“Mas, aku hari ini lembur. Karena akhir bulan, jadi ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.” Laporan itu diberikan oleh Anyelir ketika Ramon akan bersiap pulang. Dan yang membuat Ramon mendengus kasar adalah ketika dia belum sempat menjawab ucapan istrinya itu tapi panggilan itu sudah terputus. Anyelir hanya mengatakan apa yang perlu dikatakan, tak peduli dengan jawaban yang akan Ramon berikan. “Aku bahkan pulang lebih awal agar nggak telat jemput dia pulang, tapi dia dengan seenaknya bilang dia lembur dengan tiba-tiba begini?” Ramon berpikir karena mereka adalah pengantin baru dan mungkin saja masih membutuhkan membangung chemistry di antara mereka, karena itulah Ramon mencoba untuk tidak menenggelamkan dirinya pada pekerjaan. Tapi ternyata Anyelir yang justru tidak mengurangi pekerjaannya sama sekali. Rasa kesal itu tiba-tiba saja memuncak di dalam dada Ramon. Berinisiatif untuk menghubungi Anyelir, dia harus bertanya jam berapa istrinya itu pulang. Dan dia membutuhkan lima
Menikah ternyata tidak seburuk yang pernah Ramon bayangkan selama ini. Dia dulu membayangkan hidup dengan seorang perempuan di bawah satu atap yang sama seumur hidup adalah sesuatu pilihan yang tidak tepat. Tapi setelah dia merasakan bagaimana memiliki seorang istri, rasa-rasanya pemikiran itu salah. Kini dia memiliki seseorang yang bersedia mengurus dirinya. Setiap pagi, Anyelir dengan suka rela memilihkan pakaian kantor untuknya. Meskipun ada pembantu, perempuan itu juga memastikan jika makanan yang diberikan kepada keluarganya adalah makanan yang cukup asupan gizi. Memang hanya dua hal itu yang dilakukan oleh Anyelir, tapi bagi Ramon itu lebih dari cukup. “Mulai hari ini, aku bawa mobil sendiri.” Anyelir memutus lamunan Ramon yang tengah memikirkan banyak hal di kepalanya. Anyelir yang baru saja menyiapkan pakaian kerja Ramon itu duduk di pinggiran kasur sambil menatap Ramon yang tidak menjawab ucapannya. “Jaga-jaga kalau misalnya aku lembur dan Mas ketiduran seperti kemarin.” A
Syarat yang diminta oleh Anyelir tentulah besar menurut Ramon. Seperti yang sudah-sudah, Anyelir bukanlah perempuan yang akan menyerah begitu saja atas keputusan yang sudah diambil. Maka untuk sementara, Ramon tidak akan lagi mendesak istrinya itu untuk resign dari kantor. Biarlah Anyelir mendapatkan apa yang dia inginkan dengan tetap bekerja. “Kamu pakai kontrasepsi, Anyelir?” Ramon menemukan nota pembayaran rumah sakit dengan sebuah keterangan ‘KB’ di sana. Baru saja Ramon merebahkan tubuhnya di atas kasur dan tak sengaja menemukan nota tersebut keluar dari tas milik Anyelir yang tergeletak di atas ranjang. Anyelir tadi buru-buru mandi setelah sampai rumah karena merasa tubuhnya lelah luar biasa. Terlebih lagi ada sedikit perdebatan yang terjadi saat perjalanan pulang, Anyelir menjadi tak sabar ingin segera mengguyur kepalanya dengan air dingin agar pikirannya kembali waras menghadapi sang suami. Anyelir menoleh menatap Ramon. Kemudian dia mengangguk pasti. “Iya,” jawabnya singka
Mobil mewah berwarna hitam yang dikendarai oleh Ramon itu membelah kota Jakarta dengan kecepatan yang luar biasa. Rahang lelaki itu mengetat erat dan pegangannya pada setir mobil pun menguat. Inilah yang dia khawatirkan, kabar buruk yang membuat emosinya meletup kuat. Dia bahkan tidak memedulikan kekhawatiran dirinya sendiri karena ada yang lebih penting dari itu semua. Dia tadinya berada di persidangan ketika panggilan dari Anyelir muncul dan kabar buruk diterimanya. Tanpa menunggu apa pun lagi, dia segera meninggalkan persidangan dan menyerahkan semua urusan pada timnya. Satu hal yang membuatnya marah adalah ketika diam-diam Anyelir memberikan izin Sus Ayu pergi membawa Ancala pergi padahal dia sudah melarangnya. “Mas.” Anyelir yang tengah mondar-mandir di depan rumah teman Ancala itu segera mendekat pada Ramon yang baru saja keluar dari mobil. “Ancala ….” Anyelir tidak bisa melanjutkan ucapannya ketika tatapan Ramon terlempar dingin ke arahnya. Jangankan membuat Anyelir tenang
“Aku sudah mengurus Ancala sejak dia bayi. Mas menganggapku belum siap menjadi ibu? Mas jangan mengatakan sesuatu yang bodoh.” Ramon baru mengenal Ancala beberapa bulan terakhir ini. Sedangkan Anyelir sudah hidup dengan Ancala sejak bocah itu keluar dari rahim ibunya dan dia juga mengurusnya. Kalau Ramon sedih, Anyelir lebih sedih. Kalau Ramon kecewa, dia jauh lebih kecewa. Tapi tuduhan itu membuat Anyelir sakit luar biasa. “Mas bertindak seolah-olah hanya Mas yang peduli dengan Ancala. Hanya Mas orang tuanya. Aku juga ibunya, Mas. Dibandingkan Mas, aku jauh lebih peduli dengannya.” Anyelir tak tahan ketika dia meninggikan suaranya. Wajahnya memerah karena amarah. Matanya tak kalah merah karena sejak tadi tak hentinya mengeluarkan air mata. “Aku sejak kecil selalu mengajarinya untuk bisa bersosialisasi dengan orang lain. Aku nggak mau Ancala menjadi anak yang penakut. Itulah kenapa aku mengizinkannya pergi untuk datang dalam undangan itu.” Jika Anyelir tahu kejadiannya akan sepert
“Mereka berganti mobil dengan mobil lain setelah berhasil menculik Ancala.” Ramon mendengarkan dengan seksama apa yang tengah dilaporkan oleh orang-orangnya. Bukan hanya itu, ada kemungkinan besar di dalam kepalanya jika penculikan ini mungkin sudah direncanakan. Tapi, dia bertanya lagi pada dirinya sendiri motif apa yang digunakan oleh mereka melakukan ini. Ramon duduk dengan tenang di atas cap mobilnya sambil terus berpikir. Satu dugaan tiba-tiba muncul di dalam kepalanya. Apa jangan-jangan orang yang merencanakan ini adalah musuh Anyelir. Dan yang dia ketahui selama ini, musuh Anyelir hanyalah keluarga Ancala sendiri. “Tapi kalian yakin ini rumahnya?” tanya Ramon sekali lagi untuk memastikan. Menatap ke arah rumah dua lantai yang tampak sepi. Tapi tak peduli apa, dia harus tetap memberikan kejutan untuk orang-orang yang ada di dalam sana yang sudah berani bermain-main dengan Ramon.“Benar, Pak. Apa kita hubungi polisi sekarang?” “Tentu. Saya yang akan memanggil polisi.” Ramon
Ucapan sang ayah sebenarnya tidak begitu dipedulikan oleh Ramon, tapi mau tak mau kalimat itu terasa terngiang di dalam kepalanya. Kini ruangan rawat inap Ancala itu sudah sepi. Kedua orang tua Ramon sudah pulang dan tinggallah Ramon dan Anyelir menunggu Ancala. Tatapan Ramon mengarah pada istrinya yang duduk tak bergerak di kursi di dekat ranjang. Tangannya terus memegang tangan Ancala dengan lembut seolah takut jika dia melepaskannya maka putranya itu akan pergi lagi. “Kamu bisa istirahat dulu. Tidur dulu di sofa. Biar aku yang jaga Ancala.” Ramon mendekati istrinya dan berdiri di depan perempuan itu. Anyelir mendongak dengan menatap Ramon. Dia tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi dia takut jika pertanyaannya akan membuat Ramon marah. Maka dia memilih untuk diam dan menjawab dengan lembut. “Mas dulu aja yang istirahat. Mas nggak tidur beberapa hari ini. Mas pasti lelah.” Anyelir mengalihkan tatapannya pada tangan kecil Ancala sambil mengelusnya. “Mas udah bekerja keras, sedangka
“Kamu mau bertemu dengan nenek kakek Ancala?” Ramon menawarkan kepada Anyelir sekiranya perempuan itu mungkin ingin berbicara dengan mereka. Ancala sudah diizinkan pulang oleh dokter karena keadaannya sudah membaik. Maka Ramon memulai mengurus hal lain termasuk kasus yang sudah membuat keluarganya kelabakan. Anyelir yang tengah duduk berselonjor di atas ranjang itu mendongak menatap Ramon yang tengah duduk di kursi kerjanya yang ada di dalam kamar. Ada pertimbangan yang tengah ada di dalam pikiran Anyelir. Jika dia bertemu dengan pasangan paruh baya tersebut, apa yang akan dikatakan? Memarahinya? Tidak ada pengaruhnya. Karena di balik jeruji besi sangat pantas untuk mereka. “Aku nggak perlu bertemu dengan mereka. Aku serahkan semuanya sama Mas. Apa yang memang pantas mereka dapatkan, maka berikan saja.” Anyelir tidak sudi lagi berhubungan dengan mereka, orang-orang yang jahat. Pertemuan itu hanya akan membuka luka lama di dalam hati Anyelir. Dia akan mengingat-ingat semua hal buru