“Kenapa lo mutusin buat buat balik ke Jakarta. Bukannya lo udah kebagian perusahaan yang di Surabaya?” Tidak bisa dipungkiri, kedatangan Arga ke Jakarta dan menetap di ibu kota, membuat ketenangan Ramon terusik. Lelaki itu jelas lebih ramah dan bersahabat dengan Anyelir dan hal itu mau tak mau membuat hatinya resah luar biasa. Seharusnya kalau memang dia tidak tertarik dengan Anyelir, maka dia tak perlu seperti orang kebakaran jenggot yang seolah takut kalau-kalau Anyelir akan diambil orang lain. “Pertama, Mama yang mau gue balik dan kumpul lagi sama keluarga. Kedua, di sana udah ada orang-orang yang dapat dipercaya memegang kendali perusahaan. Dan ketiga, gue sepertinya emang mau sih balik ke sini.” Lancar sekali Arga menjelaskan. “Gue yang dulu jarang pulang bahkan pakai tahun kalau balik ke Jakarta, akhir-akhir ini Mama sering banget suruh gue pulang. Capek.” Ramon tidak senang dengan segala penjelasan yang sebenarnya sangat masuk akal itu. Sejak Arga jadi pemimpin perusahaan, d
“Mas, sebenarnya ini acara apa?” Setelah duduk, Anyelir segera mengeluarkan rasa penasarannya kepada Arga dengan pertanyaan. Sejujurnya, Anyelir tidak nyaman ketika dia harus duduk tepat di depan Ramon dan mendapatkan hujanan tatapan tajam dari lelaki itu. Sebisa mungkin dia mencoba untuk tidak terpengaruh dan bersikap biasa saja. “Hanya kumpul sama-sama. Karena aku kebetulan udah balik ke Jakarta.” Arga dengan penuh pengertian memindahkan satu piring steak yang sudah dipotong di hadapan Anyelir, lalu mengambil piring milik Anyelir untuk dirinya sendiri. “Teman kuliah?” tanya Anyelir lagi. “Bukan. Mereka teman-teman sekolah dulu yang kebetulan dekat satu sama lain sampai sekarang. Kami dulu kuliahnya di kampus berbeda.” Arga memberikan tatapan penuh puja kepada Anyelir dan semua itu disaksikan oleh Ramon. Lelaki itu mungkin saja tengah menahan diri agar tidak menarik Anyelir dan mengingatkan tentang janji yang perempuan itu katakan kepadanya. Tapi dia harus mencari waktu yang tep
“Mas, sepertinya kita nggak boleh berhubungan lebih dari hubungan profesional kerja. Aku nggak mau karena aku, Mas dan Ramon menjadi bertengkar.” Anyelir sudah selesai mengeluarkan tangisnya ketika mobil Arga sampai di kediamannya. Selama perjalan pulang, dia memikirkan bagaimana caranya agar Arga tidak bertindak lebih jauh. Dia tahu Arga sekarang memperlihatkan keinginannya untuk dekat dengan Anyelir, tapi meskipun begitu, Anyelir tidak bisa begitu saja membuat dirinya terbuai. “Ramon adalah laki-laki keras kepala.” Arga menatap Anyelir yang masih duduk di kursi sampingnya. “Kamu harus tahu kalau dia jatuh cinta sama kamu.” Anyelir pada awalnya tidak memercayainya. Dia bahkan tertawa kaku saat menanggapi ucapan Arga. Mencintai Anyelir, Ramon tidak akan pernah mencintainya. “Kamu nggak percaya?” Arga kembali bersuara. “Dia hanya menutupi perasaannya. Nggak tahu kenapa dia harus berpura-pura nggak suka sama kamu, tapi dia memang begitu. Dia selalu berpikir kalau perempuan itu ribet
“Ada hal yang perlu kamu ketahui dan pahami, Eliya.” Ramon menjawab setelah kalimat panjang yang Eliya katakan kepadanya. “Kamu salah orang. Kita sudah pernah membahas saat kita pertama kali bertemu ‘kan?” “Tapi Mas bersedia untuk datang berkumpul dengan teman-teman Mas dengan membawaku.” Eliya bersikeras. “Aku pikir itu adalah salah satu hal yang nggak Mas sadari sudah membuka hati untukku.” “Kalau kamu lupa, itu karena Mama.” Ramon menarik napasnya panjang. “Aku nggak bisa membuang waktuku untuk hubungan yang aku tahu nggak akan berhasil. Jadi aku pikir jangan berusaha apa pun.” Ramon beranjak ingin meninggalkan Eliya. Tapi Eliya menahan tangannya. “Aku tahu kalau kamu menyukai orang lain. Tapi dia nggak sebaik yang kamu pikirkan sehingga kamu merasa dia nggak pantas buat kamu.” Eliya kembali meneruskan. “Sekarang ada aku di sini. Aku berdiri di depan kamu. Latar belakang keluargaku jelas sangat bagus. Kita dari kalangan yang setara. Jadi, apa yang membuat kamu menolakku, Mas?”
Anyelir dengan kasar mendorong tubuh Ramon untuk melepaskan tangan lelaki itu yang membelit tubuhnya. Segera, dia berlari untuk menjauhkan diri dari Ramon dan keluarganya. Meskipun dia terus mencoba untuk melupakan kata-kata Ramon, tapi kata-kata itu terus berputar di dalam kepalanya. Lelaki itu benar-benar mempermainkannya. Setelah satu bulan tidak bertemu, lalu karena sikap Ancala yang berbeda kepadanya, lantas dia dengan mudahnya mengatakan dia akan menikahi Anyelir. Tidak masuk akal. Tentu saja pertemuan siang itu tidak akan berlalu begitu saja. Karena alih-alih Ramon muncul di depannya, maka Eliya yang melakukannya. Perempuan itu mendatangi Anyelir di kantornya di jam makan siang. “Hai, Anyelir. Aku mau ngajak kamu makan siang. Juga, ada hal yang perlu aku bicarakan sama kamu.” Begitu katanya. Bahkan perempuan itu memberikan senyum ramahnya. Anyelir mengangguk, dan mereka pergi ke restoran tak jauh dari sana untuk berbicara. Mereka duduk berhadapan dan Eliya yang memiliki ke
“Sudah gue duga kalau lo akan ke sini.” Arga masuk setelah itu dan mendekat pada Ramon. Membuat Anyelir harus mendesah panjang dan sedikit terkejut. Namun seperti biasa, Ramon terlihat biasa saja meskipun Arga tiba-tiba muncul dan mendengar pembicaraannya. Dia bahkan tidak repot-repot mengalihkan tatapannya pada Arga dan tetap menatap Anyelir yang menolak permintaannya. “Anyelir, kamu bisa kembali ke ruangan dan bekerja.” Arga segera menengahi membuat Anyelir lega. Perempuan itu mengangguk dan permisi pergi setelahnya. Dia melanjutkan langkahnya dan kemudian masuk ke dalam ruangannya. Tinggallah Ramon dan Arga yang masih berdiri di lorong sepi dan sama-sama terdiam. Tadinya, Ramon datang ke kantor tersebut untuk bertemu dengan Arga dan Kala untuk mengurus pekerjaan. Namun Ramon ingin sekalian bertemu dengan Anyelir. Sayangnya, perempuan sudah mulai sulit untuk didekati. “Kita ke ruangan Abang sekarang.” Arga memecah keheningan lalu berbalik lebih dulu. Menekan tombol lift untuk na
“Aku akan menjadi wanita tolol kalau nerima Mas.” Anyelir semakin berani menjawab. “Mas tahu nggak berapa banyak dosa Mas ke aku? Mulai dari menolak perasaanku, membedakan kasta, dan begitu banyak kata-kata tajam yang kamu lontarkan ke aku. Sekarang karena didesak menikah dengan perempuan lain malah larinya ke aku.” Anyelir sedikit berisik. “Mas nggak punya malu ya. Itu namanya menjilat ludah yang sudah dibuang.” Anyelir kali ini berapi-api. Dia merasa kesal dengan Ramon, sayangnya dia benar-benar tidak bisa membenci lelaki itu. “Maaf. Namanya juga manusia. Punya khilaf juga ‘kan.” Enteng sekali ketika Ramon mengatakan itu. “Apa pun yang kamu bilang, nggak akan mengubah pendirianku. Aku akan tetap menikahi kamu.” “Aku menolak. Kenapa juga Mas harus maksa?” “Karena aku mau. Jadi aku harus dapatkan.” Ramon kini berdiri, kemudian melangkah mendekati Anyelir. “Ingat. Sabtu nanti aku akan jemput kamu ke sini. Jangan sampai telat. Dan juga, jauhi Arga. Kalau dia mendekati kamu, kamu har
“Kok lo udah ada di sini, Ram?” Arga bertanya ketika dia sudah berdiri di depan Ramon dan Anyelir. Menatap dua orang itu bergantian. “Mas mau jemput aku sekarang? Sepagi ini?” Anyelir yang menjawab. “Iya. Sebenarnya mau ajak ke wahana permainan sekalian renang. Bagaimana?” “Nggak bisa!” Ramon menjawab dengan tegas. “Gue pagi ini yang akan mengajak mereka pergi.” “Kalau gitu sekalian aja deh, Ram. Makin ramai makin seru. Lo pasti juga udah lama nggak datang ke wahana permainan ‘kan? Ini saatnya.” “Lo kira gue bocah!” “Nggak harus bocah untuk datang ke tempat seperti itu. Tapi gue sih nggak maksa. Tapi gue hari ini mau ajak Ancala dan Anyelir jalan-jalan. Lo ikut ayo, kalau enggak ya udah. Bobok sana di rumah.” Arga tersenyum kecil seolah mencemooh Ramon yang mudah sekali terpancing emosinya. “Aku masuk dan bersiap-siap. Ajak Sus Ayu nggak papa ‘kan?” “Ajak Bibi juga nggak masalah.” Anyelir terkekeh kecil sebelum benar-benar pergi dari hadapan dua lelaki tersebut. Kedatangan Ar