Hembusan angin mulai kencang, suara pertarungan di bagian sudut lain terdengar saling bersahutan dengan deru angin. Bingwen masih duduk termenung, dia tidak mengerti dengan kondisi tubuhnya yang seolah sudah kehabisan tenaga. Entah apa yang terjadi sebelumnya, seingat Bingwen dia hendak mengayunkan pedang temuannya pada ketiga lawannya. Setelah itu Bingwen tidak memiliki ingatan apa pun. Dia juga dibuat makin bingung ketika kesadarannya telah kembali, ketiga kawannya tersebut telah tumbang. Tidak mungkin Guru Bao yang mengalahkan ketiganya, mengingat sang guru juga tidak sadarkan diri. "Sebenarnya apa yang terjadi? Tubuhku lemas begini, aku belum pernah merasakan hal yang seperti ini sebelumnya walau sesulit apa latihan yang aku lakukan," gumam Bingwen.Ketika Bingwen kebingungan itulah Mei Lin dan dua orang penduduk kampung menghampirinya. "Hei, Bingwen. Kamu mau cari mati ya! Kenapa pergi begitu saja, aku tahu kamu ingin menolong tapi bukan waktunya sekarang," omel Mei Lin. Mei
Guru Bao meminta mereka yang ada di sekitarnya untuk meninggalkan dirinya dan Bingwen. Setelah hanya keduanya yang tersisa di ruangan tersebut, barulah Guru Bao memanggil Bingwen agar mendekat padanya. "Bingwen, tahukah kamu gambar yang terukir di punggungmu itu artinya apa?" tanya Guru Bao. "Tidak Guru, bukankah dulu aku tidak mempunyai gambar atau tanda lahir seperti yang digambarkan oleh tabib tadi?""Memang benar, aku lah yang menemukan kamu di depan rumahku saat kamu masih bayi. Aku juga yang membesarkan kamu, jadi aku pasti tahu jika ada tanda lahir yang unik seperti yang kamu miliki sekarang," ujar Guru Bao.."Lalu, apa arti tanda ini Guru? Apakah akan membahayakan hidupku nanti?" "Aku belum tahu pasti, hanya saja aku ingat tanda itu merujuk kemana. Lima ratus tahun lalu ada keluarga ahli pedang, di antara keturunan keluarga tersebut yang paling menonjol dan menjadi kepala keluarganya diketahui memiliki ciri tanda gambar pedang. Persis seperti yang ada di punggungmu itu, Bin
Dua minggu setelah penyerangan itu, suasana di tempat tinggal Bingwen masih tampak kacau. Perbaikan rumah penduduk masih berlangsung. Guru Bao sedang menghadap baginda kaisar. Tampaknya ada hal yang lebih serius dari kasus penyerangan tersebut. Mei Lin yang baru saja kembali dari rumah penduduk, membantu mereka yang terluka. Gadis itu menghempaskan dirinya di samping Bingwen yang duduk termenung menatap langit yang mendung. Hembusan angin pun mulai kencang, cuaca yang sangat cocok untuk bermalas-malasan. Namun tidak bagi penduduk setempat, bulan ini sudah memasuki musim hujan. Jika curah hujan lebat tiap hari, bayang-bayang tanah longsor selalu menghantui mereka. Bukan hal aneh jika musim hujan dan bencana longsor terjadi. Penduduk yang tinggal di lereng gunung tersebut, bukan tidak mau berpindah tempat. Hanya saja mereka sudah mendarah daging menyukai tanah kelahiran mereka. "Ngapain kamu duduk di sini? Mau hujan loh bentar lagi, kamu nggak masuk ke dalam? Bukannya kamu takut ba
Bau tanah ketika terguyur hujan sungguh hal yang disukai Bingwen sejak dulu, baginya saat inilah dia bisa menenangkan pikirannya yang berantakan. Pemuda itu menatap kosong ke luar jendela, dia memang tidak mengalami luka dari kejadian sebelumnya. Namun Mei Lin memaksanya untuk tetap istirahat. Sementara Mei Lin sibuk dengan urusannya di dapur, Bingwen memanfaatkan kesempatan itu dengan melamun. Telinganya nyaris putus, jeweran Mei Lin masih sama menyakitkannya seperti dulu. "Padahal aku bosan duduk diam seperti ini, aku ingin menggerakkan tubuhku," gerutu Bingwen. Sebenarnya sebelum hujan turun, dia hendak keluar sembunyi-sembunyi. Tujuan awalnya adalah untuk memastikan kembali apakah benar dia selamat dari serangan prajurit lawan, karena faktor beruntung? "Ingatan terakhirku itu aku memegang pedang berkarat yang aku temukan, setelahnya aku tidak ingat apapun. Apakah itu hal yang wajar?" Lamunan Bingwen makin panjang, dia menerka-nerka apakah dia benar ada sangkut-pautnya dengan
Debaran jantung Mei Lin begitu berisik, semakin dekat prajurit itu ke arah gentong air. Rasanya Mei Lin seperti berhenti bernafas. Dia bahkan tidak berani membuka matanya. Prajurit itu berdiri tepat di samping gentong tersebut. "Bagiamana, ada tidak?" Prajurit yang mengerikan itu hanya menggeleng, "Tidak ada seorang pun." Brak! Amarah prajurit yang memegangi Mei Lin nampaknya tidak bisa ditahan, dia menentang kursi yang ada di sampingnya. Kursi kayu itu akhirnya hancur berantakan. "Tidak mungkin dia tidak ada! Cari sampai ketemu! Aku yakin ada jalan keluar dari rumah ini!" titahnya pada kedua prajurit lainnya. Entah karena takut mereka akan mendapat masalah besar, jika tidak membawa Bingwen. Keduanya pun kembali mengobrak-abrik rumah Guru Bao. Hancur sudah rumah yang semula layak dihuni tersebut. Kursi, meja, kasur, lemari pakaian, bahkan tempat air semuanya diluluhlantakkan. Kebengisan ketiga prajurit itu laksana tirani, yang tidak peduli jeritan Mei Lin untuk menghentikan pe
Keesokan harinya, Mei Lin terbangun dengan kondisi tubuh yang remuk redam. Dia menata langit-langit ruangan yang dia tempati saat itu. "Ini bukan rumah kami? Aku ada di mana?" Sedetik kemudian Guru Bao memasuki ruangan tersebut, untuk memeriksa keadaan putrinya. "Mei Lin, kamu sudah sadar, Nak?" tanya Guru Bao. Dia langsung memeriksa putrinya, pernapasan Mei Lin sudah jauh lebih baik."Ayah, Bingwen di mana? Sudah ketemu?" Mei Lin bukannya mengkhawatirkan dirinya sendiri, hal pertama yang dia tanyakan justru Bingwen. Mei Lin mencoba bangun dari pembaringannya, dia harus menyaksikan Bingwen selamat dengan mata kepalanya sendiri. "Tenanglah, kondisimu juga belum pulih. Bingwen masih belum ditemukan. Ayah sudah mencarinya tapi belum ada tanda keberadaannya. Kamu yakin dia sembunyi di belakang gentong air di dalam rumah?" Guru Bao mencari kebenaran dari apa yang dia dengar sebelumnya. Jikalau benar Bingwen sembunyi di tempat itu, seharusnya dia ada. Sebab tidak ada jalan rahasia di ru
Hari sudah makin gelap, tapi Bingwen masih berkeliaran di hutan tersebut. Lelah sudah kakinya melangkah, menyusuri jalan setapak nan terjal, tapi sayangnya jalan pulang yang dia harapkan masih belum terlihat. Bahkan Bingwen merasa kalau dirinya hanya berputar di tempat yang sama saja. Sudah berkali-kali Bingwen mengelilingi tempat tersebut, kecurigaannya makin kuat tatkala dia melalui tanda yang sengaja dia buat. "Kenapa aku terus menerus melewati tempat ini? Perasaan tadi lancar saja," gumamnya. Keanehan yang Bingwen rasakan tatkala dia sudah berjalan hampir dua jam lamanya, ketika dia melewati bagian hutan yang memiliki jalan lebih mudah dari sebelumnya. Namun angan Bingwen untuk bisa sampai lebih cepat dari yang dia harapkan, tidak terwujud juga. Anak lelaki itu melabuhkan dirinya di sebuah batu besar dekat dengan pohon yang menjulang tinggi. Jika dilihat dari besarnya pohon dan akar pohon tersebut, Bingwen pastikan kalau pohon yang ada di dekatnya itu sudah sangat berumur. "K
Langit kini sudah hitam pekat, suara-suara serangga malam mulai terdengar dari berbagai penjuru hutan. Keheningan di tempat Bingwen berada justru lebih menegangkan. Hanya sorot mata Bingwen dan si putri peri saja yang saling mengisi kesunyian itu. Bingwen masih bersikeras ingin mengetahui siapa orang tuanya dan bagaimana si putri peri bisa mengetahui namanya. Masih tidak ada yang bersuara, padahal sudah berjam-jam waktu berlalu. "Jadi kamu mau diam saja? Oke kalau begitu. Aku tidak akan menanyakan apapun lagi padamu. Terserah kamu mau cerita atau tidak. Aku sudah lelah dengan kebisuan ini." Bingwen melabuhkan dirinya di batu besar sebelumnya, pandangannya jauh menerawang cakrawala. Dia yakin si putri peri mengetahui asal-usul dan siapa dirinya sebenarnya. Namun, Bingwen tidak mengerti kenapa si putri peri masih saja bungkam akan kenyataan tersebut. Karena pelindung yang diciptakan oleh si putri peri, tidak ada angin kencang yang berhembus. Cukup bersyukur juga Bingwen akan hal it