Beberapa hari kemudian, Bingwen yang sudah hampir sembuh segera bersiap untuk mengunjungi gua waktu itu.
Anak lelaki itu sibuk menyiapkan apa yang patut dia bawa, sesekali Bingwen bersenandung. Suasana hatinya sedang bagus hari ini.Pintu rumah terbuka dan Mei Lin muncul dengan raut wajah heran, "Kamu mau ke mana?""Aku mau ke gua waktu itu.""Ngapain? Baru juga sembuh," ucap Mei Lin lalu dia duduk di kursi yang ada di sebelah Bingwen."Ada hal yang mau aku periksa. Gimana kamu mau ikut?" tanya Bingwen."Hm, boleh juga. Aku bosan, Ayah juga sibuk dengan serangakaian urusannya," keluh Mei Lin.Guru Bao memang sudah dua hari ini selalu pulang pergi ke pusat kota, saat ditanya Guru Bao selalu bilang kalau dirinya punya pekerjaan tambahan. Sedangkan sesi latihan dilakukan oleh murid senior yang ditunjuk sebagai pelatih sementara.Mei Lin yang terjebak diantara para murid Guru Bao yang kebanyakan laki-laki, hanya bisa memantau dari jauh. Mei Lin tidak diizinkan untuk berlatih beladiri mau pun ilmu pedang, gadis itu memiliki jantung yang lemah. Jadi Mei Lin cukup puas hanya menjadi penonton dan mengobati mereka yang terluka."Baiklah, kita pergi sekarang. Kamu mau bawa sesuatu? Aku sudah bawa makanan dan minuman, aku yakin kamu ikut makanya sudah kusiapkan semua," ujar Bingwen.Mendengar hal itu senyum Mei Lin langsung merekah, tidak ada salahnya mengikuti Bingwen. Mei Lin menganggap sekalian mengawasi Bingwen."Ayo kita pergi, Bingwen. Cepat!"Mei Lin yang justru lebih semangat dari pada Bingwen itu berjalan mendahuluinya. Keduanya menyusuri jalan setapak sambil sesekali bercanda gurau, kebanyakan Bingwen yang bercerita. Bingwen termasuk orang yang suka bercerita, apa lagi jika dengan orang terdekatnya."Coba kalau kamu seperti ini juga, pasti anak-anak lain akan mau bermain denganmu, Bingwen." Mei Lin tidak bisa menahan dirinya untuk mengungkapkan apa yang ada di hatinya."Entahlah, Mei Lin. Aku tidak begitu yakin, mereka pasti sudah dihasut oleh Ni Lou. Aku juga takut jika Ni Lou dan Ni Me tahu aku dekat dengan anak-anak lain, pasti Ni Lou tidak akan tinggal diam...""Ni Lou bisa saja menyakiti mereka nantinya, makanya aku tidak bisa dekat dengan anak-anak lain. Bukan karena aku tidak mau punya teman lain selain kamu," sambung Bingwen."Masa begitu? Seumur hidup kamu hanya punya teman aku saja dong?" tanya Mei Lin."Hehehe Iya, maaf ya." Bingwen tersenyum getir.Mau bagaimana lagi, tidak mungkin juga dia mengatakan hal yang sebenarnya. Selama ini Bingwen bukan tidak mau berteman dengan anak didik Guru Bao yang lain, tapi dia tidak bisa membedakan mana yang tulus dan tidak.Beberapa temannya bahkan ada yang ikut melakukan kekerasan padanya. Sebagian lainnya hanya menonton saja ketika Bingwen dihajar Ni Lou dan Ni Me."Guanya masih jauh ya, Bingwen? Aku sudah capek..." Mei Lin yang belum pernah melakukan perjalanan jauh, apa lagi di area pegunungan yang cukup terjal."Tidak begitu jauh kok. Kamu lihat yang sebelah sana? Gua itu ada dibalik pepohonan itu, kita istirahat dulu sebentar. Kamu mau minum?"Mei Lin mengangguk lemah, dia menerima minuman yang diberikan Bingwen. Nafas Mei Lin kini sudah normal kembali, gadis itu mengelap keringat di dahinya."Kita jalan lagi, mumpung masih siang. Jadi lebih cepat kamu periksa gua itu, jadi kita bisa kembali sebelum malam datang," ujar Mei Lin.Bingwen setuju dengan apa yang Mei Lin katakan, perjalananya memang cukup menyita waktu berhubung Mei Lin harus berhenti beberapa kali untuk beristirahat.Keduanya pun kembali melanjutkan perjalanan, Bingwen terkadang membantu Mei Lin jika jalan yang mereka tapaki cukup terjal. Ada hal yang membuat Bingwen kembali mengagumi gurunya, setelah dia sendiri melewati jalan menuju gua tempatnya bersembunyi.Guru Bao dengan mudah menuruni jalan tersebut, dengan menggendong dirinya. Pasti tidak mudah, sebab dia yang jalan sendiri dan di siang hari saja harus hati-hati agar tidak tergelincir."Akhirnya sampai juga," ucap Bingwen ketika keduanya telah sampai di mulut gua."Wah, ternyata ini gua yang kamu ceritakan? Ternyata benar ya, guanya tidak seseram yang aku bayangkan," balas Mei Lin."Aku sudah bilang kan? Ayo masuk, aku ingin memastikan apa yang aku rasakan waktu itu."Bingwen memimpin jalannya ekspedisi mereka. Krena kedatangannya di gua itu saat matahari masih terbit, Bingwen dapat melihat dengan jelas bagian dalam gua.Dia sangat takjub dengan berbagai coretan di dinding gua."Kira-kira siapa yang membuat ini semua ya?" gumam Bingwen.Mei Lin pun turut memperhatikan coretan-coretan tersebut, hingga matanya tertuju pada satu coretan bergambar seorang pendekar yang memegang pedang."Bingwen, coba lihat ini. Bukankah pendekar ini mirip denganmu?" tanya Mei Lin.Bingwen berjalan ke arah Mei Lin dan melihat gambar yang dimaksud gadis itu."Kamu yakin? Menurutku tidak mirip tuh, beda jauh. Wajah pendekar ini jauh lebih tegas dari pada aku, tubuhnya juga tinggi dan tegap. Berbeda denganku bukan?""Kamu kan masih kecil, ya wajar saja. Kalau kamu sudah cukup besar dan rajin berlatih nanti tubuhmu akan seperti orang yang di gambar ini," tutur Mei Lin.Bingwen tidak menjawab, dia masih tidak menganggap orang yang di gambar itu mirip dengannya. Sungguh memalukan jika Bingwen terlalu percaya diri menyamakan dirinya dengan seorang pendekar yang berhasil melawan puluhan musuh."Mungkin saja orang yang di gambar ini adalah leluhurmu, Bingwen," celetuk Mei Lin."Ah, kamu ini kalau bercanda suka berlebihan. Kalau benar aku ini keturunan pendekar hebat, tidak mungkin aku dibuang," ucap Bingwen.Mei Lin yang menyadari ucapannya mungkin menyakiti Bingwen, akhirnya mengubah topik pembicaraan mereka."Kita ke sebelah sana yuk," ajak Bingwen. Keduanya kemudian beralih ke pojok gua, tidak ada hal yang spesial. Namun Bingwen menemukan sebuah kotak kayu panjang yang hampir lapuk dimakan usia."Kotak apa ini?" tanya Bingwen."Coba saja buka, Bingwen. Mungkin kotak harta karun!"Bingwen tidak yakin dengan ucapan Mei Lin, tapi tidak ada salahnya jika dia memeriksanya. Perasaan aneh itu pun kembali menghampirinya. Seakan ada dorongan dari dirinya yang lain, yang memintanya untuk membuka kotak tersebut dan mengambil benda yang ada di dalamnya.Perlahan Bingwen membuka kotak kayu tersebut, jantungnya berdegup dengan kencang. Persis ketika dia melihat senyuman Mei Lin."Gimana, Bingwen? Kamu sudah tahu isinya apa?" tanya Mei Lin dengan penuh antusias. Dalam bayangan Mei Lin, kotak itu dipenuhi oleh berbagai perhiasan atau koin emas."Loh.... Apa ini?" tanya Bingwen. Matanya hampir tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Mei Lin yang sudah dipenuhi rasa penasaran itu pun ikut mengintip isi di dalam kotak tersebut."Haaaa! Bingwen....ini kan?"Bingwen dan Mei Lin saling bertukar pandangan.Bingwen mengangkat benda dari dalam kotak tersebut, benda yang cukup berat baginya. "Pedang macem apa ini, Bingwen? Sudah berkarat sekali, jangankan untuk mengalahkan lawan. Paling buat motong sayuran juga tidak akan bisa," celetuk Mei Lin setelah Bingwen membuka pembungkus benda tersebut. "Masa kamu bilang begitu? Bukankah kamu merasa ada yang aneh dengan pedang ini?" tanya Bingwen sambil membolak-balik pedang yang sudah berkarat itu. Walau agak berat dan karatan, tapi bentuk pedang tersebut masih kokoh. Bahkan terdapat ukiran naga di gagang pedang. "Hal aneh apa? Aku tidak merasakan apapun kok. Mending kamu kembalikan saja pedang itu ke tempatnya, Bingwen. Karena kita sudah tahu isi dari kotak tersebut, kita pulang saja yuk. Aku takut Ayah sudah pulang. Pasti Ayah akan khawatir," ujar Mei Lin. "Kamu benar, Mei Lin. Kita pulang saja, tapi kalau aku bawa pedang ini bisa kali ya. Kan pedang ini juga pasti sudah dibuang, buktinya sampai keadaannya begini saja tidak ada yang mengam
"Ada apa? Kenapa panik begitu?" Guru Bao mempunyai firasat buruk akan hal itu. Pendengarannya yang tajam dapat menangkap suara derap laju kuda, bukan hanya satu atau dua. Ada banyak, mungkin puluhan jumlahnya. "Guru, pasukan musuh sudah memasuki wilayah kita. Apa yang harus kita lakukan?" jawab orang yang tadi berlari dari arah lereng gunung. "Sudah sampai? Bukankah pasukan kerajaan sudah menghalangi mereka? Nampaknya lawan kali ini jauh lebih kuat, kerajaan barat rupanya tidak bisa diambil remeh." "Ungsikan semua perempuan, anak kecil, dan orang tua. Siapapun yang bisa bertarung, ikut aku maju di garda depan. Jangan panik, kita semua sudah terlatih!" Seru Guru Bao memberi perintah pada penduduk kampung. Tanpa mengulang perintah lagi, pasukan khusus dari Perguruan Bao pun sudah siap siaga di posisinya masing-masing. Termasuk Ni Lou dan Ni Me. "Guru Bao, tolong izinkan aku juga untuk turut serta," pinta Bingwen. "Jangan bodoh, Bingwen. Apa yang kamu lakukan? Ayo kita harus sembu
Seumur hidup Bingwen, baru kali ini dia berhadapan dengan tiga orang lawan sekaligus. Selama ini dia hanya meladeni permainan Ni Lou dan Ni Me saja. Dia cukup senang karena bisa menghindari serangan dari tiga lawannya, kondisi Guru Bao yang sudah terluka parah membuatnya tidak bisa membantu Bingwen. "Bingwen, larilah. Tinggalkan aku di sini, panggil bala bantuan. Cepat!" Seru Guru Bao. Guru itu tidak sanggup melihat Bingwen kewalahan menangani tiga lawan sekaligus. Apa lagi senjata yang dimiliki ketiganya sudah dilumuri racun yang dapat melumpuhkan syaraf. "Tidak, Guru. Aku tidak akan meninggalkan Guru." Nafas Bingwen hampir putus rasanya, tat kala dirinya nyaris tertebas oleh pedang lawannya. "Sialan, apa yang harus aku lakukan?" "Saat ini aku memang beruntung belum terkena senjata mereka, tapi staminaku sudah terkuras habis. Aku benci dengan tubuh lemah ini!" Gerutuan Bingwen hanya dibalas gelak tawa oleh ketiga orang tersebut. "Heh, anak kecil. Lebih baik kamu menyerah saja
Hembusan angin mulai kencang, suara pertarungan di bagian sudut lain terdengar saling bersahutan dengan deru angin. Bingwen masih duduk termenung, dia tidak mengerti dengan kondisi tubuhnya yang seolah sudah kehabisan tenaga. Entah apa yang terjadi sebelumnya, seingat Bingwen dia hendak mengayunkan pedang temuannya pada ketiga lawannya. Setelah itu Bingwen tidak memiliki ingatan apa pun. Dia juga dibuat makin bingung ketika kesadarannya telah kembali, ketiga kawannya tersebut telah tumbang. Tidak mungkin Guru Bao yang mengalahkan ketiganya, mengingat sang guru juga tidak sadarkan diri. "Sebenarnya apa yang terjadi? Tubuhku lemas begini, aku belum pernah merasakan hal yang seperti ini sebelumnya walau sesulit apa latihan yang aku lakukan," gumam Bingwen.Ketika Bingwen kebingungan itulah Mei Lin dan dua orang penduduk kampung menghampirinya. "Hei, Bingwen. Kamu mau cari mati ya! Kenapa pergi begitu saja, aku tahu kamu ingin menolong tapi bukan waktunya sekarang," omel Mei Lin. Mei
Guru Bao meminta mereka yang ada di sekitarnya untuk meninggalkan dirinya dan Bingwen. Setelah hanya keduanya yang tersisa di ruangan tersebut, barulah Guru Bao memanggil Bingwen agar mendekat padanya. "Bingwen, tahukah kamu gambar yang terukir di punggungmu itu artinya apa?" tanya Guru Bao. "Tidak Guru, bukankah dulu aku tidak mempunyai gambar atau tanda lahir seperti yang digambarkan oleh tabib tadi?""Memang benar, aku lah yang menemukan kamu di depan rumahku saat kamu masih bayi. Aku juga yang membesarkan kamu, jadi aku pasti tahu jika ada tanda lahir yang unik seperti yang kamu miliki sekarang," ujar Guru Bao.."Lalu, apa arti tanda ini Guru? Apakah akan membahayakan hidupku nanti?" "Aku belum tahu pasti, hanya saja aku ingat tanda itu merujuk kemana. Lima ratus tahun lalu ada keluarga ahli pedang, di antara keturunan keluarga tersebut yang paling menonjol dan menjadi kepala keluarganya diketahui memiliki ciri tanda gambar pedang. Persis seperti yang ada di punggungmu itu, Bin
Dua minggu setelah penyerangan itu, suasana di tempat tinggal Bingwen masih tampak kacau. Perbaikan rumah penduduk masih berlangsung. Guru Bao sedang menghadap baginda kaisar. Tampaknya ada hal yang lebih serius dari kasus penyerangan tersebut. Mei Lin yang baru saja kembali dari rumah penduduk, membantu mereka yang terluka. Gadis itu menghempaskan dirinya di samping Bingwen yang duduk termenung menatap langit yang mendung. Hembusan angin pun mulai kencang, cuaca yang sangat cocok untuk bermalas-malasan. Namun tidak bagi penduduk setempat, bulan ini sudah memasuki musim hujan. Jika curah hujan lebat tiap hari, bayang-bayang tanah longsor selalu menghantui mereka. Bukan hal aneh jika musim hujan dan bencana longsor terjadi. Penduduk yang tinggal di lereng gunung tersebut, bukan tidak mau berpindah tempat. Hanya saja mereka sudah mendarah daging menyukai tanah kelahiran mereka. "Ngapain kamu duduk di sini? Mau hujan loh bentar lagi, kamu nggak masuk ke dalam? Bukannya kamu takut ba
Bau tanah ketika terguyur hujan sungguh hal yang disukai Bingwen sejak dulu, baginya saat inilah dia bisa menenangkan pikirannya yang berantakan. Pemuda itu menatap kosong ke luar jendela, dia memang tidak mengalami luka dari kejadian sebelumnya. Namun Mei Lin memaksanya untuk tetap istirahat. Sementara Mei Lin sibuk dengan urusannya di dapur, Bingwen memanfaatkan kesempatan itu dengan melamun. Telinganya nyaris putus, jeweran Mei Lin masih sama menyakitkannya seperti dulu. "Padahal aku bosan duduk diam seperti ini, aku ingin menggerakkan tubuhku," gerutu Bingwen. Sebenarnya sebelum hujan turun, dia hendak keluar sembunyi-sembunyi. Tujuan awalnya adalah untuk memastikan kembali apakah benar dia selamat dari serangan prajurit lawan, karena faktor beruntung? "Ingatan terakhirku itu aku memegang pedang berkarat yang aku temukan, setelahnya aku tidak ingat apapun. Apakah itu hal yang wajar?" Lamunan Bingwen makin panjang, dia menerka-nerka apakah dia benar ada sangkut-pautnya dengan
Debaran jantung Mei Lin begitu berisik, semakin dekat prajurit itu ke arah gentong air. Rasanya Mei Lin seperti berhenti bernafas. Dia bahkan tidak berani membuka matanya. Prajurit itu berdiri tepat di samping gentong tersebut. "Bagiamana, ada tidak?" Prajurit yang mengerikan itu hanya menggeleng, "Tidak ada seorang pun." Brak! Amarah prajurit yang memegangi Mei Lin nampaknya tidak bisa ditahan, dia menentang kursi yang ada di sampingnya. Kursi kayu itu akhirnya hancur berantakan. "Tidak mungkin dia tidak ada! Cari sampai ketemu! Aku yakin ada jalan keluar dari rumah ini!" titahnya pada kedua prajurit lainnya. Entah karena takut mereka akan mendapat masalah besar, jika tidak membawa Bingwen. Keduanya pun kembali mengobrak-abrik rumah Guru Bao. Hancur sudah rumah yang semula layak dihuni tersebut. Kursi, meja, kasur, lemari pakaian, bahkan tempat air semuanya diluluhlantakkan. Kebengisan ketiga prajurit itu laksana tirani, yang tidak peduli jeritan Mei Lin untuk menghentikan pe