“Selama ibu mertuamu tinggal di sini, ada nggak dia ngomong buruk sama kamu?” tadinya Kala ingin beristirahat di kamar, tapi ternyata ibunya menghalangi Kala di ruang keluarga. “Dia nggak suka sama kamu, kamu harus tahu itu,” lanjut Bu Fatma. Ada sebuah perasaan dongkol yang mengganjal di dalam hatinya. Bagaimanapun Kala adalah putranya. Meskipun dia akan memarahinya, menampar, atau bahkan mendeportasinya, biarlah dia sendiri yang melakukan. Orang lain tidak seharusnya melakukan hal tersebut. Terlebih lagi itu adalah mertuanya. Maka Bu Fatma lebih tidak menyukainya. “Kamu harus berhati-hati dengan perempuan itu, dia itu ingin kamu dan Binar pisah.” “Aku tahu kalau ibu nggak suka sama aku, Ma.” Kala tidak ingin menutupi. Kenyataan tidak bisa disembunyikan. “Tapi mau bagaimana lagi, aku memang melakukan kesalahan besar yang membuat putrinya sedih.” Kala tidak ingin memberitahukan tentang masalah Bu Yuni yang tanpa permisi datang ke kamarnya dan memergokinya tengah ciuman. Dia han
Ucapan ibu Binar itu menarik penuh perhatian dari orang-orang yang ada di sana. Jangan tanyakan bagaimana Ramon menatap tak suka dengan sosok ibu Binar tersebut. Entahlah, semakin ke sini, perempuan itu semakin berbuat ulah. “Ibu ada masalah apa dengan Kala?” tanya Ramon dengan nada dingin. “Ucapan Ibu terlalu sinis dan menyakitkan untuk didengar. Tolong jangan begitu. Ibu juga harus mengingat kalau Ibu bukan ibu yang baik buat Binar sehingga bisa bersikap sinis kepada menantu Ibu sendiri.” Binar berdiri. Lalu dia mengambil Gemi dari pangkuan ibunya karena bayi itu tampak merengek. Dia mencoba untuk menenangkannya dengan menepuk-nepuk bokongnya. Ucapan Ramon itu belum mendapatkan tanggapan dari ibunya yang tampak menatap Ramon sama tidak sukanya. “Saya hanya bertanya. Janga sampai nanti lagi-lagi Binar dibebankan membayar rumah. Lebih baik tinggal di rumah sendiri tanpa memikirkan hutang daripada tinggal di rumah besar yang justru menjadi beban.” “Kalau belum lunas, bukannya belum
“Kita bawa Gemi saja, Mas.” Binar sudah terlihat muak dengan ulah ibu dan sekarang justru adik tirinya itu ikut-ikutan. Apa dia bilang tadi? Dia yang menggantikan Binar untuk melihat rumahnya? Memangnya dia siapa? Kesal itu menggelayut di dalam kepala Binar membuatnya ingin melemparkan gadis itu tanpa ampun. Apa gadis itu tidak punya malu mengatakan hal seperti itu di depan Binar dan juga Kala? Sungguh memuakkan. “Binar. Gemi masih terlalu kecil untuk diajak bepergian!” Bu Yuni semakin kesal dengan Binar. “Kamu ini nggak bisa yang menuruti yang ibu katakan ke kamu? kalian ini belum diperbolehkan pergi ke mana-mana. Pamali. Dulu saat Ibu baru saja melahirkan saja nggak diizinkan pergi sebelum berbulan-bulan.” “Udahlah, Bu. Aku nggak mau berdebat lagi.” Binar berbalik untuk duduk di sofa. “Mas kita bawa Gemi. Tolong ambilkan gendongannya dan kita persiapkan semuanya.” “Oke. Tunggu di sini sebentar.” Kala kembali ke lantai dua untuk menyiapkan alat-alat yang diperlukan untuk pergi k
“Mari kita sama-sama belajar untuk menjalani kehidupan kita, Mas. Kalau ada yang kurang dari aku sebagai seorang istri, maka katakan itu. Pun aku juga akan melakukan hal yang sama kepada Mas.” Itu adalah jawaban yang Binar berikan kepada Kala. Lepaskan semua beban yang bersarang di dalam hati dan songsong kehidupan yang baru. Begitulah kira-kira yang dipikirkan oleh Binar. Semua orang pernah punya salah. Semua orang punya dosa. Dan Binar tidak mau terus menerus menghakimi Kala dengan mengingat-ingat kesalahan lelaki itu. Rumah mewah sudah Kala berikan untuk Binar dan Binar harus bisa menjadikan rumah itu benar-benar rumah. Bukan hanya sekedar tempat untuk singgah ketika lelah. Dia akan menjadi istri dan juga ibu yang baik. “Mbak Bi!” Beberapa orang yang melihat Binar di kantor dengan bayi mereka, tampak terkejut luar biasa. Tadinya, Binar ingin pergi ke rumah orang tua Kala. Tapi karena jarak antara kantor dengan rumah barunya tidak begitu jauh, maka Binar ikut Kala ke kantor. Buk
“Aku udah bilang sama Bibi kalau aku nginap di rumah Mama. Memangnya Bibi nggak bilang?” Binar menoleh pada ibunya yang berdiri di samping sofa dan tengah menatapnya. Tidak ada senyum di bibirnya. Bahkan tampak jelas jika perempuan itu tengah menunjukkan kemarahannya. “Jadi lebih baik izin dengan Bibi daripada sama Ibu?” Begitu tanggapannya. “Astaga, Bu. Hanya kayak gini aja dipermasalahkan?” Lama-lama ibunya ini benar-benar membuat Binar kesal luar biasa. Dia sudah bertindak keterlaluan seolah ingin mengatur hidup Binar dengan caranya. Binar yang lelah pun langsung berdiri. Dia menatap ibunya dengan malas sebelum pamit pergi ke kamar. “Aku nggak mau berdebat, Bu. Terserah Ibu mau bilang apa. Capek aku lama-lama ngadepin Ibu.” Kemudian setelah mengatakan itu, dia pergi dari sana menuju kamarnya. Sepertinya bukan hal baru lagi perdebatan itu diketahui oleh para karyawan Binar semenjak kedatangan ibunya di rumah itu. Bahkan sekarang pun, dia merasa punya kuasa di rumah itu untuk me
“Ibumu itu memang keras kepala. Mungkin setelah dia menyadari kesalahannya nanti, dia akan kembali dan meminta maaf.” Begitu kata sang ayah setelah melihat mantan istrinya itu keluar dari rumah Binar. Sungguh, Binar tidak bermaksud untuk bersikap seperti itu. Tapi akan sampai kapan dia diatur oleh ibunya? Bahkan dengan Kala tidak akur, dengan Binar pun dia menuntut untuk mengikuti apa yang diinginkan. Sungguh, itu membuatnya tidak nyaman. Katakanlah Binar sudah melepaskan masalah yang pernah ada di masa lalu dan fokus pada masa sekarang. Tapi tetap saja yang dilakukan oleh ibunya itu tidak benar. “Terserah Ibu aja, Yah. Aku beneran nggak akan mengizinkan siapapun ikut campur rumah tanggaku. Aku udah terbiasa menghadapi dan mengambil keputusan sendiri.” Ayah Binar tidak ingin membahas itu terlalu jauh karena menyadari kesalahannya di masa lalu. Maka dia hanya terdiam dan memilih menatap cucunya yang pulas tidur di pangkuan sang nenek. Binar pun hanya menatap interaksi itu dalam di
“Jadi begini caramu memperlakukan keluarga istrimu?” Bu Yuni jelas tak terima mendengar pernyataan Kala yang menyuruh Melina bekerja tanpa dibayar. Akan membutuhkan waktu berapa lama Melina terjebak di sana sampai uang itu benar-benar lunas. “Yang benar aja dong. Uang seratus juta itu nggak sedikit. Kalau Melina bekerja tanpa dibayar, dia akan terjebak di sini puluhan tahun.” “Untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan, seseorang itu harus berkorban untuk mendapatkannya.” Kala berujar tenang. “Istri saya membutuhkan banyak waktu dan tenaga untuk menjadi seperti sekarang ini. Erza saja yang bekerja di sini tidak pernah sekalipun dia menginginkan sesuatu yang aneh-aneh seperti yang Melina lakukan.” “Kenapa Abang jadi membandingkan aku dengan Erza? Jelas saja kami berbeda. Beda jauh malah. Dia itu cuma anak dari pelakor yang harusnya tahu diri, sedangkan aku dididik Ibu nggak seperti itu.” “Jangan merembet ke hal yang tidak perlu, Mel.” Binar menasehati. “Ini nggak ada sangkut pautnya
Acara di rumah baru Binar berjalan dengan meriah. Semua orang merasakan kebahagiaan yang sama dengan yang dirasakan oleh Binar. Tapi yang membuat Binar merasa tidak senang adalah ketika Melina seolah mengambil kesempatan untuk bisa dekat dengan Arga. “Mbak Bi.” Saat Binar duduk seorang diri di sofa dan melihat orang-orang tengah sibuk dengan aktivitasnya sendiri-sendiri, Melina mendekati Binar dan duduk di samping perempuan itu. Tampak jelas jika ada yang ingin dia katakan. “Bang Arga itu beneran jomblo?” Begitu tanyanya dengan ekspresi mendamba. “Ganteng gitu masa’ sih masih jomblo?” Tatapannya mengarah pada sosok Arga yang duduk bersama Kala dan Ramon. Binar mengernyit aneh mendengar pertanyaan itu dari sang adik. Ada pikiran yang terasa familiar. Mungkin saja, Melina ingin dijodohkan dengan adik iparnya tersebut. “Mbak ….” “Aku nggak tahu. Bisa jadi dia punya pacar dan sengaja disembunyikan dulu. Aku belum terlalu dekat dengannya.” “Mbak Bi, kalau aku deketin dia gimana?” M