Hari berganti hari, bulan demi bulan pun berlalu. Tahun berganti tanpa Bingwen sadari. Sekarang sudah memasuki tahun kedelapan Bingwen berlatih di hutan tersebut dibimbing oleh Fei hung. Bingwen terus berlatih di bawah pengawasan Fei Hung. Semua latihan demi latihan yang Bingwen lakukan makin intens. Setelah tubuhnya sudah tidak tersegel lagi, Bingwen malah makin semangat dalam mempelajari berbagai teknik ilmu pedang yang dia ingat. "Terimakasih Fei Hung, berkat kamu aku jadi lebih semangat berlatih." "Tidak masalah, aku senang bisa membantumu. Ngomong-ngomong kamu ternyata sudah terbangun ya aura-nya," ujar Fei Hung. "Hah? Aura? Aura kasih? Aura wajah?" Bingwen yang bingung akan pertanyaan Fei Hung, mengerutkan alisnya. Apa lagi yang akan diberitahu Fei Hung, sang putri peri itu? Makin kesini makin banyak rahasia dalam dirinya yang sedikit demi sedikit terkuak. Bingwen jadi sadar bahwa dirinya bukan anak yang dibuang orang tuanya secara sengaja. Ada alasan dibalik orang tuanya
Keesokan harinya, Bingwen yang tengah bersiap dan akhirnya tinggal menemui Fei Hung untuk berpamitan. Akan tetapi dia tidak menemukan jejak Fei Hung di kawasan hutan yang biasa mereka tempati. Berkali-kali Bingwen memanggil Fei Hung dan mencari ke tempat yang kemungkinan putri peri itu berada. Namun sayangnya tidak juga dia temukan. Nafas Bingwen sampai tersengal, entah sudah berapa kali dia mengitari hutan itu untuk menemukan Fei Hung. "Kamu jahat sekali, Fei Hung. Padahal hari ini mungkin terakhir kalinya kita bertemu, tapi kamu malah menghilang begitu saja," gumam Bingwen. Di tatapnya goa yang selama ini menjadi tempat dirinya dan Fei Hung berteduh. Goa yang menjadi tempatnya melepas penat. Goa dan hutan sekitar itu, yang selama delapan tahun terakhir menjadi saksi biksu akan kerja keras dirinya. Air mata Bingwen hampir jatuh saat itu, ingatan demi ingatan terus membanjiri pikirannya. Apa lagi dia tidak bisa menemukan Feng Hui. Entah kapan lagi dirinya bisa berjumpa dengan sang
"Haaa.... Akhirnya sampai juga. Ya ampun lelah sekali aku," ucap Bingwen setelah dia sampai di tempat tujuan..Kampung Guan In, sebuah kampung di kaki lereng gunung. Dari kampung ini, hanya butuh waktu 30 menit saja sampai ke kampungnya. Rasa lelah yang Bingwen rasakan sebelumnya telah sedikit berkurang setelah dia sampai di kampung Guan In ini. Perjalanan dua minggu yang begitu melelahkan, apa lagi cuaca yang terkadang tidak menentu. Bingwen bersyukur dia sampai sesuai perkiraan. Sebenarnya kaki Bingwen sudah tidak sanggup lagi berjalan, tapi dia tidak ingin membuang waktu walau sejenak. Lebih cepat sampai justru lebih baik. "Aku nggak sabar ingin ketemu Mei Lin dan Guru Bao. Mereka pasti kaget melihatku pulang sekarang," gumamnya. Saat Bingwen melewati kampung Guan In, Fei Hung yang dari hari pertama menyertai perjalanan Bingwen dengan senyap pun menghentikan kepakan sayap kecilnya. Putri peri itu menatap punggung Bingwen yang mulai menjauh dan tidak lagi terlihat. "Selamat tin
Mei Lin mendorong pelan tubuh Bingwen, dari tadi sahabatnya itu diam membisu. Padahal orang yang tengah dia cari ada di depannya, hanya berjarak beberapa langkah saja. "Pergilah, kamu bilang ingin bertemu dengan Ayah bukan?" Bingwen mengangguk, diapun berjalan dengan langkah cepat. Rasa rindu pada sosok yang telah membesarkan dan merawatnya dari bayi, melebihi kerinduan terhadap orang tuanya sendiri. Terkadang Bingwen sering bertanya, apakah dirinya termasuk anak yang durhaka. Sebab Bingwen lebih menyayangi Guru Bao dari pada orang tuanya sendiri. Bagi orang lain mungkin sikap Bingwen itu salah, tapi dia juga tidak bisa membohongi hatinya. Bukan berarti Bingwen tidak merindukan orang tuanya, dia hanya ingin bertanya pada orang tuanya kenapa mereka tega membuang dirinya? Guru Bao menolehkan kepalanya, tepat di depan Bingwen berdiri di sampingnya. "B-Bingwen?" tanya laki-laki yang kini sudah berusia separuh abad itu. "Iya, Guru. Aku sudah pulang," jawab Bingwen. Suaranya parau m
Percakapan Bingwen dengan Guru Bao masih terus berlanjut, sekarang Bingwen sudah mengetahui jati dirinya. Serta dia juga sudah tahu siapa yang memerintahkan untuk membantai keluarganya. Pantas saja tidak ada yang melakukan perlawanan, sebab dalang dari aksi pembantaian itu justru orang paling tinggi di sebuah kerajaan. "Guru, sekarang apa yang harus aku lakukan? Tidak mungkin aku diam begitu saja setelah aku mengetahui kenyataan tentang diriku," ujar Bingwen. "Jangan gegabah. Kita tidak bisa melawannya untuk sekarang. Terlalu beresiko, Bingwen. Apa lagi jika langkah kita dianggap sebagai pemberontakan dan aksi kudeta. Bukan hanya kamu, aku ataupun Mei Lin yang akan dalam bahaya," jawab Guru Bao. Gemeretak gigi Bingwen, jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Keringat dingin pun sudah membasahi dahinya. Dia tidak berdaya, dia akui itu. Di saat dirinya sudah memegang kartu untuk menjatuhkan orang yang telah membuat hidupnya menderita, tapi sayangnya kartu itu tidak bisa di
Seminggu sudah Bingwen berlatih mengendalikan auranya, walau belum terlalu cukup mahir. Namun Bingwen setidaknya jauh lebih baik dari hari pertama dirinya mencoba untuk mengeluarkan aura yang dia miliki. Menurut apa yang Guru Bao katakan ketika Bingwen bisa mengontrol aura dengan baik, Bingwen bisa membunuh musuhnya hanya dengan auranya. "Tapi kamu harus ingat, Bingwen. Semakin besar aura yang kamu gunakan, maka makin besar pula resikonya," ucap Guru Bao. "Maksud Guru apa?" "Auramu ini berasal dari dalam dirimu, dalam sihir ini ibarat seperti 'mana'. Ketika kamu terlalu banyak mengeluarkan 'mana'' atau aura tersebut, maka hal itu akan membahayakan nyawamu sendiri.""Oh, jadi itulah kenapa aku harus belajar mengendalikan aura ini. Agar aku tidak menggunakannya secara berlebihan?" tanya Bingwen. "Benar. Kamu harus ingat itu. Gunakan auramu saat kamu benar-benar terpojok, hanya itu yang bisa aku sarankan." Bingwen mengangguk pelan, ternyata memang benar tidak ada hal yang mudah di
Angin berhembus dengan sepoi-sepoi di sore yang tenang itu, kedamaian yang begitu menenangkan dan nyaman. Rasanya sangat disayangkan ketika kedamaian itu tiba-tiba terenggut. Bingwen tengah duduk di halaman belakang sambil menikmati teh hitam, yang diseduh Mei Lin. Hari ini juga sesi latihan telah selesai semua, hingga kesempatan itu dimanfaatkan Bingwen untuk bersantai. Kedamaian yang Bingwen kira akan berlangsung lama itu ternyata tidak seperti yang pemuda itu harapkan. Sayup-sayup dari hutan kecil di depannya, terdengar suara tangis seorang anak kecil. Rasa penasarannya membuat Bingwen ingin memeriksa asal dari suara tersebut, dia pun beranjak berjalan menuju tangisan yang dia dengar. "Semak-semak ini sudah tinggi lagi, besok kalau aku senggang sebaiknya aku membersihkannya juga," gumam Bingwen. Cukup kesulitan bagi Bingwen untuk menyibak semak belukar yang kini mencapai pinggangnya, apa yang paling Bingwen risaukan hanyalah banyaknya ular yang bersembunyi di sekitar semak dan
"Kalian ingat, kalau dirasa kalian tidak bisa mengatasinya segera mengirim pesan," ucap Guru Bao. "Siap, Guru." Bingwen yang lebih dulu selesai berkemas untuk keberangkatannya dengan Mei Lin, demi menemukan kakak perempuan Yung Yin. "Bingwen, kamu hampir lupa pedangmu." Guru Bao menyerahkan pedang kuno yang telah dimodifikasi pada Bingwen."Lihatlah lebih dulu," titah Guru Bao. Bingwen menerima pedang tersebut dengan hati berdebar, debaran yang jauh lebih kuat dari saat pertama dia menemukan pedang tersebut. Tangan Bingwen bahkan sedikit gemetar ketika pedang itu sudah di tangannya. "Guru, bolehkah aku memeriksanya?" tanya Bingwen dengan ragu. "Tentu saja, pedang itu milikmu. Jadi kamu punya hak terhadapnya."Sebelum Bingwen mengeluarkan pedang tersebut dari sarung pedangnya, keringat dingin serta deru nafasnya memburu. Perlahan dan hati-hati Bingwen mengeluarkan pedangnya, matanya yang bulat berbinar seketika sewaktu dia melihat tampilan terbaru dari pedangnya. Bilah pedang ya
"Apa kamu yakin surat yang kita kirimkan itu akan sampai ke tangan Guru Bao?" tanya Ming ketika Bingwen kembali. Ming membiarkan Bingwen menghabiskan makanannya lebih dulu, sama seperti dia yang kelaparan. Bingwen pun pasti demikian. Apalagi Bingwen yang lebih banyak menggunakan tenaga dari pada dia. "Iya tenang saja. Hanya aku dan Guru Bao yang paham tentang metode itu," jawab Bingwen. Diambilnya beberapa uang koin perak dan memberikannya pada pemilik kedai. Uang yang dia miliki pun makin berkurang. Dia harus mencari pekerjaan sementara sambil menunggu surat balasan dari Guru Bao. Setidaknya Minggu ini dia harus menetap di tempat ini terlebih dahulu. "Kita mau ke mana sekarang?" Tanya Ming. "Cari penginapan, kita kehabisan uang." "Oh! Kebetulan, tadi aku lihat ada orang yang sedang mencari prajurit bayaran. Katanya untuk mengisi kekosongan saat acara festival rakyat berlangsung, apa kita coba saja?" Ming sempat mendengar obrolan para pemuda yang duduk tidak jauh darinya di ked
Setelah perjalanan yang cukup panjang, kini Bingwen sudah berada di pusat kota kekaisaran. Suasana di pusat kota jauh lebih ramai dari pada di tempat lainnya, mengingat banyaknya aktivitas yang dilakukan penduduk setempat maupun pendatang. Tidak aneh juga jika pusat kota jauh lebih hidup, di mana di sini lah tempat mereka saling melakukan transaksi jual beli. Barang yang diperdagangkan pun jauh lebih beragam. Kain-kain sutra dengan kualitas terbaik, giok yang beraneka jenis ragamnya dan kualitasnya. Pandai besi yang memiliki kemampuan tinggi, sehingga senjata yang dia buat pun dijamin bagus. Di saat semua kemewahan tersedia di pusat kota kekaisaran, bukan tidak mungkin masih adanya tindak kejahatan. Pencopet ada di mana-mana, jika tidak ingin uang atau benda berhagamu hilang. Maka kamu harus lebih hati-hati dengan barang bawaanmu. "Kita mau ke mana, Bingwen?" tanya Ming. "Ayo cari makan dulu, kamu pasti lapar." Dari tadi Bingwen dapat mendengar gemuruh dari perut Ming. Ya ma
Baik Bingwen maupun Ming keduanya tercengang dengan apa yang mereka dengar. Bingwen memang menduga bahwa masih ada keturunan penyihir putih yang tersisa, tapi tidak dengan kenyataan bahwa Fei Hung yang selama ini dia kenal ternyata salah satunya. Bahkan empat keturunan penyihir putih yang tersisa. "Jadi, kamu benar keturunan langsung dari penyihir putih ini?" tanya Ming yang masih tidak percaya dengan semua hal yang dia ketahui. Fakta bahwa bangsa peri itu nyata saja merupakan hal yang mengejutkan bagi, Ming. Apa lagi makhluk yang ada di depannya ini merupakan keturunan dari penyihir putih dengan bangsa peri. "Begitulah, aku dan ketiga kakak laki-laki ku. Jadi totalnya ada empat, setelah ibu kami meninggal setelah melahirkanku," ujar Fei Hung. Ada mendung di raut wajah Fei Hung, ketika dia mengatakan meninggalnya sang ibu yang mana merupakan penyihir putih yang murni terakhir. Pasti ada rasa bersalah di hati Fei Hung, menyalahkan takdir. "Hei, jangan bersedih. Maaf ya kalau ucapa
"Ambil ini," ucap Fei Hung sambil memberikan sebuah alat pada Bingwen. "Apa ini?" "Alat komunikasi, jika kamu mengalami kesulitan dalam rencanamu maka jangan segan untuk menghubungiku." "Eh, tapi, bukankah ayahmu bilang kalau dia tidak akan ikut campur dengan masalah kami?" tanya Ming. "Ayah hanya mengatakan saja, tapi bukan benar-benar akan dilakukan. Tidak mungkin kami diam saja jika benar para penyihir ilmu hitam itu ikut terlibat," sahut Fei Hung. Fei Hung kemudian menceritakan alasan kenapa bangsa peri menjauh dari hubungan kerja sama dengan bangsa manusia dan penyihir ilmu hitam. Dua ratus tahun yang lalu, ada dua ilmu sihir yang ada di kontinen saat itu. Penyihir putih yang menggunakan ilmu sihirnya untuk menolong siapapun yang membutuhkan, termasuk bangsa manusia. Awalnya ketiga ras ini hidup dalam kerukunan yang damai, hingga suatu saat ketua penyihir ilmu hitam mengetahui kenyataan bahwa pihak penyihir putih mengetahui adanya sihir terlarang yang telah di segel ribuan
Raja Fei Gu, terdiam untuk beberapa saat. Sebab apa yang ditanyakan Bingwen bukan menjadi tanggung jawabnya. Ada batas yang tidak boleh dilanggar, meski penyihir hitam dan para peri tidak saling hidup berdampingan. Selagi kelompok penyihir hitam tersebut tidak melakukan kesalahan atau mengganggu bangsa peri terlebih dahulu, maka Raja Fei Gu juga tidak akan memulai duluan. "Katakan apakah yang kamu tanyakan ini berhubungan dengan kerjaan peri. Sebab apa yang kamu tanyakan itu murni berhubungan dengan manusia saja, tidak ada sangkut pautnya dengan bangsa peri," ujar Raja Fei Gu. Tergambar raut kekecewaan dan kesedihan di wajah Bingwen. Ketika harapan yang dia yakini telah dipatahkan langsung oleh sang raja. Menyadari suasana hati Bingwen yang langsung gelap, Fei Hung berjalan ke arah tahta ayahnya. "Ayah, izinkan saya berbicara sebentar dengan Ayah." Fei Hung tidak mengatakan dengan suara latang, sebab apa yang akan dia katakan adalah sebuah rahasia besar. Sesudah Fei Hung berbisik
"Jadi? Kenapa dua manusia ini bisa ada di wilayah kekuasaan kita?" tanya Fei Zhi yang masih tidak suka akan kedatangan Bingwen dan Ming. Bingwen tidak gentar sedikitpun dengan tekanan yang diberikan oleh kakak laki-laki Fei Hung. Di saat Ming ketakutan dan tidak bisa berbicara dengan benar, Bingwen justru tersenyum saja melihat kelakuan Ming. "Apa yang kamu lakukan? Beginikah sikap manusia tidak tahu diri yang tiba-tiba muncul tanpa pemberitahuan terlebih dahulu? Apa kamu kira aku ini badut yang bisa kamu tertawakan seperti itu?" Fei Zhi makin kesal akan tingkah lamu Bingwen yang disangka untuknya, padahal tidak demikian. "Oh, maafkan saya, Tuan. Saya tidak bermaksud demikian. Saya tidak menertawakan Anda, tapi pada teman saya ini. Padahal dia anak yang cerewet, tapi sekarang dia bahkan tidak bisa berkata sepatah kata pun," tutur Bingwen. Bingwen tidak mau memberi kesan buruk pada orang yang mungkin membantunya, makanya dia sebisa mungkin memperhatikan kalimat yang dia ucapk
"Jadi, apa yang membawamu ke sini?" tanya Fei Hung tanpa berbasa-basi. Kedatangan Bingwen saja sudah membuatnya penasaran Bagaimana bisa Bingwen menemukan portal menuju dunia para peri? Sementara hanya mereka yang keturunan peri dan orang tertentu saja yang diizinkan melewati portal tersebut. "Apa karena dia keturunan terakhir dari keluarga ahli pedang itu?" tanya Fei Hung dalam hatinya. Fei Hung tidak bisa meyakinkan dirinya akan pertanyaannya itu, meski benar apa yang menjadi alasan Bingwen bisa melewati portal yang memisahkan antara dunia manusia dan dunia peri adalah karena hal itu. Tentu hal tersebut juga tidak bisa diterima, sebab keluarga ahli pedang itu bahkan belum pernah ada yang menginjakkan kaki di tanah para peri. Lamunan Fei Hung buyar ketika Bingwen memanggil namanya dengan suara lantang. "Jangan teriak-teriak begitu, aku tidak tuli," ketus Fei Hung. Bingwen terkekeh melihat wajah kesal Fei Hung dan berkata, "Tingkahmu tidak ada yang berubah, Fei Hung.
"B-bingwen ... kenapa kamu berhenti?" tanya Ming yang gugup sebab Bingwen tiba-tiba berhenti begitu saja. Firasat Ming seketika langsung buruk, dia tidak yakin apakah Bingwen merasakan hal yang sama. "Ming, kita telah sampai.""Hah? Maksudmu?" "Kita telah tiba di kerajaan para peri," ujar Bingwen. Ming pun langsung mengedarkan pandangannya, memastikan apa yang dia dengar bukan hanya halusinasinya saja. "Haaa ... jadi negeri para peri itu benar adanya? Bukan hanya kisah dongeng belaka?" gumam Ming setelah dia melihat perbedaan yang ketara dari suasana di dunia manusia. "Gimana bisa, Bingwen?" tanya Ming lagi. Dia masih bingung kenapa tiba-tiba sudah pindah tempat begitu saja, padahal terakhir kali yang dilihat Ming hanyalah luasnya hutan belantara yang tertutup kabut tebal. Bingwen tidak menjawab pertanyaan temannya itu, sebab memang hanya dirinya saja yang dapat melihat bahwa mereka telah melewati garis ruang dan waktu. Jikalau pun Bingwen menceritakannya pada Ming, Ming pasti
Kabut tebal menyambut perjalanan Bingwen dan Ming kali ini, keduanya bahkan tidak bisa bergerak sembarang jika ingin selamat. Hutan belantara itu yang awalnya sudah sangat sulit ditaklukkan, kini makin menjadi seperti medan perang. "Apa yang harus kita lakukan, Bingwen? Kalau begini terus, jangankan menemukan kerajaan peri. Yang ada malah kita akan tersesat dan menjadi makanan binatang buas," ujar Ming. "Jangan menyerah begitu, kita datang ke sini memiliki niat yang baik. Pasti ada jalan. Dan jangan pernah berpikiran buruk ketika kita sedang berada di tempat seperti ini," sahut Bingwen.Bingwen bukan tidak mengerti akan kebimbangan yang Ming alami, hanya saja menyerah ketika sudah melewati perjalanan jauh dan menantang itu tentu bukan pilihan yang bijak. Akhirnya, Bingwen memutuskan untuk menggunakan kekuatannya. Indera penglihatannya dia pertajam, hingga walau setebal apapun kabut yang menghadang jalannya, dia bisa berjalan tanpa kesulitan. "Bingwen, entah kenapa matamu kok berb