“Tidur dengan lelaki yang belum sah menjadi suami adalah penyakit turunan. Dulu ibumu, sekarang kamu pun melakukannya.” Dahlia duduk di sofa ruang keluarga dengan secangkir minuman berwarna merah. Tatapannya pada awalnya mengarah pada televisi yang menayangkan sebuah drama sebelum dia mengalihkan atensinya pada sosok Bening yang baru saja masuk ke dalam rumah. Dahlia kemudian berdiri dan berjalan ke arah Bening. Masih mengambil jarak yang cukup jauh, tapi bisa dirasakan atmosfer di sekitarnya sangat mencekam. Dahlia menyeringai keji. “Katakan padaku, berapa banyak yang sudah kamu berikan untuk Arga sampai dia kehilangan akal sehatnya dan lebih memilih kamu dibandingkan aku?” Bening tenang menghadapi Dahlia yang tampak berusaha keras untuk terus menyerangnya. Rasa muak yang dirasakan oleh Bening sudah ingin keluar ke permukaan dan membalas Dahlia dengan membabi buta. Sayangnya, dia tidak ingin merendahkan harga dirinya hanya untuk perempuan tidak tahu diri itu. Kali ini Bening ters
Di dalam ruangan keluarga rumah orang tua Arga itu sudah duduk berhadapan Bening bersama Arga dan orang tuanya. Mereka selesai makan malam dan kini saatnya mereka berbicara dengan serius. Sebelumnya, belum ada yang kenal secara personal antara orang tua Arga dengan Bening, karena itulah kali ini mereka melakukan pertemuan sebelum pernikahan itu benar-benar dilakukan.Arga kukuh untuk tetap memilih Bening meskipun ibunya menyarankan memilih Dahlia. Latar belakang yang dimiliki Bening nyatanya memengaruhi pikiran orang tua Arga meskipun tak banyak. “Kamu tahu apa sebenarnya latar belakang yang membuat perjodohan ini dilakukan, Bening?” Ibu Arga yang bertanya lebih dulu mengawali pembicaraan. Semakin cepat menyelesaikan ketidakjelasan ini, makan akan semakin baik. “Saya tahu, Bu.” Tidak bisa dipungkiri, Bening adalah perempuan yang kaku. Dia tidak bisa benar-benar bergaul dengan sembarang orang, bahkan dia tidak memiliki sahabat dekat. Meskipun sekarang berhadapan dengan orang tua Arga
“Kamu ….” Ambar pastilah merasa amarahnya memuncak mendengar anak tirinya itu sudah berani melawannya. Wajahnya bahkan sudah memerah karena menahan gejolak emosi yang menggulungnya. “Sudah malam, Bu. Aku harus istirahat. Selamat malam.” Bening beranjak dari tempat duduknya untuk pergi menuju kamarnya. Sebenarnya, ini belum terlalu malam. Tapi bahkan Bening tidak melihat Dahlia di mana pun. Mungkin saja gadis itu sudah berada di dalam kamarnya dan meratapi nasibnya karena sudah dikalahkan oleh Bening untuk mendapatkan Arga. Tapi ternyata tidak. Baru saja Bening akan masuk ke kamarnya, kamar Dahlia terbuka dan memuncul si empunya di sana. Bening tidak peduli ketika dia hanya memberikan lirikan kepada saudaranya tersebut lalu menutup pintunya sebelum menguncinya. Sama sekali tidak memedulikan Dahlia yang tampak hampir kembali menyerangnya. Bening merebahkan tubuhnya di atas kasur. Memejamkan matanya dengan erat, lalu harus kembali terbuka karena getaran ponselnya terdengar. Bening me
Arga menatap punggung Bening dalam diam. Seharusnya dia segera pergi setelah mengantarkan calon istrinya itu kembali ke tokonya. Tapi entah kenapa, dia masih tetap berada di dalam mobil dan bahkan tak kunjung pergi. Sikap Bening yang begitu apatis terhadap sekelilingnya bahkan kepada dirinya, menunjukkan jika Bening pernah merasa betapa kejamnya kehidupannya. Sekarang dia benar-benar menutup dirinya untuk melindungi dirinya sendiri. Terlihat tidak akurnya Bening dengan Dahlia saja sudah begitu jelas bagaimana kehidupan Bening selama ini. Arga menghubungi sekretarisnya dan meminta agar jadwalnya siang ini dijadwal ulang. Setelah itu, dia memilih memarkirkan mobilnya, dan turun untuk selanjutnya menuju ke arah kafe yang terlihat rame di jam siang seperti ini. Dia duduk di salah satu meja setelah seorang pelayan memersilakannya. Memesan satu pancake dan soda mint. Arga mengamati sekitar dan tempat itu benar-benar nyaman. “Mas nggak balik ke kantor?” Pesanan yang dipesan oleh Arga itu
Ambar tentu saja menepati janjinya kepada sang putri. Sebagai seorang ibu, dia tentu tak ingin anaknya dikalahkan oleh orang lain. Terlebih lagi oleh anak dari madunya yang pernah dianggap merebut sang suami darinya. Lalu sekarang, Bening dengan berani juga merebut Arga dari Dahlia, tentu saja Ambar tidak akan membiarkannya.Jika dendam itu disebut dendam turunan, maka itulah yang terjadi. Ambar sangat membenci ibu Bening, dan Dahlia pun sangat membenci Bening. Kebencian itu sampai ke tulang-tulangnya. Di sinilah Ambar sekarang, meminta pertemuan kepada ibu Arga untuk membicarakan sesuatu yang bisa memengaruhi keputusan ibu Arga. Karena Ambar tahu, ibu Arga sempat meminta perjodohan itu dipikirkan kembali. “Apa yang ingin Bu Ambar bicarakan dengan saya?” tanya ibu Arga itu dengan ramah. “Maaf kalau saya mengganggu waktu Ibu. Ini tentang Arga dan Bening, Bu.” Mereka kini berada di sebuah restoran. Ambar yang menghubungi ibu Arga lebih dulu. Sehingga ibu Arga yang menyarankan agar m
“Bukannya Mas Arga sendiri yang sudah memilih saya, Bu?” Bening berujar tenang meskipun yang diucapkan oleh Fatma adalah sebuah kebenaran. “Di dunia ini ada hal-hal yang bisa mengubah pemikiran seseorang, Bu. Salah satunya adalah ketulusan. Dan Mas Arga memiliki itu untuk saya. Saya pikir, saya tidak bisa melepaskan dia untuk perempuan lain.” Kalimat itu terdengar sedikit rancu, tapi Bening tidak ingin dia dinilai buruk oleh Fatma sehingga rencana pernikahannya harus dibatalkan. Dia sudah berjalan sejauh ini dan tidak bisa berbalik arah. Itu hanya akan membuat dirinya dibuat malu oleh Dahlia. Membiarkan Dahlia menang? Tentu saja dia tak akan pernah melakukannya. Fatma tidak lagi mendebat dan pergi setelah itu. Rencana lamaran sudah dibuat olehnya bersama sang suami, dia berharap apa pun yang terjadi setelah ini adalah yang terbaik. Seperginya Fatma dari tokonya, Bening hanya terdiam di ruangannya tanpa melakukan apa pun. Bertanya pada dirinya sendiri, sebanyak apa yang sudah Dahlia
Ramon mondar-mandir di depan kamar mandi kamarnya. Seharusnya Anyelir keluar dulu sembari menunggu hasilnya keluar. Bukan tetap berada di dalam dan membuat Ramon resah luar biasa. Ramon memang tidak salah hitung. Dia hapal betul masa tamu bulanan Anyelir datang. Tidak berniat untuk mengingatnya, tapi itu tercetak begitu saja di dalam kepalanya. “Anyelir, nggak mau keluar dulu?” Ramon mengetuk kamar mandi dan berharap Anyelir akan segera keluar. Tapi sayangnya, Anyelir tetap berada di dalam. “Hasilnya belum keluar, Mas.” Perempuan itu memilih untuk berteriak dari dalam dan membuat Ramon mendesah panjang.“Aku masuk deh ya,” kata Ramon lagi. “Jangan. Tunggu sebentar lagi kenapa sih?” “Kalau gitu kamu keluar. Kita tunggu sama-sama.” Anyelir juga tidak bersuara setelah itu. Menunggu hasil seperti ini membuat waktu semakin lambat berjalan. Satu menit saja terasa sangat melelahkan. Tapi Anyelir tetap bersikeras untuk tetap berada di dalam kamar mandi tanpa peduli jika sang suami juga s
“Dua bulan? Ibu nggak salah?” Ambar sedikit tersentak ketika mendengar rencana yang diungkapkan oleh Fatma kepada dirinya di depan keluarganya. Hari ini adalah hari lamaran sekaligus tunangan Arga dan Bening. Nyatanya, setelah Ambar mencoba untuk berbicara hal buruk tentang Bening, Fatma sama sekali tidak mengubah pemikirannya dan tetap memilih Bening. Dahlia yang tadinya menganggap jika upaya ibunya itu berhasil, nyatanya salah besar. Semua yang dilakukan itu hanya sebuah kegagalan. Kini, Arga dan Bening justru sudah sah tunangan. Amarah yang dirasakan di dalam hati Dahlia meledak begitu saja yang berusaha ditutupi. “Semakin cepat semakin baik. Toh untuk apa menunggu lama-lama. Arga sudah siap, pun dengan Bening. Jadi, lebih baik disegerakan.” Dalam acara itu, hanya keluarga mereka saja yang ikut serta. Termasuk Ramon dan Kala beserta istri mereka. Tapi, lamaran itu sungguh terasa kaku luar biasa. Keluarga Bening justru terlihat tak senang dalam acara tersebut. “Tapi dua bulan i
“Istriku.” Ancala baru saja sampai rumah ketika melihat penampilan Gemi yang sudah cantik. Meskipun hanya mengenakan daster rumahan kebanggaannya, kecantikan perempuan itu selalu terpancar. Dan inilah yang selalu disukai oleh Ancala, Gemi akan selalu menunggu kepulangannya di teras rumah sambil membaca buku. Tidak di rumah Kala, atau bahkan di rumah mereka sendiri, Gemi memiliki perpustakaan sendiri dengan koleksi buku-bukunya. Gemi tersenyum melihat Ancala yang berjalan ke arahnya. Perempuan itu beranjak untuk menerima tas kerja lelaki itu. “Suamiku capek banget kayaknya.” Ancala memeluk Gemi sambil mencium pipi perempuan itu. Bagi Ancala, energinya akan kembali ketika sudah bertemu dengan sang istri setelah seharian bekerja. Rasa lelah itu seolah menguap begitu saja. Pelukan mereka terurai. Masih dengan memeluk pinggang sang istri, Ancala sedikit menjauhkan tubuhnya untuk menatap wajah Gemi yang halus. “Makan apa malam ini?” tanyanya, “lama nggak ke angkringan. Kangen nasi
“Kalian udah datang?” Ancala mendekati istri dan kedua adiknya dengan senyum kecil. Meskipun pagi tadi dia sempat kesal, tetapi setelah Gemi sekarang datang ke kantor, perasaannya menjadi sedikit membaik. Tatapannya mengarah pada ‘tiga tamunya’ yang tidak membawa apa pun. “Jadi belanjanya?” tanyanya. Perempuan yang dimaksud oleh Laksa tadi tidak mengikuti Ancala dan kembali lebih dulu. Gemi tidak bertanya siapa perempuan tersebut karena dia tahu kalau itu adalah sekretaris Ancala. Laksa pun sebenarnya juga tahu, tetapi dia hanya pura-pura untuk mengerjai Gemi. “Bang, aku laper banget, lho.” Laksa mengadu. “Aku laper, Bang.” Ulangnya lagi. “Kalian nggak makan dulu tadi?” Ancala mengernyit aneh menatap satu per satu saudaranya. “Istri Abang ngambek karena diajak desak-desakan. Jadi, nggak memedulikan aku yang kelaparan. Tapi, aku nggak mau makan di kantin ini. Abang tolong pesankan aku makanan yang enak, ya.” Laksa memang benar-benar membuat kakak-kakaknya kesal kalau sudah me
“Gem, bangun!” Ancala menepuk paha sang istri pelan ketika sudah sampai di rumah. Mereka baru saja sampai rumah ketika Gemi tidak sadarkan diri, tidur. Sepanjang jalan, Ancala memegangi tangan Gemi takut-takut kalau istrinya itu terjatuh. Bukannya apa-apa, Gemi tidur sepanjang jalan sedangkan mereka menggunakan motor. Kebanyakan makan kepala ayam membuat Gemi lemas sepertinya. “Bang, aku nggak sanggup jalan. Gendong.” Dengan suara lemas, perempuan itu masih memeluk pinggang Ancala dengan erat takut jatuh. Matanya masih tertutup erat enggan untuk terjaga. Napas panjang Ancala terbuang kasar. Menikahi Gemi adalah impiannya, tetapi kalau sifat manja perempuan keluar, maka habislah dia. “Iya, tapi tunggu dulu deh. Aku turun dulu.” Ancala melepaskan tangan Gemi dari pinggangnya sebelum dia turun dengan pelan dari motor. Baru setelahnya menarik tangan Gemi agar istrinya itu naik ke gendongannya. Diam-diam Ancala tersenyum kecil. Terkadang istrinya itu memang menyebalkan, tetapi juga me
Perdebatan yang terjadi malam itu dianggap bukan apa-apa. Pernikahan antara Gemi dan Ancala bahkan akan segera dilakukan dalam waktu dua hari lagi. Pernikahan mewah itu akan dilakukan di outdoor di pinggir pantai. Tidak banyak yang diundang karena Gemi dan Ancala benar-benar memilih orang-orang terdekat mereka saja yang datang. Kabar pernikahan yang sudah merebak itu membuat banyak orang terkejut. Tidak pernah menyangka kalau Gemi dan Ancala akan menikah. Semua orang tahu jika Abimanyu dan Sambara group adalah saudara. Tentu saja hal itu menjadi perbincangan banyak orang. “Gimana rasanya mau menikah?” Denta datang ke rumah Ancala untuk sekedar menemani sahabatnya itu mengobrol. “Dan menikah dengan perempuan yang lo cintai?” “Setelah semua yang terjadi, tentu saja gue bahagia, Den.” Ancala memainkan kakinya yang ada di kolam renang, menimbulkan bunyi kecipak air. “Gue kira akan sulit mendapatkan restu dari para tetua.” Denial mengatakan itu merujuk pada nenek dan kakek Ancala, lela
“Kamu sudah benar-benar yakin akan menikah dengan Gemi, Bang?” Ramon meyakinkan sekali lagi kepada sang putra atas keputusan untuk meminang sang pencuri hati. Para tetua, nenek kakeknya sudah memberikan izin untuk mempersatukan dua keluarga yang seharusnya tetap menjadi keluarga yang sesungguhnya. Namun, mereka memilih untuk memberikan restu dan menyingkirkan segala ego yang ada. Dua anak manusia itu sudah tidak bisa dipisahkan, untuk apa lagi mereka menahannya dan akan berakhir buruk. “Aku udah yakin, Yah. Aku sudah berbicara dengan Gemi dan dia menerima lamaranku.” Senyum lebar tersemat di bibir Ancala dan wajah sumringah itu tidak bisa berbohong jika dia sangat bahagia. “Kalau begitu, Ayah dan Bunda akan berbicara kepada Papa Kala kalau kami akan segera melamar Gemi. Pikirkan juga kamu ingin menikah di mana? Outdoor atau indoor, masalah biaya jangan khawatir, semua biaya Ayah yang urus.” Rasa sayang Ramon yang diberikan kepada Ancala tidak surut sedikitpun sejak dulu. Lelaki it
Setelah obrolan semalam, Gemi bangun tidur dengan perasaan yang terasa ringan. Hubungannya dengan sang ayah sudah membaik dan dia sudah memaafkan apa pun yang pernah sang ayah lakukan. Semua yang dilakukan oleh sang ayah semata untuk melindungi keluarganya. Suasana hati Gemi pun terlihat sangat baik seharian ini. Meskipun Ancala sejak tadi tak kunjung menghubunginya seperti yang sudah dijanjikan semalam, dia masih baik-baik saja. Seperti yang sudah Ancala bilang semalam, lelaki itu akan membicarakan masalah kerjaan dengan sang ayah. “Jadi, kamu mau balik kerja lagi?” Gemi yang baru saja duduk di sofa di samping sang bunda, segera mendapatkan pertanyaan tersebut. “Aku akan pikirkan lagi, Ma.” Sudah kebiasaan berada di rumah selama beberapa bulan, menjadikan Gemi enggan untuk kembali beraktivitas. “Tapi, Ma, Papa ngeluarin aku dari kantor dengan alasan apa, ya?” Benar, Binar pun tampaknya belum tahu tentang masalah tersebut karena dia tak pernah bertanya dengan Kala. “Mama juga
Binar dan Kala mendengar dengan jelas ucapan putri mereka meskipun kata-kata yang diucapkan terbata-bata. Mereka mendengarkan di balik dinding hanya untuk mengetahui reaksi Gemi ketika bertemu dengan Ancala. Nyatanya, Gemi mengatakan sesuatu yang membuat orang tuanya menahan kesedihannya. “Jangan bicara yang tidak-tidak. Sekarang fokuslah pada kesembuhanmu dulu. Papa bilang, kamu masih perlu bertemu dengan psikiater. Kapan jadwalnya? Aku temani ya?” “Aku nggak butuh psikiater lagi, Bang. Obatku udah ada di sini.” Kala mendesah pasrah mendengar jawaban Ancala atas ucapan sang putri. Sudah pasti perasaan Kala sekarang dipenuhi oleh rasa penyesalan yang amat besar. Di ruang tamu, Gemi dan Ancala melepaskan pelukan mereka. Ancala mengusap air mata Gemi yang mengalir menganak sungai di wajahnya. “Aku nggak akan ke mana-mana lagi, Gemi. Aku udah pulang sekarang. Jadi, kamu nggak perlu takut aku pergi lagi.” “Memangnya, Abang dari mana kemarin?” Ancala menyodorkan minuman yang disiapka
Kala pasti tidak pernah menyangka jika Ramon akan menurunkan egonya untuk meminta putranya pulang. Dia tahu betul bagaimana Ramon menolak permintaannya saat itu. Namun, sekarang tiba-tiba Ancala sudah ada di rumahnya dan menanyakan kabar Gemi. Hal itu tentu saja membuat Kala sedikit bingung. Apa pun itu, Kala tentulah merasa senang dengan kedatangan Ancala ke rumahnya. “Keadaan Gemi sudah lebih baik. Dia sekarang sedang istirahat.” Tepat setelah itu, Binar datang dan segera duduk di samping Ancala. Perempuan paruh baya itu mengelus punggung Ancala tanpa berbicara. Kelegaan terpancar dari matanya. “Kamu dari mana saja, Bang?” tanyanya setelah itu, “Mama cariin kamu.” “Aku jalan-jalan, Ma,” jawab Ancala dengan lembut, “Mama baik-baik aja ‘kan?” “Mama baik. Anca, kamu masih mau nemuin Gemi ‘kan? Setelah waktu itu, dia murung dan tidak ingin berurusan dengan siapa pun.” “Tentu saja aku mau, Ma. Gemi adalah adikku. Kalau memang perlu, aku akan menemaninya sampai dia sembuh.” “Apa mak
“Aku harus pulang, Den. Sorry, ya.” Gemi memilih menghindar daripada harus menjawab ucapan Denta. Gadis itu berdiri, lalu buru-buru pergi meninggalkan Denta yang tampak kebingungan. “Gem!” Denta berteriak memanggil gadis itu, tetapi seolah tuli, Gemi tetap berjalan dan sesekali berlari untuk menghindari sahabat Ancala tersebut. Setelah memasuki komplek perumahannya, barulah dia berjalan dengan tenang. Gemi berpikir, kalau Denta saja tidak tahu keberadaan Ancala, itu artinya, kepergian lelaki itu dirahasiakan. Sepertinya, masalah ini benar-benar serius. Gemi berhenti di pinggir jalan, terpaku di tempatnya, lalu berpikir sejenak. Apa dia harus menghubungi Ancala? Apa lelaki itu akan menerima panggilannya kalau dia melakukannya? Kebingungan itu melanda dirinya. Gara-gara kedatangan Denta, menjadikannya berpikir lebih keras tentang Ancala. Gadis berdaster coklat itu kembali melangkah untuk kembali ke rumah. Meskipun dia banyak memikirkan banyak hal, tapi beruntung kini halusinasinya ti