“Aku akan membelikan baju ganti buat kamu. Tapi aku nggak tahu ukurannya.” Arga duduk tepat di samping Bening di sofa apartemen setelah mereka pulang dari rumah sakit. Karena tidak ada luka yang benar-benar serius, maka Bening hanya perlu menginap satu malam dan itu pun karena Arga yang meminta kepada dokter. Tatapan mata Arga tidak lepas dari gerak-gerik Bening untuk memastikan jika perempuan itu duduk dengan nyaman. Di dalam ruangan itu hanya mereka berdua. Orang tua Arga pulang ke rumah untuk nanti membawa salah satu pembantu untuk membantu Bening sementara waktu di apartemen. “Biarin nanti Bibi aja deh, Mas yang belikan.” Bening tampak sungkan karena dia juga membutuhkan pakaian dalam. Hanya membayangkan Arga mencari benda-benda tersebut saja, dia sudah geli sendiri. “Ya sudah. Kalau gitu, tunggu Bibi datang.” Arga beranjak dari sofa untuk masuk ke dalam kamar. Mengecek hal-hal kecil di sana untuk memastikan jika tidak ada trouble dalam bentuk apa pun. Dia sudah jarang datang
Dalam kejadian sakitnya Bening, seharusnya Dahlia bisa mengambil kesempatan untuk mendekati Arga dengan cara apa pun. Menghancurkan hubungan baik yang terjalin antara Arga dan Bening, untuk kemudian menyingkirkan saudaranya itu dari lelaki yang dicintainya. Sayangnya, rancangan itu gagal total ketika Arga dan orang tuanya meminta pernikahan Bening dipercepat. Jelas, ini melukai hatinya semakin dalam. Bukan hanya itu, Arga melindungi Bening dengan segala upaya. "Kenapa sih Papa diam saja ketika mereka bertindak seenaknya seperti ini?” Ambar segera berbicara ketika Arga dan orang tuanya sudah pergi membawa serta Bi Kusni. “Harusnya Papa bisa lebih tegas kepada mereka dong.” Jaya disalahkan karena tidak benar-benar mengambil tindakan yang seharusnya. Seharusnya yang memiliki kendali dalam kehidupan Bening adalah mereka – keluarganya – bukanya Arga dan orang tuanya. Tapi apa yang terjadi sekarang justru berbalik arah. Arga bertindak seolah dia yang paling berhak atas diri Bening. Padah
“Aku tunggu kamu di meja sudut ruangan.” Arga beranjak dari kursinya ketika melihat sosok Jaya sudah datang ke restoran tempat Bening membuat janji. Memberikan waktu kepada Bening agar perempuan itu bisa berbicara empat mata dengan sang ayah. Mungkin ada banyak hal yang perlu mereka diskusikan. Bening kini hanya menjawab dengan anggukan karena tatapannya terfokus pada sosok sang ayah yang berjalan mendekat ke arah mejanya.Tatapan mereka beradu. Jaya menarik kursi sebelum dia duduk tepat di depan Bening tanpa mengatakan sepatah kata pun. Dia lantas menatap Bening yang masih terlihat sedikit lemah tersebut. Meskipun begitu, lelaki paruh baya itu belum bisa melihat bagaimana kondisi kaki Bening yang terluka. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Jaya pada akhirnya memulai pembicaraan lebih dulu. “Sudah lumayan membaik.” Bening menjawab pelan. Bening mengangkat tangannya untuk memanggil pelayan. “Ayah mau pesan apa?” tanyanya masih perhatian. “Saya, cappucino saja, Mbak.” Bening menatap Jaya a
“Maaf karena aku belum bisa memberikan kamu tempat tinggal yang layak.” Malam ini adalah pengantin untuk Arga dan Bening. Setelah Jaya menyetujui rencana pernikahan itu dipercepat, maka tidak menunggu waktu lama untuk mengurus semua hal yang diperlukan untuk pernikahan. Hanya dalam waktu tiga hari, mereka sudah sah menjadi pasangan suami istri. Bahagia? Jika Bening yang ditanya hal itu, maka perasaannya lega karena dia bisa keluar dari keluarga Airlangga secara sah. Tapi untuk perasaan lain, dia masih merasakan biasa-biasa saja. Tidak merasakan sesuatu yang spesial selain dia adalah seorang istri sekarang. “Apartemen ini bahkan lebih dari cukup, Mas. Ini jauh lebih baik dari pada kediaman keluarga Airlangga.” Begitu jawab Bening. Meskipun unit itu mewah dan besar, tapi tentu jika dibandingkan dengan rumah Airlangga, tentu masih jauh. Tapi rumah itu bukan miliknya dan dia hanya numpang di sana. Sekarang dia sudah memiliki ‘keluarga’ sendiri. Meskipun cinta itu belum tumbuh di dalam
“Kenapa kalian tidak mengatakan langsung kepada Arga?” Binar akhirnya bersuara setelah beberapa saat. “Aku bukan orang yang menikah dengan Bening, dan juga bukan orang yang memilih Bening. Kalau memang semua ucapan yang kalian katakan itu benar, kenapa kalian baru mengatakannya sekarang? Toh Arga dan Bening sudah menikah.” “Saya sudah mencoba berbicara dengan Mas Arga, Mbak Bi. Tapi dia kukuh untuk melanjutkan pernikahan itu.” Dahlia berujar mendayu-dayu seolah dia adalah perempuan yang paling tersakiti. “Kalau memang kamu sudah berbicara dengan Arga dan Arga masih kukuh sampai pernikahan ini terjadi, artinya Arga sudah mengambil keputusan yang tepat untuknya.” Binar bukannya buta akan orang-orang seperti Dahlia ini. Dia sempat berbicara dengan Kala dan sedikit tahu tentang seluk beluk keluarga Airlangga. Dua perempuan bersaudara di keluarga tersebut menyukai satu laki-laki yang sama. Tentu saja itu timbul kerumitan yang tidak mudah diurai. Tapi bagaimana lagi, satu lelaki yang dir
“Kamu benar, Lia. Arga, selama ini kita tidak pernah mengobrol banyak. Bagaimana kalau malam ini kamu menginap dan mari kita ngobrol banyak hal agar kita bisa menjadi lebih dekat.” Jaya menyetujui. Bening bahkan tidak banyak merespon dan justru bertanya-tanya apa yang sebenarnya ingin dilakukan oleh Dahlia. Perempuan ular itu mungkin saja memiliki rencana buruk yang ada di dalam kepalanya. Atau mungkin saja sudah dirundingkan dengan Jaya sebelumnya sehingga Jaya mau mendukungnya. Atau bahkan tidak? Jaya tidak tahu apa? Ada pergolakan batin yang dirasakan oleh Bening namun dia tak bisa mengatakan apa pun. Arga menoleh pada Bening. “Saya serahkan sama istri saya, Pa.” Bening balas menoleh pada Arga. Dia tersenyum kecil. “Mas nggak papa menginap di sini?” tanyanya, “kalau nggak papa, kita bisa menginap. Kita bisa berangkat pagi-pagi besok. Aku juga harus mengemasi semua barang-barangku.” Mari ikuti saja permainannya. Belum tentu dugaannya benar jika Dahlia memang memiliki rencana jah
Sebelum Arga naik ke lantai dua, dia menyempatkan untuk pergi ke dapur untuk sekedar minum. Obrolan dengan ayah mertuanya sudah berakhir. Mereka sudah kembali ke kamarnya dan tinggallah Arga di lantai bawah. Lelaki itu duduk di meja makan sambil mengecek beberapa email dan menghabiskan air putih yang tadi diambil. Di dalam pikirannya, mungkin saja Bening masih sibuk dengan barang-barangnya. Padahal tadi dia sudah meminta untuk menyusulnya jika dia tak kunjung naik ke lantai atas. Tapi sepertinya, Bening masih asyik berkemas sehingga melupakan permintaan Arga. Setelah air di gelasnya habis, dia kembali mengisinya untuk dibawa ke kamar. Arga segera keluar dari dapur, namun seseorang menabrak tubuhnya. Bahkan air yang dibawanya pun tumpah sedikit mengenai tubuhnya dan orang tersebut. “Astaga! Sorry -sorry.” Arga belum tahu siapa yang ada di depannya. Tapi ketika dia melihat itu adalah Dahlia, Arga kembali meminta maaf. “Sorry, Dahlia. Aku nggak sengaja.” Arga mencoba untuk membantu D
Dengan dua koper besar, Arga masuk ke dalam apartemennya diikuti oleh Bening di belakang. Tidak ada dari dua orang itu yang bersuara bahkan sepanjang perjalanan, mereka hanya diliputi keheningan yang menyesakkan. Bening seolah membentengi dirinya cukup tinggi sehingga tidak ada orang yang bisa menembusnya termasuk sang suami. Arga bukannya tidak ingin mengajak bicara Bening terlebih dulu, tapi dia memilih memberikan sang istri waktu untuk tenang dan tidak ingin mengganggunya. Kejadian malam ini membuka mata Arga lebih lebar lagi betapa beratnya kehidupan Bening selama ini. Perempuan itu bahkan memendam semuanya sendiri tanpa ada orang yang bisa diajak bicara. Bahkan dia pun tidak memiliki teman dekat untuk berbagi masalahnya. Tidakkah itu sangat menyedihkan? “Aku minta maaf.” Arga kembali meminta maaf kepada Bening karena merasa bersalah dengan kejadian barusan. “Seharusnya aku lebih berhati-hati.” Arga duduk di samping Bening di pinggiran ranjang. Menatap perempuan itu dengan sedi
“Istriku.” Ancala baru saja sampai rumah ketika melihat penampilan Gemi yang sudah cantik. Meskipun hanya mengenakan daster rumahan kebanggaannya, kecantikan perempuan itu selalu terpancar. Dan inilah yang selalu disukai oleh Ancala, Gemi akan selalu menunggu kepulangannya di teras rumah sambil membaca buku. Tidak di rumah Kala, atau bahkan di rumah mereka sendiri, Gemi memiliki perpustakaan sendiri dengan koleksi buku-bukunya. Gemi tersenyum melihat Ancala yang berjalan ke arahnya. Perempuan itu beranjak untuk menerima tas kerja lelaki itu. “Suamiku capek banget kayaknya.” Ancala memeluk Gemi sambil mencium pipi perempuan itu. Bagi Ancala, energinya akan kembali ketika sudah bertemu dengan sang istri setelah seharian bekerja. Rasa lelah itu seolah menguap begitu saja. Pelukan mereka terurai. Masih dengan memeluk pinggang sang istri, Ancala sedikit menjauhkan tubuhnya untuk menatap wajah Gemi yang halus. “Makan apa malam ini?” tanyanya, “lama nggak ke angkringan. Kangen nasi
“Kalian udah datang?” Ancala mendekati istri dan kedua adiknya dengan senyum kecil. Meskipun pagi tadi dia sempat kesal, tetapi setelah Gemi sekarang datang ke kantor, perasaannya menjadi sedikit membaik. Tatapannya mengarah pada ‘tiga tamunya’ yang tidak membawa apa pun. “Jadi belanjanya?” tanyanya. Perempuan yang dimaksud oleh Laksa tadi tidak mengikuti Ancala dan kembali lebih dulu. Gemi tidak bertanya siapa perempuan tersebut karena dia tahu kalau itu adalah sekretaris Ancala. Laksa pun sebenarnya juga tahu, tetapi dia hanya pura-pura untuk mengerjai Gemi. “Bang, aku laper banget, lho.” Laksa mengadu. “Aku laper, Bang.” Ulangnya lagi. “Kalian nggak makan dulu tadi?” Ancala mengernyit aneh menatap satu per satu saudaranya. “Istri Abang ngambek karena diajak desak-desakan. Jadi, nggak memedulikan aku yang kelaparan. Tapi, aku nggak mau makan di kantin ini. Abang tolong pesankan aku makanan yang enak, ya.” Laksa memang benar-benar membuat kakak-kakaknya kesal kalau sudah me
“Gem, bangun!” Ancala menepuk paha sang istri pelan ketika sudah sampai di rumah. Mereka baru saja sampai rumah ketika Gemi tidak sadarkan diri, tidur. Sepanjang jalan, Ancala memegangi tangan Gemi takut-takut kalau istrinya itu terjatuh. Bukannya apa-apa, Gemi tidur sepanjang jalan sedangkan mereka menggunakan motor. Kebanyakan makan kepala ayam membuat Gemi lemas sepertinya. “Bang, aku nggak sanggup jalan. Gendong.” Dengan suara lemas, perempuan itu masih memeluk pinggang Ancala dengan erat takut jatuh. Matanya masih tertutup erat enggan untuk terjaga. Napas panjang Ancala terbuang kasar. Menikahi Gemi adalah impiannya, tetapi kalau sifat manja perempuan keluar, maka habislah dia. “Iya, tapi tunggu dulu deh. Aku turun dulu.” Ancala melepaskan tangan Gemi dari pinggangnya sebelum dia turun dengan pelan dari motor. Baru setelahnya menarik tangan Gemi agar istrinya itu naik ke gendongannya. Diam-diam Ancala tersenyum kecil. Terkadang istrinya itu memang menyebalkan, tetapi juga me
Perdebatan yang terjadi malam itu dianggap bukan apa-apa. Pernikahan antara Gemi dan Ancala bahkan akan segera dilakukan dalam waktu dua hari lagi. Pernikahan mewah itu akan dilakukan di outdoor di pinggir pantai. Tidak banyak yang diundang karena Gemi dan Ancala benar-benar memilih orang-orang terdekat mereka saja yang datang. Kabar pernikahan yang sudah merebak itu membuat banyak orang terkejut. Tidak pernah menyangka kalau Gemi dan Ancala akan menikah. Semua orang tahu jika Abimanyu dan Sambara group adalah saudara. Tentu saja hal itu menjadi perbincangan banyak orang. “Gimana rasanya mau menikah?” Denta datang ke rumah Ancala untuk sekedar menemani sahabatnya itu mengobrol. “Dan menikah dengan perempuan yang lo cintai?” “Setelah semua yang terjadi, tentu saja gue bahagia, Den.” Ancala memainkan kakinya yang ada di kolam renang, menimbulkan bunyi kecipak air. “Gue kira akan sulit mendapatkan restu dari para tetua.” Denial mengatakan itu merujuk pada nenek dan kakek Ancala, lela
“Kamu sudah benar-benar yakin akan menikah dengan Gemi, Bang?” Ramon meyakinkan sekali lagi kepada sang putra atas keputusan untuk meminang sang pencuri hati. Para tetua, nenek kakeknya sudah memberikan izin untuk mempersatukan dua keluarga yang seharusnya tetap menjadi keluarga yang sesungguhnya. Namun, mereka memilih untuk memberikan restu dan menyingkirkan segala ego yang ada. Dua anak manusia itu sudah tidak bisa dipisahkan, untuk apa lagi mereka menahannya dan akan berakhir buruk. “Aku udah yakin, Yah. Aku sudah berbicara dengan Gemi dan dia menerima lamaranku.” Senyum lebar tersemat di bibir Ancala dan wajah sumringah itu tidak bisa berbohong jika dia sangat bahagia. “Kalau begitu, Ayah dan Bunda akan berbicara kepada Papa Kala kalau kami akan segera melamar Gemi. Pikirkan juga kamu ingin menikah di mana? Outdoor atau indoor, masalah biaya jangan khawatir, semua biaya Ayah yang urus.” Rasa sayang Ramon yang diberikan kepada Ancala tidak surut sedikitpun sejak dulu. Lelaki it
Setelah obrolan semalam, Gemi bangun tidur dengan perasaan yang terasa ringan. Hubungannya dengan sang ayah sudah membaik dan dia sudah memaafkan apa pun yang pernah sang ayah lakukan. Semua yang dilakukan oleh sang ayah semata untuk melindungi keluarganya. Suasana hati Gemi pun terlihat sangat baik seharian ini. Meskipun Ancala sejak tadi tak kunjung menghubunginya seperti yang sudah dijanjikan semalam, dia masih baik-baik saja. Seperti yang sudah Ancala bilang semalam, lelaki itu akan membicarakan masalah kerjaan dengan sang ayah. “Jadi, kamu mau balik kerja lagi?” Gemi yang baru saja duduk di sofa di samping sang bunda, segera mendapatkan pertanyaan tersebut. “Aku akan pikirkan lagi, Ma.” Sudah kebiasaan berada di rumah selama beberapa bulan, menjadikan Gemi enggan untuk kembali beraktivitas. “Tapi, Ma, Papa ngeluarin aku dari kantor dengan alasan apa, ya?” Benar, Binar pun tampaknya belum tahu tentang masalah tersebut karena dia tak pernah bertanya dengan Kala. “Mama juga
Binar dan Kala mendengar dengan jelas ucapan putri mereka meskipun kata-kata yang diucapkan terbata-bata. Mereka mendengarkan di balik dinding hanya untuk mengetahui reaksi Gemi ketika bertemu dengan Ancala. Nyatanya, Gemi mengatakan sesuatu yang membuat orang tuanya menahan kesedihannya. “Jangan bicara yang tidak-tidak. Sekarang fokuslah pada kesembuhanmu dulu. Papa bilang, kamu masih perlu bertemu dengan psikiater. Kapan jadwalnya? Aku temani ya?” “Aku nggak butuh psikiater lagi, Bang. Obatku udah ada di sini.” Kala mendesah pasrah mendengar jawaban Ancala atas ucapan sang putri. Sudah pasti perasaan Kala sekarang dipenuhi oleh rasa penyesalan yang amat besar. Di ruang tamu, Gemi dan Ancala melepaskan pelukan mereka. Ancala mengusap air mata Gemi yang mengalir menganak sungai di wajahnya. “Aku nggak akan ke mana-mana lagi, Gemi. Aku udah pulang sekarang. Jadi, kamu nggak perlu takut aku pergi lagi.” “Memangnya, Abang dari mana kemarin?” Ancala menyodorkan minuman yang disiapka
Kala pasti tidak pernah menyangka jika Ramon akan menurunkan egonya untuk meminta putranya pulang. Dia tahu betul bagaimana Ramon menolak permintaannya saat itu. Namun, sekarang tiba-tiba Ancala sudah ada di rumahnya dan menanyakan kabar Gemi. Hal itu tentu saja membuat Kala sedikit bingung. Apa pun itu, Kala tentulah merasa senang dengan kedatangan Ancala ke rumahnya. “Keadaan Gemi sudah lebih baik. Dia sekarang sedang istirahat.” Tepat setelah itu, Binar datang dan segera duduk di samping Ancala. Perempuan paruh baya itu mengelus punggung Ancala tanpa berbicara. Kelegaan terpancar dari matanya. “Kamu dari mana saja, Bang?” tanyanya setelah itu, “Mama cariin kamu.” “Aku jalan-jalan, Ma,” jawab Ancala dengan lembut, “Mama baik-baik aja ‘kan?” “Mama baik. Anca, kamu masih mau nemuin Gemi ‘kan? Setelah waktu itu, dia murung dan tidak ingin berurusan dengan siapa pun.” “Tentu saja aku mau, Ma. Gemi adalah adikku. Kalau memang perlu, aku akan menemaninya sampai dia sembuh.” “Apa mak
“Aku harus pulang, Den. Sorry, ya.” Gemi memilih menghindar daripada harus menjawab ucapan Denta. Gadis itu berdiri, lalu buru-buru pergi meninggalkan Denta yang tampak kebingungan. “Gem!” Denta berteriak memanggil gadis itu, tetapi seolah tuli, Gemi tetap berjalan dan sesekali berlari untuk menghindari sahabat Ancala tersebut. Setelah memasuki komplek perumahannya, barulah dia berjalan dengan tenang. Gemi berpikir, kalau Denta saja tidak tahu keberadaan Ancala, itu artinya, kepergian lelaki itu dirahasiakan. Sepertinya, masalah ini benar-benar serius. Gemi berhenti di pinggir jalan, terpaku di tempatnya, lalu berpikir sejenak. Apa dia harus menghubungi Ancala? Apa lelaki itu akan menerima panggilannya kalau dia melakukannya? Kebingungan itu melanda dirinya. Gara-gara kedatangan Denta, menjadikannya berpikir lebih keras tentang Ancala. Gadis berdaster coklat itu kembali melangkah untuk kembali ke rumah. Meskipun dia banyak memikirkan banyak hal, tapi beruntung kini halusinasinya ti