Langit kini sudah hitam pekat, suara-suara serangga malam mulai terdengar dari berbagai penjuru hutan. Keheningan di tempat Bingwen berada justru lebih menegangkan. Hanya sorot mata Bingwen dan si putri peri saja yang saling mengisi kesunyian itu. Bingwen masih bersikeras ingin mengetahui siapa orang tuanya dan bagaimana si putri peri bisa mengetahui namanya. Masih tidak ada yang bersuara, padahal sudah berjam-jam waktu berlalu. "Jadi kamu mau diam saja? Oke kalau begitu. Aku tidak akan menanyakan apapun lagi padamu. Terserah kamu mau cerita atau tidak. Aku sudah lelah dengan kebisuan ini." Bingwen melabuhkan dirinya di batu besar sebelumnya, pandangannya jauh menerawang cakrawala. Dia yakin si putri peri mengetahui asal-usul dan siapa dirinya sebenarnya. Namun, Bingwen tidak mengerti kenapa si putri peri masih saja bungkam akan kenyataan tersebut. Karena pelindung yang diciptakan oleh si putri peri, tidak ada angin kencang yang berhembus. Cukup bersyukur juga Bingwen akan hal it
Q"Bingwen, pantas saja kamu tidak bisa menggunakan pedang pusaka itu. Rupanya orang tuamu memberikan mantra di kedua pergelangan tanganmu," ujar Fei Hung. "Maksudmu apa? Apa gunanya mereka melakukan hal itu? Kalau aku tidak tersesat dan menemukan goa itu juga, aku tidak akan menemukan pedang berkarat ini," cibir Bingwen.Bingwen hampir tertawa ketika Fei Hung mengatakan, penyebab tiap kali dia mengangkat pedang itu terasa berat. Untuk apa orang tuanya melakukan hal yang tidak berguna demikian? Tanpa diberi mantra sekalipun, dengan tubuh lemahnya itu dia tidak mungkin bisa menggunakan pedang tersebut. "Hah, pedang pusaka kamu bilang? Kenapa pedang pusaka itu justru jauh tersembunyi di dalam goa? Kalau mau membohongiku jangan berlebihan deh. Tubuhku memang lemah, tapi tidak dengan otakku," sambung Bingwen. Fei Hung termenung, raut wajah sang putri peri itu tergambar rasa bersalah dan penyesalan yang mendalam. Rasa kasihan juga terlihat dengan jelas. "Hentikan tatapan tidak nyaman it
Hari berganti hari, bulan demi bulan pun berlalu. Tahun berganti tanpa Bingwen sadari. Sekarang sudah memasuki tahun kedelapan Bingwen berlatih di hutan tersebut dibimbing oleh Fei hung. Bingwen terus berlatih di bawah pengawasan Fei Hung. Semua latihan demi latihan yang Bingwen lakukan makin intens. Setelah tubuhnya sudah tidak tersegel lagi, Bingwen malah makin semangat dalam mempelajari berbagai teknik ilmu pedang yang dia ingat. "Terimakasih Fei Hung, berkat kamu aku jadi lebih semangat berlatih." "Tidak masalah, aku senang bisa membantumu. Ngomong-ngomong kamu ternyata sudah terbangun ya aura-nya," ujar Fei Hung. "Hah? Aura? Aura kasih? Aura wajah?" Bingwen yang bingung akan pertanyaan Fei Hung, mengerutkan alisnya. Apa lagi yang akan diberitahu Fei Hung, sang putri peri itu? Makin kesini makin banyak rahasia dalam dirinya yang sedikit demi sedikit terkuak. Bingwen jadi sadar bahwa dirinya bukan anak yang dibuang orang tuanya secara sengaja. Ada alasan dibalik orang tuanya
Keesokan harinya, Bingwen yang tengah bersiap dan akhirnya tinggal menemui Fei Hung untuk berpamitan. Akan tetapi dia tidak menemukan jejak Fei Hung di kawasan hutan yang biasa mereka tempati. Berkali-kali Bingwen memanggil Fei Hung dan mencari ke tempat yang kemungkinan putri peri itu berada. Namun sayangnya tidak juga dia temukan. Nafas Bingwen sampai tersengal, entah sudah berapa kali dia mengitari hutan itu untuk menemukan Fei Hung. "Kamu jahat sekali, Fei Hung. Padahal hari ini mungkin terakhir kalinya kita bertemu, tapi kamu malah menghilang begitu saja," gumam Bingwen. Di tatapnya goa yang selama ini menjadi tempat dirinya dan Fei Hung berteduh. Goa yang menjadi tempatnya melepas penat. Goa dan hutan sekitar itu, yang selama delapan tahun terakhir menjadi saksi biksu akan kerja keras dirinya. Air mata Bingwen hampir jatuh saat itu, ingatan demi ingatan terus membanjiri pikirannya. Apa lagi dia tidak bisa menemukan Feng Hui. Entah kapan lagi dirinya bisa berjumpa dengan sang
"Haaa.... Akhirnya sampai juga. Ya ampun lelah sekali aku," ucap Bingwen setelah dia sampai di tempat tujuan..Kampung Guan In, sebuah kampung di kaki lereng gunung. Dari kampung ini, hanya butuh waktu 30 menit saja sampai ke kampungnya. Rasa lelah yang Bingwen rasakan sebelumnya telah sedikit berkurang setelah dia sampai di kampung Guan In ini. Perjalanan dua minggu yang begitu melelahkan, apa lagi cuaca yang terkadang tidak menentu. Bingwen bersyukur dia sampai sesuai perkiraan. Sebenarnya kaki Bingwen sudah tidak sanggup lagi berjalan, tapi dia tidak ingin membuang waktu walau sejenak. Lebih cepat sampai justru lebih baik. "Aku nggak sabar ingin ketemu Mei Lin dan Guru Bao. Mereka pasti kaget melihatku pulang sekarang," gumamnya. Saat Bingwen melewati kampung Guan In, Fei Hung yang dari hari pertama menyertai perjalanan Bingwen dengan senyap pun menghentikan kepakan sayap kecilnya. Putri peri itu menatap punggung Bingwen yang mulai menjauh dan tidak lagi terlihat. "Selamat tin
Mei Lin mendorong pelan tubuh Bingwen, dari tadi sahabatnya itu diam membisu. Padahal orang yang tengah dia cari ada di depannya, hanya berjarak beberapa langkah saja. "Pergilah, kamu bilang ingin bertemu dengan Ayah bukan?" Bingwen mengangguk, diapun berjalan dengan langkah cepat. Rasa rindu pada sosok yang telah membesarkan dan merawatnya dari bayi, melebihi kerinduan terhadap orang tuanya sendiri. Terkadang Bingwen sering bertanya, apakah dirinya termasuk anak yang durhaka. Sebab Bingwen lebih menyayangi Guru Bao dari pada orang tuanya sendiri. Bagi orang lain mungkin sikap Bingwen itu salah, tapi dia juga tidak bisa membohongi hatinya. Bukan berarti Bingwen tidak merindukan orang tuanya, dia hanya ingin bertanya pada orang tuanya kenapa mereka tega membuang dirinya? Guru Bao menolehkan kepalanya, tepat di depan Bingwen berdiri di sampingnya. "B-Bingwen?" tanya laki-laki yang kini sudah berusia separuh abad itu. "Iya, Guru. Aku sudah pulang," jawab Bingwen. Suaranya parau m
Percakapan Bingwen dengan Guru Bao masih terus berlanjut, sekarang Bingwen sudah mengetahui jati dirinya. Serta dia juga sudah tahu siapa yang memerintahkan untuk membantai keluarganya. Pantas saja tidak ada yang melakukan perlawanan, sebab dalang dari aksi pembantaian itu justru orang paling tinggi di sebuah kerajaan. "Guru, sekarang apa yang harus aku lakukan? Tidak mungkin aku diam begitu saja setelah aku mengetahui kenyataan tentang diriku," ujar Bingwen. "Jangan gegabah. Kita tidak bisa melawannya untuk sekarang. Terlalu beresiko, Bingwen. Apa lagi jika langkah kita dianggap sebagai pemberontakan dan aksi kudeta. Bukan hanya kamu, aku ataupun Mei Lin yang akan dalam bahaya," jawab Guru Bao. Gemeretak gigi Bingwen, jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Keringat dingin pun sudah membasahi dahinya. Dia tidak berdaya, dia akui itu. Di saat dirinya sudah memegang kartu untuk menjatuhkan orang yang telah membuat hidupnya menderita, tapi sayangnya kartu itu tidak bisa di
Seminggu sudah Bingwen berlatih mengendalikan auranya, walau belum terlalu cukup mahir. Namun Bingwen setidaknya jauh lebih baik dari hari pertama dirinya mencoba untuk mengeluarkan aura yang dia miliki. Menurut apa yang Guru Bao katakan ketika Bingwen bisa mengontrol aura dengan baik, Bingwen bisa membunuh musuhnya hanya dengan auranya. "Tapi kamu harus ingat, Bingwen. Semakin besar aura yang kamu gunakan, maka makin besar pula resikonya," ucap Guru Bao. "Maksud Guru apa?" "Auramu ini berasal dari dalam dirimu, dalam sihir ini ibarat seperti 'mana'. Ketika kamu terlalu banyak mengeluarkan 'mana'' atau aura tersebut, maka hal itu akan membahayakan nyawamu sendiri.""Oh, jadi itulah kenapa aku harus belajar mengendalikan aura ini. Agar aku tidak menggunakannya secara berlebihan?" tanya Bingwen. "Benar. Kamu harus ingat itu. Gunakan auramu saat kamu benar-benar terpojok, hanya itu yang bisa aku sarankan." Bingwen mengangguk pelan, ternyata memang benar tidak ada hal yang mudah di