"Sebaiknya kita pulang sekarang, luka luarmu harus segara ditangani juga," ucap Guru Bao setelah dirinya selesai mengobati luka dalam Bingwen.
"Terima kasih banyak, Guru. Berkat Guru kondisi saya jauh lebih baik sekarang.""Masih belum, kita harus menyembuhkan luka luarmu juga. Naiklah ke punggungku, kita pulang sekarang.""A--apa? Guru, saya tidak mau merepotkan Guru lagi. Pasti berat, lagi pula jalan pegunungan juga pasti licin sehabis hujan deras tadi," ujar Bingwen.Rasa malu dan bersalah saat itu menghantui dirinya, Bingwen bukan anak yang tidak tahu diri. Dia tidak ingin merepotkan gurunya lagi."Sudah jangan banyak mikir, kamu harus segera mendapat pengobatan," sanggah Guru Bao.Butuh waktu beberapa saat, sampai akhirnya Bingwen mau mengikuti saran dari sang guru."Saya pasti berat, Guru. Maafkan saya karena menyusahkan Guru," ucap Bingwen setelah dia berada di punggung gurunya."Kamu kurus begini, berat dari mana. Coba kamu cek ulang apa ada barang yang ketinggalan," titah Guru Bao."Baik, Guru..." Bingwen mengamati sekelilingnya dari atas punggung Guru Bao. Dia tidak menemukan barang yang belum dibawa. Namun mata Bingwen terpaku pada satu sudut di dalam gua tersebut."Ada tidak, Bingwen?""T--tidak ada, Guru," jawab Bingwen. Bingwen tidak mengatakan tentang apa yang dia lihat."Mungkin aku salah lihat," gumam Bingwen.Akhirnya guru dan murid itu pun meninggalkan gua tersebut, Guru Bao berjalan dengan hati-hati. Namun juga dengan kecepatan yang sedang.Bingwen yang berada di gendongan sang guru hanya bisa merasa takjub. Padahal gurunya tersebut sudah berusia empat puluh tahun lebih, tapi Guru Bao tidak terlihat kelelahan sekali menggendongnya dengan iklim yang tidak bersahabat."Sesampainya kita nanti, aku akan memanggil Ni Lou dan Ni Me. Aku menitipkan kamu pada keduanya bukan untuk menjadikanmu sebagai samsak," ujar Guru Bao.Dari nada suara yang Guru Bao, terdengar kalau laki-laki itu menahan emosi. Guru Bao kecewa dengan perilaku Ni Lou dan Ni Me, padahal keduanya merupakan murid terbaik."Kenapa kamu diam saja, Bingwen. Coba kalau aku tidak datang tepat waktu, entah banyakkamu masih hidup atau sudah mati," imbuh Guru Bao.Kali ini Bingwen tidak biss membantah, mungkin memang sudah saatnya Ni Lou dan Ni mei mendapat hukuman.Keduanya kembali terdiam, keheningan menyelimuti guru dan murid tersebut. Sebenarnya Bingwen masih penasaran dengan apa yang dia lihat, meski belum yakin dengan penglihatannya itu. Namun satu hal yang pasti, Bingwen merasa seperti ada sesuatu yang menariknya dan memintanya untuk memeriksa tempat tersebut.Namun karena Bingwen tidak ingin membuat gurunya menunggu lama, dia akhirnya hanya mengabaikannya."Aku akan ke sini lagi, jika kondisiku sudah membaik," gumam Bingwen.Ternyata butuh waktu cukup lama sampai keduanya tiba di rumah Guru Bao."Ayah....! Apa yang terjadi?" Seorang gadis terburu-buru berjalan menghampiri Guru Bao."Mei Lin, jangan berlarian nanti kamu jatuh. Tolong Ayah untuk menyiapkan obat-obatan dan kain perban."Guru Bao berjalan berdampingan dengan putri tunggalnya, Mei Lin. Gadis itu langsung menjalankan apa yang sang ayah minta. Guru Bao menurunkan Bingwen yang tertidur di pundaknya dengan perlahan ke tempat tidur yang terbuat dari bambu.Mei Lin menghampiri sang ayah dengan tangan penuh akan benda yang diminta ayahnya, "Apa yang terjadi dengan Bingwen, Ayah?""Sepertinya Ni Lou dan Ni Me kembali berulah, anak ini terluka cukup parah ditinggalkan begitu saja di gunung. Bingwen bilang dia sempat melawan harimau sebelum akhirnya dia terjatuh dari tebing di belakang gunung itu," jawab Guru Bao."Astaga...! Mereka masih saja menggangu Bingwen?" Mei Lin hampir tidak percaya dengan apa yang dia dengar.Sebab Ni Lou dan Ni Me selalu bersikap baik dan seolah peduli terhadap Bingwen. Namun ternyata justru sebaliknya."Pasti Bingwen kesakitan dan ketakutan di atas gunung sana. Mereka kok tega sekali," ujar Mei Lin.Guru Bao tidak menyahuti ucapan putrinya, dia hanya fokus akan penyembuhan luka luar Bingwen. Dibantu dengan Mei Lin, akhirnya Bingwen telah diobati.Keesokan harinya Bingwen bangun dengan tubuh yang jauh lebih segar dari pada kemarin."Mei Lin, terima kasih karena sudah mengurusku," ucap Bingwen saat Mei Lin masuk ke kamarnya dengan nampan ditangannya."Tidak perlu memikirkan hal itu, gimana keadaanmu sekarang?""Berkat Guru dan kamu, sekarang aku lebih baik. Oh iya, di mana Guru Bao?""Guru sedang menghukum Ni Lou dan Ni Me," jawab Mei Lin. Dia mengambil mangkuk berisi bubur dan diserahkan pada Bingwen."Menghukum?" Wajah Bingwen memucat, dia tidak menyangka Guru Bao akan langsung bertindak setelah kejadian kemarin. Padahal dia sudah berusaha untuk menutupinya dari sang guru."Sudah, jangan terlalu banyak berpikir. Makanlah dulu, kamu pasti lapar bukan?"Bingwen memang lapar, tapi dalam situasi sekarang dia jadi tidak begitu berselera. Namun karena Mei Lin sudah susah payah memasak makanan untuknya, dia pun menghabiskan bubur tersebut."Lain kali, kalau mereka bersikap keterlaluan dan melampaui batas kamu harus lapor pada Ayah. Jangan sembunyikan semuanya sendirian. Kamu tidak tahu kan betapa Ayah khawatir," ujar Mei Lin."Maaf... Aku tidak bermaksud untuk itu. Aku hanya tidak mau merepotkan Guru. Aku ingin membuktikan kalau aku bisa, tapi ternyata aku masih belum mampu untuk itu. Kamu juga pasti kecewa denganku bukan?"Bingwen tertunduk lesu, kalau boleh jujur dia tidak ingin membuat Guru Bao dan Mei Lin kecewa. Hanya keduanya yang selalu berpihak padanya, Mei Lin yang lebih muda dua tahun darinya mempunyai pembawaan yang tenang. Hal itu yang membuat Bingwen merasa nyaman untuk mengungkapkan segala kegundahannya.Tuk..!Mei Lin menjitak kepala Bingwen, "Jangan berpikiran sempit begitu, kamu kira aku akan kecewa hanya dengan hal itu? Aku tahu seberapa keras kamu berusaha. Mungkin sekarang kamu belum bisa mencapai apa yang kamu inginkan, tapi percayalah suatu saat kamu akan bisa melampaui apa yang kamu inginkan."Bingwen menatap lurus ke wajah teduh Mei Lin."Aku tidak menyangka kamu lebih muda dari ku, Mei Lin.""Makanya dengarkan ucapanku ini wahai orang yang jauh lebih tua tapi masih seperti anak kecil," sahut Mei Lin sambil mendabik dadanya.Keduanya pun tertawa bersama, sejenak Bingwen melupakan semua hal yang membuatnya terpuruk."Menurutmu, kapan aku bisa keluar? Aku bosan terus berbaring. Ada yang ingin aku lakukan," kata Bingwen setelah tawanya reda."Hei, kamu baru juga mendapat perawatan. Apa yang mau kamu lakukan dengan tubuhmu itu? Jangan bilang kamu mau melakukan hal yang nekat lagi?" Mei Lin tahu betul sifat Bingwen.Bingwen yang pantang menyerah itu selalu berlatih diam-diam tanpa sepengetahuan Guru Bao. Karena Bingwen tidak bisa mengandalkan Ni Lou dan Ni Me, satu-satunya jalan hanyalah berlatih sendiri."Kamu tenang saja, aku tidak akan melakukan hal yang berbahaya. Hanya saja, ada yang ingin aku pastikan. Kalau kamu tidak percaya padaku, kita bisa pergi bersama. Gimana?""Hm... Nantilah aku pikirkan dulu. Kesembuhanmu jauh lebih penting sekarang. Sudah jangan banyak bicara, istirahatlah lagi, aku mau ke ladang." Mei Lin meninggalkan Bingwen agar Bingwen bisa istirahat."Aku harap bisa segera sembuh, aku penasaran dengan goa itu," gumam Bingwen.Bingwen masih belum bisa melupakan perasaan aneh yang menyelimuti dirinya, terlebih saat dia hendak meninggalkan gua. Perasaan yang seolah memintanya untuk kembali, tapi Bingwen tidak mengerti kenapa dia bisa merasakan hal tersebut.Beberapa hari kemudian, Bingwen yang sudah hampir sembuh segera bersiap untuk mengunjungi gua waktu itu. Anak lelaki itu sibuk menyiapkan apa yang patut dia bawa, sesekali Bingwen bersenandung. Suasana hatinya sedang bagus hari ini. Pintu rumah terbuka dan Mei Lin muncul dengan raut wajah heran, "Kamu mau ke mana?" "Aku mau ke gua waktu itu." "Ngapain? Baru juga sembuh," ucap Mei Lin lalu dia duduk di kursi yang ada di sebelah Bingwen. "Ada hal yang mau aku periksa. Gimana kamu mau ikut?" tanya Bingwen. "Hm, boleh juga. Aku bosan, Ayah juga sibuk dengan serangakaian urusannya," keluh Mei Lin. Guru Bao memang sudah dua hari ini selalu pulang pergi ke pusat kota, saat ditanya Guru Bao selalu bilang kalau dirinya punya pekerjaan tambahan. Sedangkan sesi latihan dilakukan oleh murid senior yang ditunjuk sebagai pelatih sementara. Mei Lin yang terjebak diantara para murid Guru Bao yang kebanyakan laki-laki, hanya bisa memantau dari jauh. Mei Lin tidak diizinkan untuk berlatih belad
Bingwen mengangkat benda dari dalam kotak tersebut, benda yang cukup berat baginya. "Pedang macem apa ini, Bingwen? Sudah berkarat sekali, jangankan untuk mengalahkan lawan. Paling buat motong sayuran juga tidak akan bisa," celetuk Mei Lin setelah Bingwen membuka pembungkus benda tersebut. "Masa kamu bilang begitu? Bukankah kamu merasa ada yang aneh dengan pedang ini?" tanya Bingwen sambil membolak-balik pedang yang sudah berkarat itu. Walau agak berat dan karatan, tapi bentuk pedang tersebut masih kokoh. Bahkan terdapat ukiran naga di gagang pedang. "Hal aneh apa? Aku tidak merasakan apapun kok. Mending kamu kembalikan saja pedang itu ke tempatnya, Bingwen. Karena kita sudah tahu isi dari kotak tersebut, kita pulang saja yuk. Aku takut Ayah sudah pulang. Pasti Ayah akan khawatir," ujar Mei Lin. "Kamu benar, Mei Lin. Kita pulang saja, tapi kalau aku bawa pedang ini bisa kali ya. Kan pedang ini juga pasti sudah dibuang, buktinya sampai keadaannya begini saja tidak ada yang mengam
"Ada apa? Kenapa panik begitu?" Guru Bao mempunyai firasat buruk akan hal itu. Pendengarannya yang tajam dapat menangkap suara derap laju kuda, bukan hanya satu atau dua. Ada banyak, mungkin puluhan jumlahnya. "Guru, pasukan musuh sudah memasuki wilayah kita. Apa yang harus kita lakukan?" jawab orang yang tadi berlari dari arah lereng gunung. "Sudah sampai? Bukankah pasukan kerajaan sudah menghalangi mereka? Nampaknya lawan kali ini jauh lebih kuat, kerajaan barat rupanya tidak bisa diambil remeh." "Ungsikan semua perempuan, anak kecil, dan orang tua. Siapapun yang bisa bertarung, ikut aku maju di garda depan. Jangan panik, kita semua sudah terlatih!" Seru Guru Bao memberi perintah pada penduduk kampung. Tanpa mengulang perintah lagi, pasukan khusus dari Perguruan Bao pun sudah siap siaga di posisinya masing-masing. Termasuk Ni Lou dan Ni Me. "Guru Bao, tolong izinkan aku juga untuk turut serta," pinta Bingwen. "Jangan bodoh, Bingwen. Apa yang kamu lakukan? Ayo kita harus sembu
Seumur hidup Bingwen, baru kali ini dia berhadapan dengan tiga orang lawan sekaligus. Selama ini dia hanya meladeni permainan Ni Lou dan Ni Me saja. Dia cukup senang karena bisa menghindari serangan dari tiga lawannya, kondisi Guru Bao yang sudah terluka parah membuatnya tidak bisa membantu Bingwen. "Bingwen, larilah. Tinggalkan aku di sini, panggil bala bantuan. Cepat!" Seru Guru Bao. Guru itu tidak sanggup melihat Bingwen kewalahan menangani tiga lawan sekaligus. Apa lagi senjata yang dimiliki ketiganya sudah dilumuri racun yang dapat melumpuhkan syaraf. "Tidak, Guru. Aku tidak akan meninggalkan Guru." Nafas Bingwen hampir putus rasanya, tat kala dirinya nyaris tertebas oleh pedang lawannya. "Sialan, apa yang harus aku lakukan?" "Saat ini aku memang beruntung belum terkena senjata mereka, tapi staminaku sudah terkuras habis. Aku benci dengan tubuh lemah ini!" Gerutuan Bingwen hanya dibalas gelak tawa oleh ketiga orang tersebut. "Heh, anak kecil. Lebih baik kamu menyerah saja
Hembusan angin mulai kencang, suara pertarungan di bagian sudut lain terdengar saling bersahutan dengan deru angin. Bingwen masih duduk termenung, dia tidak mengerti dengan kondisi tubuhnya yang seolah sudah kehabisan tenaga. Entah apa yang terjadi sebelumnya, seingat Bingwen dia hendak mengayunkan pedang temuannya pada ketiga lawannya. Setelah itu Bingwen tidak memiliki ingatan apa pun. Dia juga dibuat makin bingung ketika kesadarannya telah kembali, ketiga kawannya tersebut telah tumbang. Tidak mungkin Guru Bao yang mengalahkan ketiganya, mengingat sang guru juga tidak sadarkan diri. "Sebenarnya apa yang terjadi? Tubuhku lemas begini, aku belum pernah merasakan hal yang seperti ini sebelumnya walau sesulit apa latihan yang aku lakukan," gumam Bingwen.Ketika Bingwen kebingungan itulah Mei Lin dan dua orang penduduk kampung menghampirinya. "Hei, Bingwen. Kamu mau cari mati ya! Kenapa pergi begitu saja, aku tahu kamu ingin menolong tapi bukan waktunya sekarang," omel Mei Lin. Mei
Guru Bao meminta mereka yang ada di sekitarnya untuk meninggalkan dirinya dan Bingwen. Setelah hanya keduanya yang tersisa di ruangan tersebut, barulah Guru Bao memanggil Bingwen agar mendekat padanya. "Bingwen, tahukah kamu gambar yang terukir di punggungmu itu artinya apa?" tanya Guru Bao. "Tidak Guru, bukankah dulu aku tidak mempunyai gambar atau tanda lahir seperti yang digambarkan oleh tabib tadi?""Memang benar, aku lah yang menemukan kamu di depan rumahku saat kamu masih bayi. Aku juga yang membesarkan kamu, jadi aku pasti tahu jika ada tanda lahir yang unik seperti yang kamu miliki sekarang," ujar Guru Bao.."Lalu, apa arti tanda ini Guru? Apakah akan membahayakan hidupku nanti?" "Aku belum tahu pasti, hanya saja aku ingat tanda itu merujuk kemana. Lima ratus tahun lalu ada keluarga ahli pedang, di antara keturunan keluarga tersebut yang paling menonjol dan menjadi kepala keluarganya diketahui memiliki ciri tanda gambar pedang. Persis seperti yang ada di punggungmu itu, Bin
Dua minggu setelah penyerangan itu, suasana di tempat tinggal Bingwen masih tampak kacau. Perbaikan rumah penduduk masih berlangsung. Guru Bao sedang menghadap baginda kaisar. Tampaknya ada hal yang lebih serius dari kasus penyerangan tersebut. Mei Lin yang baru saja kembali dari rumah penduduk, membantu mereka yang terluka. Gadis itu menghempaskan dirinya di samping Bingwen yang duduk termenung menatap langit yang mendung. Hembusan angin pun mulai kencang, cuaca yang sangat cocok untuk bermalas-malasan. Namun tidak bagi penduduk setempat, bulan ini sudah memasuki musim hujan. Jika curah hujan lebat tiap hari, bayang-bayang tanah longsor selalu menghantui mereka. Bukan hal aneh jika musim hujan dan bencana longsor terjadi. Penduduk yang tinggal di lereng gunung tersebut, bukan tidak mau berpindah tempat. Hanya saja mereka sudah mendarah daging menyukai tanah kelahiran mereka. "Ngapain kamu duduk di sini? Mau hujan loh bentar lagi, kamu nggak masuk ke dalam? Bukannya kamu takut ba
Bau tanah ketika terguyur hujan sungguh hal yang disukai Bingwen sejak dulu, baginya saat inilah dia bisa menenangkan pikirannya yang berantakan. Pemuda itu menatap kosong ke luar jendela, dia memang tidak mengalami luka dari kejadian sebelumnya. Namun Mei Lin memaksanya untuk tetap istirahat. Sementara Mei Lin sibuk dengan urusannya di dapur, Bingwen memanfaatkan kesempatan itu dengan melamun. Telinganya nyaris putus, jeweran Mei Lin masih sama menyakitkannya seperti dulu. "Padahal aku bosan duduk diam seperti ini, aku ingin menggerakkan tubuhku," gerutu Bingwen. Sebenarnya sebelum hujan turun, dia hendak keluar sembunyi-sembunyi. Tujuan awalnya adalah untuk memastikan kembali apakah benar dia selamat dari serangan prajurit lawan, karena faktor beruntung? "Ingatan terakhirku itu aku memegang pedang berkarat yang aku temukan, setelahnya aku tidak ingat apapun. Apakah itu hal yang wajar?" Lamunan Bingwen makin panjang, dia menerka-nerka apakah dia benar ada sangkut-pautnya dengan
"Apa kamu yakin surat yang kita kirimkan itu akan sampai ke tangan Guru Bao?" tanya Ming ketika Bingwen kembali. Ming membiarkan Bingwen menghabiskan makanannya lebih dulu, sama seperti dia yang kelaparan. Bingwen pun pasti demikian. Apalagi Bingwen yang lebih banyak menggunakan tenaga dari pada dia. "Iya tenang saja. Hanya aku dan Guru Bao yang paham tentang metode itu," jawab Bingwen. Diambilnya beberapa uang koin perak dan memberikannya pada pemilik kedai. Uang yang dia miliki pun makin berkurang. Dia harus mencari pekerjaan sementara sambil menunggu surat balasan dari Guru Bao. Setidaknya Minggu ini dia harus menetap di tempat ini terlebih dahulu. "Kita mau ke mana sekarang?" Tanya Ming. "Cari penginapan, kita kehabisan uang." "Oh! Kebetulan, tadi aku lihat ada orang yang sedang mencari prajurit bayaran. Katanya untuk mengisi kekosongan saat acara festival rakyat berlangsung, apa kita coba saja?" Ming sempat mendengar obrolan para pemuda yang duduk tidak jauh darinya di ked
Setelah perjalanan yang cukup panjang, kini Bingwen sudah berada di pusat kota kekaisaran. Suasana di pusat kota jauh lebih ramai dari pada di tempat lainnya, mengingat banyaknya aktivitas yang dilakukan penduduk setempat maupun pendatang. Tidak aneh juga jika pusat kota jauh lebih hidup, di mana di sini lah tempat mereka saling melakukan transaksi jual beli. Barang yang diperdagangkan pun jauh lebih beragam. Kain-kain sutra dengan kualitas terbaik, giok yang beraneka jenis ragamnya dan kualitasnya. Pandai besi yang memiliki kemampuan tinggi, sehingga senjata yang dia buat pun dijamin bagus. Di saat semua kemewahan tersedia di pusat kota kekaisaran, bukan tidak mungkin masih adanya tindak kejahatan. Pencopet ada di mana-mana, jika tidak ingin uang atau benda berhagamu hilang. Maka kamu harus lebih hati-hati dengan barang bawaanmu. "Kita mau ke mana, Bingwen?" tanya Ming. "Ayo cari makan dulu, kamu pasti lapar." Dari tadi Bingwen dapat mendengar gemuruh dari perut Ming. Ya ma
Baik Bingwen maupun Ming keduanya tercengang dengan apa yang mereka dengar. Bingwen memang menduga bahwa masih ada keturunan penyihir putih yang tersisa, tapi tidak dengan kenyataan bahwa Fei Hung yang selama ini dia kenal ternyata salah satunya. Bahkan empat keturunan penyihir putih yang tersisa. "Jadi, kamu benar keturunan langsung dari penyihir putih ini?" tanya Ming yang masih tidak percaya dengan semua hal yang dia ketahui. Fakta bahwa bangsa peri itu nyata saja merupakan hal yang mengejutkan bagi, Ming. Apa lagi makhluk yang ada di depannya ini merupakan keturunan dari penyihir putih dengan bangsa peri. "Begitulah, aku dan ketiga kakak laki-laki ku. Jadi totalnya ada empat, setelah ibu kami meninggal setelah melahirkanku," ujar Fei Hung. Ada mendung di raut wajah Fei Hung, ketika dia mengatakan meninggalnya sang ibu yang mana merupakan penyihir putih yang murni terakhir. Pasti ada rasa bersalah di hati Fei Hung, menyalahkan takdir. "Hei, jangan bersedih. Maaf ya kalau ucapa
"Ambil ini," ucap Fei Hung sambil memberikan sebuah alat pada Bingwen. "Apa ini?" "Alat komunikasi, jika kamu mengalami kesulitan dalam rencanamu maka jangan segan untuk menghubungiku." "Eh, tapi, bukankah ayahmu bilang kalau dia tidak akan ikut campur dengan masalah kami?" tanya Ming. "Ayah hanya mengatakan saja, tapi bukan benar-benar akan dilakukan. Tidak mungkin kami diam saja jika benar para penyihir ilmu hitam itu ikut terlibat," sahut Fei Hung. Fei Hung kemudian menceritakan alasan kenapa bangsa peri menjauh dari hubungan kerja sama dengan bangsa manusia dan penyihir ilmu hitam. Dua ratus tahun yang lalu, ada dua ilmu sihir yang ada di kontinen saat itu. Penyihir putih yang menggunakan ilmu sihirnya untuk menolong siapapun yang membutuhkan, termasuk bangsa manusia. Awalnya ketiga ras ini hidup dalam kerukunan yang damai, hingga suatu saat ketua penyihir ilmu hitam mengetahui kenyataan bahwa pihak penyihir putih mengetahui adanya sihir terlarang yang telah di segel ribuan
Raja Fei Gu, terdiam untuk beberapa saat. Sebab apa yang ditanyakan Bingwen bukan menjadi tanggung jawabnya. Ada batas yang tidak boleh dilanggar, meski penyihir hitam dan para peri tidak saling hidup berdampingan. Selagi kelompok penyihir hitam tersebut tidak melakukan kesalahan atau mengganggu bangsa peri terlebih dahulu, maka Raja Fei Gu juga tidak akan memulai duluan. "Katakan apakah yang kamu tanyakan ini berhubungan dengan kerjaan peri. Sebab apa yang kamu tanyakan itu murni berhubungan dengan manusia saja, tidak ada sangkut pautnya dengan bangsa peri," ujar Raja Fei Gu. Tergambar raut kekecewaan dan kesedihan di wajah Bingwen. Ketika harapan yang dia yakini telah dipatahkan langsung oleh sang raja. Menyadari suasana hati Bingwen yang langsung gelap, Fei Hung berjalan ke arah tahta ayahnya. "Ayah, izinkan saya berbicara sebentar dengan Ayah." Fei Hung tidak mengatakan dengan suara latang, sebab apa yang akan dia katakan adalah sebuah rahasia besar. Sesudah Fei Hung berbisik
"Jadi? Kenapa dua manusia ini bisa ada di wilayah kekuasaan kita?" tanya Fei Zhi yang masih tidak suka akan kedatangan Bingwen dan Ming. Bingwen tidak gentar sedikitpun dengan tekanan yang diberikan oleh kakak laki-laki Fei Hung. Di saat Ming ketakutan dan tidak bisa berbicara dengan benar, Bingwen justru tersenyum saja melihat kelakuan Ming. "Apa yang kamu lakukan? Beginikah sikap manusia tidak tahu diri yang tiba-tiba muncul tanpa pemberitahuan terlebih dahulu? Apa kamu kira aku ini badut yang bisa kamu tertawakan seperti itu?" Fei Zhi makin kesal akan tingkah lamu Bingwen yang disangka untuknya, padahal tidak demikian. "Oh, maafkan saya, Tuan. Saya tidak bermaksud demikian. Saya tidak menertawakan Anda, tapi pada teman saya ini. Padahal dia anak yang cerewet, tapi sekarang dia bahkan tidak bisa berkata sepatah kata pun," tutur Bingwen. Bingwen tidak mau memberi kesan buruk pada orang yang mungkin membantunya, makanya dia sebisa mungkin memperhatikan kalimat yang dia ucapk
"Jadi, apa yang membawamu ke sini?" tanya Fei Hung tanpa berbasa-basi. Kedatangan Bingwen saja sudah membuatnya penasaran Bagaimana bisa Bingwen menemukan portal menuju dunia para peri? Sementara hanya mereka yang keturunan peri dan orang tertentu saja yang diizinkan melewati portal tersebut. "Apa karena dia keturunan terakhir dari keluarga ahli pedang itu?" tanya Fei Hung dalam hatinya. Fei Hung tidak bisa meyakinkan dirinya akan pertanyaannya itu, meski benar apa yang menjadi alasan Bingwen bisa melewati portal yang memisahkan antara dunia manusia dan dunia peri adalah karena hal itu. Tentu hal tersebut juga tidak bisa diterima, sebab keluarga ahli pedang itu bahkan belum pernah ada yang menginjakkan kaki di tanah para peri. Lamunan Fei Hung buyar ketika Bingwen memanggil namanya dengan suara lantang. "Jangan teriak-teriak begitu, aku tidak tuli," ketus Fei Hung. Bingwen terkekeh melihat wajah kesal Fei Hung dan berkata, "Tingkahmu tidak ada yang berubah, Fei Hung.
"B-bingwen ... kenapa kamu berhenti?" tanya Ming yang gugup sebab Bingwen tiba-tiba berhenti begitu saja. Firasat Ming seketika langsung buruk, dia tidak yakin apakah Bingwen merasakan hal yang sama. "Ming, kita telah sampai.""Hah? Maksudmu?" "Kita telah tiba di kerajaan para peri," ujar Bingwen. Ming pun langsung mengedarkan pandangannya, memastikan apa yang dia dengar bukan hanya halusinasinya saja. "Haaa ... jadi negeri para peri itu benar adanya? Bukan hanya kisah dongeng belaka?" gumam Ming setelah dia melihat perbedaan yang ketara dari suasana di dunia manusia. "Gimana bisa, Bingwen?" tanya Ming lagi. Dia masih bingung kenapa tiba-tiba sudah pindah tempat begitu saja, padahal terakhir kali yang dilihat Ming hanyalah luasnya hutan belantara yang tertutup kabut tebal. Bingwen tidak menjawab pertanyaan temannya itu, sebab memang hanya dirinya saja yang dapat melihat bahwa mereka telah melewati garis ruang dan waktu. Jikalau pun Bingwen menceritakannya pada Ming, Ming pasti
Kabut tebal menyambut perjalanan Bingwen dan Ming kali ini, keduanya bahkan tidak bisa bergerak sembarang jika ingin selamat. Hutan belantara itu yang awalnya sudah sangat sulit ditaklukkan, kini makin menjadi seperti medan perang. "Apa yang harus kita lakukan, Bingwen? Kalau begini terus, jangankan menemukan kerajaan peri. Yang ada malah kita akan tersesat dan menjadi makanan binatang buas," ujar Ming. "Jangan menyerah begitu, kita datang ke sini memiliki niat yang baik. Pasti ada jalan. Dan jangan pernah berpikiran buruk ketika kita sedang berada di tempat seperti ini," sahut Bingwen.Bingwen bukan tidak mengerti akan kebimbangan yang Ming alami, hanya saja menyerah ketika sudah melewati perjalanan jauh dan menantang itu tentu bukan pilihan yang bijak. Akhirnya, Bingwen memutuskan untuk menggunakan kekuatannya. Indera penglihatannya dia pertajam, hingga walau setebal apapun kabut yang menghadang jalannya, dia bisa berjalan tanpa kesulitan. "Bingwen, entah kenapa matamu kok berb