Yash ....!!!!
“Saya ingin hak asuh Ancala jatuh pada kami.” Salah satu dari tiga orang yang tengah duduk berhadapan itu terdengar. Lebih tepatnya, seorang perempuan paruh baya yang berbicara. Perempuan dengan wajah jutek itu menatap Anyelir seperti seorang musuh yang ingin dilenyapkan dari muka bumi. “Seharusnya kamu memberikan Ancala pada kami sejak awal agar kita tidak lagi berurusan. Ancala adalah cucu kami, jadi kami berhak atas anak itu.” Dan kali ini suara lelaki paruh baya itu yang bersuara. Anyelir sejak tadi tidak mengatakan sepatah katapun dan hanya memerhatikan pasangan tersebut dengan serius. Ada sebuah emosi yang menelisik masuk ke dalam hatinya yang mati-matian Anyelir tahan agar dia tak berteriak di depan wajah-wajah menyebalkan itu. “Kenapa kamu hanya diam saja?” Lagi, perempuan paruh baya itu bersuara. “Kamu masih tidak ingin menyerahkan Ancala kepada kami!” Matanya melotot dan nada suaranya meninggi di akhir kalimat membuat beberapa orang yang berada di sekitar meja mereka
“Salam dulu sama Om.” Anyelir mendekatkan Ancala di depan Ramon agar bocah laki-laki berusia tiga tahun itu menjabat tangan Ramon. Ramon yang melihat Ancala pun tersenyum kecil. Bocah kecil itu tampan sekali, juga ramah, dan juga penurut. Terlihat ketika Anyelir memerintahkan, dia segera melakukannya. “Hai, Boy. Siapa namanya?” Ramon mencoba beramah tamah dengan bocah tersebut.“Ancala, Om.” “Ancala. Baru pulang sekolah?” Ancala mengangguk. “Iya.” Sambil naik ke atas kursi dengan dibantu oleh Anyelir. Mereka berada di restoran privat untuk membicarakan lebih jauh tentang kondisi Anyelir sekarang untuk mendapatkan hak asuh Ancala. Perhatian Ramon sejak tadi tidak beralih dari Ancala yang berada tepat di depannya. Dia belum tahu berapa usia Ancala tapi bocah itu pasti mendapatkan didikan yang baik sehingga membuat bocah itu menjadi mandiri. Bahkan dia sama sekali tidak rewel dan makan sendiri tanpa ada drama yang berarti. “Berapa usianya?” tanya Ramon pada akhirnya. “Dia terlihat
“Bunda!” “Anyelir.” Di waktu bersamaan, panggilan itu masuk ke dalam telinga Anyelir membuat perempuan itu memelankan langkahnya. Ada sebuah kekhawatiran yang muncul di dalam hatinya. Hal pertama yang dia pastikan adalah keberadaan Ancala. Kemudian dia bisa bernapas lega ketika bocah itu masih ada di dalam sebuah ruangan bersama dengan pengawasnya. Tangan kecilnya melambai menunjukkan keberadaan dirinya. Anyelir bernapas lega dan barulah dia mencari sumber suara lain yang tadi memanggilnya. Tapi belum juga dia sempat mengalihkan tatapannya, sosok tinggi itu mendekat. “Hai!” Begitu sapa orang itu lagi. Anyelir segera mendongak mengeluarkan senyum kecil. “Hai.” Tampak tidak nyaman ketika berdekatan dengan lelaki itu. “Udah lama?” “Baru aja. Pengen ketemu sama Ancala.” Anyelir mengangguk. “Kalau begitu ayo.” Anyelir berjalan lebih dulu diikuti oleh lelaki itu. Tidak ada yang mereka bicarakan sampai mereka masuk ke dalam taman bermain dan bertemu dengan Ancala. Bocah kecil it
Dalam sejarah hidupnya, Anyelir tidak pernah merasakan jantungnya hampir melompat keluar seperti sekarang. Apa yang dikatakan oleh Ancala tadi, ayah? Bagaimana bisa bocah kecil itu memanggil orang yang baru dilihatnya sekali dengan sebutan ayah? Lalu siapa yang mengajarinya memanggil orang lain dengan sembrono seperti itu? Tapi, “Ayah?” Suara itu menyadarkan Anyelir dari keterkejutan. Kalau Erik tidak bersuara, dia pasti akan terus melamun. Erik menatap Anyelir. “An, bisa kamu jelaskan?” Anyelir ingin meluruskan kesalahan yang dilakukan oleh Ancala, tapi lidahnya seolah kelu ketika menatap sosok Ramon di depannya. Wajah Ramon pun tampak cengo, namun tak lama setelah itu, dia tersenyum kepada Ancala. Tanpa memedulikan keadaan di sekitarnya, Ramon bersuara dengan cepat. “Ancala baru makan?” tanyanya sambil berjongkok mensejajarkan tingginya dengan bocah tiga tahun tersebut. “Iya. Ayah, Anca capek.” Bocah itu terlalu polos ketika mengangkat kedua tangannya tanda ingin digendong. Ram
“Sekali lagi, saya benar-benar minta maaf, Pak. Tidak biasanya Anca seperti ini.” Entah sudah berapa kali dalam beberapa menit ini, Anyelir mengeluarkan kata maaf kepada Ramon. Setelah menunggu hampir dua jam, akhirnya Ancala bisa benar-benar melepaskan genggaman tangan Ramon. Bocah itu tidak lagi bangun seperti yang terjadi sebelumnya. “Tidak masalah, Bu. Mungkin dia sedang kangen dengan ayahnya.” Ramon tidak pernah mempermasalahkan hal sepele itu. “Kalau begitu, saya pamit dulu. Sudah malam.” “Silakan. Sekali saya, terima kasih atas bantuan Bapak.” “Sama-sama.”Ramon tidak lagi menunda pergi dari tempat itu. Waktu sudah hampir larut malam dan dia harus kembali ke restoran cepat saji yang tadi didatangi untuk mengambil mobilnya. Barulah dia bisa kembali pulang. Namun yang tidak pernah Ramon duga adalah keberadaan Erik yang masih berada di sana. Lelaki itu mendekati Ramon ketika Ramon hampir masuk ke dalam mobilnya. “Sorry. Boleh kita bicara?” Begitu kata Erik menahan kepergian R
“Bagaimana, kamu betah tinggal di apartemennya?” Setelah pertemuan terakhir dengan Binar beberapa bulan yang lalu, Anyelir tidak pernah lagi bertemu dengan istri bosnya tersebut. Anyelir tahu kalau Binar sekarang sudah sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga. Fokus membesarkan putrinya di rumah. Meskipun selama mereka bekerja di satu perusahaan yang sama, hubungan Anyelir dengan Binar tidak begitu dekat. Karena mereka toh berada di divisi yang berbeda. Anyelir ada di keuangan, sedangkan Anyelir di sales. “Betah, Mbak. Terima kasih karena sudah membantu aku.” Anyelir menjawab setelah beberapa saat. “Syukur kalau gitu. Biar kamu dan si kecil juga nyaman.” Binar mengelus pundak Anyelir dengan lembut. “Aku tahu kamu kuat kok.” Entah kenapa, ketika Binar mengatakan itu, ada sebuah perasaan sedih yang ada di dalam hati Anyelir menyeruak keluar. Membuatnya merasakan sesak yang luar biasa. Mata perempuan itu bahkan bahkan sudah berkaca-kaca. Namun Anyelir mati-matian menahannya. “Anye, k
“Ini berkas yang diperlukan, Pak.” Anyelir menyerahkan beberapa lembar kertas penting yang dibutuhkan untuk mengurus pengajuan penetapan hak asuh Ancala. Salah satunya adalah akta kelahiran Ancala dan slip gaji. Seseorang yang ingin mendapatkan hak asuh anak harus mampu menjamin hak keselamatan jasmani dan rohani atas anak tersebut. Ramon menerima dan membacanya sebentar. Memastikan jika dia bisa segera menyerahkannya ke pengadilan agama agar bisa segera diproses. “Ibu membutuhkan dua keterangan saksi yang bisa menguatkan jika Ibu layak diberikan hak asuh atas Ancala.” Anyelir tidak pernah terlibat dalam hukum. Dia tak menyangka perjalanannya akan sejauh itu. Dan mereka bahkan akan melakukan sidang untuk benar-benar bisa memastikan jika dia pantas menjadi wali dari Ancala. “Saya mengerti, Pak.” Anyelir harus mempersiapkan secepatnya. “Kalau boleh saya tahu, tentang kecelakaan yang terjadi dengan kakaknya Bu Anyelir, apa itu kecelakaan tunggal atau ada orang yang terlibat?” Anyel
Ramon dan Anyelir tidak ada yang bersuara. Mereka berjalan di koridor unit apartemen dengan keheningan menyergap. Ancala ada di dalam gendongan Ramon dan tengah tertidur lelap. Ini kali kedua Ancala tidur dalam dekapan Ramon. Setelah sampai di dalam unit, Ramon membaringkan Ancala ke kasurnya dan menyelimutinya. Lantas dia keluar kamar untuk menemui Anyelir. “Saya buatkan Bapak minuman hangat.” Anyelir meletakkan secangkir minuman di atas meja dapur. Ramon mendekat, lalu menarik kursi sebelum didudukinya. “Aromanya enak.” “Itu wedang serai.” Anyelir juga menarik kursi di depan Ramon kemudian mendudukinya. “Biasanya saya minum kalau malam hari.” Ramon mengangguk kecil. Mengangkat cangkirnya, lalu menyesapnya sedikit demi sedikit. Rasa serai diikuti rasa manis meledak di mulut Ramon. “Waw. Ini beneran enak.” Ekspresi yang ditunjukkan oleh Ramon terlihat puas. Tidak ada percakapan lainnya setelah itu. Mereka seolah menikmati kebersamaan yang tercipta. Keberadaan Ramon di sana sa