"Ada apa? Kenapa panik begitu?" Guru Bao mempunyai firasat buruk akan hal itu.
Pendengarannya yang tajam dapat menangkap suara derap laju kuda, bukan hanya satu atau dua. Ada banyak, mungkin puluhan jumlahnya."Guru, pasukan musuh sudah memasuki wilayah kita. Apa yang harus kita lakukan?" jawab orang yang tadi berlari dari arah lereng gunung."Sudah sampai? Bukankah pasukan kerajaan sudah menghalangi mereka? Nampaknya lawan kali ini jauh lebih kuat, kerajaan barat rupanya tidak bisa diambil remeh.""Ungsikan semua perempuan, anak kecil, dan orang tua. Siapapun yang bisa bertarung, ikut aku maju di garda depan. Jangan panik, kita semua sudah terlatih!" Seru Guru Bao memberi perintah pada penduduk kampung.Tanpa mengulang perintah lagi, pasukan khusus dari Perguruan Bao pun sudah siap siaga di posisinya masing-masing. Termasuk Ni Lou dan Ni Me."Guru Bao, tolong izinkan aku juga untuk turut serta," pinta Bingwen."Jangan bodoh, Bingwen. Apa yang kamu lakukan? Ayo kita harus sembunyi," sela Mei Lin.Mei Lin tahu kalau Bingwen tipe orang yang tidak akan menyerah walau banyak orang yang menyuruhnya untuk berhenti, buktinya Bingwen terus berlatih walau tiap hari Ni Lou dan Ni Me merendahkannya.Namun situasi sekarang berbeda, Mei Lin tidak akan mendukung kegigihan Bingwen kali ini. Jika Bingwen tetap teguh dengan kekeraskepalaannya, maka dia harus bersedia mati saat itu juga."Bingwen, apa yang kamu lakukan? Cepat kita harus pergi dari sini. Ayah dan yang lainnya pasti bisa mengalahkan mereka," bujuk Mei Lin."Tapi.... Aku juga termasuk murid Guru Bao, aku tidak mau bersembunyi seperti pecundang. Sementara Guru Bao bertarung mempertaruhkan nyawanya," ujar Bingwen.Guru Bao yang baru saja selesai memberikan arahan bagi masing-masing pasukan, dia langsung menghampiri Bingwen dan Mei Lin."Bingwen, dengarkan aku kali ini saja. Aku tahu kamu murid yang gigih, tapi tidak saat ini. Pergilah ke tempat yang aman dengan Mei Lin," ucap Guru Bao."Tidak, Guru. Aku juga ingin ikut bertarung dengan yang lainnya, aku tidam mau dicap sebagai pecundang. Ni Lou dan Ni Me pasti akan puas meledekku." Bingwen masih berdiri di tempatnya, dia tidak mau bergerak walau sesenti pun.Harga dirinya akan semakin jatuh jika dia bersembunyi sementara rekannya bertarung melawan pasukan kerajaan barat, hal itu yang membuat Bingwen bersikukuh dengan pendiriannya."Hentikan Bingwen, kali ini kembalilah. Aku akan memberimu tugas untuk melindungi Mei Lin. Kamu bisa bukan?" Lelaki berjanggut putih itu akhirnya mencari cara agara Bingwen mendengarkan ucapannya."Benar, Bingwen. Kamu ikut aku saja, dengan begitu aku jadi merasa lebih aman," sela Mei Lin.Cukup lama Bingwen terpaku, hingga akhirnya dia mengangguk setuju. Guru Bao pun segera kembali ke posisinya, Mei Lin menarik lengan Bingwen agar segera menyusul penduduk yang lainnya."Kamu itu keras kepala nggak kenal tempatnya, Bingwen. Apa salahnya sih kamu dengarkan nasihat Ayah sekali saja, kamu mau mati sia-sia?" omel Mei Lin setelah keduanya telah berada di tempat persembunyian.Tempat itu cukup luas untuk menampung sebagian penduduk kampung yang tidak bisa maju ke medan perang. Suara tangisan anak-anak kecil, suara beberapa ibu yang berusaha menenangkan anak-anaknya."Aku dengar pasukan kerajaan barat memiliki senjata perang yang jauh lebih canggih, dari apa yang kita miliki sekarang," celetuk salah satu penduduk."Senjata yang jauh lebih canggih? Apa itu?""Pistol! Mereka bukan hanya menggunakan pedang dan serangan bom rakit, tapi juga senapan. Bukankah perbandingannya sangat besar?""Lalu, apa yang akan terjadi dengan kita sekarang? Kenapa raja kita tidak menerima saja negosiasi untuk menyatukan kerajaan timur dan barat?"Hujah demi hujah terdengar di telinga Bingwen dan Mei Lin, Mei Lin bahkan mengepalkan tangannya. Dia tidak menyangka penduduk kampung yang tengah dilindungi oleh ayahnya, justru berpendapat agar mereka menyerah."Mereka itu bodoh ya. Apa mereka tidak tahu, jika kita menyerah dan menjadi bagian dari Kerajaan Barat. Maka kita harus siap menjadi budak, kekayaan alam kita akan dikuasai oleh mereka dengan alasan mereka memiliki alat yang jaih lebih canggih," ujar Mei Lin.Hatinya panas dan kesal, jika saja tidak dalam keadaan genting pasti Mei Lin sudah menghajar orang yang dengan seenaknya menggiring opini orang luar.Bingwen tidak menyahut, dia juga membenarkan apa yang dikatakan Mei Lin. Jika kita kalah atau menyerah, sama saja dengan menutup pintu peluang yang ada.Dari luar sana terdengar suara senjata saling bertemu, ringkikan kuda dan suara para pasukan dari masing-masing kubu pun makin memanas. Bingwen hanya bisa membayangkan seberapa kuatnya pertempuran tersebut."Kalau saja aku punya kesempatan untuk keluar dari sini," gumam Bingwen.Bingwen melirik ke arah Mei Lin yang sekarang tengah sibuk mengobati luka seorang anak kecil, sepertinya anak itu terjatuh saat melarikan diri bersama orangtuanya."Bagus! Ini kesempatanku," gumam Bingwen.Diraihnya pedang berkarat yang dia temukan di gua, walau pedang itu terasa begitu berat. Namun Bingwen tidak punya pilihan lain, hanya pedang itu lah senjata yang dia punya.Bingwen mencari kesempatan agar dia bisa menyelinap keluar, benar saja dugaan Bingwen. Dalam situasi saat ini, memang tidak akan ada yang memerhatikan kepergianku," ucapnya.Secepat yang dia bisa, Bingwen langsung berlari ke arah pertempuran tersebut."Sial, bau hutan terbakar."Mata Bingwen liar mencari sosok gurunya dan rekan-rekannya. Mungkin tidak sedikit bagi yang lain membenci dirinya, karena hasutan Ni Lou dan Ni Mde."Oh, itu dia Guru Bao..." Bingwen bersembunyi di balik pohon yang begitu lebat daunnya.Dengan mata kepalanya sendiri, Bingwen menyaksikan dengan jelas kehebatan Guru Bao."Guru Bao memang keren, kalau begini terus kita pasti menang," gumam Bingwen.Baru saja Bingwen berkata demikian, pasukan Kerajaan Barat sudah berhasil melumpuhkan sebagian besar pasukan khusus Guru Bao."Gawat! Apa yang harus aku lakukan? Tidak mungkin aku sembunyi di sini terus. Sementara Guru Bao juga kewalahan melawan musuhnya."Bingwen menatap pedang yang dia bawa, pedang berkarat itu tentu tidak bisa untuk mengoyak tubuh musuhnya.Dengan tekad yang kuat, Bingwen melawati juga satu persatu tubuh pasukan yang sudah tumbang. Matanya hampir lepas dari tempatnya, tatkala Bingwen menyaksikan Guru Bao berada di bawah kekangan musuh."Guru!" Seru Bingwen.Dengan sekuat tenaga Bingwen melempar batu ke arah musuh tersebut.Plak!Bruk!Entah bagaimana caranya, lemparan Bingwen begitu kuat."Bingwen, apa yang kamu lakukan di sini? Bagaimana kalau mereka menangkapmu?" Guru Bae tidak habis pikir dengan tindakan Bingwen."Maafkan aku, Guru Bao. Aku tidak akan membiarkan mereka menyakiti Guru," jawab Bingwen tanpa ada rasa gentar dari jawaban yang dia berikan pada gurunya.Seumur hidup Bingwen, baru kali ini dia berhadapan dengan tiga orang lawan sekaligus. Selama ini dia hanya meladeni permainan Ni Lou dan Ni Me saja. Dia cukup senang karena bisa menghindari serangan dari tiga lawannya, kondisi Guru Bao yang sudah terluka parah membuatnya tidak bisa membantu Bingwen. "Bingwen, larilah. Tinggalkan aku di sini, panggil bala bantuan. Cepat!" Seru Guru Bao. Guru itu tidak sanggup melihat Bingwen kewalahan menangani tiga lawan sekaligus. Apa lagi senjata yang dimiliki ketiganya sudah dilumuri racun yang dapat melumpuhkan syaraf. "Tidak, Guru. Aku tidak akan meninggalkan Guru." Nafas Bingwen hampir putus rasanya, tat kala dirinya nyaris tertebas oleh pedang lawannya. "Sialan, apa yang harus aku lakukan?" "Saat ini aku memang beruntung belum terkena senjata mereka, tapi staminaku sudah terkuras habis. Aku benci dengan tubuh lemah ini!" Gerutuan Bingwen hanya dibalas gelak tawa oleh ketiga orang tersebut. "Heh, anak kecil. Lebih baik kamu menyerah saja
Hembusan angin mulai kencang, suara pertarungan di bagian sudut lain terdengar saling bersahutan dengan deru angin. Bingwen masih duduk termenung, dia tidak mengerti dengan kondisi tubuhnya yang seolah sudah kehabisan tenaga. Entah apa yang terjadi sebelumnya, seingat Bingwen dia hendak mengayunkan pedang temuannya pada ketiga lawannya. Setelah itu Bingwen tidak memiliki ingatan apa pun. Dia juga dibuat makin bingung ketika kesadarannya telah kembali, ketiga kawannya tersebut telah tumbang. Tidak mungkin Guru Bao yang mengalahkan ketiganya, mengingat sang guru juga tidak sadarkan diri. "Sebenarnya apa yang terjadi? Tubuhku lemas begini, aku belum pernah merasakan hal yang seperti ini sebelumnya walau sesulit apa latihan yang aku lakukan," gumam Bingwen.Ketika Bingwen kebingungan itulah Mei Lin dan dua orang penduduk kampung menghampirinya. "Hei, Bingwen. Kamu mau cari mati ya! Kenapa pergi begitu saja, aku tahu kamu ingin menolong tapi bukan waktunya sekarang," omel Mei Lin. Mei
Guru Bao meminta mereka yang ada di sekitarnya untuk meninggalkan dirinya dan Bingwen. Setelah hanya keduanya yang tersisa di ruangan tersebut, barulah Guru Bao memanggil Bingwen agar mendekat padanya. "Bingwen, tahukah kamu gambar yang terukir di punggungmu itu artinya apa?" tanya Guru Bao. "Tidak Guru, bukankah dulu aku tidak mempunyai gambar atau tanda lahir seperti yang digambarkan oleh tabib tadi?""Memang benar, aku lah yang menemukan kamu di depan rumahku saat kamu masih bayi. Aku juga yang membesarkan kamu, jadi aku pasti tahu jika ada tanda lahir yang unik seperti yang kamu miliki sekarang," ujar Guru Bao.."Lalu, apa arti tanda ini Guru? Apakah akan membahayakan hidupku nanti?" "Aku belum tahu pasti, hanya saja aku ingat tanda itu merujuk kemana. Lima ratus tahun lalu ada keluarga ahli pedang, di antara keturunan keluarga tersebut yang paling menonjol dan menjadi kepala keluarganya diketahui memiliki ciri tanda gambar pedang. Persis seperti yang ada di punggungmu itu, Bin
Dua minggu setelah penyerangan itu, suasana di tempat tinggal Bingwen masih tampak kacau. Perbaikan rumah penduduk masih berlangsung. Guru Bao sedang menghadap baginda kaisar. Tampaknya ada hal yang lebih serius dari kasus penyerangan tersebut. Mei Lin yang baru saja kembali dari rumah penduduk, membantu mereka yang terluka. Gadis itu menghempaskan dirinya di samping Bingwen yang duduk termenung menatap langit yang mendung. Hembusan angin pun mulai kencang, cuaca yang sangat cocok untuk bermalas-malasan. Namun tidak bagi penduduk setempat, bulan ini sudah memasuki musim hujan. Jika curah hujan lebat tiap hari, bayang-bayang tanah longsor selalu menghantui mereka. Bukan hal aneh jika musim hujan dan bencana longsor terjadi. Penduduk yang tinggal di lereng gunung tersebut, bukan tidak mau berpindah tempat. Hanya saja mereka sudah mendarah daging menyukai tanah kelahiran mereka. "Ngapain kamu duduk di sini? Mau hujan loh bentar lagi, kamu nggak masuk ke dalam? Bukannya kamu takut ba
Bau tanah ketika terguyur hujan sungguh hal yang disukai Bingwen sejak dulu, baginya saat inilah dia bisa menenangkan pikirannya yang berantakan. Pemuda itu menatap kosong ke luar jendela, dia memang tidak mengalami luka dari kejadian sebelumnya. Namun Mei Lin memaksanya untuk tetap istirahat. Sementara Mei Lin sibuk dengan urusannya di dapur, Bingwen memanfaatkan kesempatan itu dengan melamun. Telinganya nyaris putus, jeweran Mei Lin masih sama menyakitkannya seperti dulu. "Padahal aku bosan duduk diam seperti ini, aku ingin menggerakkan tubuhku," gerutu Bingwen. Sebenarnya sebelum hujan turun, dia hendak keluar sembunyi-sembunyi. Tujuan awalnya adalah untuk memastikan kembali apakah benar dia selamat dari serangan prajurit lawan, karena faktor beruntung? "Ingatan terakhirku itu aku memegang pedang berkarat yang aku temukan, setelahnya aku tidak ingat apapun. Apakah itu hal yang wajar?" Lamunan Bingwen makin panjang, dia menerka-nerka apakah dia benar ada sangkut-pautnya dengan
Debaran jantung Mei Lin begitu berisik, semakin dekat prajurit itu ke arah gentong air. Rasanya Mei Lin seperti berhenti bernafas. Dia bahkan tidak berani membuka matanya. Prajurit itu berdiri tepat di samping gentong tersebut. "Bagiamana, ada tidak?" Prajurit yang mengerikan itu hanya menggeleng, "Tidak ada seorang pun." Brak! Amarah prajurit yang memegangi Mei Lin nampaknya tidak bisa ditahan, dia menentang kursi yang ada di sampingnya. Kursi kayu itu akhirnya hancur berantakan. "Tidak mungkin dia tidak ada! Cari sampai ketemu! Aku yakin ada jalan keluar dari rumah ini!" titahnya pada kedua prajurit lainnya. Entah karena takut mereka akan mendapat masalah besar, jika tidak membawa Bingwen. Keduanya pun kembali mengobrak-abrik rumah Guru Bao. Hancur sudah rumah yang semula layak dihuni tersebut. Kursi, meja, kasur, lemari pakaian, bahkan tempat air semuanya diluluhlantakkan. Kebengisan ketiga prajurit itu laksana tirani, yang tidak peduli jeritan Mei Lin untuk menghentikan pe
Keesokan harinya, Mei Lin terbangun dengan kondisi tubuh yang remuk redam. Dia menata langit-langit ruangan yang dia tempati saat itu. "Ini bukan rumah kami? Aku ada di mana?" Sedetik kemudian Guru Bao memasuki ruangan tersebut, untuk memeriksa keadaan putrinya. "Mei Lin, kamu sudah sadar, Nak?" tanya Guru Bao. Dia langsung memeriksa putrinya, pernapasan Mei Lin sudah jauh lebih baik."Ayah, Bingwen di mana? Sudah ketemu?" Mei Lin bukannya mengkhawatirkan dirinya sendiri, hal pertama yang dia tanyakan justru Bingwen. Mei Lin mencoba bangun dari pembaringannya, dia harus menyaksikan Bingwen selamat dengan mata kepalanya sendiri. "Tenanglah, kondisimu juga belum pulih. Bingwen masih belum ditemukan. Ayah sudah mencarinya tapi belum ada tanda keberadaannya. Kamu yakin dia sembunyi di belakang gentong air di dalam rumah?" Guru Bao mencari kebenaran dari apa yang dia dengar sebelumnya. Jikalau benar Bingwen sembunyi di tempat itu, seharusnya dia ada. Sebab tidak ada jalan rahasia di ru
Hari sudah makin gelap, tapi Bingwen masih berkeliaran di hutan tersebut. Lelah sudah kakinya melangkah, menyusuri jalan setapak nan terjal, tapi sayangnya jalan pulang yang dia harapkan masih belum terlihat. Bahkan Bingwen merasa kalau dirinya hanya berputar di tempat yang sama saja. Sudah berkali-kali Bingwen mengelilingi tempat tersebut, kecurigaannya makin kuat tatkala dia melalui tanda yang sengaja dia buat. "Kenapa aku terus menerus melewati tempat ini? Perasaan tadi lancar saja," gumamnya. Keanehan yang Bingwen rasakan tatkala dia sudah berjalan hampir dua jam lamanya, ketika dia melewati bagian hutan yang memiliki jalan lebih mudah dari sebelumnya. Namun angan Bingwen untuk bisa sampai lebih cepat dari yang dia harapkan, tidak terwujud juga. Anak lelaki itu melabuhkan dirinya di sebuah batu besar dekat dengan pohon yang menjulang tinggi. Jika dilihat dari besarnya pohon dan akar pohon tersebut, Bingwen pastikan kalau pohon yang ada di dekatnya itu sudah sangat berumur. "K
"Apa kamu yakin surat yang kita kirimkan itu akan sampai ke tangan Guru Bao?" tanya Ming ketika Bingwen kembali. Ming membiarkan Bingwen menghabiskan makanannya lebih dulu, sama seperti dia yang kelaparan. Bingwen pun pasti demikian. Apalagi Bingwen yang lebih banyak menggunakan tenaga dari pada dia. "Iya tenang saja. Hanya aku dan Guru Bao yang paham tentang metode itu," jawab Bingwen. Diambilnya beberapa uang koin perak dan memberikannya pada pemilik kedai. Uang yang dia miliki pun makin berkurang. Dia harus mencari pekerjaan sementara sambil menunggu surat balasan dari Guru Bao. Setidaknya Minggu ini dia harus menetap di tempat ini terlebih dahulu. "Kita mau ke mana sekarang?" Tanya Ming. "Cari penginapan, kita kehabisan uang." "Oh! Kebetulan, tadi aku lihat ada orang yang sedang mencari prajurit bayaran. Katanya untuk mengisi kekosongan saat acara festival rakyat berlangsung, apa kita coba saja?" Ming sempat mendengar obrolan para pemuda yang duduk tidak jauh darinya di ked
Setelah perjalanan yang cukup panjang, kini Bingwen sudah berada di pusat kota kekaisaran. Suasana di pusat kota jauh lebih ramai dari pada di tempat lainnya, mengingat banyaknya aktivitas yang dilakukan penduduk setempat maupun pendatang. Tidak aneh juga jika pusat kota jauh lebih hidup, di mana di sini lah tempat mereka saling melakukan transaksi jual beli. Barang yang diperdagangkan pun jauh lebih beragam. Kain-kain sutra dengan kualitas terbaik, giok yang beraneka jenis ragamnya dan kualitasnya. Pandai besi yang memiliki kemampuan tinggi, sehingga senjata yang dia buat pun dijamin bagus. Di saat semua kemewahan tersedia di pusat kota kekaisaran, bukan tidak mungkin masih adanya tindak kejahatan. Pencopet ada di mana-mana, jika tidak ingin uang atau benda berhagamu hilang. Maka kamu harus lebih hati-hati dengan barang bawaanmu. "Kita mau ke mana, Bingwen?" tanya Ming. "Ayo cari makan dulu, kamu pasti lapar." Dari tadi Bingwen dapat mendengar gemuruh dari perut Ming. Ya ma
Baik Bingwen maupun Ming keduanya tercengang dengan apa yang mereka dengar. Bingwen memang menduga bahwa masih ada keturunan penyihir putih yang tersisa, tapi tidak dengan kenyataan bahwa Fei Hung yang selama ini dia kenal ternyata salah satunya. Bahkan empat keturunan penyihir putih yang tersisa. "Jadi, kamu benar keturunan langsung dari penyihir putih ini?" tanya Ming yang masih tidak percaya dengan semua hal yang dia ketahui. Fakta bahwa bangsa peri itu nyata saja merupakan hal yang mengejutkan bagi, Ming. Apa lagi makhluk yang ada di depannya ini merupakan keturunan dari penyihir putih dengan bangsa peri. "Begitulah, aku dan ketiga kakak laki-laki ku. Jadi totalnya ada empat, setelah ibu kami meninggal setelah melahirkanku," ujar Fei Hung. Ada mendung di raut wajah Fei Hung, ketika dia mengatakan meninggalnya sang ibu yang mana merupakan penyihir putih yang murni terakhir. Pasti ada rasa bersalah di hati Fei Hung, menyalahkan takdir. "Hei, jangan bersedih. Maaf ya kalau ucapa
"Ambil ini," ucap Fei Hung sambil memberikan sebuah alat pada Bingwen. "Apa ini?" "Alat komunikasi, jika kamu mengalami kesulitan dalam rencanamu maka jangan segan untuk menghubungiku." "Eh, tapi, bukankah ayahmu bilang kalau dia tidak akan ikut campur dengan masalah kami?" tanya Ming. "Ayah hanya mengatakan saja, tapi bukan benar-benar akan dilakukan. Tidak mungkin kami diam saja jika benar para penyihir ilmu hitam itu ikut terlibat," sahut Fei Hung. Fei Hung kemudian menceritakan alasan kenapa bangsa peri menjauh dari hubungan kerja sama dengan bangsa manusia dan penyihir ilmu hitam. Dua ratus tahun yang lalu, ada dua ilmu sihir yang ada di kontinen saat itu. Penyihir putih yang menggunakan ilmu sihirnya untuk menolong siapapun yang membutuhkan, termasuk bangsa manusia. Awalnya ketiga ras ini hidup dalam kerukunan yang damai, hingga suatu saat ketua penyihir ilmu hitam mengetahui kenyataan bahwa pihak penyihir putih mengetahui adanya sihir terlarang yang telah di segel ribuan
Raja Fei Gu, terdiam untuk beberapa saat. Sebab apa yang ditanyakan Bingwen bukan menjadi tanggung jawabnya. Ada batas yang tidak boleh dilanggar, meski penyihir hitam dan para peri tidak saling hidup berdampingan. Selagi kelompok penyihir hitam tersebut tidak melakukan kesalahan atau mengganggu bangsa peri terlebih dahulu, maka Raja Fei Gu juga tidak akan memulai duluan. "Katakan apakah yang kamu tanyakan ini berhubungan dengan kerjaan peri. Sebab apa yang kamu tanyakan itu murni berhubungan dengan manusia saja, tidak ada sangkut pautnya dengan bangsa peri," ujar Raja Fei Gu. Tergambar raut kekecewaan dan kesedihan di wajah Bingwen. Ketika harapan yang dia yakini telah dipatahkan langsung oleh sang raja. Menyadari suasana hati Bingwen yang langsung gelap, Fei Hung berjalan ke arah tahta ayahnya. "Ayah, izinkan saya berbicara sebentar dengan Ayah." Fei Hung tidak mengatakan dengan suara latang, sebab apa yang akan dia katakan adalah sebuah rahasia besar. Sesudah Fei Hung berbisik
"Jadi? Kenapa dua manusia ini bisa ada di wilayah kekuasaan kita?" tanya Fei Zhi yang masih tidak suka akan kedatangan Bingwen dan Ming. Bingwen tidak gentar sedikitpun dengan tekanan yang diberikan oleh kakak laki-laki Fei Hung. Di saat Ming ketakutan dan tidak bisa berbicara dengan benar, Bingwen justru tersenyum saja melihat kelakuan Ming. "Apa yang kamu lakukan? Beginikah sikap manusia tidak tahu diri yang tiba-tiba muncul tanpa pemberitahuan terlebih dahulu? Apa kamu kira aku ini badut yang bisa kamu tertawakan seperti itu?" Fei Zhi makin kesal akan tingkah lamu Bingwen yang disangka untuknya, padahal tidak demikian. "Oh, maafkan saya, Tuan. Saya tidak bermaksud demikian. Saya tidak menertawakan Anda, tapi pada teman saya ini. Padahal dia anak yang cerewet, tapi sekarang dia bahkan tidak bisa berkata sepatah kata pun," tutur Bingwen. Bingwen tidak mau memberi kesan buruk pada orang yang mungkin membantunya, makanya dia sebisa mungkin memperhatikan kalimat yang dia ucapk
"Jadi, apa yang membawamu ke sini?" tanya Fei Hung tanpa berbasa-basi. Kedatangan Bingwen saja sudah membuatnya penasaran Bagaimana bisa Bingwen menemukan portal menuju dunia para peri? Sementara hanya mereka yang keturunan peri dan orang tertentu saja yang diizinkan melewati portal tersebut. "Apa karena dia keturunan terakhir dari keluarga ahli pedang itu?" tanya Fei Hung dalam hatinya. Fei Hung tidak bisa meyakinkan dirinya akan pertanyaannya itu, meski benar apa yang menjadi alasan Bingwen bisa melewati portal yang memisahkan antara dunia manusia dan dunia peri adalah karena hal itu. Tentu hal tersebut juga tidak bisa diterima, sebab keluarga ahli pedang itu bahkan belum pernah ada yang menginjakkan kaki di tanah para peri. Lamunan Fei Hung buyar ketika Bingwen memanggil namanya dengan suara lantang. "Jangan teriak-teriak begitu, aku tidak tuli," ketus Fei Hung. Bingwen terkekeh melihat wajah kesal Fei Hung dan berkata, "Tingkahmu tidak ada yang berubah, Fei Hung.
"B-bingwen ... kenapa kamu berhenti?" tanya Ming yang gugup sebab Bingwen tiba-tiba berhenti begitu saja. Firasat Ming seketika langsung buruk, dia tidak yakin apakah Bingwen merasakan hal yang sama. "Ming, kita telah sampai.""Hah? Maksudmu?" "Kita telah tiba di kerajaan para peri," ujar Bingwen. Ming pun langsung mengedarkan pandangannya, memastikan apa yang dia dengar bukan hanya halusinasinya saja. "Haaa ... jadi negeri para peri itu benar adanya? Bukan hanya kisah dongeng belaka?" gumam Ming setelah dia melihat perbedaan yang ketara dari suasana di dunia manusia. "Gimana bisa, Bingwen?" tanya Ming lagi. Dia masih bingung kenapa tiba-tiba sudah pindah tempat begitu saja, padahal terakhir kali yang dilihat Ming hanyalah luasnya hutan belantara yang tertutup kabut tebal. Bingwen tidak menjawab pertanyaan temannya itu, sebab memang hanya dirinya saja yang dapat melihat bahwa mereka telah melewati garis ruang dan waktu. Jikalau pun Bingwen menceritakannya pada Ming, Ming pasti
Kabut tebal menyambut perjalanan Bingwen dan Ming kali ini, keduanya bahkan tidak bisa bergerak sembarang jika ingin selamat. Hutan belantara itu yang awalnya sudah sangat sulit ditaklukkan, kini makin menjadi seperti medan perang. "Apa yang harus kita lakukan, Bingwen? Kalau begini terus, jangankan menemukan kerajaan peri. Yang ada malah kita akan tersesat dan menjadi makanan binatang buas," ujar Ming. "Jangan menyerah begitu, kita datang ke sini memiliki niat yang baik. Pasti ada jalan. Dan jangan pernah berpikiran buruk ketika kita sedang berada di tempat seperti ini," sahut Bingwen.Bingwen bukan tidak mengerti akan kebimbangan yang Ming alami, hanya saja menyerah ketika sudah melewati perjalanan jauh dan menantang itu tentu bukan pilihan yang bijak. Akhirnya, Bingwen memutuskan untuk menggunakan kekuatannya. Indera penglihatannya dia pertajam, hingga walau setebal apapun kabut yang menghadang jalannya, dia bisa berjalan tanpa kesulitan. "Bingwen, entah kenapa matamu kok berb