Suara gelak tawa dua orang anak remaja mengudara di pegunungan siang itu, mereka menertawakan salah seorang temannya yang terkapar penuh luka.
"Hahaha... Dasar payah! Begitu saja kamu tidak bisa melawanku.""Benar, dia itu lemah sekali. Aku bahkan tidak tahu kenapa Guru Bao mau mengangkatnya jadi murid," sahut temannya."Bingwen, kenapa kamu tidak menyerah saja akan mimpimu itu. Dengan fisikmu yang lemah tersebut, kamu tidak akan bisa. Melawan kami saja kamu kewalahan. Jangan mimpi menjadi seorang swordmaster!"Anak itu bangun dengan susah payah, tubuhnya yang kurus kering dan ringkih itu berusaha untuk bangkit kembali. Namanya Bingwen, remaja berusia tiga belas tahun. Namun karena fisiknya yang kecil, dia terlihat seperti anak kecil berusia sembilan tahun."Ni Lou, apa hakmu melarangku? Guru saja tidak menghalangi mimpiku. Guru selalu berpesan agar aku terus berlatih, kelak hasil latihanku akan terlihat," balas Bingwen.Sorot mata tajam Bingwen saat membalas ucapan Ni Lou dan Ni Me, membuat keduanya naik pitam. Bagi Ni Lou dan Ni Me, yang menjadi murid terbaik di perguruan bela diri dan ilmu pedang Guru Bao sangat benci dengan kehadiran Bingwen.Bukan tanpa alasan Ni Lou dan Ni Me membenci Bingwen, karena Bingwen lah waktu latihan mereka jadi berkurang. Keduanya harus membantu Bingwen berlatih agar bisa menyusul murid baru yang perkembangannya jauh lebih cepat."Dasar congkak! Kamu itu tidak akan mampu, sadar dirilah akan hak tersebut," ucap Ni Me dengan sinis."Benar, aku tidak tahu kenapa Guru Bao mau menampung anak sepertimu. Tidak bisa apapun, hanya menghambat yang lainnya saja," sahut Ni Lou.Dua anak yang masih memiliki ikatan keluarga dan berasal dari keluarga bangsawan itu, makin membenci Bingwen setelah tahu siapa Bingwen sebenarnya. Semua orang tahu, Guru Bao untuk mengangkat Bingwen menjadi anak asuhnya. Bingwen ditemukan di depan rumah Guru Bao saat Bingwen masih bayi waktu itu."Aku tidak peduli dengan apa yang kalian katakan. Aku akan terus berlatih sampai aku bisa membuktikannya dengan kalian," jawab Bingwen dengan beraninya."Kurang ajar!" Ni Lou yang tidak suka jika ada orang yang melawan ucapannya, mengangkat pedang kayunya dan melayangkannya ke arah Bingwen."Sudah ku bilang kan sebelumnya, jangan melawan ucapanku. Dasar anak tidak tahu diri!"Suara pukulan demi pukulan pedang kayu di tubuh Bingwen begitu nyaring terdengar, suasana pegunungan yang sunyi senyap itu kembali heboh. Sorak sorai Ni Me mendukung Ni Lou menjadi menjadi alasan kedua."Hajar saja dia, Ni Lou. Anak yatim piatu itu tiap hari makin congkak! Buktikan kalau dia itu tidak setara dengan kita!"Ni Lou makin semangat menghajar Bingwen yang meringkuk di tanah sambil menutupi kepala dengan kedua tangannya.Walau Bingwen memohon pada Ni Lou untuk menghentikan aksinya, tapi Ni Lou tidak peduli. Anak lelaki berbadan besar itu terus melayangkan pedang kayu ke tubuh Bingwen. Perbedaan fisik keduanya tentu memberikan efek yang luar biasa, tenaga Ni Lou jauh lebih kuat. Hingga Ni Lou terus menindas Bingwen."Seharusnya kamu mati saja! Dari pada menjadi benalu di kehidupan Guru Bao. Anak tidak tahu diri, seharusnya kamu beruntung Guru Bao mau mengasuhmu. Bukan malah menambah beban Guru Bao!" Seru Ni Lou.Bingwen tidak diberi kesempatan untuk membela diri. Setiap kali Bingwen hendak berucap, Ni Lou menghantamnya dengan pedang kayu yang dia pegang."Ni Lou, aku rasa kita berhenti saja. Dia sudah tidak bergerak lagi. Gimana kalau Guru Bao sampai tahu perbuatan kita?" tanya Ni Me yang mulai khawatir."Apa? Kamu mau membela si pecundang ini? Lagi pula apa yang kamu takutkan? Guru Bao sedang tidak ada di tempat, bukankah Guru baru kembali esok lusa?"Ni Lou menghentikan aksinya, mengambil nafas dalam-dalam. Dia ingat pesan gurunya yang mengatakan kalau sang guru akan pergi ke kota, karena ada urusan mendadak. Namun pelatihan Bingwen masih harus tetap dilakukan."Kamu benar, Ni Lou. Hanya saja, jangan sampai Bingwen mengalami luka parah, Guru Bao pasti akan curiga. Kita kembali saja dulu, biarkan anak tidak tahu diri ini terkapar di sini. Kita bilang saja kalau Bingwen latihan sendiri tanpa mau mendengarkan nasihat kita," ujar Ni Me.Ni Lou terdiam sejenak, dia mempertimbangkan apa yang dikatakan Ni Me. Memang Ni Me ini jauh lebih cerdas darinya, jadi tidak salah jika dia mendengarkan nasihat Ni Me."Baiklah, kita pulang saja."Ni Lou dan Ni Me meninggalkan Bingwen yang terkapar tidak sadarkan diri. Gemuruh petir saling menyambar di atas sana, tidak lama kemudian derasnya air hujan mengguyur bumi. Bingwen yang terbangun karena derasnya hujan menerpa dirinya, anak lelaki itu mengucek matanya dan melihat ke sekelilingnya."Berapa lama aku pingsan? Kemana perginya Ni Lou dan Ni Me?" Pertanyaan bodoh yang dia lontarkan dan hanya dijawab dengan suara petir dan gemericik hujan."Bodoh sekali aku, buat apa aku bertanya begitu? Tentu saja mereka meninggalkan aku di sini."Dengan langkah terseok Bingwen berjalan untuk mencari tempat berteduh, hari sudah semakin gelap. Ditambah hujan deras seperti sekarang, akan sangat berbahaya jika dia menuruni gunung.Pandangan mata Bingwen tidak begitu jelas, entah karena semua luka yang dia terima atau karena hujan."Sepertinya di tempat itu jauh lebih aman," ucapnya sambil terus berjalan mengarah ke pohon besar yang letaknya tidak jauh dari posisinya saat ini."Semoga hujannya segera berhenti, aku dingin dan lapar."Bingwen meringkuk, sakit di sekujur tubuhnya makin terasa. Tubuhnya juga menggigil, sementara suara perutnya terus terdengar. Dari pagi dia belum makan apapun."Aku lapar, sampai kapan aku harus mengalami hal seperti ini? Kenapa aku tidak bisa meningkatkan kemampuanku? Padahal aku sudah berlatih setiap hari?"Bingwen terus berbicara seolah ada orang lain yang mendengarkan keluh kesahnya, dia tidak bisa menceritakan bagaimana Ni Lou dan Ni Me memperlakukannya pada Guru Bao."Bagaimana kalau Guru Bao menyesal telah merawatku selama ini? Jangan-jangan memang benar apa yang dikatakan Ni Lou, aku hanyalah beban bagi Guru Bao?"Selama ini Bingwen tidak pernah menitikkan air matanya, seberat apapun sesi latihan yang diberikan oleh Ni Lou dan Ni Me. Bahkan saat Ni Lou tidak memberikan makanan jika Bingwen melawan ucapannya.Namun, hari ini air mata itu berhasil menyeruak tanpa Bingwen dapat hentikan. Isak tangis anak lelaki itu teramat menyayat hati. Di saat Bingwen tengah bersedih hati, dia tidak menyadari ada yang mendekatinya.Sreek....!Sreekk...!Suara langkah kaki yang berat makin dekat, membuat Bingwen ketakutan."S---siapa itu?" Tidak ada sahutan. Bingwen mengesot mundur dari tempatnya semula, sementara langkah kaki tersebut makin terdengar jelas.Degup jantung Bingwen menggila, setelah dia mengetahui sesuatu yang menghampirinya adalah seekor harimau. Geraman dan sorot mata harimau itu begitu tajam, hingga Bingwen merasa kalau harimau tersebut tengah mengincarnya. "S--sialan... Kenapa harus ketemu dengan harimau itu sekarang? Ternyata rumor kalau ada harimau di pegunungan ini itu benar. Apa yang harus aku lakukan?" Bingwen memutar otaknya, dia tidak mau mati konyol diterkam harimau kelaparan yang sering kali memakan hewan ternak penduduk di lereng gunung. "Ayo berpikirlah, Bingwen. Gunakan otakmu jika tubuhmu tidak bisa diajak kerja sama!" Bingwen mengutuk dirinya sendiri. Biarpun Bingwen lemah, tapi dia memiliki otak yang cerdas. Dia lambat dalam melawan balik serangan Ni Lou, tapi dengan daya observasi yang Bingwen miliki dia berhasil mengelak dari serangan Ni Lou. Kalau saja Bingwen tidak pandai mengamati gerakan lawannya, mungkin sudah lama Bingwen mati di tangan Ni Lou. "Karena aku tidak bisa lari dan juga terlalu be
Bingwen berhasil berteduh di gua yang berada di dekat dia tadi jatuh. Gua itu tidak begitu besar dan tidak pula menyeramkan. "Semoga tidak ada hal buruk lagi. Izinkan aku istirahat demi memulihkan kondisiku," gumam Bingwen. Disekanya air hujan di wajahnya, karena luka cakaran harimau itu masih mengeluarkan darah. Bingwen merobek baju yang dia kenakan, untuk menutup luka tersebut. Jangan ditanya gimana rasanya, tentu sakit sekali. Namun Bingwen tidak bisa berbuat apapun selain menahan rasa sakit itu. Mungkin akibat kelelahan dan rasa sakit di sekujur tubuhnya, Bingwen pun terlelap begitu saja. Tanpa dia mengkhawatirkan akan adanya hewan buas lainnya. Malam makin larut, hujan di luar gua juga sekarang sudah berhenti. Meninggalkan dingin yang membuat tubuh Bingwen menggigil. Bingwen terbangun dari tidurnya, kondisinya masih belum begitu pulih. Akan tetapi jauh lebih baik dari pada sebelumnya. "Syukurlah ternyata gua ini jauh lebih aman dari pada tempat latihan." Bingwen mulai mengam
"Sebaiknya kita pulang sekarang, luka luarmu harus segara ditangani juga," ucap Guru Bao setelah dirinya selesai mengobati luka dalam Bingwen. "Terima kasih banyak, Guru. Berkat Guru kondisi saya jauh lebih baik sekarang.""Masih belum, kita harus menyembuhkan luka luarmu juga. Naiklah ke punggungku, kita pulang sekarang." "A--apa? Guru, saya tidak mau merepotkan Guru lagi. Pasti berat, lagi pula jalan pegunungan juga pasti licin sehabis hujan deras tadi," ujar Bingwen. Rasa malu dan bersalah saat itu menghantui dirinya, Bingwen bukan anak yang tidak tahu diri. Dia tidak ingin merepotkan gurunya lagi. "Sudah jangan banyak mikir, kamu harus segera mendapat pengobatan," sanggah Guru Bao. Butuh waktu beberapa saat, sampai akhirnya Bingwen mau mengikuti saran dari sang guru. "Saya pasti berat, Guru. Maafkan saya karena menyusahkan Guru," ucap Bingwen setelah dia berada di punggung gurunya. "Kamu kurus begini, berat dari mana. Coba kamu cek ulang apa ada barang yang ketinggalan," tit
Beberapa hari kemudian, Bingwen yang sudah hampir sembuh segera bersiap untuk mengunjungi gua waktu itu. Anak lelaki itu sibuk menyiapkan apa yang patut dia bawa, sesekali Bingwen bersenandung. Suasana hatinya sedang bagus hari ini. Pintu rumah terbuka dan Mei Lin muncul dengan raut wajah heran, "Kamu mau ke mana?" "Aku mau ke gua waktu itu." "Ngapain? Baru juga sembuh," ucap Mei Lin lalu dia duduk di kursi yang ada di sebelah Bingwen. "Ada hal yang mau aku periksa. Gimana kamu mau ikut?" tanya Bingwen. "Hm, boleh juga. Aku bosan, Ayah juga sibuk dengan serangakaian urusannya," keluh Mei Lin. Guru Bao memang sudah dua hari ini selalu pulang pergi ke pusat kota, saat ditanya Guru Bao selalu bilang kalau dirinya punya pekerjaan tambahan. Sedangkan sesi latihan dilakukan oleh murid senior yang ditunjuk sebagai pelatih sementara. Mei Lin yang terjebak diantara para murid Guru Bao yang kebanyakan laki-laki, hanya bisa memantau dari jauh. Mei Lin tidak diizinkan untuk berlatih belad
Bingwen mengangkat benda dari dalam kotak tersebut, benda yang cukup berat baginya. "Pedang macem apa ini, Bingwen? Sudah berkarat sekali, jangankan untuk mengalahkan lawan. Paling buat motong sayuran juga tidak akan bisa," celetuk Mei Lin setelah Bingwen membuka pembungkus benda tersebut. "Masa kamu bilang begitu? Bukankah kamu merasa ada yang aneh dengan pedang ini?" tanya Bingwen sambil membolak-balik pedang yang sudah berkarat itu. Walau agak berat dan karatan, tapi bentuk pedang tersebut masih kokoh. Bahkan terdapat ukiran naga di gagang pedang. "Hal aneh apa? Aku tidak merasakan apapun kok. Mending kamu kembalikan saja pedang itu ke tempatnya, Bingwen. Karena kita sudah tahu isi dari kotak tersebut, kita pulang saja yuk. Aku takut Ayah sudah pulang. Pasti Ayah akan khawatir," ujar Mei Lin. "Kamu benar, Mei Lin. Kita pulang saja, tapi kalau aku bawa pedang ini bisa kali ya. Kan pedang ini juga pasti sudah dibuang, buktinya sampai keadaannya begini saja tidak ada yang mengam
"Ada apa? Kenapa panik begitu?" Guru Bao mempunyai firasat buruk akan hal itu. Pendengarannya yang tajam dapat menangkap suara derap laju kuda, bukan hanya satu atau dua. Ada banyak, mungkin puluhan jumlahnya. "Guru, pasukan musuh sudah memasuki wilayah kita. Apa yang harus kita lakukan?" jawab orang yang tadi berlari dari arah lereng gunung. "Sudah sampai? Bukankah pasukan kerajaan sudah menghalangi mereka? Nampaknya lawan kali ini jauh lebih kuat, kerajaan barat rupanya tidak bisa diambil remeh." "Ungsikan semua perempuan, anak kecil, dan orang tua. Siapapun yang bisa bertarung, ikut aku maju di garda depan. Jangan panik, kita semua sudah terlatih!" Seru Guru Bao memberi perintah pada penduduk kampung. Tanpa mengulang perintah lagi, pasukan khusus dari Perguruan Bao pun sudah siap siaga di posisinya masing-masing. Termasuk Ni Lou dan Ni Me. "Guru Bao, tolong izinkan aku juga untuk turut serta," pinta Bingwen. "Jangan bodoh, Bingwen. Apa yang kamu lakukan? Ayo kita harus sembu
Seumur hidup Bingwen, baru kali ini dia berhadapan dengan tiga orang lawan sekaligus. Selama ini dia hanya meladeni permainan Ni Lou dan Ni Me saja. Dia cukup senang karena bisa menghindari serangan dari tiga lawannya, kondisi Guru Bao yang sudah terluka parah membuatnya tidak bisa membantu Bingwen. "Bingwen, larilah. Tinggalkan aku di sini, panggil bala bantuan. Cepat!" Seru Guru Bao. Guru itu tidak sanggup melihat Bingwen kewalahan menangani tiga lawan sekaligus. Apa lagi senjata yang dimiliki ketiganya sudah dilumuri racun yang dapat melumpuhkan syaraf. "Tidak, Guru. Aku tidak akan meninggalkan Guru." Nafas Bingwen hampir putus rasanya, tat kala dirinya nyaris tertebas oleh pedang lawannya. "Sialan, apa yang harus aku lakukan?" "Saat ini aku memang beruntung belum terkena senjata mereka, tapi staminaku sudah terkuras habis. Aku benci dengan tubuh lemah ini!" Gerutuan Bingwen hanya dibalas gelak tawa oleh ketiga orang tersebut. "Heh, anak kecil. Lebih baik kamu menyerah saja
Hembusan angin mulai kencang, suara pertarungan di bagian sudut lain terdengar saling bersahutan dengan deru angin. Bingwen masih duduk termenung, dia tidak mengerti dengan kondisi tubuhnya yang seolah sudah kehabisan tenaga. Entah apa yang terjadi sebelumnya, seingat Bingwen dia hendak mengayunkan pedang temuannya pada ketiga lawannya. Setelah itu Bingwen tidak memiliki ingatan apa pun. Dia juga dibuat makin bingung ketika kesadarannya telah kembali, ketiga kawannya tersebut telah tumbang. Tidak mungkin Guru Bao yang mengalahkan ketiganya, mengingat sang guru juga tidak sadarkan diri. "Sebenarnya apa yang terjadi? Tubuhku lemas begini, aku belum pernah merasakan hal yang seperti ini sebelumnya walau sesulit apa latihan yang aku lakukan," gumam Bingwen.Ketika Bingwen kebingungan itulah Mei Lin dan dua orang penduduk kampung menghampirinya. "Hei, Bingwen. Kamu mau cari mati ya! Kenapa pergi begitu saja, aku tahu kamu ingin menolong tapi bukan waktunya sekarang," omel Mei Lin. Mei