau aura tersebut, maka hal itu akan membahayakan nyawamu sendiri.""Oh, jadi itulah kenapa aku harus belajar mengendalikan aura ini. Agar aku tidak menggunakannya secara berlebihan?" tanya Bingwen. "Benar. Kamu harus ingat itu. Gunakan auramu saat kamu benar-benar terpojok, hanya itu yang bisa aku sarankan." Bingwen mengangguk pelan, ternyata memang benar tidak ada hal yang mudah di
Angin berhembus dengan sepoi-sepoi di sore yang tenang itu, kedamaian yang begitu menenangkan dan nyaman. Rasanya sangat disayangkan ketika kedamaian itu tiba-tiba terenggut. Bingwen tengah duduk di halaman belakang sambil menikmati teh hitam, yang diseduh Mei Lin. Hari ini juga sesi latihan telah selesai semua, hingga kesempatan itu dimanfaatkan Bingwen untuk bersantai. Kedamaian yang Bingwen kira akan berlangsung lama itu ternyata tidak seperti yang pemuda itu harapkan. Sayup-sayup dari hutan kecil di depannya, terdengar suara tangis seorang anak kecil. Rasa penasarannya membuat Bingwen ingin memeriksa asal dari suara tersebut, dia pun beranjak berjalan menuju tangisan yang dia dengar. "Semak-semak ini sudah tinggi lagi, besok kalau aku senggang sebaiknya aku membersihkannya juga," gumam Bingwen. Cukup kesulitan bagi Bingwen untuk menyibak semak belukar yang kini mencapai pinggangnya, apa yang paling Bingwen risaukan hanyalah banyaknya ular yang bersembunyi di sekitar semak dan
"Kalian ingat, kalau dirasa kalian tidak bisa mengatasinya segera mengirim pesan," ucap Guru Bao. "Siap, Guru." Bingwen yang lebih dulu selesai berkemas untuk keberangkatannya dengan Mei Lin, demi menemukan kakak perempuan Yung Yin. "Bingwen, kamu hampir lupa pedangmu." Guru Bao menyerahkan pedang kuno yang telah dimodifikasi pada Bingwen."Lihatlah lebih dulu," titah Guru Bao. Bingwen menerima pedang tersebut dengan hati berdebar, debaran yang jauh lebih kuat dari saat pertama dia menemukan pedang tersebut. Tangan Bingwen bahkan sedikit gemetar ketika pedang itu sudah di tangannya. "Guru, bolehkah aku memeriksanya?" tanya Bingwen dengan ragu. "Tentu saja, pedang itu milikmu. Jadi kamu punya hak terhadapnya."Sebelum Bingwen mengeluarkan pedang tersebut dari sarung pedangnya, keringat dingin serta deru nafasnya memburu. Perlahan dan hati-hati Bingwen mengeluarkan pedangnya, matanya yang bulat berbinar seketika sewaktu dia melihat tampilan terbaru dari pedangnya. Bilah pedang ya
Hari sudah makin terik setibanya Bingwen, Mei Lin, dan Ming di tempat tujuan mereka. Walau saat ini masih siang hari, tapi suasana di hutan terlarang itu sudah mencekam. "Kamu yakin ada manusia yang pergi ke hutan ini? Sepi sekali loh, kamu ingat kan beberapa orang yang kita temui? Mereka menyarankan kita untuk kembali." Mei Lin bukan tipe orang yang penakut, hanya saja dia tidak mau mengambil resiko memasuki tempat yang berbahaya seperti itu dan tidak menghasilkan apapun. Belum masuk ke hutan yang dalam saja suasananya terlalu hening begini, apa lagi sudah memasuki wilayah hutan yang paling dalam? Entah akan ada binatang buas atau seperti rumor yang beredar.Adanya monster yang bersembunyi dan menjadi penghuni hutan ini. Bukan tidak aneh jika ada orang yang nekad pergi ke hutan ini dan tidak kembali lagi. "Hei, kenapa kalian diam saja?" tanya Mei Lin yang kesal karena ucapannya tidak direspon oleh Bingwen dan Ming. Kedua pemuda itu malah asik melihat ke tanah yang mereka pijak.
Bingwen dan Ming berjalan mengendap-endap menuju depan pondok, di mana ke delapan bandit yang tengah tepar. Langkah keduanya begitu pelan, walau delapan orang berbadan kekar itu tidak sadarkan diri. Bukan tidak mungkin mereka tiba-tiba bangun, berhati-hati jauh lebih baik dari pada membahayakan diri mereka sendiri. "Bingwen, biar aku yang menghabisi mereka. Kamu periksalah tempat yang lain," ucap Ming. "Kamu yakin bisa menghadapi mereka semua?" tanya Bingwen. "Tentu, aku yakin bisa. Walau aku tidak sehebat dirimu, aku tidak begitu buruk bukan?" Bingwen mengangguk, dia setuju dengan perkataan Ming. Tidak mungkin Ming diangkat sebagai pelatih bagi murid baru, jika kemampuannya belum diakui oleh gurunya. Guru Bao pasti sudah melihat kemampuan Ming, dia juga sudah beberapa kali duel dengan Ming. Walau Ming selalu kalah, tapi kemampuan Ming makin meningkat. "Baiklah, aku serahkan yang di sini padamu. Aku akan melihat bagian dalam pondok." Bingwen menyerahkan belati yang dia bawa d