Ayah siapa, Ancala?
Dalam sejarah hidupnya, Anyelir tidak pernah merasakan jantungnya hampir melompat keluar seperti sekarang. Apa yang dikatakan oleh Ancala tadi, ayah? Bagaimana bisa bocah kecil itu memanggil orang yang baru dilihatnya sekali dengan sebutan ayah? Lalu siapa yang mengajarinya memanggil orang lain dengan sembrono seperti itu? Tapi, “Ayah?” Suara itu menyadarkan Anyelir dari keterkejutan. Kalau Erik tidak bersuara, dia pasti akan terus melamun. Erik menatap Anyelir. “An, bisa kamu jelaskan?” Anyelir ingin meluruskan kesalahan yang dilakukan oleh Ancala, tapi lidahnya seolah kelu ketika menatap sosok Ramon di depannya. Wajah Ramon pun tampak cengo, namun tak lama setelah itu, dia tersenyum kepada Ancala. Tanpa memedulikan keadaan di sekitarnya, Ramon bersuara dengan cepat. “Ancala baru makan?” tanyanya sambil berjongkok mensejajarkan tingginya dengan bocah tiga tahun tersebut. “Iya. Ayah, Anca capek.” Bocah itu terlalu polos ketika mengangkat kedua tangannya tanda ingin digendong. Ram
“Sekali lagi, saya benar-benar minta maaf, Pak. Tidak biasanya Anca seperti ini.” Entah sudah berapa kali dalam beberapa menit ini, Anyelir mengeluarkan kata maaf kepada Ramon. Setelah menunggu hampir dua jam, akhirnya Ancala bisa benar-benar melepaskan genggaman tangan Ramon. Bocah itu tidak lagi bangun seperti yang terjadi sebelumnya. “Tidak masalah, Bu. Mungkin dia sedang kangen dengan ayahnya.” Ramon tidak pernah mempermasalahkan hal sepele itu. “Kalau begitu, saya pamit dulu. Sudah malam.” “Silakan. Sekali saya, terima kasih atas bantuan Bapak.” “Sama-sama.”Ramon tidak lagi menunda pergi dari tempat itu. Waktu sudah hampir larut malam dan dia harus kembali ke restoran cepat saji yang tadi didatangi untuk mengambil mobilnya. Barulah dia bisa kembali pulang. Namun yang tidak pernah Ramon duga adalah keberadaan Erik yang masih berada di sana. Lelaki itu mendekati Ramon ketika Ramon hampir masuk ke dalam mobilnya. “Sorry. Boleh kita bicara?” Begitu kata Erik menahan kepergian R
“Bagaimana, kamu betah tinggal di apartemennya?” Setelah pertemuan terakhir dengan Binar beberapa bulan yang lalu, Anyelir tidak pernah lagi bertemu dengan istri bosnya tersebut. Anyelir tahu kalau Binar sekarang sudah sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga. Fokus membesarkan putrinya di rumah. Meskipun selama mereka bekerja di satu perusahaan yang sama, hubungan Anyelir dengan Binar tidak begitu dekat. Karena mereka toh berada di divisi yang berbeda. Anyelir ada di keuangan, sedangkan Anyelir di sales. “Betah, Mbak. Terima kasih karena sudah membantu aku.” Anyelir menjawab setelah beberapa saat. “Syukur kalau gitu. Biar kamu dan si kecil juga nyaman.” Binar mengelus pundak Anyelir dengan lembut. “Aku tahu kamu kuat kok.” Entah kenapa, ketika Binar mengatakan itu, ada sebuah perasaan sedih yang ada di dalam hati Anyelir menyeruak keluar. Membuatnya merasakan sesak yang luar biasa. Mata perempuan itu bahkan bahkan sudah berkaca-kaca. Namun Anyelir mati-matian menahannya. “Anye, k
“Ini berkas yang diperlukan, Pak.” Anyelir menyerahkan beberapa lembar kertas penting yang dibutuhkan untuk mengurus pengajuan penetapan hak asuh Ancala. Salah satunya adalah akta kelahiran Ancala dan slip gaji. Seseorang yang ingin mendapatkan hak asuh anak harus mampu menjamin hak keselamatan jasmani dan rohani atas anak tersebut. Ramon menerima dan membacanya sebentar. Memastikan jika dia bisa segera menyerahkannya ke pengadilan agama agar bisa segera diproses. “Ibu membutuhkan dua keterangan saksi yang bisa menguatkan jika Ibu layak diberikan hak asuh atas Ancala.” Anyelir tidak pernah terlibat dalam hukum. Dia tak menyangka perjalanannya akan sejauh itu. Dan mereka bahkan akan melakukan sidang untuk benar-benar bisa memastikan jika dia pantas menjadi wali dari Ancala. “Saya mengerti, Pak.” Anyelir harus mempersiapkan secepatnya. “Kalau boleh saya tahu, tentang kecelakaan yang terjadi dengan kakaknya Bu Anyelir, apa itu kecelakaan tunggal atau ada orang yang terlibat?” Anyel
Ramon dan Anyelir tidak ada yang bersuara. Mereka berjalan di koridor unit apartemen dengan keheningan menyergap. Ancala ada di dalam gendongan Ramon dan tengah tertidur lelap. Ini kali kedua Ancala tidur dalam dekapan Ramon. Setelah sampai di dalam unit, Ramon membaringkan Ancala ke kasurnya dan menyelimutinya. Lantas dia keluar kamar untuk menemui Anyelir. “Saya buatkan Bapak minuman hangat.” Anyelir meletakkan secangkir minuman di atas meja dapur. Ramon mendekat, lalu menarik kursi sebelum didudukinya. “Aromanya enak.” “Itu wedang serai.” Anyelir juga menarik kursi di depan Ramon kemudian mendudukinya. “Biasanya saya minum kalau malam hari.” Ramon mengangguk kecil. Mengangkat cangkirnya, lalu menyesapnya sedikit demi sedikit. Rasa serai diikuti rasa manis meledak di mulut Ramon. “Waw. Ini beneran enak.” Ekspresi yang ditunjukkan oleh Ramon terlihat puas. Tidak ada percakapan lainnya setelah itu. Mereka seolah menikmati kebersamaan yang tercipta. Keberadaan Ramon di sana sa
“Apa lagi ini?” gumam Anyelir setelah membaca chat yang dikirimkan oleh Ramon beberapa saat lalu. Dia bahkan tidak bisa berkata-kata lagi setelah itu dan hanya fokus pada layar ponselnya. Tapi setelah itu, dia segera melakukan panggilan kepada Ramon. Setelah perbincangan malam itu, kenapa Ramon seolah tidak ingin menyia-nyiakan waktunya untuk dekat dengan Ancala. Dia bahkan belum memberikan jawaban kepada Ramon atas ide tersebut. “Maaf, Pak. Tapi, di jam siang, Ancala sedang istirahat.” Anyelir segera bersuara ketika Ramon mengangkat panggilannya. Perempuan itu lantas berjalan kembali untuk sampai di kantornya sambil mendengarkan jawaban Ramon. “Iya, tapi Bapak nggak akan bisa menemui Ancala karena Bapak tidak terdaftar orang yang boleh mengunjungi Ancala.” Ramon di ujung sana justru mengeluar kata-kata yang membuat Anyelir mendengus kasar. “Mungkin kapan-kapan saya bisa mengajak Bapak ke sana.” Anyelir mendesah panjang ketika panggilan sudah terputus. Dia memang belum begitu menge
“Ramon!” Langkah Ramon yang panjang seketika memelan ketika mendengar namanya dipanggil. Kepalanya menoleh ke kiri lalu ke kanan dan dari sanalah sumber suara itu berasal. Seorang perempuan yang sangat dikenalnya berdiri di samping mobil dengan ekspresi terkejut. Alih-alih menyambut baik perempuan itu, Ramon justru hanya menatapnya datar. “Kamu di sini?” Perempuan itu berjalan mendekati Ramon. Tatapannya lurus ke arah sosok di depannya dalam diam. “Apa, Kala sekarang kembali tinggal di sini?” Perempuan itu adalah Widi. Perempuan yang sangat Ramon benci sampai ke tulang-tulangnya. Dan ternyata, perempuan itu berani bertanya tentang Kala dengannya. “Bukan.” Jawaban itu sangat singkat sehingga terdengar tak acuh. Lalu setelahnya dia hampir melanjutkan langkahnya. Sayangnya, Widi menghalanginya dengan bersuara. “Kala, sepertinya dia sudah bahagia.” Begitu katanya. “Apa … Nggak ada kesempatan lagi buatku untuk bersama dengannya, Ram?” Dengusan Ramon tak segan dikeluarkan karena meras
“Saya lebih suka mengejar.” Kata-kata itu adalah cara Ramon mendeklarasikan secara terang-terangan jika dia benar-benar tidak senang dengan kata ‘menunggu’ yang dilontarkan oleh Eliya kepadanya. Itulah kenapa dia harus dengan tegas berucap. “Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi ke depannya kalau kita tidak mencoba.” Eliya menjawab santai. Tidak tampak jika gadis itu tengah tersinggung. “Konsep menunggu adalah tentu saja kita bisa berteman. Saling mengenal lebih dulu. Atau, kita bisa ‘bersenang-senang’ selama perkenalan ini. “Toh Mas masih bebas yang artinya, Mas bisa kenal dan dekat dengan perempuan lain, pun dengan saya.” Ucapan itu melenyapkan segala penilaian baik yang Ramon berikan kepada Eliya barusan. Di dalam hati Ramon, dia tertawa dengan jawaban Eliya yang diberikan kepadanya. “Tidak perlu, Eliya. Saya tidak suka hubungan yang tidak jelas seperti itu. Ketika saya ingin melangkah maju, maka saya harus memiliki keyakinan jika saya mau dengannya. Tapi jika tidak, maka saya