Fadly menyuruh salah satu orang kepercayaannya untuk melindungi Shafa. Afkar pun menuruti perintahnya, bahkan membiarkan Fadly memborgol tangannya dan membawanya ke mobil.Bukannya Afkar takut kepada Fadly, tetapi dia tidak tahu apa yang terjadi. Karena Fadly adik Felicia, Afkar pun tidak ingin bertarung dengannya dan ingin mencari tahu apa yang terjadi dulu."Fad, apa maksudmu ini? Aku kakak iparmu lho," tanya Afkar yang duduk di jok belakang dalam keadaan tangan diborgol.Fadly langsung duduk di sampingnya. Dia menatap Afkar dengan sinis dan menghardik, "Jangan sok dekat denganku!"Kemudian, Fadly mengeluarkan pistol dan menodongkannya ke kepala Afkar sambil meneruskan, "Katakan, siapa sebenarnya kamu? Apa tujuanmu mendekati kakakku?""Kalau kamu tahu aku tinggal di mana, kamu seharusnya sudah menyelidikiku, 'kan? Mana mungkin kamu nggak tahu identitasku," timpal Afkar dengan tidak acuh."Tentu saja sudah. Kamu bawahan Farel, 'kan? Dia yang menyuruhmu mendekati kakakku, 'kan?" bentak
Begitu mendengarnya, sudut bibir Fadly sontak berkedut. Berani sekali Afkar mengajarinya cara bertindak!Namun, Afkar menyebutkan lokasi dan waktunya hingga begitu spesifik. Sepertinya dia tidak berbohong. Untuk sesaat, Fadly tidak tahu harus bagaimana membuat keputusan."Kamu pernah menolong Pak Bayu? Kamu bisa keterampilan medis? Kamu jago berjudi, bertarung, bahkan menguasai ilmu medis? Kamu manusia atau dewa?" sindir Fadly."Terima kasih atas pujian tak langsung ini. Kalau aku nggak hebat, mana mungkin kakakmu tertarik padaku?" sahut Afkar sambil menyeringai. Dia tidak bersikap rendah hati sedikit pun."Buset!" maki Fadly yang mendapati Afkar tidak menyadari sindirannya. Sesudahnya, dia menatap Afkar lekat-lekat dan berkata, "Aku masih nggak percaya padamu, kecuali kamu bisa membuktikan keterampilan medismu. Kalau nggak, aku akan mencari cara untuk mengusirmu dari sisi kakakku!"Afkar mencebik sambil bertanya, "Gimana caraku membuktikannya? Membantumu mengobati insomniamu? Mudah sa
Setibanya di kamar lantai 2, tampak sekelompok orang berkumpul di sana. Sementara itu, Gwen yang berparas cantik tampak berbaring di ranjang dengan wajah pucat.Wanita itu memejamkan mata karena koma. Seorang dokter berjas putih berdiri di pinggir ranjang untuk mengamati kondisinya. Ada juga seorang pria paruh baya berdiri di samping dengan ekspresi serius, cemas, dan penuh harap. Dia tidak lain adalah Panglima Kota Nubes, Daru.Di sisi lain ranjang, masih ada seorang pemuda yang tampak cemas. Tatapannya dipenuhi kesedihan saat menatap Gwen. Dia adalah Adry, teman kuliah sekaligus rekan kerja Gwen.Mereka sama-sama melakukan penelitian di lembaga penelitian Kota Nubes. Adry juga penggemar Gwen dan hubungan mereka sudah termasuk dekat.Setelah masuk, Fadly melirik Gwen terlebih dahulu. Ketika melihat Gwen masih tidak sadarkan diri, ekspresinya menjadi sangat cemas. Kemudian, dia melirik Adry dengan tatapan permusuhan.Adry juga melirik Fadly dan mendengus dingin. Fadly bertanya dengan p
Setelah selesai melakukan pemeriksaan, Bian menjelaskan hasilnya dengan penuh percaya diri. Begitu mendengar ucapannya, semua orang yang berada di sana tampak gembira.Daru juga mengangguk dengan kegirangan. "Bagus sekali! Reputasi Dokter Bian memang tiada duanya! Kalau begitu, maaf telah merepotkan Anda!"Fadly juga turut bergembira saat mendengar penyakit Gwen bisa diobati. Hanya saja, dia jadi sia-sia membawa Afkar ke sini.Di sisi lain, Adry juga menunjukkan ekspresi yang sangat antusias. Dia menggenggam tangan Gwen sambil berseru dengan gembira, "Gwen, syukurlah! Akhirnya kamu sadar juga!"Afkar yang berdiri di dekatnya, memperhatikan sesuatu yang berbeda di balik wajah Adry yang penuh kegembiraan. Meskipun Adry tampak sangat bahagia, Afkar menangkap sekilas ejekan di wajahnya. Namun, kepada siapa ejekan itu ditujukan?Saat itu, Bian mengeluarkan satu set jarum perak. Setelah disterilkan, dia bersiap untuk memulai terapi akupunktur pada Gwen.Namun, tepat saat jarum pertama baru a
Semua orang menatap dengan penuh harap, menunggu Bian untuk menyadarkan Gwen. Dengan percaya diri, Bian memasukkan jarum perak ke pelipis Gwen, diikuti dengan beberapa titik akupunktur lainnya seperti di antara alis dan hidung."Sudah selesai!" seru Bian setelah beberapa saat sambil menyeka keringatnya. Dia terlihat sangat yakin dengan hasil pengobatannya."Ugh ... ugh ...." Tiba-tiba terdengar erangan pelan dari tenggorokan Gwen."Gwen akan segera sadar!" kata Bian dengan senyuman lebar. Semua orang yang melihat kondisi itu mulai tampak senang dan optimis."Bagus! Bagus sekali! Pak Bian memang ahli dalam hal ini. Aku pasti akan memberimu penghargaan besar ...." Daru mulai mengucapkan terima kasih dengan penuh rasa syukur.Namun, ucapannya tiba-tiba terhenti. Sebab, adegan berikutnya membuatnya terkejut dan ekspresinya berubah dalam sekejap."Ugh! Ugh ...." Suara dari tenggorokan Gwen masih terdengar, tetapi semakin lama semakin aneh. Suara itu terdengar sangat menderita, seolah-olah j
"Kamu mau memilih untuk percaya padaku atau menunda-nunda waktu untuk membawanya ke rumah sakit?" tanya Afkar."Oke, kamu coba saja! Kalau kamu benar-benar bisa selamatkan putriku, aku akan bersujud minta maaf padamu. Kalau nggak bisa, aku akan membunuhmu bersama dokter gadungan ini!" ujar Daru akhirnya setelah mengamati Afkar selama beberapa detik.Daru memancarkan aura seorang pemimpin yang telah membantai ribuan musuh di medan perang. Tidak ada yang meragukan keseriusan ancamannya.Namun, Afkar hanya tersenyum tipis dan berkata dengan tenang, "Sebenarnya, Pak Bian bukan dokter gadungan. Metode pengobatannya benar ... tentu saja, itu dengan syarat kalau nggak ada orang yang diam-diam melakukan sesuatu pada tubuh putrimu!""Apa maksudmu?" tanya Daru."Kalau masalah itu, harus kamu tanyakan padanya!" ucap Afkar sembari menunjuk ke arah Adry.Mendengar hal itu, Daru terdiam sesaat, lalu menatap Adry dengan penuh curiga. Ekspresi Adry langsung berubah menjadi muram. "Hei, apa maksudmu? K
Begitu Afkar melontarkan ucapannya, wajah Adry seketika berubah pucat! Ketakutan dan kebencian yang mendalam terlihat jelas di matanya. Detik berikutnya, Adry yang tadinya bersikap membela diri tiba-tiba berlari menuju jendela di lantai dua. Dia berniat melarikan diri dengan melompat keluar.Melihat hal ini, Daru mendengus marah dan langsung mengejarnya dengan kecepatan tinggi. Meski Adry memiliki kemampuan yang lumayan, dia bukanlah tandingan bagi seorang pemimpin militer seperti Daru.Dalam waktu singkat, Daru telah berhasil menjatuhkan Adry dengan menebaskan telapak tangannya ke tengkuk Adry dan membuatnya pingsan seketika. Saat celana Adry ditarik, terlihat jelas bahwa dia mengenakan celana dalam seperti yang dikenakan sumo."Hmph! Orang dari Negara Sakura?" Daru mendengus dingin dengan tatapan yang penuh amarah."Sudah kuduga si berengsek ini bukan orang baik-baik!" Melihat semua ini, Fadly menggertakkan giginya dan mengutuk Adry. Ekspresinya menyiratkan tatapan puas."Hm ...."Pa
Kebetulan sekali, Afkar memang berniat membeli rumah beberapa hari ke depan. Sekarang sepertinya dia tidak perlu mencari rumah lagi ...."Oh ya, siapa namamu? Kamu bawa KTP nggak? Biar aku suruh orang untuk urus prosedurnya," tanya Daru."Afkar," jawab Afkar sambil memperkenalkan diri dengan tersenyum.Begitu ucapan itu dilontarkan, ekspresi Bian langsung berubah. Dengan bersemangat, dia bertanya, "Kamu yang namanya Afkar? Kamu yang menolong Pak Bayu di pasar pagi itu?"Afkar mengangguk. "Ya, aku orangnya. Memangnya kenapa?"Afkar tersenyum getir sambil menggelengkan kepalanya. "Pantas saja! Pantas saja ... kalau tahu itu kamu, aku nggak akan permalukan diriku sendiri hari ini!"Ketika mengingat dirinya yang menasihati Afkar saat Afkar memperingatkannya tadi, Bian merasa bersalah.Pada saat ini, Fadly melihat Bian dan Afkar secara bergantian. Kecurigaannya terhadap Afkar akhirnya menghilang. Sepertinya, Afkar benar-benar pernah menolong Bayu.Setelah itu, Daru menyambut Afkar dengan an
"Pak Dennis, bukan begitu. Jangan salah paham. Aku nggak bersekongkol dengan siapa pun untuk menipumu. Aku ... aku hanya salah nilai! Tapi, aku benar-benar nggak bermaksud menipumu!" jelas Teddy dengan gugup.Sementara itu, Yuvan masih terduduk di tanah sambil memandangi batu-batu tidak berharga di sana. Dia bergumam dengan linglung, "Nggak mungkin, nggak mungkin ...."Saat ini, Felicia tersenyum mengejek dan berkata, "Viola, ternyata pacarmu tukang tipu. Untung saja ada Afkar yang membongkar triknya. Seorang wanita harus pintar-pintar cari pacar yang bisa diandalkan. Jangan sampai kamu diperdaya."Kata-kata yang diucapkan dengan ringan oleh presdir cantik ini membuat Viola kesal setengah mati."Ka ... kamu!" Viola sangat marah hingga tidak bisa berkata-kata. Pacar yang tadi dibangga-banggakannya kini terlihat begitu menyedihkan."Nggak bermaksud menipuku? Kalau hanya ada satu atau dua batu gagal, itu mungkin kebetulan. Tapi, kalau semuanya batu gagal begini, mana mungkin itu kebetulan
Yuvan memandang Afkar dan berkata, "Teruskan taruhannya! Aku bertaruh 20 miliar! Potong batu ini. Aku nggak percaya semua batu-batuku gagal!"Yuvan memilih sebongkah batu mentah seukuran kepala manusia dengan sentuhan warna hijau di permukaannya."Oke! Kita teruskan," sahut Afkar yang sudah menerima uang Teddy sambil mengangguk dan tersenyum. Tidak ada alasan untuk menolak uang gratis!Beberapa menit kemudian, semua orang memandang batu mentah yang sudah terbelah menjadi beberapa bagian dengan beragam ekspresi. Wajah Yuvan memucat, Teddy terlihat tidak percaya, dan Viola memasang raut masam.Izora dan Naufal saling memandang, terlihat sama-sama terkejut. Mungkinkah ucapan Afkar benar? Semua batu mentah ini hanyalah sampah?"Papa ternyata bukan buaya, tapi orang hebat yang punya mata tajam! Hahaha!" ucap Shafa sambil tertawa manis dan bertepuk tangan.Afkar tersenyum masam, lalu mencubit hidung mungil putrinya dan berucap lembut, "Sejak awal Papa memang bukan buaya.""Tolong potong semu
Saat mendengar pertanyaan Dennis, Teddy sontak berkeringat dingin. Dia hanya bisa menjawab dengan ekspresi muram, "Kebetulan, ini hanya kebetulan! Batu-batu mentah ini jelas-jelas berkualitas tinggi!""Ya, pasti hanya kebetulan. Lagi pula, hanya satu yang bermasalah. Batu mentah memang sulit diprediksi. Paman Dennis, sisanya pasti nggak ada masalah!" timpal Yuvan buru-buru. Dia juga merasakan kilat curiga dari tatapan Dennis padanya tadi."Jangan banyak bacot. Master Teddy, tolong bayar dulu uangnya. Dua puluh miliar untuk sebongkah batu nggak berharga. Kamu royal juga," cibir Naufal.Sekarang Naufal memihak pada Afkar. Dia sudah menahan kesal dari tadi karena orang-orang ini terus mengejek dan meremehkan Afkar."Iya, cepat bayar! Master apanya? Lihat saja batu nggak berharga ini! Yuvan, apa kamu mau menipu ayahku?" tanya Izora sambil cemberut."Jangan asal ngomong! Ini hanya kebetulan! Lagi pula, akulah yang harus dibayar di sini. Kenapa kalian harus begitu terburu-buru?" balas Yuvan
Pada saat ini, Dennis meminta seseorang untuk menempatkan batu mentah tersebut ke mesin pemotong. Batu itu sudah siap untuk dibelah.Afkar berulang kali mengatakan bahwa seluruh batu dalam tumpukan itu hanyalah sampah. Dennis ingin sekali memberinya pelajaran. Lagi pula, dia hanya menyediakan orang dan alat tanpa harus membayar apa pun."Mau dipotong seperti apa?" tanya si tukang potong batu pada Afkar dan Teddy."Mulai dari garis ini, lalu diampelas perlahan-lahan!" ujar Teddy sambil menggambar garis dengan kapur.Sementara itu, Afkar mengerucutkan bibirnya dan berucap dengan tidak sabar, "Aku rasa langsung potong dari tengah saja biar nggak buang waktu!"Mendengar ucapan itu, Viola langsung menyemprot, "Afkar, kamu tahu bakal kalah jadi mau menghancurkan batunya ya? Kamu nggak rela Master Teddy diuntungkan, 'kan?"Teddy menimpali dengan dingin, "Hei, jangan main licik!"Dennis juga mengerutkan keningnya. Tatapannya pada Afkar jadi makin tidak suka. Dia merasa pemuda ini terlalu beris
Mendengar Afkar menerima tantangan itu dengan santai, Teddy terdiam sesaat sebelum mengejek, "Kelihatannya kamu benaran nggak tahu apa-apa. Jangan memaksakan diri.""Kalau kamu minta maaf sekarang dan mengakui bahwa kamu bicara sembarangan, aku nggak akan mempermalukanmu," tambah Teddy."Dasar bodoh! Batu ini jelas-jelas akan menghasilkan giok hijau. Nggak tahu apa-apa, tapi beraninya kamu menantang Master Teddy!" ejek Viola dengan sinis."Julukan Mata Dewa Master Teddy bukan tanpa alasan. Bahkan tanpa dia, orang yang paham sedikit soal giok pasti tahu bahwa batu ini nggak akan mengecewakan. Ketidaktahuan memang menakutkan. Haha ...," timpal Yuvan sambil tersenyum dan menggeleng.Afkar menatap mereka dengan tenang, lalu berujar, "Pengetahuan umum bukanlah kebenaran mutlak. Bukan cuma batu ini, aku berani bertaruh bahwa setiap batu dalam tumpukan ini kosong!"Mata Felicia berkedip menatap Afkar. Menurutnya batu itu jelas akan menghasilkan giok hijau, tetapi karena Afkar begitu yakin, di
Dennis tidak peduli dengan perselisihan yang terjadi antara orang-orang di sekitarnya. Fokusnya hanya pada kualitas batu mentah yang baru tiba."Nggak ada masalah. Semua batu ini adalah bahan unggulan dengan peluang tinggi untuk menghasilkan giok hijau. Pak Dennis bisa membeli ini dengan tenang," ucap Teddy dengan penuh keyakinan sambil mengangguk.Mendengar hal ini, wajah Dennis menunjukkan secercah senyuman. Dia pun mengangguk setuju. Namun pada saat yang sama, Afkar tiba-tiba berbicara dan mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan semua orang di sana."Aku rasa, sebaiknya Pak Dennis jangan beli batu-batu ini. Semua batu mentah di sini cuma sampah!" Ucapan Afkar membuat semua orang tertegun. Mereka menatapnya dengan ekspresi kaget.Yuvan langsung memaki, "Omong kosong!""Afkar, kamu pasti iri karena Yuvan lebih unggul darimu sehingga sengaja cari masalah, 'kan? Dengan matamu itu, kamu pikir bisa menilai kualitas batu giok?" ejek Viola dengan dingin.Teddy mendengus, lalu berbicara den
Melihat kehadiran Viola, raut wajah Felicia langsung berubah masam. Dia memalingkan wajah karena enggan menanggapi sepupunya itu.Afkar hanya memperhatikan batu-batu mentah yang ada di sekeliling. Dia tidak tertarik untuk berdebat dengan seorang wanita.Di sisi lain, Izora dan Naufal mengernyit. Kemudian, Naufal bertanya kepada Afkar, "Kak Afkar, siapa dia?""Cuma sepupu iparku. Biarkan saja," jawab Afkar sambil melambaikan tangan."Cuih! Siapa juga yang mau jadi sepupu iparmu? Dasar nggak tahu malu! Kamu kira, kamu sudah jadi menantu Keluarga Safira ya?" tanya Viola sambil menatapnya dengan sinis.Pemuda yang sedang berdiri di samping Dennis mengangkat alis. Dia memandang Felicia dengan tatapan takjub sebelum menoleh kepada Afkar dengan pandangan meremehkan. Kemudian, dia bertanya pada Viola, "Jadi, dia menantu pecundang Keluarga Safira?""Eh, jaga bicaramu! Jangan bicara sembarangan tentang Pak Afkar!" tegur Izora dengan ekspresi kesal.Shafa menggenggam tangan Afkar, lalu berbicara
"Aku akan habiskan!" Usai berkata demikian, Naufal mengangkat gelasnya dan bersulang dengan Afkar. Dia mengernyit dan meminum semuanya dalam satu tegukan.Begitu selesai minum, wajahnya langsung memerah dan jelas sekali menahan rasa sakit. Tenggorokannya terasa seperti diiris-iris. Itu luar biasa pedih.Melihat Naufal menderita, mata Izora mulai berkaca-kaca. Dia bertanya, "Naufal, kamu baik-baik saja?"Afkar juga menenggak minuman dalam gelasnya, lalu mengulurkan tangan ke arah Naufal. Meski wajah Naufal berkerut untuk menahan sakit, dia tetap meraih tangan Afkar dan berjabat tangan dengannya."Pak Naufal, mohon bantuanmu ke depannya," ucap Afkar sambil tersenyum lebar.Naufal berusaha tersenyum, tetapi tiba-tiba dia terkejut. Dia merasakan aliran energi hangat mengalir masuk dari tangan Afkar melalui titik akupunktur di punggung tangannya.Kemudian, energi itu perlahan memperbaiki luka bakar yang dirasakannya. Rasa perih yang tadinya menyakitkan di tenggorokannya, kini terasa hangat
Afkar merasa curiga dengan kedua orang ini karena pernah terlibat dalam masalah dengan mereka sebelumnya. Itu sebabnya, dia tidak berharap banyak dari mereka.Felicia juga menatap keduanya, lalu bertanya, "Nona Izora, ada perlu apa?"Berhubung masih di wilayah Kota Nubes, Felicia mengenali Izora meskipun mereka bukan teman dekat. Dia adalah putri pemilik Gunawan Jewelry."Kak Felicia, sebenarnya nggak ada masalah besar. Kami cuma mau traktir Pak Afkar makan. Pak Afkar, apa kamu punya waktu?" tanya Izora sambil tersenyum.Afkar menatap mereka dengan ekspresi sedikit aneh, lalu bertanya, "Mau traktir aku makan?"Naufal mengangguk sambil menjawab dengan suara serak, "Ya. Pak Afkar, aku mengundangmu dengan tulus. Tolong kasih aku kesempatan."Dua puluh menit kemudian, mereka sudah berada di sebuah restoran yang menyajikan hidangan khas daerah. Naufal menuangkan segelas minuman untuk Afkar, lalu berucap, "Pak Afkar, aku benar-benar senang melihatmu kembali dengan selamat!"Mendengar itu, A