“Apa yang perlu dirundingkan denganku?” Secara kebetulan, Kala masuk ke dalam ruangan sang ayah dan mendengar namanya disebut. Lelaki tinggi itu mendekat dan duduk di sofa tepat di samping Raga. “Aku dengar tadi, barusan ada tamu. Apa ini ada kaitannya?” “Abang dari mana?” tanya Arga.“Dari luar. Nggak sengaja juga denger orang-orang ngomongin tentang kamu dan si calon istri. Tadi aku ke ruanganmu, tapi kamu nggak ada.” “Bening baru saja bicara kepada Papa.” Hardi segera bersuara. Lalu semua yang dikatakan oleh Bening itu diungkapkan kepada Kala. “Bagaimana menurutmu?” “Besar juga nyalinya.” Kala tampak kagum. “Setelah dia menikah dengan Arga, itu artinya dia sudah menjadi bagian dari keluarga kita. Itu mudah saja. Kita hanya perlu membantunya karena dia bagian dari kita.” Arga tersenyum mendengar ucapan sang kakak. Tapi dia menunggu Kala melanjutkan ucapannya siapa tahu ada tambahan lain.“Papa hanya berpikir kalau ini akan menjadi bumerang bagi kita,” ucap Hardi. “Bagaimanapun i
“Aku akan membelikan baju ganti buat kamu. Tapi aku nggak tahu ukurannya.” Arga duduk tepat di samping Bening di sofa apartemen setelah mereka pulang dari rumah sakit. Karena tidak ada luka yang benar-benar serius, maka Bening hanya perlu menginap satu malam dan itu pun karena Arga yang meminta kepada dokter. Tatapan mata Arga tidak lepas dari gerak-gerik Bening untuk memastikan jika perempuan itu duduk dengan nyaman. Di dalam ruangan itu hanya mereka berdua. Orang tua Arga pulang ke rumah untuk nanti membawa salah satu pembantu untuk membantu Bening sementara waktu di apartemen. “Biarin nanti Bibi aja deh, Mas yang belikan.” Bening tampak sungkan karena dia juga membutuhkan pakaian dalam. Hanya membayangkan Arga mencari benda-benda tersebut saja, dia sudah geli sendiri. “Ya sudah. Kalau gitu, tunggu Bibi datang.” Arga beranjak dari sofa untuk masuk ke dalam kamar. Mengecek hal-hal kecil di sana untuk memastikan jika tidak ada trouble dalam bentuk apa pun. Dia sudah jarang datang
Dalam kejadian sakitnya Bening, seharusnya Dahlia bisa mengambil kesempatan untuk mendekati Arga dengan cara apa pun. Menghancurkan hubungan baik yang terjalin antara Arga dan Bening, untuk kemudian menyingkirkan saudaranya itu dari lelaki yang dicintainya. Sayangnya, rancangan itu gagal total ketika Arga dan orang tuanya meminta pernikahan Bening dipercepat. Jelas, ini melukai hatinya semakin dalam. Bukan hanya itu, Arga melindungi Bening dengan segala upaya. "Kenapa sih Papa diam saja ketika mereka bertindak seenaknya seperti ini?” Ambar segera berbicara ketika Arga dan orang tuanya sudah pergi membawa serta Bi Kusni. “Harusnya Papa bisa lebih tegas kepada mereka dong.” Jaya disalahkan karena tidak benar-benar mengambil tindakan yang seharusnya. Seharusnya yang memiliki kendali dalam kehidupan Bening adalah mereka – keluarganya – bukanya Arga dan orang tuanya. Tapi apa yang terjadi sekarang justru berbalik arah. Arga bertindak seolah dia yang paling berhak atas diri Bening. Padah
“Aku tunggu kamu di meja sudut ruangan.” Arga beranjak dari kursinya ketika melihat sosok Jaya sudah datang ke restoran tempat Bening membuat janji. Memberikan waktu kepada Bening agar perempuan itu bisa berbicara empat mata dengan sang ayah. Mungkin ada banyak hal yang perlu mereka diskusikan. Bening kini hanya menjawab dengan anggukan karena tatapannya terfokus pada sosok sang ayah yang berjalan mendekat ke arah mejanya.Tatapan mereka beradu. Jaya menarik kursi sebelum dia duduk tepat di depan Bening tanpa mengatakan sepatah kata pun. Dia lantas menatap Bening yang masih terlihat sedikit lemah tersebut. Meskipun begitu, lelaki paruh baya itu belum bisa melihat bagaimana kondisi kaki Bening yang terluka. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Jaya pada akhirnya memulai pembicaraan lebih dulu. “Sudah lumayan membaik.” Bening menjawab pelan. Bening mengangkat tangannya untuk memanggil pelayan. “Ayah mau pesan apa?” tanyanya masih perhatian. “Saya, cappucino saja, Mbak.” Bening menatap Jaya a
“Maaf karena aku belum bisa memberikan kamu tempat tinggal yang layak.” Malam ini adalah pengantin untuk Arga dan Bening. Setelah Jaya menyetujui rencana pernikahan itu dipercepat, maka tidak menunggu waktu lama untuk mengurus semua hal yang diperlukan untuk pernikahan. Hanya dalam waktu tiga hari, mereka sudah sah menjadi pasangan suami istri. Bahagia? Jika Bening yang ditanya hal itu, maka perasaannya lega karena dia bisa keluar dari keluarga Airlangga secara sah. Tapi untuk perasaan lain, dia masih merasakan biasa-biasa saja. Tidak merasakan sesuatu yang spesial selain dia adalah seorang istri sekarang. “Apartemen ini bahkan lebih dari cukup, Mas. Ini jauh lebih baik dari pada kediaman keluarga Airlangga.” Begitu jawab Bening. Meskipun unit itu mewah dan besar, tapi tentu jika dibandingkan dengan rumah Airlangga, tentu masih jauh. Tapi rumah itu bukan miliknya dan dia hanya numpang di sana. Sekarang dia sudah memiliki ‘keluarga’ sendiri. Meskipun cinta itu belum tumbuh di dalam
“Kenapa kalian tidak mengatakan langsung kepada Arga?” Binar akhirnya bersuara setelah beberapa saat. “Aku bukan orang yang menikah dengan Bening, dan juga bukan orang yang memilih Bening. Kalau memang semua ucapan yang kalian katakan itu benar, kenapa kalian baru mengatakannya sekarang? Toh Arga dan Bening sudah menikah.” “Saya sudah mencoba berbicara dengan Mas Arga, Mbak Bi. Tapi dia kukuh untuk melanjutkan pernikahan itu.” Dahlia berujar mendayu-dayu seolah dia adalah perempuan yang paling tersakiti. “Kalau memang kamu sudah berbicara dengan Arga dan Arga masih kukuh sampai pernikahan ini terjadi, artinya Arga sudah mengambil keputusan yang tepat untuknya.” Binar bukannya buta akan orang-orang seperti Dahlia ini. Dia sempat berbicara dengan Kala dan sedikit tahu tentang seluk beluk keluarga Airlangga. Dua perempuan bersaudara di keluarga tersebut menyukai satu laki-laki yang sama. Tentu saja itu timbul kerumitan yang tidak mudah diurai. Tapi bagaimana lagi, satu lelaki yang dir
“Kamu benar, Lia. Arga, selama ini kita tidak pernah mengobrol banyak. Bagaimana kalau malam ini kamu menginap dan mari kita ngobrol banyak hal agar kita bisa menjadi lebih dekat.” Jaya menyetujui. Bening bahkan tidak banyak merespon dan justru bertanya-tanya apa yang sebenarnya ingin dilakukan oleh Dahlia. Perempuan ular itu mungkin saja memiliki rencana buruk yang ada di dalam kepalanya. Atau mungkin saja sudah dirundingkan dengan Jaya sebelumnya sehingga Jaya mau mendukungnya. Atau bahkan tidak? Jaya tidak tahu apa? Ada pergolakan batin yang dirasakan oleh Bening namun dia tak bisa mengatakan apa pun. Arga menoleh pada Bening. “Saya serahkan sama istri saya, Pa.” Bening balas menoleh pada Arga. Dia tersenyum kecil. “Mas nggak papa menginap di sini?” tanyanya, “kalau nggak papa, kita bisa menginap. Kita bisa berangkat pagi-pagi besok. Aku juga harus mengemasi semua barang-barangku.” Mari ikuti saja permainannya. Belum tentu dugaannya benar jika Dahlia memang memiliki rencana jah
Sebelum Arga naik ke lantai dua, dia menyempatkan untuk pergi ke dapur untuk sekedar minum. Obrolan dengan ayah mertuanya sudah berakhir. Mereka sudah kembali ke kamarnya dan tinggallah Arga di lantai bawah. Lelaki itu duduk di meja makan sambil mengecek beberapa email dan menghabiskan air putih yang tadi diambil. Di dalam pikirannya, mungkin saja Bening masih sibuk dengan barang-barangnya. Padahal tadi dia sudah meminta untuk menyusulnya jika dia tak kunjung naik ke lantai atas. Tapi sepertinya, Bening masih asyik berkemas sehingga melupakan permintaan Arga. Setelah air di gelasnya habis, dia kembali mengisinya untuk dibawa ke kamar. Arga segera keluar dari dapur, namun seseorang menabrak tubuhnya. Bahkan air yang dibawanya pun tumpah sedikit mengenai tubuhnya dan orang tersebut. “Astaga! Sorry -sorry.” Arga belum tahu siapa yang ada di depannya. Tapi ketika dia melihat itu adalah Dahlia, Arga kembali meminta maaf. “Sorry, Dahlia. Aku nggak sengaja.” Arga mencoba untuk membantu D