“Aku udah bilang sama Bibi kalau aku nginap di rumah Mama. Memangnya Bibi nggak bilang?” Binar menoleh pada ibunya yang berdiri di samping sofa dan tengah menatapnya. Tidak ada senyum di bibirnya. Bahkan tampak jelas jika perempuan itu tengah menunjukkan kemarahannya. “Jadi lebih baik izin dengan Bibi daripada sama Ibu?” Begitu tanggapannya. “Astaga, Bu. Hanya kayak gini aja dipermasalahkan?” Lama-lama ibunya ini benar-benar membuat Binar kesal luar biasa. Dia sudah bertindak keterlaluan seolah ingin mengatur hidup Binar dengan caranya. Binar yang lelah pun langsung berdiri. Dia menatap ibunya dengan malas sebelum pamit pergi ke kamar. “Aku nggak mau berdebat, Bu. Terserah Ibu mau bilang apa. Capek aku lama-lama ngadepin Ibu.” Kemudian setelah mengatakan itu, dia pergi dari sana menuju kamarnya. Sepertinya bukan hal baru lagi perdebatan itu diketahui oleh para karyawan Binar semenjak kedatangan ibunya di rumah itu. Bahkan sekarang pun, dia merasa punya kuasa di rumah itu untuk me
“Ibumu itu memang keras kepala. Mungkin setelah dia menyadari kesalahannya nanti, dia akan kembali dan meminta maaf.” Begitu kata sang ayah setelah melihat mantan istrinya itu keluar dari rumah Binar. Sungguh, Binar tidak bermaksud untuk bersikap seperti itu. Tapi akan sampai kapan dia diatur oleh ibunya? Bahkan dengan Kala tidak akur, dengan Binar pun dia menuntut untuk mengikuti apa yang diinginkan. Sungguh, itu membuatnya tidak nyaman. Katakanlah Binar sudah melepaskan masalah yang pernah ada di masa lalu dan fokus pada masa sekarang. Tapi tetap saja yang dilakukan oleh ibunya itu tidak benar. “Terserah Ibu aja, Yah. Aku beneran nggak akan mengizinkan siapapun ikut campur rumah tanggaku. Aku udah terbiasa menghadapi dan mengambil keputusan sendiri.” Ayah Binar tidak ingin membahas itu terlalu jauh karena menyadari kesalahannya di masa lalu. Maka dia hanya terdiam dan memilih menatap cucunya yang pulas tidur di pangkuan sang nenek. Binar pun hanya menatap interaksi itu dalam di
“Jadi begini caramu memperlakukan keluarga istrimu?” Bu Yuni jelas tak terima mendengar pernyataan Kala yang menyuruh Melina bekerja tanpa dibayar. Akan membutuhkan waktu berapa lama Melina terjebak di sana sampai uang itu benar-benar lunas. “Yang benar aja dong. Uang seratus juta itu nggak sedikit. Kalau Melina bekerja tanpa dibayar, dia akan terjebak di sini puluhan tahun.” “Untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan, seseorang itu harus berkorban untuk mendapatkannya.” Kala berujar tenang. “Istri saya membutuhkan banyak waktu dan tenaga untuk menjadi seperti sekarang ini. Erza saja yang bekerja di sini tidak pernah sekalipun dia menginginkan sesuatu yang aneh-aneh seperti yang Melina lakukan.” “Kenapa Abang jadi membandingkan aku dengan Erza? Jelas saja kami berbeda. Beda jauh malah. Dia itu cuma anak dari pelakor yang harusnya tahu diri, sedangkan aku dididik Ibu nggak seperti itu.” “Jangan merembet ke hal yang tidak perlu, Mel.” Binar menasehati. “Ini nggak ada sangkut pautnya
Acara di rumah baru Binar berjalan dengan meriah. Semua orang merasakan kebahagiaan yang sama dengan yang dirasakan oleh Binar. Tapi yang membuat Binar merasa tidak senang adalah ketika Melina seolah mengambil kesempatan untuk bisa dekat dengan Arga. “Mbak Bi.” Saat Binar duduk seorang diri di sofa dan melihat orang-orang tengah sibuk dengan aktivitasnya sendiri-sendiri, Melina mendekati Binar dan duduk di samping perempuan itu. Tampak jelas jika ada yang ingin dia katakan. “Bang Arga itu beneran jomblo?” Begitu tanyanya dengan ekspresi mendamba. “Ganteng gitu masa’ sih masih jomblo?” Tatapannya mengarah pada sosok Arga yang duduk bersama Kala dan Ramon. Binar mengernyit aneh mendengar pertanyaan itu dari sang adik. Ada pikiran yang terasa familiar. Mungkin saja, Melina ingin dijodohkan dengan adik iparnya tersebut. “Mbak ….” “Aku nggak tahu. Bisa jadi dia punya pacar dan sengaja disembunyikan dulu. Aku belum terlalu dekat dengannya.” “Mbak Bi, kalau aku deketin dia gimana?” M
Gemi tersenyum lebar saat Kala mengajaknya bicara. Bayi empat bulan itu sepertinya sedang dalam mood yang sangat baik. Seolah kebahagiaan tengah menyerbunya. Berada di dekapan Binar tangannya bergerak-gerak ringan. “Hari ini Gemi akan kerja. Nanti kerjanya yang benar ya. Pastikan nggak ada kesalahan atau Papa akan menghukum Gemi.” Sambil memegang kemudi, Kala terus berbicara. Sesekali dia menoleh pada Gemi yang ada di sebelah kirinya. “Papa akan mengecek pekerjaan Gemi secara berkala. Jadi, Gemi nggak boleh buat kesalahan.” Lagi, senyum lebarnya terlihat memperlihatkan gusinya. Bayi itu seolah mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh sang ayah. Binar yang melihat itu hanya bisa tersenyum lebar. “Nanti, Gemi bantu Ibu ngetik ya. Terus ngecek apa-apa saja yang perlu cek. Dokumen kerja sama dengan perusahaan lain, bisa juga bantuin Ibu marahi Om Anton kalau berbuat ulah.” Reaksi yang sama ditunjukkan. Senyumnya sungguh membuat Binar gemas luar biasa. Binar mencium pipi gembil put
Binar tidak tidur sepanjang malam. Dia mengkhawatirkan Gemi begitu besar. Tetesan air matanya tak hentinya jatuh dari netranya. Dia terus mendekap Gemi dalam pelukannya. Setelah memastikan putri kecilnya itu bisa tidur, dia bahkan tidak berani meletakkan Gemi di box bayinya. Kala juga terjaga. Lelaki itu tentu saja tidak akan tidur sedangkan Binar terjaga. Meskipun tidak ada yang bicara di antara mereka, tapi Kala tetap menemani Binar mengurus Gemi. “Kamu tidur aja, biar aku yang jaga Gemi. Kamu kecapekan nanti.” Seharian ini, Binar benar-benar bekerja keras di kantor, dan sekarang hari sudah larut malam bahkan dia belum kembali tidur. “Percuma, Mas. Aku nggak akan bisa tidur.” Memikirkan putrinya sakit karena dirinya saja membuat jantung Binar terasa tak karuan, bagaimana mungkin dia bisa dengan mudah tidur sedangkan Gemi sedang tidak sehat. “Kalau begitu, biar aku gantikan gendong Gemi.” Kala sudah berdiri di samping Binar untuk menggantikan istrinya. Sayangnya Binar kera
“Aku nggak mau, Bu,” tolak Binar dengan cepat. “Kalau Arga tertarik dengan Melina saat pertemuan saat itu, seharusnya dia yang maju untuk mendekati. Lagian, kenapa Ibu jadi minta aku nyomblangin Melina ke adiknya lelaki yang Ibu benci setengah mati?” “Karena beda orang beda sifat dan sikap. Ibu lihat Arga itu lebih dewasa dari kakaknya. Nggak ada salahnya dong kalau Melina sama Arga.” Jawaban itu terdengar tak punya malu di telinga Binar. Namun sekali lagi, Binar tidak ingin menanggapi terlalu serius. Dia tidak ingin membuat dirinya terbebani dengan keinginan adiknya. “Kalau kamu bisa bahagia dengan seorang suami pengusaha, seharusnya kamu juga bisa membantu adikmu untuk bisa sampai di titik itu dong.” “Kalau aku bisa sampai di titik sekarang dengan usahaku sendiri, seharusnya Melina juga bisa dong. Kenapa harus menyulitkan orang lain untuk sampai ke atas?” Ringannya ucapan Binar membuat ekspresi Melina berubah seketika. Sejak dulu tidak pernah dekat, tapi saat sekarang Binar
“Saya ingin hak asuh Ancala jatuh pada kami.” Salah satu dari tiga orang yang tengah duduk berhadapan itu terdengar. Lebih tepatnya, seorang perempuan paruh baya yang berbicara. Perempuan dengan wajah jutek itu menatap Anyelir seperti seorang musuh yang ingin dilenyapkan dari muka bumi. “Seharusnya kamu memberikan Ancala pada kami sejak awal agar kita tidak lagi berurusan. Ancala adalah cucu kami, jadi kami berhak atas anak itu.” Dan kali ini suara lelaki paruh baya itu yang bersuara. Anyelir sejak tadi tidak mengatakan sepatah katapun dan hanya memerhatikan pasangan tersebut dengan serius. Ada sebuah emosi yang menelisik masuk ke dalam hatinya yang mati-matian Anyelir tahan agar dia tak berteriak di depan wajah-wajah menyebalkan itu. “Kenapa kamu hanya diam saja?” Lagi, perempuan paruh baya itu bersuara. “Kamu masih tidak ingin menyerahkan Ancala kepada kami!” Matanya melotot dan nada suaranya meninggi di akhir kalimat membuat beberapa orang yang berada di sekitar meja mereka