“Mas, aku dengar dari Mama katanya Arga akan dijodohkan dengan relasi bisnis orang tuanya, ya?” Anyelir melontarkan pertanyaan itu kepada Ramon tanpa ada maksud apa pun. Dia yang mendapatkan informasi itu dari ibu mertuanya pun tampak terkejut. Mungkin orang tua Arga sudah tidak sabar melihat putra keduanya itu segera menikah. Karena bagaimanapun, usia Arga dan Ramon sama. Mereka hanya berjarak beberapa bulan saja lebih tua Ramon sedikit. Begitulah kata ibu mertua Anyelir tadi. “Kenapa kalau Arga mau dijodohkan? Kamu nggak senang?” Ramon terusik sehingga dengan tajam dia melirik istrinya yang tengah berbaring sambil memeluk gulingnya. “Aku sudah bilang jangan bahas orang lain kalau kita sedang bersama.” Decakan pun keluar dari mulut Anyelir. “Aku ‘kan hanya bicara. Ditanggepi aja kenapa sih. Repot amat.” “Aku nggak mau bahas orang lain.” Ramon menegaskan sekali lagi. “Mau dia nikah, mau enggak bukan urusanku.” “Jahat banget.” Anyelir menggelengkan kepalanya dramatis. “Gimana
Hanya sebuket bunga, tapi perasaan Anyelir sudah kocar-kacir tak karuan. Hanya sedikit sikap romantis yang ditujukkan Ramon kepadanya, tapi dia sudah blingsatan. Efek cinta benar-benar luar biasa. Senyumnya lebar ketika melihat sekali lagi bunga mawar yang masih segar tersebut. Jika Ramon bersikap semanis ini, mana mungkin Anyelir bisa menjauh dari lelaki itu. Dengusan dari Ramon terdengar di telinga Anyelir. Lelaki itu baru saja keluar dari kamar mandi dan menatap Anyelir dengan bosan. “Bunga itu nggak akan lari ke mana-mana, Anyelir. Jangan berlebihan.” “Eh … panggilannya.” Anyelir melotot gemas pada Ramon namun hanya dihadiahi oleh putaran bola mata oleh Ramon. “Jangan dilihat terus itu bunganya. Mati nanti dia.” “Mas kalau romantis begini ‘kan aku jadi bahagia.” Anyelir beranjak dari sofa. Mengikuti Ramon yang masuk ke dalam walk ini closet. Bersandar para lemari tinggi yang ada di sana sambil menatap Ramon lekat. “Nggak masalah kalau Mas harus tanya dulu pada mesin pencarian.
Anyelir masih tidak tahu ke mana mereka akan pergi. Dia sungguh tidak mendapatkan jawaban apa pun dari Ramon dan hanya perlu ikut saja tanpa banyak bicara. Meskipun dia merasakan ini sangat konyol, entah bagaimana dia sangat percaya dengan sang suami. Dia sempat benar-benar ingin kembali ke rumah karena dia tak membawa satu baju ganti pun, tapi Ramon mengatakan mereka akan membelinya setelah sampai di tempatnya nanti. Begitu kata Ramon. “Mas, ini di Lombok?” tanya Ramon dengan mengerjapkan matanya. Dia baru saja masuk ke dalam hotel dan mencapai lobby ketika matanya membelalak lebar. Tak sengaja membaca beberapa selebaran yang ada di meja resepsionis. “Terima kasih.” Ramon menerima kunci dari resepsionis lalu menarik Anyelir untuk pergi dari sana. “Iya, di Lombok.” “Mas mau mengurus kasus criminal seperti apa sebenarnya?” Alih-alih sadar jika dia dikerjai oleh Ramon, Anyelir masih kukuh jika mereka di sana tengah mengurus kasus. “Jangan bertanya tentang kasusku. Sekarang kita haru
Ramon kali ini tidak bisa mengalihkan tatapannya dari tubuh Anyelir yang berbalut bikini. Bathrobe yang tadi menutupi tubuh Anyelir itu kini sudah dilepaskan oleh si empunya dan diletakkan di atas kursi malas. Makanan pesanan mereka juga sudah diantarkan. Meskipun rasa malu itu menggulung perasaan Anyelir, tapi dia merasa harus tetap menghadapi rasa malunya. Di bawah tatapan lekat yang Ramon lemparkan, Anyelir turun dengan pelan ke dalam air. Ternyata kolam renangnya tidak begitu dalam. Hanya sebatas pundak Anyelir, namun itu sudah cukup membuat tubuh Anyelir itu tertutup dengan air. Ramon dengan cepat meluncur mendekati Anyelir. Mengungkung istrinya itu dengan kedua lengannya. “Kenapa?” tanyanya. Membuat Anyelir mengernyit tak mengerti. “Kenapa apanya?” Anyelir bertanya balik. “Aku suka kamu dengan penampilan seperti ini.” Ramon menyeringai sebelum mencium istrinya dalam-dalam. Anyelir tidak bisa menghalau perbuatan Ramon dan memilih menikmati. Lebih berani, perempuan itu justru
Satu minggu honeymoon terasa singkat bagi Anyelir. Setengah menginap dua malam di hotel Mataram, Anyelir dibawa oleh Ramon ke Gili Meno. Mereka hanya bermain-main di pinggir pantai dan menikmati keindahan alam di sana. Suatu hari, dia mungkin akan meminta Ramon membawanya kembali ke sana bersama dengan Ancala agar mereka bisa liburan keluarga. Anyelir menyentuh perutnya ketika mengingat honeymoon yang sudah dijalaninya. Ada harapan besar dia bisa segera memiliki anak. Memenuhi keinginan Ancala memiliki adik dan menggenapkan kebahagiaan keluarga kecilnya bersama dengan Ramon. “Bunda, apa adiknya sudah ada?” Ancala yang baru saja diantarkan oleh neneknya itu segera mendekati Anyelir yang tengah duduk di sofa ruang keluarga. Bocah itu duduk tepat di samping ibunya dengan tatapan penuh harap. “Oma bilang kalau Bunda dan Ayah sedang ambil adik Ancala.” Ibu Ramon itu justru terkekeh mendengar pertanyaan cucunya. Tidak merasa bersalah sudah mengarahkan pikiran yang tidak-tidak kepada anak
“Mbak Binar?” gumam Anyelir mengulangi. “Iya, Mbak Binar.” Melina bersuara dengan santai dan tampak angkuh. “Bang Arga, Bang Ramon, dua lelaki itu selalu mengatakan Mbak Bi adalah standar untuk mendapatkan seorang istri. Aku pikir, ketika aku mendengar Bang Ramon menikah dia mendapatkan perempuan yang benar-benar seperti Mbak Bi – kakakku – yang hebat. Tapi, aku rasa Bang Ramon salah pilih.” Melina menarik napasnya panjang. “Bukannya kalau standar mereka adalah Mbak Bi, seharusnya adalah aku yang sudah jelas-jelas adik Mbak Bi yang mereka pilih. Aku hanya pikir karena mereka nggak bisa mendapatkan aku tanpa ada yang mengalah, karena itu Bang Ramon dan Bang Arga sama-sama menjauh dariku.” Anyelir tidak tahu apakah ucapan Melina adalah sebuah kebenaran. Tapi bagaimanapun, Ramon adalah sahabat baik Binar. Dan tidak ada perempuan mana pun yang diperlakukan Ramon dengan sangat baik kecuali Binar. Bukankah tidak ada persahabatan antara perempuan dan laki-laki tanpa ada muncul rasa cinta
Melina, Eliya, dan Widi, tiga perempuan itu nyatanya tidak bisa mengubah Ramon menjadi seorang pengkhianat. Menunjukkan jika memang seperti itulah lelaki harus bersikap. Meskipun dia sering melukai Anyelir dengan kata-katanya, tapi dia menunjukkan kepada istrinya jika ucapannya bisa dipercaya. Janjinya adalah dia tidak akan selingkuh dari Anyelir dan dia benar-benar tidak melakukan hal bejat itu kepada istrinya. Itulah kenapa Anyelir kini sangat mempercayai sang suami. Karena memang suaminya bisa membuktikan ucapannya. “Bunda akan pergi ke kantor Ayah. Ancala ikut Bunda atau mau ikut Sus Ayu pulang?” Anyelir memberikan penawaran kepada putranya setelah mereka pulang menjemput Acala pulang sekolah. “Kalau nggak ikut, Ancala bisa langsung pulang setelah antar Bunda ke kantor Ayah.” “Anca mau ikut Bunda.” Ini adalah kali pertama Anyelir akan datang ke kantor sang suami. Dan bukan hanya dia sendiri, tapi juga bersama dengan putranya. Dia tidak tahu akan seperti apa tanggapan karyawan
“Kamu yakin kamu sudah menentukan pilihanmu, Ga?” Pertanyaan itu dilayangkan oleh ibunya kepada Arga ketika mereka dalam perjalanan ke rumah keluarga perempuan yang dijodohkan olehnya. Setelah pertemuan Arga dengan kakak beradik dari keluarga Airlangga, Arga kemudian memutuskan untuk menerima perjodohan tersebut dengan memilih salah satu di antara mereka. Tentu, keputusannya akan melukai salah satu dari mereka, tapi keputusan harus tetap diambil. “Udah, Ma. Tenang saja.” Begitu kata Arga mencoba untuk membuat ibunya yakin. “Kan Mama sendiri yang mau aku milih dan berharap jadi untuk salah satu di antara mereka. Mama ragu?” Tarikan napas panjang itu terlepas dari bibir ibu Arga. Perempuan paruh baya itu menoleh menatap sang anak dengan sungguh-sungguh sebelum mengeluarkan segala wejangannya. “Tolong kalau kamu sudah memilih salah satu di antara mereka, kamu harus bisa memperlakukannya dengan baik. Jangan sekalipun bertindak bodoh seperti abangmu yang sempat menelantarkan Binar d