Ramon!!! Nyebelin.
“Aku sudah mengurus Ancala sejak dia bayi. Mas menganggapku belum siap menjadi ibu? Mas jangan mengatakan sesuatu yang bodoh.” Ramon baru mengenal Ancala beberapa bulan terakhir ini. Sedangkan Anyelir sudah hidup dengan Ancala sejak bocah itu keluar dari rahim ibunya dan dia juga mengurusnya. Kalau Ramon sedih, Anyelir lebih sedih. Kalau Ramon kecewa, dia jauh lebih kecewa. Tapi tuduhan itu membuat Anyelir sakit luar biasa. “Mas bertindak seolah-olah hanya Mas yang peduli dengan Ancala. Hanya Mas orang tuanya. Aku juga ibunya, Mas. Dibandingkan Mas, aku jauh lebih peduli dengannya.” Anyelir tak tahan ketika dia meninggikan suaranya. Wajahnya memerah karena amarah. Matanya tak kalah merah karena sejak tadi tak hentinya mengeluarkan air mata. “Aku sejak kecil selalu mengajarinya untuk bisa bersosialisasi dengan orang lain. Aku nggak mau Ancala menjadi anak yang penakut. Itulah kenapa aku mengizinkannya pergi untuk datang dalam undangan itu.” Jika Anyelir tahu kejadiannya akan sepert
“Mereka berganti mobil dengan mobil lain setelah berhasil menculik Ancala.” Ramon mendengarkan dengan seksama apa yang tengah dilaporkan oleh orang-orangnya. Bukan hanya itu, ada kemungkinan besar di dalam kepalanya jika penculikan ini mungkin sudah direncanakan. Tapi, dia bertanya lagi pada dirinya sendiri motif apa yang digunakan oleh mereka melakukan ini. Ramon duduk dengan tenang di atas cap mobilnya sambil terus berpikir. Satu dugaan tiba-tiba muncul di dalam kepalanya. Apa jangan-jangan orang yang merencanakan ini adalah musuh Anyelir. Dan yang dia ketahui selama ini, musuh Anyelir hanyalah keluarga Ancala sendiri. “Tapi kalian yakin ini rumahnya?” tanya Ramon sekali lagi untuk memastikan. Menatap ke arah rumah dua lantai yang tampak sepi. Tapi tak peduli apa, dia harus tetap memberikan kejutan untuk orang-orang yang ada di dalam sana yang sudah berani bermain-main dengan Ramon.“Benar, Pak. Apa kita hubungi polisi sekarang?” “Tentu. Saya yang akan memanggil polisi.” Ramon
Ucapan sang ayah sebenarnya tidak begitu dipedulikan oleh Ramon, tapi mau tak mau kalimat itu terasa terngiang di dalam kepalanya. Kini ruangan rawat inap Ancala itu sudah sepi. Kedua orang tua Ramon sudah pulang dan tinggallah Ramon dan Anyelir menunggu Ancala. Tatapan Ramon mengarah pada istrinya yang duduk tak bergerak di kursi di dekat ranjang. Tangannya terus memegang tangan Ancala dengan lembut seolah takut jika dia melepaskannya maka putranya itu akan pergi lagi. “Kamu bisa istirahat dulu. Tidur dulu di sofa. Biar aku yang jaga Ancala.” Ramon mendekati istrinya dan berdiri di depan perempuan itu. Anyelir mendongak dengan menatap Ramon. Dia tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi dia takut jika pertanyaannya akan membuat Ramon marah. Maka dia memilih untuk diam dan menjawab dengan lembut. “Mas dulu aja yang istirahat. Mas nggak tidur beberapa hari ini. Mas pasti lelah.” Anyelir mengalihkan tatapannya pada tangan kecil Ancala sambil mengelusnya. “Mas udah bekerja keras, sedangka
“Kamu mau bertemu dengan nenek kakek Ancala?” Ramon menawarkan kepada Anyelir sekiranya perempuan itu mungkin ingin berbicara dengan mereka. Ancala sudah diizinkan pulang oleh dokter karena keadaannya sudah membaik. Maka Ramon memulai mengurus hal lain termasuk kasus yang sudah membuat keluarganya kelabakan. Anyelir yang tengah duduk berselonjor di atas ranjang itu mendongak menatap Ramon yang tengah duduk di kursi kerjanya yang ada di dalam kamar. Ada pertimbangan yang tengah ada di dalam pikiran Anyelir. Jika dia bertemu dengan pasangan paruh baya tersebut, apa yang akan dikatakan? Memarahinya? Tidak ada pengaruhnya. Karena di balik jeruji besi sangat pantas untuk mereka. “Aku nggak perlu bertemu dengan mereka. Aku serahkan semuanya sama Mas. Apa yang memang pantas mereka dapatkan, maka berikan saja.” Anyelir tidak sudi lagi berhubungan dengan mereka, orang-orang yang jahat. Pertemuan itu hanya akan membuka luka lama di dalam hati Anyelir. Dia akan mengingat-ingat semua hal buru
Diluar dugaan Anyelir, perempuan itu justru terkekeh kecil. Menatap wajah Ramon dengan penuh puja. Sedangkan Ramon justru tampak tak acuh kepada perempuan itu. Yang dikatakan oleh Ramon ternyata benar. Jika dia tak akan berselingkuh. Tapi bagi Anyelir, sekeras apa pun laki-laki menolak perempuan, bisa saja akan melunak jika si perempuan itu berusaha keras. “Kamu tahu, Ram? Sejak kamu benci sama aku, aku justru penasaran sama kamu. Aku pernah menundukkan Kala sampai rumah tangganya hancur, kali ini aku ingin mencoba denganmu. Kamu tahu? Aku merasa laki-laki yang susah didapatkan itu sangat seksi.” Suara itu kembali terdengar membuat Anyelir merasa kesal luar biasa. Dia tak tahu siapa perempuan itu, tapi membuat rumah tangga Kala hancur, pasti ada hal rumit yang pernah terjadi. Haruskah dia bertanya dengan Ramon nanti? Atau tidak, karena Ramon belum tentu akan menjelaskan. Tapi jika dia tak bertanya, dia hanya akan diliputi rasa penasaran yang tiada henti. Tapi yang paling masuk akal
Terbiasa sibuk bekerja, membuat Anyelir harus menekan rasa bosannya ketika lama-lama berada di rumah. Tugasnya sekarang hanya mengantar dan menjemput Ancala ke sekolah. Tidak ada kegiatan apa pun yang membuat dirinya benar-benar sibuk. Tapi mau tak mau, inilah konsekuensi yang harus dia terima atas semua keputusan yang diambil. Deringan ponselnya terdengar membuat Anyelir meneguk kesadarannya yang sejak tadi melayang entah ke mana. Nama ibu mertuanya terlihat dan dia segera menerimanya. “Ya, Ma? Sekarang? Tapi nanti aku harus jemput Acala pulang sekolah. Oh, oke. Aku langsung ke sana.” Anyelir beranjak dari sofa dan segera naik ke lantai atas untuk mengganti bajunya. Tak lupa dia juga harus izin kepada Ramon untuk pergi. Itu adalah sebuah keharusan yang tidak boleh dilupakan. Setelah izin sudah didapatkan, maka tak lupa dia juga memastikan kepada Sus Ayu untuk menjemput Ancala. Dalam waktu satu jam berkendara, Anyelir sampai di kediaman ibu mertuanya. Di sana sudah lumayan bany
“Boleh aku tanya sesuatu, Ma?” Akhirnya arisan itu selesai dilakukan. Anyelir belum pulang dan memilih di rumah mertuanya untuk sementara waktu sampai sore nanti. Teman-teman arisan ibu mertuanya termasuk Eliya pun sudah pulang juga. Kini tinggal Anyelir dan ibu Ramon yang tengah duduk di sofa ruang keluarga. “Boleh. Mau tanya apa?” tanya perempuan paruh baya tersebut. “Kok Mbak Eliya bisa ikut arisan ibu-ibu itu gimana ceritanya?” Anyelir tidak ingin berbasa-basi dan berbicara dengan berputar-putar. Cepat mendapatkan jawaban akan semakin baik.“Oh, Eliya itu sebenarnya putrinya teman Mama yang biasanya ikut arisan.” Jawaban itu akhirnya terkuak dan Anyelir segera memahami. “Karena hari ini mamanya nggak bisa ikut, maka dia yang mewakili. Kenapa? Kamu nggak senang ya ada dia?” Anyelir buru-buru menggeleng. “Bukan gitu, Ma. Biasanya kalau perempuan seperti Mbak Eliya itu ‘kan pasti punya gerombolan sendiri. Teman-temannya yang seusianya.” “Ya, ibunya itu ‘kan suka bepergian, jadi
“Menjadi istri yang baik.” Kata-kata itu terasa menempel di dalam pikiran Anyelir. Selama pernikahan ini, Anyelir selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk rumah tangganya bersama dengan Ramon. Dia bahkan mengurus semua keperluan Ramon. Tapi satu hal yang kurang, Ramon masih bersikap tak acuh terhadapnya. Anyelir mengakui kalau dia tidak kekurangan dalam hal materi, tapi tentu sangat kekurangan dalam kasih sayang. Siang ini, dia mencoba menghubungi Ramon untuk setidaknya hanya bertanya tentang makan siang. Tapi lagi-lagi, Ramon tidak terdengar antusias ketika menjawabnya dan seperti diburu waktu. Menjawab pertanyaan Anyelir pun terdengar malas-malasan. Kalau seperti ini, hubunganya dengan Ramon akan jalan di tempat. Maka Anyelir tidak bisa membiarkannya. Berusaha sendiri memang sangat melelahkan, tapi Anyelir tidak akan menyerah. “Oh, Ibu. Maaf, tapi Bapak baru saja keluar.” Anyelir harus menelan kekecewaannya ketika dia mendapatkan informasi yang diberikan oleh petugas reseps
“Istriku.” Ancala baru saja sampai rumah ketika melihat penampilan Gemi yang sudah cantik. Meskipun hanya mengenakan daster rumahan kebanggaannya, kecantikan perempuan itu selalu terpancar. Dan inilah yang selalu disukai oleh Ancala, Gemi akan selalu menunggu kepulangannya di teras rumah sambil membaca buku. Tidak di rumah Kala, atau bahkan di rumah mereka sendiri, Gemi memiliki perpustakaan sendiri dengan koleksi buku-bukunya. Gemi tersenyum melihat Ancala yang berjalan ke arahnya. Perempuan itu beranjak untuk menerima tas kerja lelaki itu. “Suamiku capek banget kayaknya.” Ancala memeluk Gemi sambil mencium pipi perempuan itu. Bagi Ancala, energinya akan kembali ketika sudah bertemu dengan sang istri setelah seharian bekerja. Rasa lelah itu seolah menguap begitu saja. Pelukan mereka terurai. Masih dengan memeluk pinggang sang istri, Ancala sedikit menjauhkan tubuhnya untuk menatap wajah Gemi yang halus. “Makan apa malam ini?” tanyanya, “lama nggak ke angkringan. Kangen nasi
“Kalian udah datang?” Ancala mendekati istri dan kedua adiknya dengan senyum kecil. Meskipun pagi tadi dia sempat kesal, tetapi setelah Gemi sekarang datang ke kantor, perasaannya menjadi sedikit membaik. Tatapannya mengarah pada ‘tiga tamunya’ yang tidak membawa apa pun. “Jadi belanjanya?” tanyanya. Perempuan yang dimaksud oleh Laksa tadi tidak mengikuti Ancala dan kembali lebih dulu. Gemi tidak bertanya siapa perempuan tersebut karena dia tahu kalau itu adalah sekretaris Ancala. Laksa pun sebenarnya juga tahu, tetapi dia hanya pura-pura untuk mengerjai Gemi. “Bang, aku laper banget, lho.” Laksa mengadu. “Aku laper, Bang.” Ulangnya lagi. “Kalian nggak makan dulu tadi?” Ancala mengernyit aneh menatap satu per satu saudaranya. “Istri Abang ngambek karena diajak desak-desakan. Jadi, nggak memedulikan aku yang kelaparan. Tapi, aku nggak mau makan di kantin ini. Abang tolong pesankan aku makanan yang enak, ya.” Laksa memang benar-benar membuat kakak-kakaknya kesal kalau sudah me
“Gem, bangun!” Ancala menepuk paha sang istri pelan ketika sudah sampai di rumah. Mereka baru saja sampai rumah ketika Gemi tidak sadarkan diri, tidur. Sepanjang jalan, Ancala memegangi tangan Gemi takut-takut kalau istrinya itu terjatuh. Bukannya apa-apa, Gemi tidur sepanjang jalan sedangkan mereka menggunakan motor. Kebanyakan makan kepala ayam membuat Gemi lemas sepertinya. “Bang, aku nggak sanggup jalan. Gendong.” Dengan suara lemas, perempuan itu masih memeluk pinggang Ancala dengan erat takut jatuh. Matanya masih tertutup erat enggan untuk terjaga. Napas panjang Ancala terbuang kasar. Menikahi Gemi adalah impiannya, tetapi kalau sifat manja perempuan keluar, maka habislah dia. “Iya, tapi tunggu dulu deh. Aku turun dulu.” Ancala melepaskan tangan Gemi dari pinggangnya sebelum dia turun dengan pelan dari motor. Baru setelahnya menarik tangan Gemi agar istrinya itu naik ke gendongannya. Diam-diam Ancala tersenyum kecil. Terkadang istrinya itu memang menyebalkan, tetapi juga me
Perdebatan yang terjadi malam itu dianggap bukan apa-apa. Pernikahan antara Gemi dan Ancala bahkan akan segera dilakukan dalam waktu dua hari lagi. Pernikahan mewah itu akan dilakukan di outdoor di pinggir pantai. Tidak banyak yang diundang karena Gemi dan Ancala benar-benar memilih orang-orang terdekat mereka saja yang datang. Kabar pernikahan yang sudah merebak itu membuat banyak orang terkejut. Tidak pernah menyangka kalau Gemi dan Ancala akan menikah. Semua orang tahu jika Abimanyu dan Sambara group adalah saudara. Tentu saja hal itu menjadi perbincangan banyak orang. “Gimana rasanya mau menikah?” Denta datang ke rumah Ancala untuk sekedar menemani sahabatnya itu mengobrol. “Dan menikah dengan perempuan yang lo cintai?” “Setelah semua yang terjadi, tentu saja gue bahagia, Den.” Ancala memainkan kakinya yang ada di kolam renang, menimbulkan bunyi kecipak air. “Gue kira akan sulit mendapatkan restu dari para tetua.” Denial mengatakan itu merujuk pada nenek dan kakek Ancala, lela
“Kamu sudah benar-benar yakin akan menikah dengan Gemi, Bang?” Ramon meyakinkan sekali lagi kepada sang putra atas keputusan untuk meminang sang pencuri hati. Para tetua, nenek kakeknya sudah memberikan izin untuk mempersatukan dua keluarga yang seharusnya tetap menjadi keluarga yang sesungguhnya. Namun, mereka memilih untuk memberikan restu dan menyingkirkan segala ego yang ada. Dua anak manusia itu sudah tidak bisa dipisahkan, untuk apa lagi mereka menahannya dan akan berakhir buruk. “Aku udah yakin, Yah. Aku sudah berbicara dengan Gemi dan dia menerima lamaranku.” Senyum lebar tersemat di bibir Ancala dan wajah sumringah itu tidak bisa berbohong jika dia sangat bahagia. “Kalau begitu, Ayah dan Bunda akan berbicara kepada Papa Kala kalau kami akan segera melamar Gemi. Pikirkan juga kamu ingin menikah di mana? Outdoor atau indoor, masalah biaya jangan khawatir, semua biaya Ayah yang urus.” Rasa sayang Ramon yang diberikan kepada Ancala tidak surut sedikitpun sejak dulu. Lelaki it
Setelah obrolan semalam, Gemi bangun tidur dengan perasaan yang terasa ringan. Hubungannya dengan sang ayah sudah membaik dan dia sudah memaafkan apa pun yang pernah sang ayah lakukan. Semua yang dilakukan oleh sang ayah semata untuk melindungi keluarganya. Suasana hati Gemi pun terlihat sangat baik seharian ini. Meskipun Ancala sejak tadi tak kunjung menghubunginya seperti yang sudah dijanjikan semalam, dia masih baik-baik saja. Seperti yang sudah Ancala bilang semalam, lelaki itu akan membicarakan masalah kerjaan dengan sang ayah. “Jadi, kamu mau balik kerja lagi?” Gemi yang baru saja duduk di sofa di samping sang bunda, segera mendapatkan pertanyaan tersebut. “Aku akan pikirkan lagi, Ma.” Sudah kebiasaan berada di rumah selama beberapa bulan, menjadikan Gemi enggan untuk kembali beraktivitas. “Tapi, Ma, Papa ngeluarin aku dari kantor dengan alasan apa, ya?” Benar, Binar pun tampaknya belum tahu tentang masalah tersebut karena dia tak pernah bertanya dengan Kala. “Mama juga
Binar dan Kala mendengar dengan jelas ucapan putri mereka meskipun kata-kata yang diucapkan terbata-bata. Mereka mendengarkan di balik dinding hanya untuk mengetahui reaksi Gemi ketika bertemu dengan Ancala. Nyatanya, Gemi mengatakan sesuatu yang membuat orang tuanya menahan kesedihannya. “Jangan bicara yang tidak-tidak. Sekarang fokuslah pada kesembuhanmu dulu. Papa bilang, kamu masih perlu bertemu dengan psikiater. Kapan jadwalnya? Aku temani ya?” “Aku nggak butuh psikiater lagi, Bang. Obatku udah ada di sini.” Kala mendesah pasrah mendengar jawaban Ancala atas ucapan sang putri. Sudah pasti perasaan Kala sekarang dipenuhi oleh rasa penyesalan yang amat besar. Di ruang tamu, Gemi dan Ancala melepaskan pelukan mereka. Ancala mengusap air mata Gemi yang mengalir menganak sungai di wajahnya. “Aku nggak akan ke mana-mana lagi, Gemi. Aku udah pulang sekarang. Jadi, kamu nggak perlu takut aku pergi lagi.” “Memangnya, Abang dari mana kemarin?” Ancala menyodorkan minuman yang disiapka
Kala pasti tidak pernah menyangka jika Ramon akan menurunkan egonya untuk meminta putranya pulang. Dia tahu betul bagaimana Ramon menolak permintaannya saat itu. Namun, sekarang tiba-tiba Ancala sudah ada di rumahnya dan menanyakan kabar Gemi. Hal itu tentu saja membuat Kala sedikit bingung. Apa pun itu, Kala tentulah merasa senang dengan kedatangan Ancala ke rumahnya. “Keadaan Gemi sudah lebih baik. Dia sekarang sedang istirahat.” Tepat setelah itu, Binar datang dan segera duduk di samping Ancala. Perempuan paruh baya itu mengelus punggung Ancala tanpa berbicara. Kelegaan terpancar dari matanya. “Kamu dari mana saja, Bang?” tanyanya setelah itu, “Mama cariin kamu.” “Aku jalan-jalan, Ma,” jawab Ancala dengan lembut, “Mama baik-baik aja ‘kan?” “Mama baik. Anca, kamu masih mau nemuin Gemi ‘kan? Setelah waktu itu, dia murung dan tidak ingin berurusan dengan siapa pun.” “Tentu saja aku mau, Ma. Gemi adalah adikku. Kalau memang perlu, aku akan menemaninya sampai dia sembuh.” “Apa mak
“Aku harus pulang, Den. Sorry, ya.” Gemi memilih menghindar daripada harus menjawab ucapan Denta. Gadis itu berdiri, lalu buru-buru pergi meninggalkan Denta yang tampak kebingungan. “Gem!” Denta berteriak memanggil gadis itu, tetapi seolah tuli, Gemi tetap berjalan dan sesekali berlari untuk menghindari sahabat Ancala tersebut. Setelah memasuki komplek perumahannya, barulah dia berjalan dengan tenang. Gemi berpikir, kalau Denta saja tidak tahu keberadaan Ancala, itu artinya, kepergian lelaki itu dirahasiakan. Sepertinya, masalah ini benar-benar serius. Gemi berhenti di pinggir jalan, terpaku di tempatnya, lalu berpikir sejenak. Apa dia harus menghubungi Ancala? Apa lelaki itu akan menerima panggilannya kalau dia melakukannya? Kebingungan itu melanda dirinya. Gara-gara kedatangan Denta, menjadikannya berpikir lebih keras tentang Ancala. Gadis berdaster coklat itu kembali melangkah untuk kembali ke rumah. Meskipun dia banyak memikirkan banyak hal, tapi beruntung kini halusinasinya ti