Ramon mondar-mandir di depan kamar mandi kamarnya. Seharusnya Anyelir keluar dulu sembari menunggu hasilnya keluar. Bukan tetap berada di dalam dan membuat Ramon resah luar biasa. Ramon memang tidak salah hitung. Dia hapal betul masa tamu bulanan Anyelir datang. Tidak berniat untuk mengingatnya, tapi itu tercetak begitu saja di dalam kepalanya. “Anyelir, nggak mau keluar dulu?” Ramon mengetuk kamar mandi dan berharap Anyelir akan segera keluar. Tapi sayangnya, Anyelir tetap berada di dalam. “Hasilnya belum keluar, Mas.” Perempuan itu memilih untuk berteriak dari dalam dan membuat Ramon mendesah panjang.“Aku masuk deh ya,” kata Ramon lagi. “Jangan. Tunggu sebentar lagi kenapa sih?” “Kalau gitu kamu keluar. Kita tunggu sama-sama.” Anyelir juga tidak bersuara setelah itu. Menunggu hasil seperti ini membuat waktu semakin lambat berjalan. Satu menit saja terasa sangat melelahkan. Tapi Anyelir tetap bersikeras untuk tetap berada di dalam kamar mandi tanpa peduli jika sang suami juga s
“Dua bulan? Ibu nggak salah?” Ambar sedikit tersentak ketika mendengar rencana yang diungkapkan oleh Fatma kepada dirinya di depan keluarganya. Hari ini adalah hari lamaran sekaligus tunangan Arga dan Bening. Nyatanya, setelah Ambar mencoba untuk berbicara hal buruk tentang Bening, Fatma sama sekali tidak mengubah pemikirannya dan tetap memilih Bening. Dahlia yang tadinya menganggap jika upaya ibunya itu berhasil, nyatanya salah besar. Semua yang dilakukan itu hanya sebuah kegagalan. Kini, Arga dan Bening justru sudah sah tunangan. Amarah yang dirasakan di dalam hati Dahlia meledak begitu saja yang berusaha ditutupi. “Semakin cepat semakin baik. Toh untuk apa menunggu lama-lama. Arga sudah siap, pun dengan Bening. Jadi, lebih baik disegerakan.” Dalam acara itu, hanya keluarga mereka saja yang ikut serta. Termasuk Ramon dan Kala beserta istri mereka. Tapi, lamaran itu sungguh terasa kaku luar biasa. Keluarga Bening justru terlihat tak senang dalam acara tersebut. “Tapi dua bulan i
Bening tidak pernah menyangka jika pagi ini dia akan mendapatkan sebuah kejutan yang tak pernah terbayangkan. Setelah dia keluar dari rumah, tiba-tiba saja dia mendapati Arga berdiri sambil menyandarkan tubuhnya di pintu mobil. Matanya menatap fokus pada ponselnya dan tidak peduli dengan sekelilingnya. Tidak ada kabar apa pun sebelumnya, jika lelaki itu akan mendatanginya. Bening yang awalnya ingin masuk ke dalam mobilnya itu tentu saja mengurungkan niatnya. Dia lantas mendekati Arga untuk menemui lelaki itu. Berdehem pelan untuk menarik perhatian si calon suami. Arga yang mendengar dan merasakan kehadiran Bening itu akhirnya mendongak. Secercah senyum terbit di bibirnya ketika mendapati Bening tengah berdiri di depannya. “Pagi.” Arga memasukkan ponselnya itu ke dalam kantong celananya sebelum berdiri dengan tegak di hadapan Bening. Memberikan perhatian penuh untuk si calon istri. “Sudah sarapan?” “Mas kenapa pagi sekali?” Alih-alih menjawab, Bening justru balik bertanya untuk memu
Orang itu sepertinya salah sangka jika Bening kali ini akan diam saja seperti sebelum-sebelumnya. Bening sudah berubah. Dia tak akan menjadi gadis bodoh dengan diam saja ketika ada orang yang menyepelekannya dan merendahkannya. Maka kali ini bukan ucapannya yang akan membungkam mulut perempuan itu, tapi sebuah tamparan mendarat di pipi perempuan itu. Hal ini membuat bukan hanya perempuan itu yang terkejut, Arga pun sama terkejutnya. “Kalau mulutmu tidak pernah diajari sopan santun, aku yang akan melakukannya. Sampah itu sangat pantas disematkan pada mulut kotormu.” “Kurang ajar! Berani sekali kamu melakukan itu kepadaku!” Nama perempuan itu adalah Jinan. Dulu, dia dekat sekali dengan Bening, tapi sekarang mereka hanya terlihat seperti musuh. “Kamu pasti terkejut, ‘kan? Itulah yang akan aku lakukan ketika kamu berani mengatakan sesuatu yang tidak-tidak. Saat itu aku akan diam saja. Tapi sekarang, aku tidak akan membiarkannya.” “Benar kata Dahlia, kamu sama rendahannya dengan p
Kalau keluarganya bisa membuatnya menderita, maka kenapa dia tidak bisa melakukannya? Tentu saja Bening harus mulai bertindak. Ayahnya juga perlu diberikan pelajaran atas tak acuhnya lelaki itu atas keberadaan Bening. Yang mana sudah tersiksa selama dua puluh lima tahun berada di kediaman keluarga Airlangga sejak dia dibawa saat usianya masih terlalu kecil. Bening berdiri di depan gedung kantor milik Abimanyu group, dengan segala tekad yang dia miliki. Napas panjangnya lolos sebelum dia melangkah untuk masuk ke dalam lobby. Ternyata, Arga juga baru saja keluar dari lift dan tersenyum lebar ketika netranya menangkap keberadaan Bening. “Aku penasaran apa yang ingin kamu bicarakan.” Arga segera bersuara ketika berhadapan dengan Bening. Tak lupa juga, bibirnya mengkurva membentuk senyum manis. “Sebenarnya aku ingin bicara dengan Pak Hardi, Mas. Ada hal penting yang ingin aku diskusikan.” Senyum yang tadinya tersemat di bibir Arga itu lantas mengerut kembali. Dia mengulangi, “Dengan pa
“Apa yang perlu dirundingkan denganku?” Secara kebetulan, Kala masuk ke dalam ruangan sang ayah dan mendengar namanya disebut. Lelaki tinggi itu mendekat dan duduk di sofa tepat di samping Raga. “Aku dengar tadi, barusan ada tamu. Apa ini ada kaitannya?” “Abang dari mana?” tanya Arga.“Dari luar. Nggak sengaja juga denger orang-orang ngomongin tentang kamu dan si calon istri. Tadi aku ke ruanganmu, tapi kamu nggak ada.” “Bening baru saja bicara kepada Papa.” Hardi segera bersuara. Lalu semua yang dikatakan oleh Bening itu diungkapkan kepada Kala. “Bagaimana menurutmu?” “Besar juga nyalinya.” Kala tampak kagum. “Setelah dia menikah dengan Arga, itu artinya dia sudah menjadi bagian dari keluarga kita. Itu mudah saja. Kita hanya perlu membantunya karena dia bagian dari kita.” Arga tersenyum mendengar ucapan sang kakak. Tapi dia menunggu Kala melanjutkan ucapannya siapa tahu ada tambahan lain.“Papa hanya berpikir kalau ini akan menjadi bumerang bagi kita,” ucap Hardi. “Bagaimanapun i
“Aku akan membelikan baju ganti buat kamu. Tapi aku nggak tahu ukurannya.” Arga duduk tepat di samping Bening di sofa apartemen setelah mereka pulang dari rumah sakit. Karena tidak ada luka yang benar-benar serius, maka Bening hanya perlu menginap satu malam dan itu pun karena Arga yang meminta kepada dokter. Tatapan mata Arga tidak lepas dari gerak-gerik Bening untuk memastikan jika perempuan itu duduk dengan nyaman. Di dalam ruangan itu hanya mereka berdua. Orang tua Arga pulang ke rumah untuk nanti membawa salah satu pembantu untuk membantu Bening sementara waktu di apartemen. “Biarin nanti Bibi aja deh, Mas yang belikan.” Bening tampak sungkan karena dia juga membutuhkan pakaian dalam. Hanya membayangkan Arga mencari benda-benda tersebut saja, dia sudah geli sendiri. “Ya sudah. Kalau gitu, tunggu Bibi datang.” Arga beranjak dari sofa untuk masuk ke dalam kamar. Mengecek hal-hal kecil di sana untuk memastikan jika tidak ada trouble dalam bentuk apa pun. Dia sudah jarang datang
Dalam kejadian sakitnya Bening, seharusnya Dahlia bisa mengambil kesempatan untuk mendekati Arga dengan cara apa pun. Menghancurkan hubungan baik yang terjalin antara Arga dan Bening, untuk kemudian menyingkirkan saudaranya itu dari lelaki yang dicintainya. Sayangnya, rancangan itu gagal total ketika Arga dan orang tuanya meminta pernikahan Bening dipercepat. Jelas, ini melukai hatinya semakin dalam. Bukan hanya itu, Arga melindungi Bening dengan segala upaya. "Kenapa sih Papa diam saja ketika mereka bertindak seenaknya seperti ini?” Ambar segera berbicara ketika Arga dan orang tuanya sudah pergi membawa serta Bi Kusni. “Harusnya Papa bisa lebih tegas kepada mereka dong.” Jaya disalahkan karena tidak benar-benar mengambil tindakan yang seharusnya. Seharusnya yang memiliki kendali dalam kehidupan Bening adalah mereka – keluarganya – bukanya Arga dan orang tuanya. Tapi apa yang terjadi sekarang justru berbalik arah. Arga bertindak seolah dia yang paling berhak atas diri Bening. Padah