Ketika melihat pintu ditendang dan sekelompok orang itu terperangah, Felicia pun mengernyit. Bagaimanapun, akan merepotkan jika ada yang melihat begitu banyak mayat di sini."Ternyata Pak Harwin dan Kak Codet. Ada urusan apa kalian kemari?" tanya Felicia dengan ekspresi dingin. Dia masih memeluk Shafa.Afkar membuang tisu basahnya yang sudah kotor, lalu menatap sekelompok orang itu dengan raut wajah tanpa emosi.Kedua kaki Harwin gemetar. Ketika merasakan tatapan Afkar, jantungnya seolah-olah akan copot. Hanya ada Afkar, Felicia, dan Shafa di ruang privat. Tanpa perlu dipikirkan, sudah pasti Afkar yang membunuh orang-orang ini. Felicia dan gadis kecil itu tidak mungkin sanggup melakukannya!"A ... aku datang untuk ... berterima kasih ... pada Pak Afkar," sahut Harwin dengan suara bergetar. Kemudian, dia memaksakan diri untuk tersenyum."Oh ya? Kamu mau berterima kasih?" tanya Afkar sambil mengangkat alisnya dengan penuh minat."Ya, ya! Kalau nggak ada Pak Afkar, aku nggak mungkin tahu
"Bu, Pak! A ... aku nggak melakukan apa-apa! Aku janji nggak bakal memberi tahu siapa pun!" Pemilik restoran hampir berlutut di hadapan mereka saking takutnya."Jangan panik. Kami cuma mau ganti ruang privat," ujar Felicia dengan nada datar.Sepuluh menit kemudian, Felicia menelepon menyuruh orang mengurus jasad para pembunuh itu. Pihak restoran sangat kooperatif dalam hal ini.Faktanya, Afkar tidak akan dipenjara sekalipun polisi mengetahui insiden ini. Hanya saja, akan lebih merepotkan karena ada banyak proses yang harus dilalui.Di ruang privat baru, Afkar mengelus kepala Shafa. Gadis kecil itu pun bangun. Hidangan lezat telah memenuhi meja makan, ditambah lagi pemilik restoran memberi komplimen.Shafa mengejapkan matanya. Dia bertanya dengan agak malu, "Kenapa aku malah ketiduran? Aku harus makan banyak sekarang!"Selesai berbicara, Shafa menjilat bibirnya dan menatap makanan di meja dengan penuh antusiasme. Afkar membelai kepala putrinya dan bertanya, "Mau makan apa? Biar Ayah amb
Selesai makan, Afkar mengemudikan mobil ke Kompleks Graha untuk mengantar Felicia pulang. Kemudian, ayah dan anak itu baru pulang ke rumah mereka.Afkar menghitung uangnya. Sepertinya sudah waktunya dia membeli rumah supaya tidak menyewa lagi. Lagi pula, uangnya sudah cukup.Di kediaman Keluarga Subroto hari itu, Afkar terus menolak, tetapi Bayu bersikeras memberinya 2 kartu bank. Itu artinya, uang Afkar sudah mencapai 40 miliar lebih. Dia bisa membeli rumah.Setibanya di rumah, waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam. Begitu turun dari mobil, Afkar melihat seseorang berdiri di depan pintu.Ketika melihat orang itu, Afkar pun mengernyit dan menolak kehadirannya. Di sisi lain, Shafa justru mengejapkan matanya, terlihat terkejut sekaligus gembira."Mama! Mama datang! Papa, itu Mama!" seru Shafa dengan girang. Afkar hanya mengangguk dan memaksakan senyuman.Shafa langsung melepaskan sabun pengamannya dan melompat turun dari mobil. Sosok mungil itu berlari sambil berseru, "Mama!"Siapa lagi
"Cih, kamu masih mau merahasiakannya dariku?" tanya Freya sambil bersandar di tubuh Afkar.Afkar sontak mendorongnya dan bertanya dengan dingin, "Sebenarnya ada urusan apa kamu kemari? Kalau nggak ada urusan, pergi sana!"Begitu mendengarnya, tebersit kekesalan pada tatapan Freya. Saat berikutnya, dia mengeluh dengan manja, "Suamiku, kenapa kamu begini padaku?""Kamu panggil aku apa? Kita sudah bercerai. Suamimu Rafai, bukan aku! Jaga omonganmu!" bentak Afkar sambil tersenyum sinis."Suamiku, kamu rasa aku bisa mencintai pria lain? Aku cuma mencintaimu seorang! Aku minta cerai cuma karena ingin mengambil uang Rafai. Dengan begitu, kita bisa mengobati Shafa.""Kamu nggak akan memahami penderitaanku. Apa kamu tahu betapa sedihnya aku saat melihatmu menjual pabrik dan keluarga kita bangkrut? Makanya, aku memutuskan untuk mengikuti Rafai! Aku sangat menderita karena harus berpura-pura mencintai Rafai!" jelas Freya sambil menangis.Wanita itu bahkan menggoyang lengan Afkar dan memasang eksp
Setelah melewati situasi terpuruk dalam hidupnya, Afkar menjadi lebih rasional sekarang. Dia teringat pada reaksi Freya saat melihat Shafa tadi.Shafa merentangkan tangannya untuk memeluk ibunya dengan penuh semangat, tetapi Freya hanya mengelus kepala Shafa dengan tidak acuh.Bahkan, sorot mata Freya terus tertuju pada Bentley Mulsanne. Apakah seperti ini reaksi seorang ibu yang mengorbankan diri demi pengobatan anaknya?Seketika, Afkar menjadi lebih tenang. Dia seperti penonton yang menyaksikan sandiwara Freya. Kemudian, dia mendorong Freya dan meraih bahunya sambil bertanya dengan panik, "Freya, sudah berapa uang yang kamu ambil dari Rafai? Cepat berikan kepadaku.""Hah?" Freya termangu sesaat dan menatap Afkar dengan heran. Dia melihat Afkar mengemudikan mobil mewah dan melihat Afkar dihormati oleh Barra. Tidak mungkin Afkar kekurangan uang, 'kan?Entah peluang apa yang didapatkan oleh Afkar hingga menjadi sekeren ini. Itu sebabnya, Freya ingin balikan dengan Afkar.Tentunya, Freya
Fadly paling menyayangi Felicia. Dia tidak ingin melihat kakaknya terluka sedikit pun. Meskipun Keluarga Safira mendesak Felicia menikah dengan Noah, Fadly tetap berpihak padanya. Bisa dilihat betapa Fadly menyayangi Felicia.Itu sebabnya, begitu mengetahui ada yang mendekati kakaknya dengan berniat jahat, Fadly sontak murka dan membawa para bawahannya kemari untuk menangkap Afkar!"Boneka? Apa maksudnya?" tanya Freya sambil menatap Afkar dengan bingung.Afkar mengedikkan bahu dan menyahut, "Bukannya sudah kubilang aku jual diri? Yang memberiku uang adalah Nona Besar Keluarga Safira. Aku pura-pura jadi suaminya dan dinafkahinya. Mobil ini punya dia. Aku cuma sopirnya."Begitu mendengarnya, ekspresi Freya menjadi sangat masam. Dia memelototi Afkar dan bertanya, "Jadi, gimana dengan Kak Barra?""Mungkin karena mereka takut pada Keluarga Safira? Lagian, Keluarga Safira keluarga besar di Kota Nubes, 'kan?" sahut Afkar.Kemudian, Afkar meraih bahu Freya dan meneruskan, "Freya, berhenti bert
Fadly menyuruh salah satu orang kepercayaannya untuk melindungi Shafa. Afkar pun menuruti perintahnya, bahkan membiarkan Fadly memborgol tangannya dan membawanya ke mobil.Bukannya Afkar takut kepada Fadly, tetapi dia tidak tahu apa yang terjadi. Karena Fadly adik Felicia, Afkar pun tidak ingin bertarung dengannya dan ingin mencari tahu apa yang terjadi dulu."Fad, apa maksudmu ini? Aku kakak iparmu lho," tanya Afkar yang duduk di jok belakang dalam keadaan tangan diborgol.Fadly langsung duduk di sampingnya. Dia menatap Afkar dengan sinis dan menghardik, "Jangan sok dekat denganku!"Kemudian, Fadly mengeluarkan pistol dan menodongkannya ke kepala Afkar sambil meneruskan, "Katakan, siapa sebenarnya kamu? Apa tujuanmu mendekati kakakku?""Kalau kamu tahu aku tinggal di mana, kamu seharusnya sudah menyelidikiku, 'kan? Mana mungkin kamu nggak tahu identitasku," timpal Afkar dengan tidak acuh."Tentu saja sudah. Kamu bawahan Farel, 'kan? Dia yang menyuruhmu mendekati kakakku, 'kan?" bentak
Begitu mendengarnya, sudut bibir Fadly sontak berkedut. Berani sekali Afkar mengajarinya cara bertindak!Namun, Afkar menyebutkan lokasi dan waktunya hingga begitu spesifik. Sepertinya dia tidak berbohong. Untuk sesaat, Fadly tidak tahu harus bagaimana membuat keputusan."Kamu pernah menolong Pak Bayu? Kamu bisa keterampilan medis? Kamu jago berjudi, bertarung, bahkan menguasai ilmu medis? Kamu manusia atau dewa?" sindir Fadly."Terima kasih atas pujian tak langsung ini. Kalau aku nggak hebat, mana mungkin kakakmu tertarik padaku?" sahut Afkar sambil menyeringai. Dia tidak bersikap rendah hati sedikit pun."Buset!" maki Fadly yang mendapati Afkar tidak menyadari sindirannya. Sesudahnya, dia menatap Afkar lekat-lekat dan berkata, "Aku masih nggak percaya padamu, kecuali kamu bisa membuktikan keterampilan medismu. Kalau nggak, aku akan mencari cara untuk mengusirmu dari sisi kakakku!"Afkar mencebik sambil bertanya, "Gimana caraku membuktikannya? Membantumu mengobati insomniamu? Mudah sa
"Pak Dennis, bukan begitu. Jangan salah paham. Aku nggak bersekongkol dengan siapa pun untuk menipumu. Aku ... aku hanya salah nilai! Tapi, aku benar-benar nggak bermaksud menipumu!" jelas Teddy dengan gugup.Sementara itu, Yuvan masih terduduk di tanah sambil memandangi batu-batu tidak berharga di sana. Dia bergumam dengan linglung, "Nggak mungkin, nggak mungkin ...."Saat ini, Felicia tersenyum mengejek dan berkata, "Viola, ternyata pacarmu tukang tipu. Untung saja ada Afkar yang membongkar triknya. Seorang wanita harus pintar-pintar cari pacar yang bisa diandalkan. Jangan sampai kamu diperdaya."Kata-kata yang diucapkan dengan ringan oleh presdir cantik ini membuat Viola kesal setengah mati."Ka ... kamu!" Viola sangat marah hingga tidak bisa berkata-kata. Pacar yang tadi dibangga-banggakannya kini terlihat begitu menyedihkan."Nggak bermaksud menipuku? Kalau hanya ada satu atau dua batu gagal, itu mungkin kebetulan. Tapi, kalau semuanya batu gagal begini, mana mungkin itu kebetulan
Yuvan memandang Afkar dan berkata, "Teruskan taruhannya! Aku bertaruh 20 miliar! Potong batu ini. Aku nggak percaya semua batu-batuku gagal!"Yuvan memilih sebongkah batu mentah seukuran kepala manusia dengan sentuhan warna hijau di permukaannya."Oke! Kita teruskan," sahut Afkar yang sudah menerima uang Teddy sambil mengangguk dan tersenyum. Tidak ada alasan untuk menolak uang gratis!Beberapa menit kemudian, semua orang memandang batu mentah yang sudah terbelah menjadi beberapa bagian dengan beragam ekspresi. Wajah Yuvan memucat, Teddy terlihat tidak percaya, dan Viola memasang raut masam.Izora dan Naufal saling memandang, terlihat sama-sama terkejut. Mungkinkah ucapan Afkar benar? Semua batu mentah ini hanyalah sampah?"Papa ternyata bukan buaya, tapi orang hebat yang punya mata tajam! Hahaha!" ucap Shafa sambil tertawa manis dan bertepuk tangan.Afkar tersenyum masam, lalu mencubit hidung mungil putrinya dan berucap lembut, "Sejak awal Papa memang bukan buaya.""Tolong potong semu
Saat mendengar pertanyaan Dennis, Teddy sontak berkeringat dingin. Dia hanya bisa menjawab dengan ekspresi muram, "Kebetulan, ini hanya kebetulan! Batu-batu mentah ini jelas-jelas berkualitas tinggi!""Ya, pasti hanya kebetulan. Lagi pula, hanya satu yang bermasalah. Batu mentah memang sulit diprediksi. Paman Dennis, sisanya pasti nggak ada masalah!" timpal Yuvan buru-buru. Dia juga merasakan kilat curiga dari tatapan Dennis padanya tadi."Jangan banyak bacot. Master Teddy, tolong bayar dulu uangnya. Dua puluh miliar untuk sebongkah batu nggak berharga. Kamu royal juga," cibir Naufal.Sekarang Naufal memihak pada Afkar. Dia sudah menahan kesal dari tadi karena orang-orang ini terus mengejek dan meremehkan Afkar."Iya, cepat bayar! Master apanya? Lihat saja batu nggak berharga ini! Yuvan, apa kamu mau menipu ayahku?" tanya Izora sambil cemberut."Jangan asal ngomong! Ini hanya kebetulan! Lagi pula, akulah yang harus dibayar di sini. Kenapa kalian harus begitu terburu-buru?" balas Yuvan
Pada saat ini, Dennis meminta seseorang untuk menempatkan batu mentah tersebut ke mesin pemotong. Batu itu sudah siap untuk dibelah.Afkar berulang kali mengatakan bahwa seluruh batu dalam tumpukan itu hanyalah sampah. Dennis ingin sekali memberinya pelajaran. Lagi pula, dia hanya menyediakan orang dan alat tanpa harus membayar apa pun."Mau dipotong seperti apa?" tanya si tukang potong batu pada Afkar dan Teddy."Mulai dari garis ini, lalu diampelas perlahan-lahan!" ujar Teddy sambil menggambar garis dengan kapur.Sementara itu, Afkar mengerucutkan bibirnya dan berucap dengan tidak sabar, "Aku rasa langsung potong dari tengah saja biar nggak buang waktu!"Mendengar ucapan itu, Viola langsung menyemprot, "Afkar, kamu tahu bakal kalah jadi mau menghancurkan batunya ya? Kamu nggak rela Master Teddy diuntungkan, 'kan?"Teddy menimpali dengan dingin, "Hei, jangan main licik!"Dennis juga mengerutkan keningnya. Tatapannya pada Afkar jadi makin tidak suka. Dia merasa pemuda ini terlalu beris
Mendengar Afkar menerima tantangan itu dengan santai, Teddy terdiam sesaat sebelum mengejek, "Kelihatannya kamu benaran nggak tahu apa-apa. Jangan memaksakan diri.""Kalau kamu minta maaf sekarang dan mengakui bahwa kamu bicara sembarangan, aku nggak akan mempermalukanmu," tambah Teddy."Dasar bodoh! Batu ini jelas-jelas akan menghasilkan giok hijau. Nggak tahu apa-apa, tapi beraninya kamu menantang Master Teddy!" ejek Viola dengan sinis."Julukan Mata Dewa Master Teddy bukan tanpa alasan. Bahkan tanpa dia, orang yang paham sedikit soal giok pasti tahu bahwa batu ini nggak akan mengecewakan. Ketidaktahuan memang menakutkan. Haha ...," timpal Yuvan sambil tersenyum dan menggeleng.Afkar menatap mereka dengan tenang, lalu berujar, "Pengetahuan umum bukanlah kebenaran mutlak. Bukan cuma batu ini, aku berani bertaruh bahwa setiap batu dalam tumpukan ini kosong!"Mata Felicia berkedip menatap Afkar. Menurutnya batu itu jelas akan menghasilkan giok hijau, tetapi karena Afkar begitu yakin, di
Dennis tidak peduli dengan perselisihan yang terjadi antara orang-orang di sekitarnya. Fokusnya hanya pada kualitas batu mentah yang baru tiba."Nggak ada masalah. Semua batu ini adalah bahan unggulan dengan peluang tinggi untuk menghasilkan giok hijau. Pak Dennis bisa membeli ini dengan tenang," ucap Teddy dengan penuh keyakinan sambil mengangguk.Mendengar hal ini, wajah Dennis menunjukkan secercah senyuman. Dia pun mengangguk setuju. Namun pada saat yang sama, Afkar tiba-tiba berbicara dan mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan semua orang di sana."Aku rasa, sebaiknya Pak Dennis jangan beli batu-batu ini. Semua batu mentah di sini cuma sampah!" Ucapan Afkar membuat semua orang tertegun. Mereka menatapnya dengan ekspresi kaget.Yuvan langsung memaki, "Omong kosong!""Afkar, kamu pasti iri karena Yuvan lebih unggul darimu sehingga sengaja cari masalah, 'kan? Dengan matamu itu, kamu pikir bisa menilai kualitas batu giok?" ejek Viola dengan dingin.Teddy mendengus, lalu berbicara den
Melihat kehadiran Viola, raut wajah Felicia langsung berubah masam. Dia memalingkan wajah karena enggan menanggapi sepupunya itu.Afkar hanya memperhatikan batu-batu mentah yang ada di sekeliling. Dia tidak tertarik untuk berdebat dengan seorang wanita.Di sisi lain, Izora dan Naufal mengernyit. Kemudian, Naufal bertanya kepada Afkar, "Kak Afkar, siapa dia?""Cuma sepupu iparku. Biarkan saja," jawab Afkar sambil melambaikan tangan."Cuih! Siapa juga yang mau jadi sepupu iparmu? Dasar nggak tahu malu! Kamu kira, kamu sudah jadi menantu Keluarga Safira ya?" tanya Viola sambil menatapnya dengan sinis.Pemuda yang sedang berdiri di samping Dennis mengangkat alis. Dia memandang Felicia dengan tatapan takjub sebelum menoleh kepada Afkar dengan pandangan meremehkan. Kemudian, dia bertanya pada Viola, "Jadi, dia menantu pecundang Keluarga Safira?""Eh, jaga bicaramu! Jangan bicara sembarangan tentang Pak Afkar!" tegur Izora dengan ekspresi kesal.Shafa menggenggam tangan Afkar, lalu berbicara
"Aku akan habiskan!" Usai berkata demikian, Naufal mengangkat gelasnya dan bersulang dengan Afkar. Dia mengernyit dan meminum semuanya dalam satu tegukan.Begitu selesai minum, wajahnya langsung memerah dan jelas sekali menahan rasa sakit. Tenggorokannya terasa seperti diiris-iris. Itu luar biasa pedih.Melihat Naufal menderita, mata Izora mulai berkaca-kaca. Dia bertanya, "Naufal, kamu baik-baik saja?"Afkar juga menenggak minuman dalam gelasnya, lalu mengulurkan tangan ke arah Naufal. Meski wajah Naufal berkerut untuk menahan sakit, dia tetap meraih tangan Afkar dan berjabat tangan dengannya."Pak Naufal, mohon bantuanmu ke depannya," ucap Afkar sambil tersenyum lebar.Naufal berusaha tersenyum, tetapi tiba-tiba dia terkejut. Dia merasakan aliran energi hangat mengalir masuk dari tangan Afkar melalui titik akupunktur di punggung tangannya.Kemudian, energi itu perlahan memperbaiki luka bakar yang dirasakannya. Rasa perih yang tadinya menyakitkan di tenggorokannya, kini terasa hangat
Afkar merasa curiga dengan kedua orang ini karena pernah terlibat dalam masalah dengan mereka sebelumnya. Itu sebabnya, dia tidak berharap banyak dari mereka.Felicia juga menatap keduanya, lalu bertanya, "Nona Izora, ada perlu apa?"Berhubung masih di wilayah Kota Nubes, Felicia mengenali Izora meskipun mereka bukan teman dekat. Dia adalah putri pemilik Gunawan Jewelry."Kak Felicia, sebenarnya nggak ada masalah besar. Kami cuma mau traktir Pak Afkar makan. Pak Afkar, apa kamu punya waktu?" tanya Izora sambil tersenyum.Afkar menatap mereka dengan ekspresi sedikit aneh, lalu bertanya, "Mau traktir aku makan?"Naufal mengangguk sambil menjawab dengan suara serak, "Ya. Pak Afkar, aku mengundangmu dengan tulus. Tolong kasih aku kesempatan."Dua puluh menit kemudian, mereka sudah berada di sebuah restoran yang menyajikan hidangan khas daerah. Naufal menuangkan segelas minuman untuk Afkar, lalu berucap, "Pak Afkar, aku benar-benar senang melihatmu kembali dengan selamat!"Mendengar itu, A