Bening tidak ingin menahan diri dengan mengeluarkan semua ucapan buruk untuk saudaranya itu. Dia sudah mengisi amunisi untuk menyerang Dahlia dan keluarganya sendiri. Tidak perlu lagi ada belas kasihan untuk orang-orang yang tidak memiliki hati. Dengan melakukan itu, dia pasti akan dipandang buruk oleh orang lain, tapi selagi suami dan keluarga suaminya mempercayainya, maka itu sudah dari cukup. Dia tak membutuhkan apa pun lagi. “Apa yang kalian lakukan di sini?” Kala bersuara memecah kebekuan. “Masih ada banyak tamu yang harus kalian sapa. Temui mereka.” Arga mengangguk dan memberikan kode kepada Kala dengan kedipan matanya jika ada sesuatu terkait dua orang yang ada di depannya. Kala mengerti dan lelaki itu tidak beranjak dari tempatnya. Hanya menatap Arga dan Bening yang meninggalkan tempat itu. Kala menatap Dahlia dengan dingin sehingga membuat gadis itu salah tingkah. Kemarahan yang beberapa saat lalu muncul di dalam dirinya karena ucapan Bening itu menguar begitu saja. “Halo,
“Kapan terakhir kamu liburan?” Arga meletakkan koper berisi pakaian miliknya dan Bening di atas lantai kayu sebelum dia membuka pintu balkon yang mengarah langsung pada keindahan alam yang asri di depannya. Bening yang mengekori dari belakang itu terlihat takjub sehingga bibirnya menganga. Udaranya sungguh sejuk. “Selama ini aku nggak pernah liburan.” Jawaban itu keluar dari mulut Bening setelahnya. “Mereka tidak pernah mengajakku.” Perempuan itu menoleh pada Arga dengan sedikit senyum kecil di bibirnya. “Mereka sering liburan di luar negeri. Bahkan berkeliling Indonesia, tapi tidak sekalipun aku ikut serta.” Bening tidak berbohong. Sejak dia duduk di bangku SMP, ayahnya selalu merencanakan jalan-jalan bersama keluarganya. Ke mana pun Dahlia ingin pergi, Jaya akan selalu menurutinya. Suatu hari, Bening pernah mengajukan diri untuk ikut dalam perjalanan mereka, tapi Dahlia segera menolak. Dan tentu saja, Jaya hanya mendengar yang diucapkan oleh putri tersayangnya itu. “Aku pernah ke
Ucapan Lia itu membuat Bening terpaku di tempatnya. Dia menatap dengan sedih pada bunga-bunga layu yang sudah tidak bisa terpakai lagi. Ada sekitar lima belas karangan bunga yang berdiri di depan tokonya dalam keadaan yang menyedihkan. Beberapa karyawan yang sudah bekerja keras untuk membuatnya pun kini juga berdiri di sana dengan kepala menunduk. “Kami minta maaf, Bu. Tapi, saat kami datang ke tempat acara, kami bahkan mendapatkan kemarahan.” Salah satu karyawan lelaki bernama Agus itu mengadu. “Kami benar-benar tidak tahu siapa yang melakukan ini, tapi mereka sungguh jahat sekali.” “Tapi, mereka membayar untuk karangan bunganya, ‘kan?” tanya Bening setelah itu. Karena pembayaran harus dilakukan sebelum barang dibuat. “Sudah, Bu. Saya juga sudah mengecek mutasi rekeningnya, dan uangnya memang masuk.” “Itu artinya, orang itu hanya ingin membuat reputasi toko kita buruk.” Bening berbalik untuk masuk ke dalam toko dan diikuti oleh beberapa karyawannya. Memang, tugas untuk di dalam t
“Aku ingin tanya sesuatu kepada Mas.” Bening sejak tadi berpikir haruskah dia mengatakan masalahnya kepada Arga atau memendamnya seorang diri. Ada banyak hal yang dipikirkan di dalam kepalanya sampai dia memutuskan untuk bertanya kepada Arga tentang hal-hal yang mungkin Arga bisa mengetahuinya. “Tanya apa?” Arga berbaring di atas karpet di depan televisi karena perutnya merasa kekenyangan. Untuk pertama kalinya, Bening masak untuknya dan dia sangat menyukainya. Memang tidak seenak makanan seorang chef ternama. Tapi baginya, kelezatan itu berasal dari ketulusan yang Bening berikan. “Ada temanku ....” “Kamu punya teman?” Arga memotong ucapan Bening yang belum selesai. Arga tampaknya sudah lebih banyak tahu tentang kehidupan sang istri itu dan paham jika Bening tidak memiliki seorang teman dekat pun. “Katakan saja langsung siapa dia. Atau justru itu kamu sendiri.” Arga memiringkan tubuhnya untuk menatap ke arah Bening yang duduk berselonjor bersandar pada sofa. Dan sepertinya, Bening
“Kurang ajar. Kamu pikir siapa yang mati di rumah kami?” Dahlia melotot marah karena ucapan Binar yang menurutnya sudah kelewat batas. “Begini caramu menerima customer?” “Aku dengar, tokomu ini sudah diambang kehancuran, Bening. Kami datang untuk mengetahui keadaannya. Siapa tahu kami bisa membantu. Jadi ayolah, jangan bersikap sesombong itu.” Jinan ikut bersuara. Ekspresinya terlihat mengejek merasa jika dia tahu segalanya. “Dari mana kamu tahu kalau toko kami sedang ada masalah?” Bening bertanya balik. “Kami bahkan tidak mengatakan apa pun sejak tadi.” “Sepandainya kamu menutupi keadaan sebenarnya tokomu ini, kami tentu tahu. Lihatlah karangan bunga di depan itu, itu sudah menunjukkan semuanya.” Jinan menjawab dengan cepat. Membuat Dahlia menyeringai licik. “Terima kasih karena kalian sudah peduli denganku. Tapi tenang saja, aku akan mengirimkan karangan bunga itu ke tempat si pemesan. Toh mereka sudah membayarnya.” Dahlia menggeleng miris. “Bening ... Bening, sepertinya kamu i
“Di mana Bening!” Jinan yang baru saja masuk ke dalam toko bunga milik Bening itu segera meninggikan suaranya hanya untuk bertanya keberadaan si pemilik toko. Lia yang tengah sibuk menata bunga-bunga itu mendongak dengan terkejut. “Maaf, Bu. Bu Bening tidak ada di sini. Beliau belum datang.” Lia benar-benar tampak ketakutan melihat sosok Jinan yang seperti orang kesetanan. Dibandingkan dengan kedatangannya kemarin, hari ini tampak membawa serta emosi di dalam dirinya. Bukan hanya itu, ekspresinya jauh lebih menakutkan. Lia tentu saja tidak berani terlalu menanggapi perempuan itu. “Ibu boleh tunggu di sofa, saya akan telpon Bu Bening.” Lia mencoba untuk bersikap ramah seperti biasa meskipun dia gugup luar biasa. Yang Lia takutkan pastilah kalau-kalau Jinan murka dan mengamuk. Beruntung, Jinan kali ini mau bekerja sama dengan baik. Meskipun tanpa berucap apa pun, dia segera duduk di sofa, lalu Lia pun segera menghubungi Bening. Berharap bosnya itu akan segera datang dan bisa menemui
“Kok Mas nggak bilang kalau mau meeting di sini?” Bening duduk di sofa tepat di samping Arga setelah tamu mereka sudah pergi. “Emang sengaja nggak bilang. Lagian nggak lama juga.” “Mas udah makan?” tanya Bening lagi. “Udah.” Arga menatap istrinya itu dalam-dalam. “Imbas dari masalah itu memang begini ya?” tanya Arga. "Nggak ada yang datang sejak tadi.” Bening menggeleng. “Sebenarnya hari-hari biasa sebelum ada masalah itu juga nggak banyak banget yang datang, Mas. Kebanyakan kan memang pesanan. Tapi, sekarang onlinenya kurang, jadi ya begini.” Kini tatapan Bening mengarah pada Arga. “Tapi, Mas udah bantu aku. Jadi mungkin sebentar lagi akan banyak orang yang tahu toko ini.” Bening tahu kenapa sang suami justru mengajak rekan dan kliennya untuk datang ke kafenya. Lelaki itu ingin membantunya dengan mempromosikan tokonya. Lelaki itu selalu punya cara untuk membantu Bening. Dan bagi Bening itu sudah lebih dari cukup. Meskipun begitu, dia belum mengatakan tentang Jinan kepada sang s
“Apa maksud Mas Kala kalau Bening tahu? Dia tahu tentang pernikahan bisnis ini?” Jaya pasti tidak akan pernah menduga jika putrinya yang selalu di nomor duakan itu tahu segalanya. Selama ini Jaya tidak pernah membicarakan masalah tersebut di depan Bening. Sengaja menutupnya rapat. Lalu sekarang, justru Bening selangkah lebih cepat di depannya dan menghalangi upayanya untuk memanfaatkannya. Airlangga memang masih jauh dari kata pailit, tapi bukan tidak mungkin suatu hari nanti akan tumbang. Dan dia tak ingin hal itu terjadi. Karena itu, dia harus menanggulangi lebih cepat agar hal-hal tersebut tidak akan pernah terjadi. “Benar. Dia sudah tahu segalanya.” Arga yang menjawab. “Jadi, kami tidak bisa membantu Pak Jaya untuk sementara waktu. Atau, Bapak bisa ikut tender kami seperti yang dilakukan oleh perusahaan lain.” Jaya tidak bisa mengatakan apa pun kepada tiga orang yang ada di depannya. Semua kata-katanya seolah lenyap tanpa bekas. Bening, putrinya yang selama ini dibesarkannya,
“Istriku.” Ancala baru saja sampai rumah ketika melihat penampilan Gemi yang sudah cantik. Meskipun hanya mengenakan daster rumahan kebanggaannya, kecantikan perempuan itu selalu terpancar. Dan inilah yang selalu disukai oleh Ancala, Gemi akan selalu menunggu kepulangannya di teras rumah sambil membaca buku. Tidak di rumah Kala, atau bahkan di rumah mereka sendiri, Gemi memiliki perpustakaan sendiri dengan koleksi buku-bukunya. Gemi tersenyum melihat Ancala yang berjalan ke arahnya. Perempuan itu beranjak untuk menerima tas kerja lelaki itu. “Suamiku capek banget kayaknya.” Ancala memeluk Gemi sambil mencium pipi perempuan itu. Bagi Ancala, energinya akan kembali ketika sudah bertemu dengan sang istri setelah seharian bekerja. Rasa lelah itu seolah menguap begitu saja. Pelukan mereka terurai. Masih dengan memeluk pinggang sang istri, Ancala sedikit menjauhkan tubuhnya untuk menatap wajah Gemi yang halus. “Makan apa malam ini?” tanyanya, “lama nggak ke angkringan. Kangen nasi
“Kalian udah datang?” Ancala mendekati istri dan kedua adiknya dengan senyum kecil. Meskipun pagi tadi dia sempat kesal, tetapi setelah Gemi sekarang datang ke kantor, perasaannya menjadi sedikit membaik. Tatapannya mengarah pada ‘tiga tamunya’ yang tidak membawa apa pun. “Jadi belanjanya?” tanyanya. Perempuan yang dimaksud oleh Laksa tadi tidak mengikuti Ancala dan kembali lebih dulu. Gemi tidak bertanya siapa perempuan tersebut karena dia tahu kalau itu adalah sekretaris Ancala. Laksa pun sebenarnya juga tahu, tetapi dia hanya pura-pura untuk mengerjai Gemi. “Bang, aku laper banget, lho.” Laksa mengadu. “Aku laper, Bang.” Ulangnya lagi. “Kalian nggak makan dulu tadi?” Ancala mengernyit aneh menatap satu per satu saudaranya. “Istri Abang ngambek karena diajak desak-desakan. Jadi, nggak memedulikan aku yang kelaparan. Tapi, aku nggak mau makan di kantin ini. Abang tolong pesankan aku makanan yang enak, ya.” Laksa memang benar-benar membuat kakak-kakaknya kesal kalau sudah me
“Gem, bangun!” Ancala menepuk paha sang istri pelan ketika sudah sampai di rumah. Mereka baru saja sampai rumah ketika Gemi tidak sadarkan diri, tidur. Sepanjang jalan, Ancala memegangi tangan Gemi takut-takut kalau istrinya itu terjatuh. Bukannya apa-apa, Gemi tidur sepanjang jalan sedangkan mereka menggunakan motor. Kebanyakan makan kepala ayam membuat Gemi lemas sepertinya. “Bang, aku nggak sanggup jalan. Gendong.” Dengan suara lemas, perempuan itu masih memeluk pinggang Ancala dengan erat takut jatuh. Matanya masih tertutup erat enggan untuk terjaga. Napas panjang Ancala terbuang kasar. Menikahi Gemi adalah impiannya, tetapi kalau sifat manja perempuan keluar, maka habislah dia. “Iya, tapi tunggu dulu deh. Aku turun dulu.” Ancala melepaskan tangan Gemi dari pinggangnya sebelum dia turun dengan pelan dari motor. Baru setelahnya menarik tangan Gemi agar istrinya itu naik ke gendongannya. Diam-diam Ancala tersenyum kecil. Terkadang istrinya itu memang menyebalkan, tetapi juga me
Perdebatan yang terjadi malam itu dianggap bukan apa-apa. Pernikahan antara Gemi dan Ancala bahkan akan segera dilakukan dalam waktu dua hari lagi. Pernikahan mewah itu akan dilakukan di outdoor di pinggir pantai. Tidak banyak yang diundang karena Gemi dan Ancala benar-benar memilih orang-orang terdekat mereka saja yang datang. Kabar pernikahan yang sudah merebak itu membuat banyak orang terkejut. Tidak pernah menyangka kalau Gemi dan Ancala akan menikah. Semua orang tahu jika Abimanyu dan Sambara group adalah saudara. Tentu saja hal itu menjadi perbincangan banyak orang. “Gimana rasanya mau menikah?” Denta datang ke rumah Ancala untuk sekedar menemani sahabatnya itu mengobrol. “Dan menikah dengan perempuan yang lo cintai?” “Setelah semua yang terjadi, tentu saja gue bahagia, Den.” Ancala memainkan kakinya yang ada di kolam renang, menimbulkan bunyi kecipak air. “Gue kira akan sulit mendapatkan restu dari para tetua.” Denial mengatakan itu merujuk pada nenek dan kakek Ancala, lela
“Kamu sudah benar-benar yakin akan menikah dengan Gemi, Bang?” Ramon meyakinkan sekali lagi kepada sang putra atas keputusan untuk meminang sang pencuri hati. Para tetua, nenek kakeknya sudah memberikan izin untuk mempersatukan dua keluarga yang seharusnya tetap menjadi keluarga yang sesungguhnya. Namun, mereka memilih untuk memberikan restu dan menyingkirkan segala ego yang ada. Dua anak manusia itu sudah tidak bisa dipisahkan, untuk apa lagi mereka menahannya dan akan berakhir buruk. “Aku udah yakin, Yah. Aku sudah berbicara dengan Gemi dan dia menerima lamaranku.” Senyum lebar tersemat di bibir Ancala dan wajah sumringah itu tidak bisa berbohong jika dia sangat bahagia. “Kalau begitu, Ayah dan Bunda akan berbicara kepada Papa Kala kalau kami akan segera melamar Gemi. Pikirkan juga kamu ingin menikah di mana? Outdoor atau indoor, masalah biaya jangan khawatir, semua biaya Ayah yang urus.” Rasa sayang Ramon yang diberikan kepada Ancala tidak surut sedikitpun sejak dulu. Lelaki it
Setelah obrolan semalam, Gemi bangun tidur dengan perasaan yang terasa ringan. Hubungannya dengan sang ayah sudah membaik dan dia sudah memaafkan apa pun yang pernah sang ayah lakukan. Semua yang dilakukan oleh sang ayah semata untuk melindungi keluarganya. Suasana hati Gemi pun terlihat sangat baik seharian ini. Meskipun Ancala sejak tadi tak kunjung menghubunginya seperti yang sudah dijanjikan semalam, dia masih baik-baik saja. Seperti yang sudah Ancala bilang semalam, lelaki itu akan membicarakan masalah kerjaan dengan sang ayah. “Jadi, kamu mau balik kerja lagi?” Gemi yang baru saja duduk di sofa di samping sang bunda, segera mendapatkan pertanyaan tersebut. “Aku akan pikirkan lagi, Ma.” Sudah kebiasaan berada di rumah selama beberapa bulan, menjadikan Gemi enggan untuk kembali beraktivitas. “Tapi, Ma, Papa ngeluarin aku dari kantor dengan alasan apa, ya?” Benar, Binar pun tampaknya belum tahu tentang masalah tersebut karena dia tak pernah bertanya dengan Kala. “Mama juga
Binar dan Kala mendengar dengan jelas ucapan putri mereka meskipun kata-kata yang diucapkan terbata-bata. Mereka mendengarkan di balik dinding hanya untuk mengetahui reaksi Gemi ketika bertemu dengan Ancala. Nyatanya, Gemi mengatakan sesuatu yang membuat orang tuanya menahan kesedihannya. “Jangan bicara yang tidak-tidak. Sekarang fokuslah pada kesembuhanmu dulu. Papa bilang, kamu masih perlu bertemu dengan psikiater. Kapan jadwalnya? Aku temani ya?” “Aku nggak butuh psikiater lagi, Bang. Obatku udah ada di sini.” Kala mendesah pasrah mendengar jawaban Ancala atas ucapan sang putri. Sudah pasti perasaan Kala sekarang dipenuhi oleh rasa penyesalan yang amat besar. Di ruang tamu, Gemi dan Ancala melepaskan pelukan mereka. Ancala mengusap air mata Gemi yang mengalir menganak sungai di wajahnya. “Aku nggak akan ke mana-mana lagi, Gemi. Aku udah pulang sekarang. Jadi, kamu nggak perlu takut aku pergi lagi.” “Memangnya, Abang dari mana kemarin?” Ancala menyodorkan minuman yang disiapka
Kala pasti tidak pernah menyangka jika Ramon akan menurunkan egonya untuk meminta putranya pulang. Dia tahu betul bagaimana Ramon menolak permintaannya saat itu. Namun, sekarang tiba-tiba Ancala sudah ada di rumahnya dan menanyakan kabar Gemi. Hal itu tentu saja membuat Kala sedikit bingung. Apa pun itu, Kala tentulah merasa senang dengan kedatangan Ancala ke rumahnya. “Keadaan Gemi sudah lebih baik. Dia sekarang sedang istirahat.” Tepat setelah itu, Binar datang dan segera duduk di samping Ancala. Perempuan paruh baya itu mengelus punggung Ancala tanpa berbicara. Kelegaan terpancar dari matanya. “Kamu dari mana saja, Bang?” tanyanya setelah itu, “Mama cariin kamu.” “Aku jalan-jalan, Ma,” jawab Ancala dengan lembut, “Mama baik-baik aja ‘kan?” “Mama baik. Anca, kamu masih mau nemuin Gemi ‘kan? Setelah waktu itu, dia murung dan tidak ingin berurusan dengan siapa pun.” “Tentu saja aku mau, Ma. Gemi adalah adikku. Kalau memang perlu, aku akan menemaninya sampai dia sembuh.” “Apa mak
“Aku harus pulang, Den. Sorry, ya.” Gemi memilih menghindar daripada harus menjawab ucapan Denta. Gadis itu berdiri, lalu buru-buru pergi meninggalkan Denta yang tampak kebingungan. “Gem!” Denta berteriak memanggil gadis itu, tetapi seolah tuli, Gemi tetap berjalan dan sesekali berlari untuk menghindari sahabat Ancala tersebut. Setelah memasuki komplek perumahannya, barulah dia berjalan dengan tenang. Gemi berpikir, kalau Denta saja tidak tahu keberadaan Ancala, itu artinya, kepergian lelaki itu dirahasiakan. Sepertinya, masalah ini benar-benar serius. Gemi berhenti di pinggir jalan, terpaku di tempatnya, lalu berpikir sejenak. Apa dia harus menghubungi Ancala? Apa lelaki itu akan menerima panggilannya kalau dia melakukannya? Kebingungan itu melanda dirinya. Gara-gara kedatangan Denta, menjadikannya berpikir lebih keras tentang Ancala. Gadis berdaster coklat itu kembali melangkah untuk kembali ke rumah. Meskipun dia banyak memikirkan banyak hal, tapi beruntung kini halusinasinya ti