Degup jantung Bingwen menggila, setelah dia mengetahui sesuatu yang menghampirinya adalah seekor harimau.
Geraman dan sorot mata harimau itu begitu tajam, hingga Bingwen merasa kalau harimau tersebut tengah mengincarnya."S--sialan... Kenapa harus ketemu dengan harimau itu sekarang? Ternyata rumor kalau ada harimau di pegunungan ini itu benar. Apa yang harus aku lakukan?" Bingwen memutar otaknya, dia tidak mau mati konyol diterkam harimau kelaparan yang sering kali memakan hewan ternak penduduk di lereng gunung."Ayo berpikirlah, Bingwen. Gunakan otakmu jika tubuhmu tidak bisa diajak kerja sama!" Bingwen mengutuk dirinya sendiri.Biarpun Bingwen lemah, tapi dia memiliki otak yang cerdas. Dia lambat dalam melawan balik serangan Ni Lou, tapi dengan daya observasi yang Bingwen miliki dia berhasil mengelak dari serangan Ni Lou.Kalau saja Bingwen tidak pandai mengamati gerakan lawannya, mungkin sudah lama Bingwen mati di tangan Ni Lou."Karena aku tidak bisa lari dan juga terlalu beresiko melarikan diri ditengah guyuran hujan di pegunungan. Aku harus mencari cara untuk menyerang atau setidaknya melindungi diriku dari harimau tersebut."Bingwen melihat ke sekelilingnya, dia mencari sesuatu yang bisa dijadikan sebagai senjata. Retinanya menemukan dahan pohon berukuran cukup besar yang bisa dia gunakan sebagai alat tempurnya."Majulah ke sini harimau sialan!"Kuda-kuda Bingwen sudah cukup sempurna, hanya saja dia yang sudah menerima banyak luka akibat ulah Ni Lou membuatnya makin tidak bisa bergerak bebas.Harimau itu menggeram dan makin mendekati Bingwen, sesekali harimau tersebut juga memamerkan deretan gigi tajamnya.Bulu kuduk Bingwen meremang, jika dia gagal mempertahankan keselamatan dirinya. Dia dapat pastikan gigi harimau itu akan mengoyak habis dagingnya yang tidak seberapa itu.Grrr.....!Grrr....!Harimau tersebut melompat ke arah Bingwen, yang dapat dihindari oleh Bingwen. Beruntung. Ya, hanya itu yang Bingwen dapat ucapkan. Penglihatannya yang dari tadi sudah mulai buram itu masih bisa melihat gerakan harimau yang tiba-tiba menyerangnya.Mungkin karena kesal gagal menerkam Bingwen, harimau itu pun kembali menyerang Bingwen. Lagi-lagi Bingwen dapat mengelak, dia juga bahkan berhasil menyerang balik sang harimau dengan pukulan dahan miliknya."Berhasil!" Seru Bingwen tatkala sang harimau terkena pukulannya."Ternyata benar apa yang dikatakan Guru Bao, jika aku terus berlatih maka suatu saat aku akan berhasil. Mungkin ini langkah awal dari keberhasilan tersebut," gumam Bingwen.Kesenangan Bingwen tidak begitu lama dia rayakan, sebab dia sadar kalau harimau yang masih menginginkannya itu belum menyerah. Harimau tersebut terbangun dan kembali mendekati Bingwen.Grrrr...!Lompatan harimau itu jauh lebih cepat, hingga Bingwen hampir saja tidak bisa melihat ke mana arah harimau tersebut akan mendarat."Aarghhh...!" Lengan Bingwen tergores kuku tajam harimau. Lukanya cukup dalam.Rasa perih dari luka yang menganga dan terkena air hujan teramat menyakitkan, darah segar mengalir dari asal luka tersebut."Sialan....!"Bingwen memicingkan matanya, dia harus mengamati lebih baik lagi. Sekali lagi dia gagal atau meleset, maka bukan hanya lengannya saja yang terluka. Namun nyawanya juga menjadi taruhannya."Berpikirlah Bingwen...!"Ketika Bingwen berada dalam kebuntuannya, dia hampir saja terjatuh. Berkat dahan yang dia pegang, dia jadikan dahan itu sebagai penyanggah tubuhnya."Batu?" Bingwen menyadari adanya batu di sebelah kakinya.Diambilnya batu itu, saat harimau itu kembali mendekatinya maka dia akan melempar batu tersebut padanya.Grrr.....!Grrrr....!"Brengsek, harimau ini sepertinya kelaparan. Makanya dia tidak mau melepaskannya. Dia tidak tahu kalau aku juga lapar....!"Dahan kayu yang semula di tangan kanan, kini beralih di tangan kiri Bingwen. Bingwen mengambil ancang-ancang, dengan menggenggam erat batu yang dia temukan.Grrrr...!Harimau itu kembali melompat ke arah Bingwen, sialnya Bingwen kehilangan keseimbangan. Hingga dirinya saat ini berada di bawah kungkungan sang harimau.Grrrr....!"Siaall..." Bingwen tidak menemukan dahan yang semula dia pegang. Hanya batu yang menjadi senjatanya sekarang.Harimau itu menggeram dan membuka mulutnya selebar mungkin, siap menerkam dan mencabik-cabik tubuh Bingwen."Tidak semudah itu, harimau sialan!" .Bugh!!Bingwen memukul kepala harimau dengan batu, dengan sisa tenaganya Bingwen menendang harimau itu hingga terpental beberapa langkah dari tempatnya berada."Berhasil...." ucap Bingwen.Untuk beberapa saat harimau itu masih belum bergerak."Aku rasa pukulan batu itu sangat ampuh, aku harus keluar dari sini sekarang. Sebelum harimau itu kembali mengejarku."Bingwen terseok-seok menjauhi tempatnya, meski dia tidak tahu ke mana dia harus pergi. Saat ini prioritas utamanya hanyalah bisa menemukan tempat persembunyian.Sraaak....!"Aarghhh....!"Nasib buruk Bingwen belum usai, dia tersandung dan berguling-guling di turunan gunung itu. Kepalanya beberapa kali terbentur gundukan tanah dan juga batang pohon.Dengan sekuat tenaga Bingwen menautkan tangannya pada batang pohon yang dekat dengan posisinya. Nafas Bingwen tersengal-sengal."Kenapa aku harus melalui semua ini?" tanyanya dalam hati. Nafas Bingwen hampir putus, kejadian tiba-tiba itu membuatnya senam jantung."Sakit..." Lukanya yang masih menganga itu pun makin menyakitkan.Setelah dirasa cukup beristirahat, Bingwen kembali berjalan dengan tertatih-tatih. Dia menduga ada beberapa tulang rusuknya yang patah, tapi dia tidak ingin berpangku tangan. Harimau itu pasti saat ini sudah siuman dari pingsannya."Jika aku ingin selamat, aku harus keluar dari gunung ini." Pendengaran Bingwen dia aktifkan, walau Bingwen tidak yakin dia akan bisa menangkap suara harimau di tengah hujan yang masih turun dengan deras.Sraaak....!Kaki Bingwen terpeleset, tubuh kurus Bingwen kali ini terjun bebas dari tebing.Brugh..!Tubuh Bingwen jatuh menghantam batu besar di bawah tebing, syukurnya tebing itu tidak begitu tinggi.Bingwen merasa tubuhnya tercerai berai, suara tulang yang beradu dengan batu besar itu menandakan kalau tulangnya banyak yang patah."A...duh....!"Mata Bingwen makin berat, tapi dia masih memiliki tekad untuk bertahan hidup."Bangunlah, Bingwen. Dasar bodoh...." Susah payah Bingwen mengangkat tubuhnya, meski sia-sia.Bingwen kali ini kalah oleh keadaan, tumbuhnya tidak mau mengikuti apa yang otaknya perintahkan. Hingga Bingwen kembali ambruk.Tubuh anak lelaki itu terbujur di atas batu besar, diguyur oleh derasnya air hujan."Bukankah hujan membawa keberuntungan dan rezeki, tapi kenapa yang terjadi padaku justru sebaliknya?"Gumaman Bingwen begitu lemah, matanya makin berkunang-kunang hingga dia tidak bisa melihat apapun. Bingwen kembali pingsan.Suara gemuruh petir saling bersahutan, seolah memanggil Bingwen dari pingsannya. Hujan yang tadinya begitu deras pun, perlahan mulai reda. Setidaknya hal itu meringankan rasa sakit yang diderita Bingwen.Berjam-jam lamanya Bingwen tidak sadarkan diri. Hingga sewaktu kesadarannya tah pulih, Bingwen memegangi kepalanya."Aku masih hidup." Bingwen mencoba duduk, pandangannya kali ini jauh lebih baik dari sebelumnya."Tempat itu kan....!"Bingwen hampir tidak percaya dengan apa yang dia lihat.Bingwen berhasil berteduh di gua yang berada di dekat dia tadi jatuh. Gua itu tidak begitu besar dan tidak pula menyeramkan. "Semoga tidak ada hal buruk lagi. Izinkan aku istirahat demi memulihkan kondisiku," gumam Bingwen. Disekanya air hujan di wajahnya, karena luka cakaran harimau itu masih mengeluarkan darah. Bingwen merobek baju yang dia kenakan, untuk menutup luka tersebut. Jangan ditanya gimana rasanya, tentu sakit sekali. Namun Bingwen tidak bisa berbuat apapun selain menahan rasa sakit itu. Mungkin akibat kelelahan dan rasa sakit di sekujur tubuhnya, Bingwen pun terlelap begitu saja. Tanpa dia mengkhawatirkan akan adanya hewan buas lainnya. Malam makin larut, hujan di luar gua juga sekarang sudah berhenti. Meninggalkan dingin yang membuat tubuh Bingwen menggigil. Bingwen terbangun dari tidurnya, kondisinya masih belum begitu pulih. Akan tetapi jauh lebih baik dari pada sebelumnya. "Syukurlah ternyata gua ini jauh lebih aman dari pada tempat latihan." Bingwen mulai mengam
"Sebaiknya kita pulang sekarang, luka luarmu harus segara ditangani juga," ucap Guru Bao setelah dirinya selesai mengobati luka dalam Bingwen. "Terima kasih banyak, Guru. Berkat Guru kondisi saya jauh lebih baik sekarang.""Masih belum, kita harus menyembuhkan luka luarmu juga. Naiklah ke punggungku, kita pulang sekarang." "A--apa? Guru, saya tidak mau merepotkan Guru lagi. Pasti berat, lagi pula jalan pegunungan juga pasti licin sehabis hujan deras tadi," ujar Bingwen. Rasa malu dan bersalah saat itu menghantui dirinya, Bingwen bukan anak yang tidak tahu diri. Dia tidak ingin merepotkan gurunya lagi. "Sudah jangan banyak mikir, kamu harus segera mendapat pengobatan," sanggah Guru Bao. Butuh waktu beberapa saat, sampai akhirnya Bingwen mau mengikuti saran dari sang guru. "Saya pasti berat, Guru. Maafkan saya karena menyusahkan Guru," ucap Bingwen setelah dia berada di punggung gurunya. "Kamu kurus begini, berat dari mana. Coba kamu cek ulang apa ada barang yang ketinggalan," tit
Beberapa hari kemudian, Bingwen yang sudah hampir sembuh segera bersiap untuk mengunjungi gua waktu itu. Anak lelaki itu sibuk menyiapkan apa yang patut dia bawa, sesekali Bingwen bersenandung. Suasana hatinya sedang bagus hari ini. Pintu rumah terbuka dan Mei Lin muncul dengan raut wajah heran, "Kamu mau ke mana?" "Aku mau ke gua waktu itu." "Ngapain? Baru juga sembuh," ucap Mei Lin lalu dia duduk di kursi yang ada di sebelah Bingwen. "Ada hal yang mau aku periksa. Gimana kamu mau ikut?" tanya Bingwen. "Hm, boleh juga. Aku bosan, Ayah juga sibuk dengan serangakaian urusannya," keluh Mei Lin. Guru Bao memang sudah dua hari ini selalu pulang pergi ke pusat kota, saat ditanya Guru Bao selalu bilang kalau dirinya punya pekerjaan tambahan. Sedangkan sesi latihan dilakukan oleh murid senior yang ditunjuk sebagai pelatih sementara. Mei Lin yang terjebak diantara para murid Guru Bao yang kebanyakan laki-laki, hanya bisa memantau dari jauh. Mei Lin tidak diizinkan untuk berlatih belad
Bingwen mengangkat benda dari dalam kotak tersebut, benda yang cukup berat baginya. "Pedang macem apa ini, Bingwen? Sudah berkarat sekali, jangankan untuk mengalahkan lawan. Paling buat motong sayuran juga tidak akan bisa," celetuk Mei Lin setelah Bingwen membuka pembungkus benda tersebut. "Masa kamu bilang begitu? Bukankah kamu merasa ada yang aneh dengan pedang ini?" tanya Bingwen sambil membolak-balik pedang yang sudah berkarat itu. Walau agak berat dan karatan, tapi bentuk pedang tersebut masih kokoh. Bahkan terdapat ukiran naga di gagang pedang. "Hal aneh apa? Aku tidak merasakan apapun kok. Mending kamu kembalikan saja pedang itu ke tempatnya, Bingwen. Karena kita sudah tahu isi dari kotak tersebut, kita pulang saja yuk. Aku takut Ayah sudah pulang. Pasti Ayah akan khawatir," ujar Mei Lin. "Kamu benar, Mei Lin. Kita pulang saja, tapi kalau aku bawa pedang ini bisa kali ya. Kan pedang ini juga pasti sudah dibuang, buktinya sampai keadaannya begini saja tidak ada yang mengam
"Ada apa? Kenapa panik begitu?" Guru Bao mempunyai firasat buruk akan hal itu. Pendengarannya yang tajam dapat menangkap suara derap laju kuda, bukan hanya satu atau dua. Ada banyak, mungkin puluhan jumlahnya. "Guru, pasukan musuh sudah memasuki wilayah kita. Apa yang harus kita lakukan?" jawab orang yang tadi berlari dari arah lereng gunung. "Sudah sampai? Bukankah pasukan kerajaan sudah menghalangi mereka? Nampaknya lawan kali ini jauh lebih kuat, kerajaan barat rupanya tidak bisa diambil remeh." "Ungsikan semua perempuan, anak kecil, dan orang tua. Siapapun yang bisa bertarung, ikut aku maju di garda depan. Jangan panik, kita semua sudah terlatih!" Seru Guru Bao memberi perintah pada penduduk kampung. Tanpa mengulang perintah lagi, pasukan khusus dari Perguruan Bao pun sudah siap siaga di posisinya masing-masing. Termasuk Ni Lou dan Ni Me. "Guru Bao, tolong izinkan aku juga untuk turut serta," pinta Bingwen. "Jangan bodoh, Bingwen. Apa yang kamu lakukan? Ayo kita harus sembu
Seumur hidup Bingwen, baru kali ini dia berhadapan dengan tiga orang lawan sekaligus. Selama ini dia hanya meladeni permainan Ni Lou dan Ni Me saja. Dia cukup senang karena bisa menghindari serangan dari tiga lawannya, kondisi Guru Bao yang sudah terluka parah membuatnya tidak bisa membantu Bingwen. "Bingwen, larilah. Tinggalkan aku di sini, panggil bala bantuan. Cepat!" Seru Guru Bao. Guru itu tidak sanggup melihat Bingwen kewalahan menangani tiga lawan sekaligus. Apa lagi senjata yang dimiliki ketiganya sudah dilumuri racun yang dapat melumpuhkan syaraf. "Tidak, Guru. Aku tidak akan meninggalkan Guru." Nafas Bingwen hampir putus rasanya, tat kala dirinya nyaris tertebas oleh pedang lawannya. "Sialan, apa yang harus aku lakukan?" "Saat ini aku memang beruntung belum terkena senjata mereka, tapi staminaku sudah terkuras habis. Aku benci dengan tubuh lemah ini!" Gerutuan Bingwen hanya dibalas gelak tawa oleh ketiga orang tersebut. "Heh, anak kecil. Lebih baik kamu menyerah saja
Hembusan angin mulai kencang, suara pertarungan di bagian sudut lain terdengar saling bersahutan dengan deru angin. Bingwen masih duduk termenung, dia tidak mengerti dengan kondisi tubuhnya yang seolah sudah kehabisan tenaga. Entah apa yang terjadi sebelumnya, seingat Bingwen dia hendak mengayunkan pedang temuannya pada ketiga lawannya. Setelah itu Bingwen tidak memiliki ingatan apa pun. Dia juga dibuat makin bingung ketika kesadarannya telah kembali, ketiga kawannya tersebut telah tumbang. Tidak mungkin Guru Bao yang mengalahkan ketiganya, mengingat sang guru juga tidak sadarkan diri. "Sebenarnya apa yang terjadi? Tubuhku lemas begini, aku belum pernah merasakan hal yang seperti ini sebelumnya walau sesulit apa latihan yang aku lakukan," gumam Bingwen.Ketika Bingwen kebingungan itulah Mei Lin dan dua orang penduduk kampung menghampirinya. "Hei, Bingwen. Kamu mau cari mati ya! Kenapa pergi begitu saja, aku tahu kamu ingin menolong tapi bukan waktunya sekarang," omel Mei Lin. Mei
Guru Bao meminta mereka yang ada di sekitarnya untuk meninggalkan dirinya dan Bingwen. Setelah hanya keduanya yang tersisa di ruangan tersebut, barulah Guru Bao memanggil Bingwen agar mendekat padanya. "Bingwen, tahukah kamu gambar yang terukir di punggungmu itu artinya apa?" tanya Guru Bao. "Tidak Guru, bukankah dulu aku tidak mempunyai gambar atau tanda lahir seperti yang digambarkan oleh tabib tadi?""Memang benar, aku lah yang menemukan kamu di depan rumahku saat kamu masih bayi. Aku juga yang membesarkan kamu, jadi aku pasti tahu jika ada tanda lahir yang unik seperti yang kamu miliki sekarang," ujar Guru Bao.."Lalu, apa arti tanda ini Guru? Apakah akan membahayakan hidupku nanti?" "Aku belum tahu pasti, hanya saja aku ingat tanda itu merujuk kemana. Lima ratus tahun lalu ada keluarga ahli pedang, di antara keturunan keluarga tersebut yang paling menonjol dan menjadi kepala keluarganya diketahui memiliki ciri tanda gambar pedang. Persis seperti yang ada di punggungmu itu, Bin