"Kamu sudah salah paham. Aku membuatnya tidur supaya nggak melihat kematian tragismu," timpal Afkar dengan nada dingin dan tatapan tajam. Sekujur tubuhnya memancarkan aura yang mengerikan.Saat ini, pintu ruang privat dikunci oleh seseorang. Total ada 8 pembunuh yang menyamar menjadi pelayan.Seluruh niat membunuh tertuju pada Afkar. Yang memimpin adalah seorang pemuda berambut panjang yang sekujur tubuhnya memancarkan aura dingin."Aku nggak tahu dari mana datangnya kepercayaan dirimu itu." Pemuda itu menatap Felicia, lalu tersenyum sambil berujar, "Bu Felicia, bos kami marah besar. Dia ingin kami membunuh pria ini di depanmu. Dia ingin kamu melihat kematian tragisnya."Begitu mendengarnya, ekspresi Felicia menjadi sangat masam. Meskipun orang itu tidak menyebut nama Noah, Felicia tetap tahu siapa bos mereka."Coba saja kalau berani! Langkahi dulu mayatku kalau ingin membunuhnya!" pekik Felicia sambil menggertakkan giginya. Kemudian, dia berdiri di depan Afkar untuk melindunginya deng
Ekspresi Afkar tampak dingin. Matanya berkilat.Saat ini, seorang pembunuh sontak menyerbu dan hendak menikam perut Afkar. Gerakannya sangat gesit. Jelas, mereka adalah pembunuh yang terlatih.Sayangnya, manusia biasa seperti mereka pasti punya batas tertentu. Mereka berbeda dengan Afkar yang memiliki energi naga.Selain itu, Afkar tidak pernah berhenti berlatih Mantra Roh Naga selama beberapa hari ini. Selain fisiknya yang makin kuat, dia telah menguasai beberapa keterampilan membunuh sekarang.Dalam sekejap, Afkar berhasil meraih pergelangan tangan pembunuh itu. Dia mengerahkan tenaga hingga meremukkan tulang tangan lawan. Seketika, belati terjatuh dan direbut oleh Afkar.Jleb! Belati itu menembus tenggorokan si pembunuh. Rasa sakit pada tangan membuatnya ingin berteriak, tetapi tidak bisa.Pembunuh itu pun membelalakkan matanya menyaksikan darah bercucuran dari lehernya. Seluruh wajahnya dipenuhi keengganan dan ketakutan akan kematian!"Sstt! Jangan teriak! Nanti putriku bangun!" uc
Afkar tidak tahu masih ada orang yang ingin mencari masalah dengannya. Saat ini, ruang privat dipenuhi niat membunuh.Felicia sungguh tercengang karena adegan di depan matanya. Dia menyaksikan bagaimana Afkar melumpuhkan Ervin pagi tadi. Hal ini sudah sangat di luar dugaannya.Namun, jika dibandingkan dengan keterkejutan yang dirasakannya sekarang, keterkejutan pagi tadi sepertinya tidak ada apa-apanya.Belati berkilat dingin, darah berceceran ke mana-mana! Sambil memegang belati lawan, Afkar bertarung melawan keenam pembunuh yang tersisa. Hanya saja, posisi pemburu dan mangsa telah berbalik.Jleb! Seluruh pembunuh itu terjatuh sambil memegang leher masing-masing. Jelas, terdapat sebuah lubang berdarah di sana.Afkar seolah-olah benar-benar takut para pembunuh ini membangunkan Shafa. Itu sebabnya, dia menikam tenggorokan para pembunuh itu. Kini, hanya tersisa pemuda berambut panjang itu.Pemuda itu memancarkan auranya sambil memegang belati. Selagi Afkar menyerang pembunuh terakhir, di
Sebelum melempar belati itu, Afkar telah menyalurkan energi naga sehingga dia bisa mengendalikannya dengan mudah.Pemuda berambut panjang itu hanya bisa terbelalak menatap tangan kanannya yang putus. Sorot matanya dipenuhi ketidakpercayaan dan kengerian.Setelah bereaksi, pemuda itu hendak berteriak histeris. Namun, sebuah sosok sontak berkelebat ke hadapannya dan mencekiknya."Sstt!" Afkar memberi isyarat untuk diam, lalu mematahkan leher pemuda itu tanpa belas kasihan sedikit pun."Hehe. Kata orang, pistol lebih cepat dari pisau. Kenapa aku nggak percaya?" ejek Afkar sambil menatap pemuda yang tergeletak di lantai sambil terkekeh-kekeh.Pemuda itu belum mati. Sebelum mengembuskan napas terakhirnya, muncul sebuah kata dalam benaknya, yaitu master!Hanya seorang master yang bisa menguasai keterampilan telekinesis. Noah mengutusnya membunuh seorang master?"Sudah aman. Aku sudah membunuh mereka semua. Tapi, apa kamu bisa mengatasi masalah ini?" tanya Afkar kepada Felicia sambil mengambi
Ketika melihat pintu ditendang dan sekelompok orang itu terperangah, Felicia pun mengernyit. Bagaimanapun, akan merepotkan jika ada yang melihat begitu banyak mayat di sini."Ternyata Pak Harwin dan Kak Codet. Ada urusan apa kalian kemari?" tanya Felicia dengan ekspresi dingin. Dia masih memeluk Shafa.Afkar membuang tisu basahnya yang sudah kotor, lalu menatap sekelompok orang itu dengan raut wajah tanpa emosi.Kedua kaki Harwin gemetar. Ketika merasakan tatapan Afkar, jantungnya seolah-olah akan copot. Hanya ada Afkar, Felicia, dan Shafa di ruang privat. Tanpa perlu dipikirkan, sudah pasti Afkar yang membunuh orang-orang ini. Felicia dan gadis kecil itu tidak mungkin sanggup melakukannya!"A ... aku datang untuk ... berterima kasih ... pada Pak Afkar," sahut Harwin dengan suara bergetar. Kemudian, dia memaksakan diri untuk tersenyum."Oh ya? Kamu mau berterima kasih?" tanya Afkar sambil mengangkat alisnya dengan penuh minat."Ya, ya! Kalau nggak ada Pak Afkar, aku nggak mungkin tahu
"Bu, Pak! A ... aku nggak melakukan apa-apa! Aku janji nggak bakal memberi tahu siapa pun!" Pemilik restoran hampir berlutut di hadapan mereka saking takutnya."Jangan panik. Kami cuma mau ganti ruang privat," ujar Felicia dengan nada datar.Sepuluh menit kemudian, Felicia menelepon menyuruh orang mengurus jasad para pembunuh itu. Pihak restoran sangat kooperatif dalam hal ini.Faktanya, Afkar tidak akan dipenjara sekalipun polisi mengetahui insiden ini. Hanya saja, akan lebih merepotkan karena ada banyak proses yang harus dilalui.Di ruang privat baru, Afkar mengelus kepala Shafa. Gadis kecil itu pun bangun. Hidangan lezat telah memenuhi meja makan, ditambah lagi pemilik restoran memberi komplimen.Shafa mengejapkan matanya. Dia bertanya dengan agak malu, "Kenapa aku malah ketiduran? Aku harus makan banyak sekarang!"Selesai berbicara, Shafa menjilat bibirnya dan menatap makanan di meja dengan penuh antusiasme. Afkar membelai kepala putrinya dan bertanya, "Mau makan apa? Biar Ayah amb
Selesai makan, Afkar mengemudikan mobil ke Kompleks Graha untuk mengantar Felicia pulang. Kemudian, ayah dan anak itu baru pulang ke rumah mereka.Afkar menghitung uangnya. Sepertinya sudah waktunya dia membeli rumah supaya tidak menyewa lagi. Lagi pula, uangnya sudah cukup.Di kediaman Keluarga Subroto hari itu, Afkar terus menolak, tetapi Bayu bersikeras memberinya 2 kartu bank. Itu artinya, uang Afkar sudah mencapai 40 miliar lebih. Dia bisa membeli rumah.Setibanya di rumah, waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam. Begitu turun dari mobil, Afkar melihat seseorang berdiri di depan pintu.Ketika melihat orang itu, Afkar pun mengernyit dan menolak kehadirannya. Di sisi lain, Shafa justru mengejapkan matanya, terlihat terkejut sekaligus gembira."Mama! Mama datang! Papa, itu Mama!" seru Shafa dengan girang. Afkar hanya mengangguk dan memaksakan senyuman.Shafa langsung melepaskan sabun pengamannya dan melompat turun dari mobil. Sosok mungil itu berlari sambil berseru, "Mama!"Siapa lagi
"Cih, kamu masih mau merahasiakannya dariku?" tanya Freya sambil bersandar di tubuh Afkar.Afkar sontak mendorongnya dan bertanya dengan dingin, "Sebenarnya ada urusan apa kamu kemari? Kalau nggak ada urusan, pergi sana!"Begitu mendengarnya, tebersit kekesalan pada tatapan Freya. Saat berikutnya, dia mengeluh dengan manja, "Suamiku, kenapa kamu begini padaku?""Kamu panggil aku apa? Kita sudah bercerai. Suamimu Rafai, bukan aku! Jaga omonganmu!" bentak Afkar sambil tersenyum sinis."Suamiku, kamu rasa aku bisa mencintai pria lain? Aku cuma mencintaimu seorang! Aku minta cerai cuma karena ingin mengambil uang Rafai. Dengan begitu, kita bisa mengobati Shafa.""Kamu nggak akan memahami penderitaanku. Apa kamu tahu betapa sedihnya aku saat melihatmu menjual pabrik dan keluarga kita bangkrut? Makanya, aku memutuskan untuk mengikuti Rafai! Aku sangat menderita karena harus berpura-pura mencintai Rafai!" jelas Freya sambil menangis.Wanita itu bahkan menggoyang lengan Afkar dan memasang eksp