Ramon hanya menatap Anyelir yang mondar-mandir menyiapkan sarapan pagi. Lebih tepatnya hanya menata makanan ke meja makan setelah Bibi selesai memasaknya. Tidak ada perbincangan apa pun yang terjadi, sehingga ruangan luas itu hanya diliputi keheningan. Anyelir duduk setelah itu untuk memulai sarapannya. “Jadi, reuninya?” tanya Ramon memecah keheningan. Ramon selama beberapa hari ini merasakan perubahan besar pada sikap Anyelir kepadanya dan itu terasa tidak nyaman. “Jadi. Setelah Mas berangkat, aku yang akan berangkat.” Dan karena Anyelir bahkan tidak memedulikan Ramon yang enggan memberikannya izin, maka pada akhirnya Ramon mengalah. Membiarkan Anyelir pergi bertemu dengan teman-teman lamanya. “Sepagi ini?” “Ya, karena ada acara amal dan aku ikut bantu-bantu di sana, aku harus berangkat pagi.”“Panitia?” “Kurang lebihnya begitu.” Anyelir mengangguk mantap. Perempuan itu tampak tak acuh ketika mengatakan hal tersebut dan itu sangat menjengkelkan. Meletakkan sendok dan garpunya
Anyelir merapatkan selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos. Desahan panjangnya terdengar membuat Ramon membuka matanya menghunuskan tatapannya pada sang istri. Tidak ada yang bicara di antara mereka dan hanya larut pada manik bening satu dengan lainnya. Rasa kesal Anyelir muncul tiba-tiba dan membuatnya membalikkan tubuhnya untuk memunggungi sang suami. Tapi yang luput dari Anyelir adalah ketika selimut itu tak bisa menutupi punggung putihnya. Hal itu dimanfaatkan oleh Ramon. Lelaki itu mengulurkan tangannya untuk mengelus punggung mulus sang istri. “Jangan suka memunggungi suamimu, Anyelir. Kamu nggak takut Tuhan murka?” Begitu katanya dengan santai. “Jangan bawa-bawa Tuhan. Mas yang buat aku kesal.” Tadinya, Anyelir pikir Ramon akan benar-benar akan ikut donor darah. Ternyata setelah dia membawa Anyelir di tempat sepi, lelaki itu menarik Anyelir untuk meninggalkan tempat itu dan membawanya ke hotel tak jauh dari sana. Memesan kamar kemudian membuat hal-hal yang tidak senonoh
“Mas mau makan apa? Aku mau pesan makan. Perutku udah laper banget.” Keluar dari kamar mandi, Anyelir segera melontarkan pertanyaan itu kepada Ramon yang masih duduk di atas ranjang dengan ekspresi yang tidak bisa terbaca. Dingin seperti biasanya. Namun kali ini Anyelir tidak ingin ambil pusing karena dia tahu suaminya itu tengah marah karena ‘si mantan kekasih’ yang Anyelir ceritakan tadi. Anyelir mengeluarkan pelembab dari dalam tasnya sehingga dia bisa segera menggunakannya setelah dia selesai mandi. “Mas mau makan atau nggak?” Sekali lagi, Anyelir bertanya pada Ramon dan sama sekali tidak mendapatkan jawaban sama sekali. Anyelir menyerah dan membiarkan Ramon membisu di tempatnya. Dia lantas memesan makanan untuk dua orang meskipun Ramon nantinya tidak ingin bergabung dengannya. Masih dengan mengenakan bathrobe, Anyelir duduk di sofa memainkan ponselnya. Untuk selanjutnya menghubungi ibu mertuanya dan menanyakan Ancala. “Ancala lagi renang sama Opanya.” Terdengar suara tawa di
“Kenapa hanya aku yang diminta mencintai Mas sedangkan Mas sendiri nggak mau mencintaiku?” Anyelir menjawab dengan ringan. Ingin mengetahui sejauh mana lelaki itu mendesaknya. “Aku masih berusaha. Membutuhkan waktu untuk itu. Jadi, sabar saja.” Setelah mengatakan itu, Ramon kembali naik ke ranjang dan menutup matanya. Hal itu membuat Anyelir kesal bukan kepalang. “Mas, nggak mau pulang?” tanya Anyelir setelah itu. Mendekati Ramon kemudian menggoyang tubuhnya. “Kita akan pulang kalau aku mau pulang.” Setelah mengatakan itu, mata Ramon kembali terpejam. Dan pada akhirnya, Anyelir benar-benar harus tertahan di kamar hotel bersama sang suami. Beberapa panggilan dan chat dari teman-temannya pun bergantian menanyakan keberadaannya, tapi Anyelir hanya memberikan jawaban yang sebenarnya. Merasa menyesal karena sudah meninggalkan tempat acara tanpa pamit kepada teman-temannya. Anyelir melirik Ramon dengan kesal sebelum menunduk dan menggigit lengan lelaki itu. Membuat Ramon terbangun dan m
“Mas, aku dengar dari Mama katanya Arga akan dijodohkan dengan relasi bisnis orang tuanya, ya?” Anyelir melontarkan pertanyaan itu kepada Ramon tanpa ada maksud apa pun. Dia yang mendapatkan informasi itu dari ibu mertuanya pun tampak terkejut. Mungkin orang tua Arga sudah tidak sabar melihat putra keduanya itu segera menikah. Karena bagaimanapun, usia Arga dan Ramon sama. Mereka hanya berjarak beberapa bulan saja lebih tua Ramon sedikit. Begitulah kata ibu mertua Anyelir tadi. “Kenapa kalau Arga mau dijodohkan? Kamu nggak senang?” Ramon terusik sehingga dengan tajam dia melirik istrinya yang tengah berbaring sambil memeluk gulingnya. “Aku sudah bilang jangan bahas orang lain kalau kita sedang bersama.” Decakan pun keluar dari mulut Anyelir. “Aku ‘kan hanya bicara. Ditanggepi aja kenapa sih. Repot amat.” “Aku nggak mau bahas orang lain.” Ramon menegaskan sekali lagi. “Mau dia nikah, mau enggak bukan urusanku.” “Jahat banget.” Anyelir menggelengkan kepalanya dramatis. “Gimana
Hanya sebuket bunga, tapi perasaan Anyelir sudah kocar-kacir tak karuan. Hanya sedikit sikap romantis yang ditujukkan Ramon kepadanya, tapi dia sudah blingsatan. Efek cinta benar-benar luar biasa. Senyumnya lebar ketika melihat sekali lagi bunga mawar yang masih segar tersebut. Jika Ramon bersikap semanis ini, mana mungkin Anyelir bisa menjauh dari lelaki itu. Dengusan dari Ramon terdengar di telinga Anyelir. Lelaki itu baru saja keluar dari kamar mandi dan menatap Anyelir dengan bosan. “Bunga itu nggak akan lari ke mana-mana, Anyelir. Jangan berlebihan.” “Eh … panggilannya.” Anyelir melotot gemas pada Ramon namun hanya dihadiahi oleh putaran bola mata oleh Ramon. “Jangan dilihat terus itu bunganya. Mati nanti dia.” “Mas kalau romantis begini ‘kan aku jadi bahagia.” Anyelir beranjak dari sofa. Mengikuti Ramon yang masuk ke dalam walk ini closet. Bersandar para lemari tinggi yang ada di sana sambil menatap Ramon lekat. “Nggak masalah kalau Mas harus tanya dulu pada mesin pencarian.
Anyelir masih tidak tahu ke mana mereka akan pergi. Dia sungguh tidak mendapatkan jawaban apa pun dari Ramon dan hanya perlu ikut saja tanpa banyak bicara. Meskipun dia merasakan ini sangat konyol, entah bagaimana dia sangat percaya dengan sang suami. Dia sempat benar-benar ingin kembali ke rumah karena dia tak membawa satu baju ganti pun, tapi Ramon mengatakan mereka akan membelinya setelah sampai di tempatnya nanti. Begitu kata Ramon. “Mas, ini di Lombok?” tanya Ramon dengan mengerjapkan matanya. Dia baru saja masuk ke dalam hotel dan mencapai lobby ketika matanya membelalak lebar. Tak sengaja membaca beberapa selebaran yang ada di meja resepsionis. “Terima kasih.” Ramon menerima kunci dari resepsionis lalu menarik Anyelir untuk pergi dari sana. “Iya, di Lombok.” “Mas mau mengurus kasus criminal seperti apa sebenarnya?” Alih-alih sadar jika dia dikerjai oleh Ramon, Anyelir masih kukuh jika mereka di sana tengah mengurus kasus. “Jangan bertanya tentang kasusku. Sekarang kita haru
Ramon kali ini tidak bisa mengalihkan tatapannya dari tubuh Anyelir yang berbalut bikini. Bathrobe yang tadi menutupi tubuh Anyelir itu kini sudah dilepaskan oleh si empunya dan diletakkan di atas kursi malas. Makanan pesanan mereka juga sudah diantarkan. Meskipun rasa malu itu menggulung perasaan Anyelir, tapi dia merasa harus tetap menghadapi rasa malunya. Di bawah tatapan lekat yang Ramon lemparkan, Anyelir turun dengan pelan ke dalam air. Ternyata kolam renangnya tidak begitu dalam. Hanya sebatas pundak Anyelir, namun itu sudah cukup membuat tubuh Anyelir itu tertutup dengan air. Ramon dengan cepat meluncur mendekati Anyelir. Mengungkung istrinya itu dengan kedua lengannya. “Kenapa?” tanyanya. Membuat Anyelir mengernyit tak mengerti. “Kenapa apanya?” Anyelir bertanya balik. “Aku suka kamu dengan penampilan seperti ini.” Ramon menyeringai sebelum mencium istrinya dalam-dalam. Anyelir tidak bisa menghalau perbuatan Ramon dan memilih menikmati. Lebih berani, perempuan itu justru