“Kok lo udah ada di sini, Ram?” Arga bertanya ketika dia sudah berdiri di depan Ramon dan Anyelir. Menatap dua orang itu bergantian. “Mas mau jemput aku sekarang? Sepagi ini?” Anyelir yang menjawab. “Iya. Sebenarnya mau ajak ke wahana permainan sekalian renang. Bagaimana?” “Nggak bisa!” Ramon menjawab dengan tegas. “Gue pagi ini yang akan mengajak mereka pergi.” “Kalau gitu sekalian aja deh, Ram. Makin ramai makin seru. Lo pasti juga udah lama nggak datang ke wahana permainan ‘kan? Ini saatnya.” “Lo kira gue bocah!” “Nggak harus bocah untuk datang ke tempat seperti itu. Tapi gue sih nggak maksa. Tapi gue hari ini mau ajak Ancala dan Anyelir jalan-jalan. Lo ikut ayo, kalau enggak ya udah. Bobok sana di rumah.” Arga tersenyum kecil seolah mencemooh Ramon yang mudah sekali terpancing emosinya. “Aku masuk dan bersiap-siap. Ajak Sus Ayu nggak papa ‘kan?” “Ajak Bibi juga nggak masalah.” Anyelir terkekeh kecil sebelum benar-benar pergi dari hadapan dua lelaki tersebut. Kedatangan Ar
Lemah! Itu adalah gambaran hati Anyelir yang sesungguhnya. Faktanya, dia bahkan tetap pergi ke rumah orang tua Ramon meskipun tampak tidak ikhlas. Isi otaknya mengatakan penolakan, tapi hatinya mendorong untuk melakukan. Maka hatinya lah pemenangnya. Sepanjang perjalan, Anyelir lebih memilih diam, atau menanggapi ucapan Ramon seadanya. Tapi tentu saja hal itu tak membuat Ramon marah. Satu-satunya yang membuat Ramon marah adalah ketika siang tadi Arga dan Anyelir terus saja menempel seolah mereka adalah pasangan. Dia memang ingin menghajar sepupunya itu, tapi dia paham betul kalau dia tak bisa melakukannya. Itu hanya akan membuat Anyelir marah kepadanya dan semua rencananya akan berantakan seketika. “Kita keluar.” Tanpa terasa, perjalanan berangkat ke rumah orang tuanya sudah berakhir. Mereka sudah sampai di depan rumah dua lantai yang sudah dituju. Anyelir menarik napasnya panjang seolah dengan melakukan itu dia bisa mengeluarkan segala ketidak tenangan yang mengganjal di dalam ha
“Untuk menghindari yang tidak-tidak, sebaiknya kamu resign dari kantor dan fokuslah pada aku dan Ancala.” Baru saja mereka melangsungkan pernikahan selama seminggu yang lalu, titah Ramon sudah keluar. Mereka sebelumnya tidak pernah membahas tentang masalah ini tapi tiba-tiba saja pagi ini, Ramon menyuarakan isi pikirannya. Tentu saja, hal itu membuat Anyelir segera bereaksi. “Aku akan tetap bekerja,” kata Anyelir dengan tegas. “Aku akan resign nanti. Kapan-kapan.” “Aku akan membayarmu sebesar gaji yang diberikan kantormu sebagai ganti rugi. Itu bukan termasuk uang belanja bulanan.” “Tetap nggak mau. Ini bukan masalah uang.” Anyelir bersikeras.“Kamu bisa berbisnis seperti yang dilakukan oleh Binar kalau kamu membutuhkan kesibukan. Kamu bisa belajar darinya.” Untung saja Ancala sudah berangkat ke sekolah sehingga perdebatan ini tidak didengar oleh putra mereka. Sejak satu minggu ini, Ancala berubah nempel lagi pada Ramon dan lelaki itu sama sekali tidak menolak. Ramon dan Ancala s
“Mas, aku hari ini lembur. Karena akhir bulan, jadi ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.” Laporan itu diberikan oleh Anyelir ketika Ramon akan bersiap pulang. Dan yang membuat Ramon mendengus kasar adalah ketika dia belum sempat menjawab ucapan istrinya itu tapi panggilan itu sudah terputus. Anyelir hanya mengatakan apa yang perlu dikatakan, tak peduli dengan jawaban yang akan Ramon berikan. “Aku bahkan pulang lebih awal agar nggak telat jemput dia pulang, tapi dia dengan seenaknya bilang dia lembur dengan tiba-tiba begini?” Ramon berpikir karena mereka adalah pengantin baru dan mungkin saja masih membutuhkan membangung chemistry di antara mereka, karena itulah Ramon mencoba untuk tidak menenggelamkan dirinya pada pekerjaan. Tapi ternyata Anyelir yang justru tidak mengurangi pekerjaannya sama sekali. Rasa kesal itu tiba-tiba saja memuncak di dalam dada Ramon. Berinisiatif untuk menghubungi Anyelir, dia harus bertanya jam berapa istrinya itu pulang. Dan dia membutuhkan lima
Menikah ternyata tidak seburuk yang pernah Ramon bayangkan selama ini. Dia dulu membayangkan hidup dengan seorang perempuan di bawah satu atap yang sama seumur hidup adalah sesuatu pilihan yang tidak tepat. Tapi setelah dia merasakan bagaimana memiliki seorang istri, rasa-rasanya pemikiran itu salah. Kini dia memiliki seseorang yang bersedia mengurus dirinya. Setiap pagi, Anyelir dengan suka rela memilihkan pakaian kantor untuknya. Meskipun ada pembantu, perempuan itu juga memastikan jika makanan yang diberikan kepada keluarganya adalah makanan yang cukup asupan gizi. Memang hanya dua hal itu yang dilakukan oleh Anyelir, tapi bagi Ramon itu lebih dari cukup. “Mulai hari ini, aku bawa mobil sendiri.” Anyelir memutus lamunan Ramon yang tengah memikirkan banyak hal di kepalanya. Anyelir yang baru saja menyiapkan pakaian kerja Ramon itu duduk di pinggiran kasur sambil menatap Ramon yang tidak menjawab ucapannya. “Jaga-jaga kalau misalnya aku lembur dan Mas ketiduran seperti kemarin.” A
Syarat yang diminta oleh Anyelir tentulah besar menurut Ramon. Seperti yang sudah-sudah, Anyelir bukanlah perempuan yang akan menyerah begitu saja atas keputusan yang sudah diambil. Maka untuk sementara, Ramon tidak akan lagi mendesak istrinya itu untuk resign dari kantor. Biarlah Anyelir mendapatkan apa yang dia inginkan dengan tetap bekerja. “Kamu pakai kontrasepsi, Anyelir?” Ramon menemukan nota pembayaran rumah sakit dengan sebuah keterangan ‘KB’ di sana. Baru saja Ramon merebahkan tubuhnya di atas kasur dan tak sengaja menemukan nota tersebut keluar dari tas milik Anyelir yang tergeletak di atas ranjang. Anyelir tadi buru-buru mandi setelah sampai rumah karena merasa tubuhnya lelah luar biasa. Terlebih lagi ada sedikit perdebatan yang terjadi saat perjalanan pulang, Anyelir menjadi tak sabar ingin segera mengguyur kepalanya dengan air dingin agar pikirannya kembali waras menghadapi sang suami. Anyelir menoleh menatap Ramon. Kemudian dia mengangguk pasti. “Iya,” jawabnya singka
Mobil mewah berwarna hitam yang dikendarai oleh Ramon itu membelah kota Jakarta dengan kecepatan yang luar biasa. Rahang lelaki itu mengetat erat dan pegangannya pada setir mobil pun menguat. Inilah yang dia khawatirkan, kabar buruk yang membuat emosinya meletup kuat. Dia bahkan tidak memedulikan kekhawatiran dirinya sendiri karena ada yang lebih penting dari itu semua. Dia tadinya berada di persidangan ketika panggilan dari Anyelir muncul dan kabar buruk diterimanya. Tanpa menunggu apa pun lagi, dia segera meninggalkan persidangan dan menyerahkan semua urusan pada timnya. Satu hal yang membuatnya marah adalah ketika diam-diam Anyelir memberikan izin Sus Ayu pergi membawa Ancala pergi padahal dia sudah melarangnya. “Mas.” Anyelir yang tengah mondar-mandir di depan rumah teman Ancala itu segera mendekat pada Ramon yang baru saja keluar dari mobil. “Ancala ….” Anyelir tidak bisa melanjutkan ucapannya ketika tatapan Ramon terlempar dingin ke arahnya. Jangankan membuat Anyelir tenang
“Aku sudah mengurus Ancala sejak dia bayi. Mas menganggapku belum siap menjadi ibu? Mas jangan mengatakan sesuatu yang bodoh.” Ramon baru mengenal Ancala beberapa bulan terakhir ini. Sedangkan Anyelir sudah hidup dengan Ancala sejak bocah itu keluar dari rahim ibunya dan dia juga mengurusnya. Kalau Ramon sedih, Anyelir lebih sedih. Kalau Ramon kecewa, dia jauh lebih kecewa. Tapi tuduhan itu membuat Anyelir sakit luar biasa. “Mas bertindak seolah-olah hanya Mas yang peduli dengan Ancala. Hanya Mas orang tuanya. Aku juga ibunya, Mas. Dibandingkan Mas, aku jauh lebih peduli dengannya.” Anyelir tak tahan ketika dia meninggikan suaranya. Wajahnya memerah karena amarah. Matanya tak kalah merah karena sejak tadi tak hentinya mengeluarkan air mata. “Aku sejak kecil selalu mengajarinya untuk bisa bersosialisasi dengan orang lain. Aku nggak mau Ancala menjadi anak yang penakut. Itulah kenapa aku mengizinkannya pergi untuk datang dalam undangan itu.” Jika Anyelir tahu kejadiannya akan sepert
“Istriku.” Ancala baru saja sampai rumah ketika melihat penampilan Gemi yang sudah cantik. Meskipun hanya mengenakan daster rumahan kebanggaannya, kecantikan perempuan itu selalu terpancar. Dan inilah yang selalu disukai oleh Ancala, Gemi akan selalu menunggu kepulangannya di teras rumah sambil membaca buku. Tidak di rumah Kala, atau bahkan di rumah mereka sendiri, Gemi memiliki perpustakaan sendiri dengan koleksi buku-bukunya. Gemi tersenyum melihat Ancala yang berjalan ke arahnya. Perempuan itu beranjak untuk menerima tas kerja lelaki itu. “Suamiku capek banget kayaknya.” Ancala memeluk Gemi sambil mencium pipi perempuan itu. Bagi Ancala, energinya akan kembali ketika sudah bertemu dengan sang istri setelah seharian bekerja. Rasa lelah itu seolah menguap begitu saja. Pelukan mereka terurai. Masih dengan memeluk pinggang sang istri, Ancala sedikit menjauhkan tubuhnya untuk menatap wajah Gemi yang halus. “Makan apa malam ini?” tanyanya, “lama nggak ke angkringan. Kangen nasi
“Kalian udah datang?” Ancala mendekati istri dan kedua adiknya dengan senyum kecil. Meskipun pagi tadi dia sempat kesal, tetapi setelah Gemi sekarang datang ke kantor, perasaannya menjadi sedikit membaik. Tatapannya mengarah pada ‘tiga tamunya’ yang tidak membawa apa pun. “Jadi belanjanya?” tanyanya. Perempuan yang dimaksud oleh Laksa tadi tidak mengikuti Ancala dan kembali lebih dulu. Gemi tidak bertanya siapa perempuan tersebut karena dia tahu kalau itu adalah sekretaris Ancala. Laksa pun sebenarnya juga tahu, tetapi dia hanya pura-pura untuk mengerjai Gemi. “Bang, aku laper banget, lho.” Laksa mengadu. “Aku laper, Bang.” Ulangnya lagi. “Kalian nggak makan dulu tadi?” Ancala mengernyit aneh menatap satu per satu saudaranya. “Istri Abang ngambek karena diajak desak-desakan. Jadi, nggak memedulikan aku yang kelaparan. Tapi, aku nggak mau makan di kantin ini. Abang tolong pesankan aku makanan yang enak, ya.” Laksa memang benar-benar membuat kakak-kakaknya kesal kalau sudah me
“Gem, bangun!” Ancala menepuk paha sang istri pelan ketika sudah sampai di rumah. Mereka baru saja sampai rumah ketika Gemi tidak sadarkan diri, tidur. Sepanjang jalan, Ancala memegangi tangan Gemi takut-takut kalau istrinya itu terjatuh. Bukannya apa-apa, Gemi tidur sepanjang jalan sedangkan mereka menggunakan motor. Kebanyakan makan kepala ayam membuat Gemi lemas sepertinya. “Bang, aku nggak sanggup jalan. Gendong.” Dengan suara lemas, perempuan itu masih memeluk pinggang Ancala dengan erat takut jatuh. Matanya masih tertutup erat enggan untuk terjaga. Napas panjang Ancala terbuang kasar. Menikahi Gemi adalah impiannya, tetapi kalau sifat manja perempuan keluar, maka habislah dia. “Iya, tapi tunggu dulu deh. Aku turun dulu.” Ancala melepaskan tangan Gemi dari pinggangnya sebelum dia turun dengan pelan dari motor. Baru setelahnya menarik tangan Gemi agar istrinya itu naik ke gendongannya. Diam-diam Ancala tersenyum kecil. Terkadang istrinya itu memang menyebalkan, tetapi juga me
Perdebatan yang terjadi malam itu dianggap bukan apa-apa. Pernikahan antara Gemi dan Ancala bahkan akan segera dilakukan dalam waktu dua hari lagi. Pernikahan mewah itu akan dilakukan di outdoor di pinggir pantai. Tidak banyak yang diundang karena Gemi dan Ancala benar-benar memilih orang-orang terdekat mereka saja yang datang. Kabar pernikahan yang sudah merebak itu membuat banyak orang terkejut. Tidak pernah menyangka kalau Gemi dan Ancala akan menikah. Semua orang tahu jika Abimanyu dan Sambara group adalah saudara. Tentu saja hal itu menjadi perbincangan banyak orang. “Gimana rasanya mau menikah?” Denta datang ke rumah Ancala untuk sekedar menemani sahabatnya itu mengobrol. “Dan menikah dengan perempuan yang lo cintai?” “Setelah semua yang terjadi, tentu saja gue bahagia, Den.” Ancala memainkan kakinya yang ada di kolam renang, menimbulkan bunyi kecipak air. “Gue kira akan sulit mendapatkan restu dari para tetua.” Denial mengatakan itu merujuk pada nenek dan kakek Ancala, lela
“Kamu sudah benar-benar yakin akan menikah dengan Gemi, Bang?” Ramon meyakinkan sekali lagi kepada sang putra atas keputusan untuk meminang sang pencuri hati. Para tetua, nenek kakeknya sudah memberikan izin untuk mempersatukan dua keluarga yang seharusnya tetap menjadi keluarga yang sesungguhnya. Namun, mereka memilih untuk memberikan restu dan menyingkirkan segala ego yang ada. Dua anak manusia itu sudah tidak bisa dipisahkan, untuk apa lagi mereka menahannya dan akan berakhir buruk. “Aku udah yakin, Yah. Aku sudah berbicara dengan Gemi dan dia menerima lamaranku.” Senyum lebar tersemat di bibir Ancala dan wajah sumringah itu tidak bisa berbohong jika dia sangat bahagia. “Kalau begitu, Ayah dan Bunda akan berbicara kepada Papa Kala kalau kami akan segera melamar Gemi. Pikirkan juga kamu ingin menikah di mana? Outdoor atau indoor, masalah biaya jangan khawatir, semua biaya Ayah yang urus.” Rasa sayang Ramon yang diberikan kepada Ancala tidak surut sedikitpun sejak dulu. Lelaki it
Setelah obrolan semalam, Gemi bangun tidur dengan perasaan yang terasa ringan. Hubungannya dengan sang ayah sudah membaik dan dia sudah memaafkan apa pun yang pernah sang ayah lakukan. Semua yang dilakukan oleh sang ayah semata untuk melindungi keluarganya. Suasana hati Gemi pun terlihat sangat baik seharian ini. Meskipun Ancala sejak tadi tak kunjung menghubunginya seperti yang sudah dijanjikan semalam, dia masih baik-baik saja. Seperti yang sudah Ancala bilang semalam, lelaki itu akan membicarakan masalah kerjaan dengan sang ayah. “Jadi, kamu mau balik kerja lagi?” Gemi yang baru saja duduk di sofa di samping sang bunda, segera mendapatkan pertanyaan tersebut. “Aku akan pikirkan lagi, Ma.” Sudah kebiasaan berada di rumah selama beberapa bulan, menjadikan Gemi enggan untuk kembali beraktivitas. “Tapi, Ma, Papa ngeluarin aku dari kantor dengan alasan apa, ya?” Benar, Binar pun tampaknya belum tahu tentang masalah tersebut karena dia tak pernah bertanya dengan Kala. “Mama juga
Binar dan Kala mendengar dengan jelas ucapan putri mereka meskipun kata-kata yang diucapkan terbata-bata. Mereka mendengarkan di balik dinding hanya untuk mengetahui reaksi Gemi ketika bertemu dengan Ancala. Nyatanya, Gemi mengatakan sesuatu yang membuat orang tuanya menahan kesedihannya. “Jangan bicara yang tidak-tidak. Sekarang fokuslah pada kesembuhanmu dulu. Papa bilang, kamu masih perlu bertemu dengan psikiater. Kapan jadwalnya? Aku temani ya?” “Aku nggak butuh psikiater lagi, Bang. Obatku udah ada di sini.” Kala mendesah pasrah mendengar jawaban Ancala atas ucapan sang putri. Sudah pasti perasaan Kala sekarang dipenuhi oleh rasa penyesalan yang amat besar. Di ruang tamu, Gemi dan Ancala melepaskan pelukan mereka. Ancala mengusap air mata Gemi yang mengalir menganak sungai di wajahnya. “Aku nggak akan ke mana-mana lagi, Gemi. Aku udah pulang sekarang. Jadi, kamu nggak perlu takut aku pergi lagi.” “Memangnya, Abang dari mana kemarin?” Ancala menyodorkan minuman yang disiapka
Kala pasti tidak pernah menyangka jika Ramon akan menurunkan egonya untuk meminta putranya pulang. Dia tahu betul bagaimana Ramon menolak permintaannya saat itu. Namun, sekarang tiba-tiba Ancala sudah ada di rumahnya dan menanyakan kabar Gemi. Hal itu tentu saja membuat Kala sedikit bingung. Apa pun itu, Kala tentulah merasa senang dengan kedatangan Ancala ke rumahnya. “Keadaan Gemi sudah lebih baik. Dia sekarang sedang istirahat.” Tepat setelah itu, Binar datang dan segera duduk di samping Ancala. Perempuan paruh baya itu mengelus punggung Ancala tanpa berbicara. Kelegaan terpancar dari matanya. “Kamu dari mana saja, Bang?” tanyanya setelah itu, “Mama cariin kamu.” “Aku jalan-jalan, Ma,” jawab Ancala dengan lembut, “Mama baik-baik aja ‘kan?” “Mama baik. Anca, kamu masih mau nemuin Gemi ‘kan? Setelah waktu itu, dia murung dan tidak ingin berurusan dengan siapa pun.” “Tentu saja aku mau, Ma. Gemi adalah adikku. Kalau memang perlu, aku akan menemaninya sampai dia sembuh.” “Apa mak
“Aku harus pulang, Den. Sorry, ya.” Gemi memilih menghindar daripada harus menjawab ucapan Denta. Gadis itu berdiri, lalu buru-buru pergi meninggalkan Denta yang tampak kebingungan. “Gem!” Denta berteriak memanggil gadis itu, tetapi seolah tuli, Gemi tetap berjalan dan sesekali berlari untuk menghindari sahabat Ancala tersebut. Setelah memasuki komplek perumahannya, barulah dia berjalan dengan tenang. Gemi berpikir, kalau Denta saja tidak tahu keberadaan Ancala, itu artinya, kepergian lelaki itu dirahasiakan. Sepertinya, masalah ini benar-benar serius. Gemi berhenti di pinggir jalan, terpaku di tempatnya, lalu berpikir sejenak. Apa dia harus menghubungi Ancala? Apa lelaki itu akan menerima panggilannya kalau dia melakukannya? Kebingungan itu melanda dirinya. Gara-gara kedatangan Denta, menjadikannya berpikir lebih keras tentang Ancala. Gadis berdaster coklat itu kembali melangkah untuk kembali ke rumah. Meskipun dia banyak memikirkan banyak hal, tapi beruntung kini halusinasinya ti