"Aku nggak suka sama dia," kata Ramon. Pas dideketi orang lain, tantrum.
“Aku nggak perlu jawab pertanyaanmu.” Ramon tampak sewot ketika menjawab pertanyaan Anyelir. “Aku sudah bilang semuanya dan terserah kamu mau mendengarkanku atau tidak. Bukannya, kamu bilang sama aku kalau kamu jatuh cinta sama aku? Apa cinta bisa semudah itu hilang dari hati kamu?” Ramon mungkin tidak menyadari ketika kalimat yang dikeluarkan itu menunjukkan jika dirinya cemburu kepada siapa pun lelaki yang dekat dengan Anyelir. “Kalau sekarang Mas tanya apakah aku masih mencintai Mas, ya aku masih mencintai Mas. Tapi apa gunanya aku mempertahankan perasaanku kepada Mas kalau aku hanya bertepuk sebelah tangan?” Anyelir mengedikkan bahunya tak acuh lalu menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa. “Berjuang sendirian itu nggak enak, Mas. Aku ini orangnya santai aja. Nggak akan mengejar sesuatu yang nggak mau dikejar. Lagian, Mas kemarin udah bilang dengan jelas ke aku kalau Mas nggak akan membalas perasaanku. Jadi ya, aku cukup tahu diri.” Mau tak mau, ucapan Anyelir itu menyentil Ramon
“Kenapa harus menjadi urusan Mas tentang kedekatanku dengan Arga? Bahkan di saat seperti ini, Mas menekanku?” Anyelir merasa kalau Ramon sudah keterlaluan. Dia bahkan belum memiliki hubungan apa pun dengan Arga atau mungkin juga hubungan mereka hanya akan sebatas teman. Tapi tingkah Ramon ini sungguh tidak masuk akal. Lelaki itu takut jika Arga disakiti oleh Anyelir karena perempuan itu tidak mencintainya. “Terserah kamu mau bilang apa. Take it or leave it. Aku juga nggak akan memaksamu untuk menerimanya. Karena itu artinya, aku nggak akan memberikan informasi tambahan meskipun aku mendapatkannya.” Ramon berdiri dari sofa dan melewati Anyelir begitu saja. Melangkah menuju pintu, tapi setelahnya suara Anyelir terdengar. Anyelir ternyata merasa membutuhkan jawaban atas rasa penasaran yang sudah dipendam. Dia kehilangan keluarganya dengan kecelakaan tersebut. Maka baiklah, dia harus menuruti permintaan Ramon. “Aku akan melakukannya.” Begitu kata Anyelir. “Tolong ungkap semuanya tentan
Tiga orang itu berdiri saling berhadapan. Anyelir, Ramon, dan juga Eliya. Ramon yang mengatakan jika dia ingin berbicara dengan Anyelir, nyatanya sama sekali tak kunjung bersuara. Dia hanya terus menatap perempuan itu sejak tadi bahkan Anyelir harus menelan pil pahit karena teman-temannya sudah meninggalkannya. “Apa yang sebenarnya ingin Mas bicarakan sama aku? Apa ada kelanjutan kasus dari kecelakaan kakakku?” Karena tak kunjung bersuara, Anyelir akhirnya berbicara lebih dulu. Menuntut kepastian kepada Ramon hal penting apa yang ingin lelaki itu tunjukkan kepadanya. “Eliya, kamu nggak pulang?” Alih-alih menjawab pertanyaan Anyelir, Ramon justru menoleh dan menatap Eliya yang sejak tadi hanya berdiri dan menatap Anyelir. “Sudah malam. Dan, aku juga masih ada pekerjaan yang harus dilakukan.” Sosok cantik itu tersenyum kecil sebelum dia mengangguk. “Ya, tentu saja aku akan pulang. Dan, aku akan mengatakan kabar baik tentang kita kepada mamaku. Aku akan berkunjung ke rumah untuk berte
“Kami sudah berhasil meringkus pelakunya.” Kalimat itu membuat konsentrasi Anyelir buyar seketika. Semua angka-angka yang tadinya menjadi pusat perhatiannya itu kini digantikan dengan hal lain. Ramon baru saja mengirimkannya chat informasi tersebut, tapi Anyelir tidak bisa segera pergi untuk bertemu si pelaku. Ini bahkan belum waktunya makan siang. Satu hari ini tampaknya akan benar-benar terasa menjadi waktu yang sangat lama. Anyelir terus saling bertukar chat dengan Ramon seharian itu. Dan ketika sore itu dia pulang dari kantor dan Ramon menunggunya di kantor polisi, Anyelir sama sekali tidak menunda untuk datang. “Apa benar dia orangnya?” Anyelir memastikan sekali lagi kepada Ramon ketika mereka sudah bertemu di depan kantor polisi. “Kita masuk dulu dan kita akan tahu siapa pelakunya.” Ramon mengangguk dan Anyelir tidak membantah. Berjalan masuk ke dalam kantor polisi terasa membuat kaki Anyelir begitu berat. Setelah berbulan-bulan kematian sang kakak, ternyata ada titik terang
“Kenapa lo mutusin buat buat balik ke Jakarta. Bukannya lo udah kebagian perusahaan yang di Surabaya?” Tidak bisa dipungkiri, kedatangan Arga ke Jakarta dan menetap di ibu kota, membuat ketenangan Ramon terusik. Lelaki itu jelas lebih ramah dan bersahabat dengan Anyelir dan hal itu mau tak mau membuat hatinya resah luar biasa. Seharusnya kalau memang dia tidak tertarik dengan Anyelir, maka dia tak perlu seperti orang kebakaran jenggot yang seolah takut kalau-kalau Anyelir akan diambil orang lain. “Pertama, Mama yang mau gue balik dan kumpul lagi sama keluarga. Kedua, di sana udah ada orang-orang yang dapat dipercaya memegang kendali perusahaan. Dan ketiga, gue sepertinya emang mau sih balik ke sini.” Lancar sekali Arga menjelaskan. “Gue yang dulu jarang pulang bahkan pakai tahun kalau balik ke Jakarta, akhir-akhir ini Mama sering banget suruh gue pulang. Capek.” Ramon tidak senang dengan segala penjelasan yang sebenarnya sangat masuk akal itu. Sejak Arga jadi pemimpin perusahaan, d
“Mas, sebenarnya ini acara apa?” Setelah duduk, Anyelir segera mengeluarkan rasa penasarannya kepada Arga dengan pertanyaan. Sejujurnya, Anyelir tidak nyaman ketika dia harus duduk tepat di depan Ramon dan mendapatkan hujanan tatapan tajam dari lelaki itu. Sebisa mungkin dia mencoba untuk tidak terpengaruh dan bersikap biasa saja. “Hanya kumpul sama-sama. Karena aku kebetulan udah balik ke Jakarta.” Arga dengan penuh pengertian memindahkan satu piring steak yang sudah dipotong di hadapan Anyelir, lalu mengambil piring milik Anyelir untuk dirinya sendiri. “Teman kuliah?” tanya Anyelir lagi. “Bukan. Mereka teman-teman sekolah dulu yang kebetulan dekat satu sama lain sampai sekarang. Kami dulu kuliahnya di kampus berbeda.” Arga memberikan tatapan penuh puja kepada Anyelir dan semua itu disaksikan oleh Ramon. Lelaki itu mungkin saja tengah menahan diri agar tidak menarik Anyelir dan mengingatkan tentang janji yang perempuan itu katakan kepadanya. Tapi dia harus mencari waktu yang tep
“Mas, sepertinya kita nggak boleh berhubungan lebih dari hubungan profesional kerja. Aku nggak mau karena aku, Mas dan Ramon menjadi bertengkar.” Anyelir sudah selesai mengeluarkan tangisnya ketika mobil Arga sampai di kediamannya. Selama perjalan pulang, dia memikirkan bagaimana caranya agar Arga tidak bertindak lebih jauh. Dia tahu Arga sekarang memperlihatkan keinginannya untuk dekat dengan Anyelir, tapi meskipun begitu, Anyelir tidak bisa begitu saja membuat dirinya terbuai. “Ramon adalah laki-laki keras kepala.” Arga menatap Anyelir yang masih duduk di kursi sampingnya. “Kamu harus tahu kalau dia jatuh cinta sama kamu.” Anyelir pada awalnya tidak memercayainya. Dia bahkan tertawa kaku saat menanggapi ucapan Arga. Mencintai Anyelir, Ramon tidak akan pernah mencintainya. “Kamu nggak percaya?” Arga kembali bersuara. “Dia hanya menutupi perasaannya. Nggak tahu kenapa dia harus berpura-pura nggak suka sama kamu, tapi dia memang begitu. Dia selalu berpikir kalau perempuan itu ribet
“Ada hal yang perlu kamu ketahui dan pahami, Eliya.” Ramon menjawab setelah kalimat panjang yang Eliya katakan kepadanya. “Kamu salah orang. Kita sudah pernah membahas saat kita pertama kali bertemu ‘kan?” “Tapi Mas bersedia untuk datang berkumpul dengan teman-teman Mas dengan membawaku.” Eliya bersikeras. “Aku pikir itu adalah salah satu hal yang nggak Mas sadari sudah membuka hati untukku.” “Kalau kamu lupa, itu karena Mama.” Ramon menarik napasnya panjang. “Aku nggak bisa membuang waktuku untuk hubungan yang aku tahu nggak akan berhasil. Jadi aku pikir jangan berusaha apa pun.” Ramon beranjak ingin meninggalkan Eliya. Tapi Eliya menahan tangannya. “Aku tahu kalau kamu menyukai orang lain. Tapi dia nggak sebaik yang kamu pikirkan sehingga kamu merasa dia nggak pantas buat kamu.” Eliya kembali meneruskan. “Sekarang ada aku di sini. Aku berdiri di depan kamu. Latar belakang keluargaku jelas sangat bagus. Kita dari kalangan yang setara. Jadi, apa yang membuat kamu menolakku, Mas?”