“Saya lebih suka mengejar.” Kata-kata itu adalah cara Ramon mendeklarasikan secara terang-terangan jika dia benar-benar tidak senang dengan kata ‘menunggu’ yang dilontarkan oleh Eliya kepadanya. Itulah kenapa dia harus dengan tegas berucap. “Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi ke depannya kalau kita tidak mencoba.” Eliya menjawab santai. Tidak tampak jika gadis itu tengah tersinggung. “Konsep menunggu adalah tentu saja kita bisa berteman. Saling mengenal lebih dulu. Atau, kita bisa ‘bersenang-senang’ selama perkenalan ini. “Toh Mas masih bebas yang artinya, Mas bisa kenal dan dekat dengan perempuan lain, pun dengan saya.” Ucapan itu melenyapkan segala penilaian baik yang Ramon berikan kepada Eliya barusan. Di dalam hati Ramon, dia tertawa dengan jawaban Eliya yang diberikan kepadanya. “Tidak perlu, Eliya. Saya tidak suka hubungan yang tidak jelas seperti itu. Ketika saya ingin melangkah maju, maka saya harus memiliki keyakinan jika saya mau dengannya. Tapi jika tidak, maka saya
Anyelir tidak menyangka ketika Ramon dengan lugas mengatakan jika dia membawa Ancala ke rumahnya. Siang tadi, dia mendapatkan telepon dari pihak daycare dan mengatakan jika Ramon menjemput Ancala. Karena Ramon sudah pernah ke daycare dan juga dia sendiri yang mengenalkan pihak daycare jika Ramon adalah salah satu ‘wali’ Ancala selain dirinya, maka tentu saja pihak daycare mengizinkan Ancala pergi.Rumah dua lantai yang mewah di depannya itu membuat Anyelir ragu untuk memasukinya. Pagar tinggi dan tertutup tidak bisa membuat Anyelir melihat kegiatan di rumah tersebut. Dengan tarikan napas panjang, Anyelir memberanikan diri memencet bel yang ada di pagar kemudian seorang penjaga membukakan pintunya. “Ibu Anyelir?” Begitu penjaga tersebut bertanya. “Benar, Pak.” Ramon sepertinya sudah memberi tahu penjaganya jika dia akan datang. “Silakan, Bu.” Pintu terbuka lebar, Anyelir segera masuk dan berjalan menuju pintu utama rumah besar tersebut setelah mengatakan terima kasih. Mobil Ramon pu
“Mama!” Ramon menginterupsi. Tidak senang dengan ide yang Ramon duga sudah kelewat batas. “Apa? Apa yang salah dengan ide itu?” Bu Ratna berkacak pinggang menantang putranya. “Kamu menyukai Ancala. Kamu bahkan sudah menganggapnya sebagai anakmu sendiri. Sekalian saja kalian menikah dan membina hubungan rumah tangga sungguhan.” Tantangan itu membuat bukan hanya Ramon yang tampak kesal, sedangkan Anyelir membeku di tempatnya. Sebenarnya apa yang terjadi dengan dunia ini? Dia mengenal Ramon hanya untuk bisa membantunya menyelesaikan masalah hak asuh Ancala. Lalu Ramon tiba-tiba saja menyukai Ancala. Bukan, lebih tepatnya Ancala lebih dulu yang memanggil Ramon ayah dan Ramon menyambutnya dengan suka cita. Sekarang, justru dia terjebak dengan permainan yang tidak dia mengerti. “Kamu bahkan menolak perempuan pilihan Mama dan mengatakan tidak tertarik dengannya.” Sebelum melanjutkan ucapannya, Bu Ratna menarik Anyelir agar lebih mendekat ke arahnya. “Anyelir ini juga cantik sekali. Kalau
Ancala terlihat sangat bahagia. Itulah yang Anyelir lihat seharian ini. Ramon benar-benar menunjukkan jika dia memang bisa menjadi sosok seorang ayah meskipun sebelumnya belum pernah memiliki anak. Anyelir pada akhirnya menyadari jika Ramon tidak salah jika Ancala memang membutuhkan seorang ayah. Maka dia menekan segala keraguan yang ketakutan jika semua ini mungkin hanyalah sebuah kebahagiaan semu. “Aku akan langsung mengantarkanmu ke apartemen. Mobilmu, besok pagi aku yang antarkan.” Setelah makan malam, mereka memutuskan untuk pulang. Seharian itu, Ramon memenuhi janjinya kepada Ancala untuk bersenang-senang. Bahkan, tanpa lelah mereka mampir ke mal hanya untuk mandi bola dan naik kuda-kuda seperti yang Ancala mau. “Itu akan merepotkan. Lebih baik ke rumah Mas langsung biar aku bawa mobilku sekalian. Nanti aku pulang sendiri saja.” Dan panggilan Anyelir untuk Ramon pun berubah. Pada awalnya memang untuk menyesuaikan peran mereka sebagai sepasang ibu dan ayah untuk Ancala. Tapi ke
“Ada yang salah?” Alih-alih Anyelir yang menjawab, justru Ramon lah yang bersuara. “Anyelir tidak sedang memiliki hubungan dengan siapapun. Kami tidak melanggar norma.” Erik terkekeh sinis. Tatapannya masih mengarah lurus pada Anyelir. “Kalau kamu bisa memberikan kesempatan kepada orang lain, kenapa kamu tidak memberikannya kepadaku dan justru kamu menolakku?” “Aku minta maaf, Rik. Tapi, aku udah jelaskan sama kamu saat itu. Aku hanya menganggap kamu sebagai teman.” “An ….” “Saya rasa semua sudah jelas.” Ramon memotong ucapan Erik yang baru satu kata. “Anyelir sekarang sudah bersama dengan saya. Tolong jangan mengharapkan apa pun.” Ramon tidak memberikan waktu Erik untuk berbicara lebih banyak lagi karena dia sudah menarik tangan Anyelir untuk masuk ke dalam mobilnya. Mengantarkan Anyelir kembali ke kantornya. Ramon yang tadi menjemput gadis itu, tentu saja dia sekarang harus mengantarkannya. “Sepertinya dia benar-benar menyukai kamu.” Ramon memecah keheningan lebih dulu. “Ya,
Setelah obrolan malam itu, Anyelir mencoba menekan perasaannya sampai dalam agar dia tidak bertindak ceroboh dan menjatuhkan hatinya untuk mencintai seorang Ramon. Mengingatkan dirinya sendiri jika yang Ramon lakukan adalah karena Ancala. Semua kebaikan itu demi Ancala tidak ada keterlibatan hati di sana apalagi urusan romansa yang menyangkut dirinya. Meskipun hatinya terasa hancur, tapi Anyelir tidak bisa melakukan apa pun.“Gue denger, lo sekarang deket sama Ramon?” Pertanyaan itu muncul dari mulut Refa. Teman baiknya yang dulu memperkenalkan Anyelir dengan Ramon untuk menjadikan kuasa hukumnya. “Aku dengar dari Fajar.” Fajar adalah suami Refa yang juga teman Ramon. Anyelir menggeleng sebelum mengangguk. “Dia dekat sama Anca.” Lalu sedikit cerita tentang hubungan Ramon dengan Ancala pun dia ungkapkan agar tidak salah paham. “Lo suka sama dia?” Refa menyelidik. “Wajar sih kalau lo suka dia. Ganteng begitu.” Refa tersenyum kecil ketika mengatakan hal itu. Anyelir tahu kalau Ramon m
“Hari ini aku yang bawa Ancala. Kamu nggak keberatan ‘kan?” Pertanyaan itu keluar dari mulut Ramon pagi ini. Lelaki itu datang pagi-pagi sekali untuk menjemput Ancala sekaligus meminta izin kepada Anyelir untuk mengajak bocah kecil itu pergi. “Ada acara di rumah tante. Aku mau mengajak Ancala ikut serta.” Setelah perbincangan Ramon dengan Anyelir sore itu, Anyelir sedikit demi sedikit benar-benar menjauh dari Ramon. Dia tahu posisinya dan dia tahu kalau dia harus segera mencari orang lain agar perasaannya untuk Ramon tidak mengembang begitu besar. Sulit, itu benar. Tapi mati-matian dia bisa melewatinya. “Kira-kira jam berapa Mas bisa antarkan? Atau biar nanti aku aja yang jemput.” “Acaranya malam. Kamu datang aja, itu acara keluarga.” Anyelir tampak berpikir. Tapi dia segera bersuara. “Aku nggak bisa janji sih, Mas. Tapi aku usahakan untuk datang. Mas kasih alamatnya aja.” “Janji?” ulang Ramon. “Dengan siapa? Cowok?” Anyelir tersenyum kecil. Bukan jenis senyum mengejek. “Kita ud
“Jadi, Mas Arga dan Mas Ramon itu sepupuan?” Anyelir pada akhirnya tertahan di rumah besar orang tua Kala. Mereka mengajak Anyelir sekalian makan malam. Tentu saja Anyelir tidak bisa menghindarinya. Setelah itu, Arga dan Anyelir berbicara berdua dan menjauh dari para orang-orang di sana termasuk Ramon. “Iya. Kami sepupuan dari pihak ibu. Kami seumuran.” Jawaban itu membuat Anyelir mengangguk paham. “Kamu sendiri, udah kenal lama sama Ramon?” tanyanya balik. “Kok dia udah dekat aja sama Ancala.” “Belum terlalu sih sebenarnya. Baru beberapa bulan ini.” Jika dibandingkan dengan Ramon, Arga jauh lebih menyenangkan. Arga adalah sosok yang humble dan bahkan tidak memberikan tatapan tajam kepada Anyelir seperti yang dilakukan oleh Ramon selama ini. Tentang ‘jodoh-jodohan’ yang diungkapkan oleh ibu Arga itu harus disingkirkan lebih dulu oleh Anyelir dan dianggap bukan sesuatu yang perlu dipikirkan. Obrolan yang terlihat intens itu faktanya tak luput dari tatapan tajam Ramon. Lelaki it