"Sebaiknya kita pulang sekarang, luka luarmu harus segara ditangani juga," ucap Guru Bao setelah dirinya selesai mengobati luka dalam Bingwen.
"Terima kasih banyak, Guru. Berkat Guru kondisi saya jauh lebih baik sekarang.""Masih belum, kita harus menyembuhkan luka luarmu juga. Naiklah ke punggungku, kita pulang sekarang.""A--apa? Guru, saya tidak mau merepotkan Guru lagi. Pasti berat, lagi pula jalan pegunungan juga pasti licin sehabis hujan deras tadi," ujar Bingwen.Rasa malu dan bersalah saat itu menghantui dirinya, Bingwen bukan anak yang tidak tahu diri. Dia tidak ingin merepotkan gurunya lagi."Sudah jangan banyak mikir, kamu harus segera mendapat pengobatan," sanggah Guru Bao.Butuh waktu beberapa saat, sampai akhirnya Bingwen mau mengikuti saran dari sang guru."Saya pasti berat, Guru. Maafkan saya karena menyusahkan Guru," ucap Bingwen setelah dia berada di punggung gurunya."Kamu kurus begini, berat dari mana. Coba kamu cek ulang apa ada barang yang ketinggalan," titah Guru Bao."Baik, Guru..." Bingwen mengamati sekelilingnya dari atas punggung Guru Bao. Dia tidak menemukan barang yang belum dibawa. Namun mata Bingwen terpaku pada satu sudut di dalam gua tersebut."Ada tidak, Bingwen?""T--tidak ada, Guru," jawab Bingwen. Bingwen tidak mengatakan tentang apa yang dia lihat."Mungkin aku salah lihat," gumam Bingwen.Akhirnya guru dan murid itu pun meninggalkan gua tersebut, Guru Bao berjalan dengan hati-hati. Namun juga dengan kecepatan yang sedang.Bingwen yang berada di gendongan sang guru hanya bisa merasa takjub. Padahal gurunya tersebut sudah berusia empat puluh tahun lebih, tapi Guru Bao tidak terlihat kelelahan sekali menggendongnya dengan iklim yang tidak bersahabat."Sesampainya kita nanti, aku akan memanggil Ni Lou dan Ni Me. Aku menitipkan kamu pada keduanya bukan untuk menjadikanmu sebagai samsak," ujar Guru Bao.Dari nada suara yang Guru Bao, terdengar kalau laki-laki itu menahan emosi. Guru Bao kecewa dengan perilaku Ni Lou dan Ni Me, padahal keduanya merupakan murid terbaik."Kenapa kamu diam saja, Bingwen. Coba kalau aku tidak datang tepat waktu, entah banyakkamu masih hidup atau sudah mati," imbuh Guru Bao.Kali ini Bingwen tidak biss membantah, mungkin memang sudah saatnya Ni Lou dan Ni mei mendapat hukuman.Keduanya kembali terdiam, keheningan menyelimuti guru dan murid tersebut. Sebenarnya Bingwen masih penasaran dengan apa yang dia lihat, meski belum yakin dengan penglihatannya itu. Namun satu hal yang pasti, Bingwen merasa seperti ada sesuatu yang menariknya dan memintanya untuk memeriksa tempat tersebut.Namun karena Bingwen tidak ingin membuat gurunya menunggu lama, dia akhirnya hanya mengabaikannya."Aku akan ke sini lagi, jika kondisiku sudah membaik," gumam Bingwen.Ternyata butuh waktu cukup lama sampai keduanya tiba di rumah Guru Bao."Ayah....! Apa yang terjadi?" Seorang gadis terburu-buru berjalan menghampiri Guru Bao."Mei Lin, jangan berlarian nanti kamu jatuh. Tolong Ayah untuk menyiapkan obat-obatan dan kain perban."Guru Bao berjalan berdampingan dengan putri tunggalnya, Mei Lin. Gadis itu langsung menjalankan apa yang sang ayah minta. Guru Bao menurunkan Bingwen yang tertidur di pundaknya dengan perlahan ke tempat tidur yang terbuat dari bambu.Mei Lin menghampiri sang ayah dengan tangan penuh akan benda yang diminta ayahnya, "Apa yang terjadi dengan Bingwen, Ayah?""Sepertinya Ni Lou dan Ni Me kembali berulah, anak ini terluka cukup parah ditinggalkan begitu saja di gunung. Bingwen bilang dia sempat melawan harimau sebelum akhirnya dia terjatuh dari tebing di belakang gunung itu," jawab Guru Bao."Astaga...! Mereka masih saja menggangu Bingwen?" Mei Lin hampir tidak percaya dengan apa yang dia dengar.Sebab Ni Lou dan Ni Me selalu bersikap baik dan seolah peduli terhadap Bingwen. Namun ternyata justru sebaliknya."Pasti Bingwen kesakitan dan ketakutan di atas gunung sana. Mereka kok tega sekali," ujar Mei Lin.Guru Bao tidak menyahuti ucapan putrinya, dia hanya fokus akan penyembuhan luka luar Bingwen. Dibantu dengan Mei Lin, akhirnya Bingwen telah diobati.Keesokan harinya Bingwen bangun dengan tubuh yang jauh lebih segar dari pada kemarin."Mei Lin, terima kasih karena sudah mengurusku," ucap Bingwen saat Mei Lin masuk ke kamarnya dengan nampan ditangannya."Tidak perlu memikirkan hal itu, gimana keadaanmu sekarang?""Berkat Guru dan kamu, sekarang aku lebih baik. Oh iya, di mana Guru Bao?""Guru sedang menghukum Ni Lou dan Ni Me," jawab Mei Lin. Dia mengambil mangkuk berisi bubur dan diserahkan pada Bingwen."Menghukum?" Wajah Bingwen memucat, dia tidak menyangka Guru Bao akan langsung bertindak setelah kejadian kemarin. Padahal dia sudah berusaha untuk menutupinya dari sang guru."Sudah, jangan terlalu banyak berpikir. Makanlah dulu, kamu pasti lapar bukan?"Bingwen memang lapar, tapi dalam situasi sekarang dia jadi tidak begitu berselera. Namun karena Mei Lin sudah susah payah memasak makanan untuknya, dia pun menghabiskan bubur tersebut."Lain kali, kalau mereka bersikap keterlaluan dan melampaui batas kamu harus lapor pada Ayah. Jangan sembunyikan semuanya sendirian. Kamu tidak tahu kan betapa Ayah khawatir," ujar Mei Lin."Maaf... Aku tidak bermaksud untuk itu. Aku hanya tidak mau merepotkan Guru. Aku ingin membuktikan kalau aku bisa, tapi ternyata aku masih belum mampu untuk itu. Kamu juga pasti kecewa denganku bukan?"Bingwen tertunduk lesu, kalau boleh jujur dia tidak ingin membuat Guru Bao dan Mei Lin kecewa. Hanya keduanya yang selalu berpihak padanya, Mei Lin yang lebih muda dua tahun darinya mempunyai pembawaan yang tenang. Hal itu yang membuat Bingwen merasa nyaman untuk mengungkapkan segala kegundahannya.Tuk..!Mei Lin menjitak kepala Bingwen, "Jangan berpikiran sempit begitu, kamu kira aku akan kecewa hanya dengan hal itu? Aku tahu seberapa keras kamu berusaha. Mungkin sekarang kamu belum bisa mencapai apa yang kamu inginkan, tapi percayalah suatu saat kamu akan bisa melampaui apa yang kamu inginkan."Bingwen menatap lurus ke wajah teduh Mei Lin."Aku tidak menyangka kamu lebih muda dari ku, Mei Lin.""Makanya dengarkan ucapanku ini wahai orang yang jauh lebih tua tapi masih seperti anak kecil," sahut Mei Lin sambil mendabik dadanya.Keduanya pun tertawa bersama, sejenak Bingwen melupakan semua hal yang membuatnya terpuruk."Menurutmu, kapan aku bisa keluar? Aku bosan terus berbaring. Ada yang ingin aku lakukan," kata Bingwen setelah tawanya reda."Hei, kamu baru juga mendapat perawatan. Apa yang mau kamu lakukan dengan tubuhmu itu? Jangan bilang kamu mau melakukan hal yang nekat lagi?" Mei Lin tahu betul sifat Bingwen.Bingwen yang pantang menyerah itu selalu berlatih diam-diam tanpa sepengetahuan Guru Bao. Karena Bingwen tidak bisa mengandalkan Ni Lou dan Ni Me, satu-satunya jalan hanyalah berlatih sendiri."Kamu tenang saja, aku tidak akan melakukan hal yang berbahaya. Hanya saja, ada yang ingin aku pastikan. Kalau kamu tidak percaya padaku, kita bisa pergi bersama. Gimana?""Hm... Nantilah aku pikirkan dulu. Kesembuhanmu jauh lebih penting sekarang. Sudah jangan banyak bicara, istirahatlah lagi, aku mau ke ladang." Mei Lin meninggalkan Bingwen agar Bingwen bisa istirahat."Aku harap bisa segera sembuh, aku penasaran dengan goa itu," gumam Bingwen.Bingwen masih belum bisa melupakan perasaan aneh yang menyelimuti dirinya, terlebih saat dia hendak meninggalkan gua. Perasaan yang seolah memintanya untuk kembali, tapi Bingwen tidak mengerti kenapa dia bisa merasakan hal tersebut.Beberapa hari kemudian, Bingwen yang sudah hampir sembuh segera bersiap untuk mengunjungi gua waktu itu. Anak lelaki itu sibuk menyiapkan apa yang patut dia bawa, sesekali Bingwen bersenandung. Suasana hatinya sedang bagus hari ini. Pintu rumah terbuka dan Mei Lin muncul dengan raut wajah heran, "Kamu mau ke mana?" "Aku mau ke gua waktu itu." "Ngapain? Baru juga sembuh," ucap Mei Lin lalu dia duduk di kursi yang ada di sebelah Bingwen. "Ada hal yang mau aku periksa. Gimana kamu mau ikut?" tanya Bingwen. "Hm, boleh juga. Aku bosan, Ayah juga sibuk dengan serangakaian urusannya," keluh Mei Lin. Guru Bao memang sudah dua hari ini selalu pulang pergi ke pusat kota, saat ditanya Guru Bao selalu bilang kalau dirinya punya pekerjaan tambahan. Sedangkan sesi latihan dilakukan oleh murid senior yang ditunjuk sebagai pelatih sementara. Mei Lin yang terjebak diantara para murid Guru Bao yang kebanyakan laki-laki, hanya bisa memantau dari jauh. Mei Lin tidak diizinkan untuk berlatih belad
Bingwen mengangkat benda dari dalam kotak tersebut, benda yang cukup berat baginya. "Pedang macem apa ini, Bingwen? Sudah berkarat sekali, jangankan untuk mengalahkan lawan. Paling buat motong sayuran juga tidak akan bisa," celetuk Mei Lin setelah Bingwen membuka pembungkus benda tersebut. "Masa kamu bilang begitu? Bukankah kamu merasa ada yang aneh dengan pedang ini?" tanya Bingwen sambil membolak-balik pedang yang sudah berkarat itu. Walau agak berat dan karatan, tapi bentuk pedang tersebut masih kokoh. Bahkan terdapat ukiran naga di gagang pedang. "Hal aneh apa? Aku tidak merasakan apapun kok. Mending kamu kembalikan saja pedang itu ke tempatnya, Bingwen. Karena kita sudah tahu isi dari kotak tersebut, kita pulang saja yuk. Aku takut Ayah sudah pulang. Pasti Ayah akan khawatir," ujar Mei Lin. "Kamu benar, Mei Lin. Kita pulang saja, tapi kalau aku bawa pedang ini bisa kali ya. Kan pedang ini juga pasti sudah dibuang, buktinya sampai keadaannya begini saja tidak ada yang mengam
"Ada apa? Kenapa panik begitu?" Guru Bao mempunyai firasat buruk akan hal itu. Pendengarannya yang tajam dapat menangkap suara derap laju kuda, bukan hanya satu atau dua. Ada banyak, mungkin puluhan jumlahnya. "Guru, pasukan musuh sudah memasuki wilayah kita. Apa yang harus kita lakukan?" jawab orang yang tadi berlari dari arah lereng gunung. "Sudah sampai? Bukankah pasukan kerajaan sudah menghalangi mereka? Nampaknya lawan kali ini jauh lebih kuat, kerajaan barat rupanya tidak bisa diambil remeh." "Ungsikan semua perempuan, anak kecil, dan orang tua. Siapapun yang bisa bertarung, ikut aku maju di garda depan. Jangan panik, kita semua sudah terlatih!" Seru Guru Bao memberi perintah pada penduduk kampung. Tanpa mengulang perintah lagi, pasukan khusus dari Perguruan Bao pun sudah siap siaga di posisinya masing-masing. Termasuk Ni Lou dan Ni Me. "Guru Bao, tolong izinkan aku juga untuk turut serta," pinta Bingwen. "Jangan bodoh, Bingwen. Apa yang kamu lakukan? Ayo kita harus sembu
Seumur hidup Bingwen, baru kali ini dia berhadapan dengan tiga orang lawan sekaligus. Selama ini dia hanya meladeni permainan Ni Lou dan Ni Me saja. Dia cukup senang karena bisa menghindari serangan dari tiga lawannya, kondisi Guru Bao yang sudah terluka parah membuatnya tidak bisa membantu Bingwen. "Bingwen, larilah. Tinggalkan aku di sini, panggil bala bantuan. Cepat!" Seru Guru Bao. Guru itu tidak sanggup melihat Bingwen kewalahan menangani tiga lawan sekaligus. Apa lagi senjata yang dimiliki ketiganya sudah dilumuri racun yang dapat melumpuhkan syaraf. "Tidak, Guru. Aku tidak akan meninggalkan Guru." Nafas Bingwen hampir putus rasanya, tat kala dirinya nyaris tertebas oleh pedang lawannya. "Sialan, apa yang harus aku lakukan?" "Saat ini aku memang beruntung belum terkena senjata mereka, tapi staminaku sudah terkuras habis. Aku benci dengan tubuh lemah ini!" Gerutuan Bingwen hanya dibalas gelak tawa oleh ketiga orang tersebut. "Heh, anak kecil. Lebih baik kamu menyerah saja
Hembusan angin mulai kencang, suara pertarungan di bagian sudut lain terdengar saling bersahutan dengan deru angin. Bingwen masih duduk termenung, dia tidak mengerti dengan kondisi tubuhnya yang seolah sudah kehabisan tenaga. Entah apa yang terjadi sebelumnya, seingat Bingwen dia hendak mengayunkan pedang temuannya pada ketiga lawannya. Setelah itu Bingwen tidak memiliki ingatan apa pun. Dia juga dibuat makin bingung ketika kesadarannya telah kembali, ketiga kawannya tersebut telah tumbang. Tidak mungkin Guru Bao yang mengalahkan ketiganya, mengingat sang guru juga tidak sadarkan diri. "Sebenarnya apa yang terjadi? Tubuhku lemas begini, aku belum pernah merasakan hal yang seperti ini sebelumnya walau sesulit apa latihan yang aku lakukan," gumam Bingwen.Ketika Bingwen kebingungan itulah Mei Lin dan dua orang penduduk kampung menghampirinya. "Hei, Bingwen. Kamu mau cari mati ya! Kenapa pergi begitu saja, aku tahu kamu ingin menolong tapi bukan waktunya sekarang," omel Mei Lin. Mei
Guru Bao meminta mereka yang ada di sekitarnya untuk meninggalkan dirinya dan Bingwen. Setelah hanya keduanya yang tersisa di ruangan tersebut, barulah Guru Bao memanggil Bingwen agar mendekat padanya. "Bingwen, tahukah kamu gambar yang terukir di punggungmu itu artinya apa?" tanya Guru Bao. "Tidak Guru, bukankah dulu aku tidak mempunyai gambar atau tanda lahir seperti yang digambarkan oleh tabib tadi?""Memang benar, aku lah yang menemukan kamu di depan rumahku saat kamu masih bayi. Aku juga yang membesarkan kamu, jadi aku pasti tahu jika ada tanda lahir yang unik seperti yang kamu miliki sekarang," ujar Guru Bao.."Lalu, apa arti tanda ini Guru? Apakah akan membahayakan hidupku nanti?" "Aku belum tahu pasti, hanya saja aku ingat tanda itu merujuk kemana. Lima ratus tahun lalu ada keluarga ahli pedang, di antara keturunan keluarga tersebut yang paling menonjol dan menjadi kepala keluarganya diketahui memiliki ciri tanda gambar pedang. Persis seperti yang ada di punggungmu itu, Bin
Dua minggu setelah penyerangan itu, suasana di tempat tinggal Bingwen masih tampak kacau. Perbaikan rumah penduduk masih berlangsung. Guru Bao sedang menghadap baginda kaisar. Tampaknya ada hal yang lebih serius dari kasus penyerangan tersebut. Mei Lin yang baru saja kembali dari rumah penduduk, membantu mereka yang terluka. Gadis itu menghempaskan dirinya di samping Bingwen yang duduk termenung menatap langit yang mendung. Hembusan angin pun mulai kencang, cuaca yang sangat cocok untuk bermalas-malasan. Namun tidak bagi penduduk setempat, bulan ini sudah memasuki musim hujan. Jika curah hujan lebat tiap hari, bayang-bayang tanah longsor selalu menghantui mereka. Bukan hal aneh jika musim hujan dan bencana longsor terjadi. Penduduk yang tinggal di lereng gunung tersebut, bukan tidak mau berpindah tempat. Hanya saja mereka sudah mendarah daging menyukai tanah kelahiran mereka. "Ngapain kamu duduk di sini? Mau hujan loh bentar lagi, kamu nggak masuk ke dalam? Bukannya kamu takut ba
Bau tanah ketika terguyur hujan sungguh hal yang disukai Bingwen sejak dulu, baginya saat inilah dia bisa menenangkan pikirannya yang berantakan. Pemuda itu menatap kosong ke luar jendela, dia memang tidak mengalami luka dari kejadian sebelumnya. Namun Mei Lin memaksanya untuk tetap istirahat. Sementara Mei Lin sibuk dengan urusannya di dapur, Bingwen memanfaatkan kesempatan itu dengan melamun. Telinganya nyaris putus, jeweran Mei Lin masih sama menyakitkannya seperti dulu. "Padahal aku bosan duduk diam seperti ini, aku ingin menggerakkan tubuhku," gerutu Bingwen. Sebenarnya sebelum hujan turun, dia hendak keluar sembunyi-sembunyi. Tujuan awalnya adalah untuk memastikan kembali apakah benar dia selamat dari serangan prajurit lawan, karena faktor beruntung? "Ingatan terakhirku itu aku memegang pedang berkarat yang aku temukan, setelahnya aku tidak ingat apapun. Apakah itu hal yang wajar?" Lamunan Bingwen makin panjang, dia menerka-nerka apakah dia benar ada sangkut-pautnya dengan