“Mbak Binar?” gumam Anyelir mengulangi. “Iya, Mbak Binar.” Melina bersuara dengan santai dan tampak angkuh. “Bang Arga, Bang Ramon, dua lelaki itu selalu mengatakan Mbak Bi adalah standar untuk mendapatkan seorang istri. Aku pikir, ketika aku mendengar Bang Ramon menikah dia mendapatkan perempuan yang benar-benar seperti Mbak Bi – kakakku – yang hebat. Tapi, aku rasa Bang Ramon salah pilih.” Melina menarik napasnya panjang. “Bukannya kalau standar mereka adalah Mbak Bi, seharusnya adalah aku yang sudah jelas-jelas adik Mbak Bi yang mereka pilih. Aku hanya pikir karena mereka nggak bisa mendapatkan aku tanpa ada yang mengalah, karena itu Bang Ramon dan Bang Arga sama-sama menjauh dariku.” Anyelir tidak tahu apakah ucapan Melina adalah sebuah kebenaran. Tapi bagaimanapun, Ramon adalah sahabat baik Binar. Dan tidak ada perempuan mana pun yang diperlakukan Ramon dengan sangat baik kecuali Binar. Bukankah tidak ada persahabatan antara perempuan dan laki-laki tanpa ada muncul rasa cinta
Melina, Eliya, dan Widi, tiga perempuan itu nyatanya tidak bisa mengubah Ramon menjadi seorang pengkhianat. Menunjukkan jika memang seperti itulah lelaki harus bersikap. Meskipun dia sering melukai Anyelir dengan kata-katanya, tapi dia menunjukkan kepada istrinya jika ucapannya bisa dipercaya. Janjinya adalah dia tidak akan selingkuh dari Anyelir dan dia benar-benar tidak melakukan hal bejat itu kepada istrinya. Itulah kenapa Anyelir kini sangat mempercayai sang suami. Karena memang suaminya bisa membuktikan ucapannya. “Bunda akan pergi ke kantor Ayah. Ancala ikut Bunda atau mau ikut Sus Ayu pulang?” Anyelir memberikan penawaran kepada putranya setelah mereka pulang menjemput Acala pulang sekolah. “Kalau nggak ikut, Ancala bisa langsung pulang setelah antar Bunda ke kantor Ayah.” “Anca mau ikut Bunda.” Ini adalah kali pertama Anyelir akan datang ke kantor sang suami. Dan bukan hanya dia sendiri, tapi juga bersama dengan putranya. Dia tidak tahu akan seperti apa tanggapan karyawan
“Kamu yakin kamu sudah menentukan pilihanmu, Ga?” Pertanyaan itu dilayangkan oleh ibunya kepada Arga ketika mereka dalam perjalanan ke rumah keluarga perempuan yang dijodohkan olehnya. Setelah pertemuan Arga dengan kakak beradik dari keluarga Airlangga, Arga kemudian memutuskan untuk menerima perjodohan tersebut dengan memilih salah satu di antara mereka. Tentu, keputusannya akan melukai salah satu dari mereka, tapi keputusan harus tetap diambil. “Udah, Ma. Tenang saja.” Begitu kata Arga mencoba untuk membuat ibunya yakin. “Kan Mama sendiri yang mau aku milih dan berharap jadi untuk salah satu di antara mereka. Mama ragu?” Tarikan napas panjang itu terlepas dari bibir ibu Arga. Perempuan paruh baya itu menoleh menatap sang anak dengan sungguh-sungguh sebelum mengeluarkan segala wejangannya. “Tolong kalau kamu sudah memilih salah satu di antara mereka, kamu harus bisa memperlakukannya dengan baik. Jangan sekalipun bertindak bodoh seperti abangmu yang sempat menelantarkan Binar d
“Katakan, apa yang kamu bicarakan kepada Arga saat kalian bertemu. Kenapa Arga milih kamu dibandingkan dengan Dahlia.” Ambar segera mengeluarkan pertanyaan itu ketika Arga dan kedua orang tuanya pergi dari pertemuan tersebut. “Selayaknya seorang yang melakukan pertemuan pada umumnya.” Bening berujar santai. “Apalagi yang dilakukan oleh anak dari seorang pelakor, Ma. Dia pasti sudah memberikan tubuhnya untuk Mas Arga.” “Dahlia!” Jaya memeringatkan putrinya. “Jangan kelewat batas.” “Kenapa Papa jadi membela dia!” Dahlia tidak terima. “Sebuah batu kali tidak akan pernah menjadi mutiara. Dia hanya bisa melemparkan dirinya untuk mendapatkan perhatian orang lain.” Bening sudah terbiasa dengan ucapan Dahlia yang begitu menyakitkan untuk didengar. Tapi dia memilih bungkam dan tidak menjawab. Bening tahu betul jika Dahlia sangat menyukai Arga sejak rencana perjodohan itu digaungkan di dalam rumah itu. Apa pun yang didengarnya sekarang, lambat laun akan berakhir karena sebentar lagi, dia a
“Tadi ada seorang lelaki yang datang mencari Ibu.” Bening baru saja sampai di tokonya ketika karyawannya mengatakan hal itu. Langkahnya terhenti ketika dia ingin masuk ke dalam ruang kerjanya. “Siapa?” tanya Bening tapak penasaran. Jika itu dari keluarganya, maka seluruh karyawannya juga sudah mengenal mereka semua. Dan tentulah itu mungkin saja kliennya. “Dia laki-laki, Bu. Tapi beliau sudah minta nomor telepon Ibu.” Bening membuka tasnya untuk sekedar mengeluarkan ponsel miliknya yang dalam mode silent. Siapa tahu orang itu menghubunginya. Ternyata benar, ada satu nomor yang muncul di sana. Ada satu panggilan tak terjawab, dan juga chat yang mengatakan siapa pemilik nomor tersebut. Bening langsung membalas chat tersebut sebelum dia benar-benar masuk ke dalam ruangannya. Ruangan yang tidak begitu besar yang cukup untuk membuat dirinya nyaman berada di sana. Tak lama setelahnya, balasan juga didapatkan oleh Bening. Namun kali ini, Bening tidak lagi menanggapi dan memilih duduk di
“Tidur dengan lelaki yang belum sah menjadi suami adalah penyakit turunan. Dulu ibumu, sekarang kamu pun melakukannya.” Dahlia duduk di sofa ruang keluarga dengan secangkir minuman berwarna merah. Tatapannya pada awalnya mengarah pada televisi yang menayangkan sebuah drama sebelum dia mengalihkan atensinya pada sosok Bening yang baru saja masuk ke dalam rumah. Dahlia kemudian berdiri dan berjalan ke arah Bening. Masih mengambil jarak yang cukup jauh, tapi bisa dirasakan atmosfer di sekitarnya sangat mencekam. Dahlia menyeringai keji. “Katakan padaku, berapa banyak yang sudah kamu berikan untuk Arga sampai dia kehilangan akal sehatnya dan lebih memilih kamu dibandingkan aku?” Bening tenang menghadapi Dahlia yang tampak berusaha keras untuk terus menyerangnya. Rasa muak yang dirasakan oleh Bening sudah ingin keluar ke permukaan dan membalas Dahlia dengan membabi buta. Sayangnya, dia tidak ingin merendahkan harga dirinya hanya untuk perempuan tidak tahu diri itu. Kali ini Bening ters
Di dalam ruangan keluarga rumah orang tua Arga itu sudah duduk berhadapan Bening bersama Arga dan orang tuanya. Mereka selesai makan malam dan kini saatnya mereka berbicara dengan serius. Sebelumnya, belum ada yang kenal secara personal antara orang tua Arga dengan Bening, karena itulah kali ini mereka melakukan pertemuan sebelum pernikahan itu benar-benar dilakukan.Arga kukuh untuk tetap memilih Bening meskipun ibunya menyarankan memilih Dahlia. Latar belakang yang dimiliki Bening nyatanya memengaruhi pikiran orang tua Arga meskipun tak banyak. “Kamu tahu apa sebenarnya latar belakang yang membuat perjodohan ini dilakukan, Bening?” Ibu Arga yang bertanya lebih dulu mengawali pembicaraan. Semakin cepat menyelesaikan ketidakjelasan ini, makan akan semakin baik. “Saya tahu, Bu.” Tidak bisa dipungkiri, Bening adalah perempuan yang kaku. Dia tidak bisa benar-benar bergaul dengan sembarang orang, bahkan dia tidak memiliki sahabat dekat. Meskipun sekarang berhadapan dengan orang tua Arga
“Kamu ….” Ambar pastilah merasa amarahnya memuncak mendengar anak tirinya itu sudah berani melawannya. Wajahnya bahkan sudah memerah karena menahan gejolak emosi yang menggulungnya. “Sudah malam, Bu. Aku harus istirahat. Selamat malam.” Bening beranjak dari tempat duduknya untuk pergi menuju kamarnya. Sebenarnya, ini belum terlalu malam. Tapi bahkan Bening tidak melihat Dahlia di mana pun. Mungkin saja gadis itu sudah berada di dalam kamarnya dan meratapi nasibnya karena sudah dikalahkan oleh Bening untuk mendapatkan Arga. Tapi ternyata tidak. Baru saja Bening akan masuk ke kamarnya, kamar Dahlia terbuka dan memuncul si empunya di sana. Bening tidak peduli ketika dia hanya memberikan lirikan kepada saudaranya tersebut lalu menutup pintunya sebelum menguncinya. Sama sekali tidak memedulikan Dahlia yang tampak hampir kembali menyerangnya. Bening merebahkan tubuhnya di atas kasur. Memejamkan matanya dengan erat, lalu harus kembali terbuka karena getaran ponselnya terdengar. Bening me