Ucapan Lia itu membuat Bening terpaku di tempatnya. Dia menatap dengan sedih pada bunga-bunga layu yang sudah tidak bisa terpakai lagi. Ada sekitar lima belas karangan bunga yang berdiri di depan tokonya dalam keadaan yang menyedihkan. Beberapa karyawan yang sudah bekerja keras untuk membuatnya pun kini juga berdiri di sana dengan kepala menunduk. “Kami minta maaf, Bu. Tapi, saat kami datang ke tempat acara, kami bahkan mendapatkan kemarahan.” Salah satu karyawan lelaki bernama Agus itu mengadu. “Kami benar-benar tidak tahu siapa yang melakukan ini, tapi mereka sungguh jahat sekali.” “Tapi, mereka membayar untuk karangan bunganya, ‘kan?” tanya Bening setelah itu. Karena pembayaran harus dilakukan sebelum barang dibuat. “Sudah, Bu. Saya juga sudah mengecek mutasi rekeningnya, dan uangnya memang masuk.” “Itu artinya, orang itu hanya ingin membuat reputasi toko kita buruk.” Bening berbalik untuk masuk ke dalam toko dan diikuti oleh beberapa karyawannya. Memang, tugas untuk di dalam t
“Aku ingin tanya sesuatu kepada Mas.” Bening sejak tadi berpikir haruskah dia mengatakan masalahnya kepada Arga atau memendamnya seorang diri. Ada banyak hal yang dipikirkan di dalam kepalanya sampai dia memutuskan untuk bertanya kepada Arga tentang hal-hal yang mungkin Arga bisa mengetahuinya. “Tanya apa?” Arga berbaring di atas karpet di depan televisi karena perutnya merasa kekenyangan. Untuk pertama kalinya, Bening masak untuknya dan dia sangat menyukainya. Memang tidak seenak makanan seorang chef ternama. Tapi baginya, kelezatan itu berasal dari ketulusan yang Bening berikan. “Ada temanku ....” “Kamu punya teman?” Arga memotong ucapan Bening yang belum selesai. Arga tampaknya sudah lebih banyak tahu tentang kehidupan sang istri itu dan paham jika Bening tidak memiliki seorang teman dekat pun. “Katakan saja langsung siapa dia. Atau justru itu kamu sendiri.” Arga memiringkan tubuhnya untuk menatap ke arah Bening yang duduk berselonjor bersandar pada sofa. Dan sepertinya, Bening
“Kurang ajar. Kamu pikir siapa yang mati di rumah kami?” Dahlia melotot marah karena ucapan Binar yang menurutnya sudah kelewat batas. “Begini caramu menerima customer?” “Aku dengar, tokomu ini sudah diambang kehancuran, Bening. Kami datang untuk mengetahui keadaannya. Siapa tahu kami bisa membantu. Jadi ayolah, jangan bersikap sesombong itu.” Jinan ikut bersuara. Ekspresinya terlihat mengejek merasa jika dia tahu segalanya. “Dari mana kamu tahu kalau toko kami sedang ada masalah?” Bening bertanya balik. “Kami bahkan tidak mengatakan apa pun sejak tadi.” “Sepandainya kamu menutupi keadaan sebenarnya tokomu ini, kami tentu tahu. Lihatlah karangan bunga di depan itu, itu sudah menunjukkan semuanya.” Jinan menjawab dengan cepat. Membuat Dahlia menyeringai licik. “Terima kasih karena kalian sudah peduli denganku. Tapi tenang saja, aku akan mengirimkan karangan bunga itu ke tempat si pemesan. Toh mereka sudah membayarnya.” Dahlia menggeleng miris. “Bening ... Bening, sepertinya kamu i
“Di mana Bening!” Jinan yang baru saja masuk ke dalam toko bunga milik Bening itu segera meninggikan suaranya hanya untuk bertanya keberadaan si pemilik toko. Lia yang tengah sibuk menata bunga-bunga itu mendongak dengan terkejut. “Maaf, Bu. Bu Bening tidak ada di sini. Beliau belum datang.” Lia benar-benar tampak ketakutan melihat sosok Jinan yang seperti orang kesetanan. Dibandingkan dengan kedatangannya kemarin, hari ini tampak membawa serta emosi di dalam dirinya. Bukan hanya itu, ekspresinya jauh lebih menakutkan. Lia tentu saja tidak berani terlalu menanggapi perempuan itu. “Ibu boleh tunggu di sofa, saya akan telpon Bu Bening.” Lia mencoba untuk bersikap ramah seperti biasa meskipun dia gugup luar biasa. Yang Lia takutkan pastilah kalau-kalau Jinan murka dan mengamuk. Beruntung, Jinan kali ini mau bekerja sama dengan baik. Meskipun tanpa berucap apa pun, dia segera duduk di sofa, lalu Lia pun segera menghubungi Bening. Berharap bosnya itu akan segera datang dan bisa menemui
“Kok Mas nggak bilang kalau mau meeting di sini?” Bening duduk di sofa tepat di samping Arga setelah tamu mereka sudah pergi. “Emang sengaja nggak bilang. Lagian nggak lama juga.” “Mas udah makan?” tanya Bening lagi. “Udah.” Arga menatap istrinya itu dalam-dalam. “Imbas dari masalah itu memang begini ya?” tanya Arga. "Nggak ada yang datang sejak tadi.” Bening menggeleng. “Sebenarnya hari-hari biasa sebelum ada masalah itu juga nggak banyak banget yang datang, Mas. Kebanyakan kan memang pesanan. Tapi, sekarang onlinenya kurang, jadi ya begini.” Kini tatapan Bening mengarah pada Arga. “Tapi, Mas udah bantu aku. Jadi mungkin sebentar lagi akan banyak orang yang tahu toko ini.” Bening tahu kenapa sang suami justru mengajak rekan dan kliennya untuk datang ke kafenya. Lelaki itu ingin membantunya dengan mempromosikan tokonya. Lelaki itu selalu punya cara untuk membantu Bening. Dan bagi Bening itu sudah lebih dari cukup. Meskipun begitu, dia belum mengatakan tentang Jinan kepada sang s
“Apa maksud Mas Kala kalau Bening tahu? Dia tahu tentang pernikahan bisnis ini?” Jaya pasti tidak akan pernah menduga jika putrinya yang selalu di nomor duakan itu tahu segalanya. Selama ini Jaya tidak pernah membicarakan masalah tersebut di depan Bening. Sengaja menutupnya rapat. Lalu sekarang, justru Bening selangkah lebih cepat di depannya dan menghalangi upayanya untuk memanfaatkannya. Airlangga memang masih jauh dari kata pailit, tapi bukan tidak mungkin suatu hari nanti akan tumbang. Dan dia tak ingin hal itu terjadi. Karena itu, dia harus menanggulangi lebih cepat agar hal-hal tersebut tidak akan pernah terjadi. “Benar. Dia sudah tahu segalanya.” Arga yang menjawab. “Jadi, kami tidak bisa membantu Pak Jaya untuk sementara waktu. Atau, Bapak bisa ikut tender kami seperti yang dilakukan oleh perusahaan lain.” Jaya tidak bisa mengatakan apa pun kepada tiga orang yang ada di depannya. Semua kata-katanya seolah lenyap tanpa bekas. Bening, putrinya yang selama ini dibesarkannya,
“Kita tidak perlu membahas masalah yang sudah usang.” Jaya menjawab tak kalah tegasnya. “Kita hanya perlu mengubur masalah itu dalam-dalam dan tidak perlu dibongkar lagi.”“Itu artinya, Ayah memang ingin membenarkan kesalahan yang dilayangkan kepadaku. Agar semua orang memandangku anak yang salah karena sudah dilahirkan di dunia ini.” “Tidak bisakah kita berdamai dengan keadaan, Bening?” Jaya menegakkan tubuhnya. “Semua hal itu sudah berlalu. Kita tidak perlu terus mengusik dan membahas masalah itu lagi dan lagi. Lupakan, dan kita hidup tenang.” “Karena Ayah tidak pernah mengatakan kebenarannya, maka Dahlia selalu menginjak-injakku.” “Papa benar, nggak seharusnya ada yang dijelaskan. Karena memang kebenarannya, kamu adalah anak dari perempuan perebut suami orang. Kamu itu salah dilahirkan di dunia ini.” Meskipun Bening merasa kalau dia sangat kecewa untuk yang kesekian kalinya, tapi dia hanya mengangguk sama sekali tidak menjawab ucapan Dahlia. Lalu dia mengeluarkan foto-foto yang
“Aku nggak papa, Mas.” Bening melepaskan pelukan sang suami dengan lembut. Dia bahkan tidak menyangka kalau Arga akan datang dan menunggunya di luar rumah. Menatap sang suami dalam keremangan malam, Bening tersentuh atas tindakan yang dilakukan oleh Arga. “Kita pulang sekarang. Aku ingin bicara sama Mas di rumah.” Arga hanya mengangguk sebagai jawaban. Sesampainya mereka di apartemen, Bening duduk di pinggiran kasur dan menceritakan tentang pertemuan yang baru saja terjadi. Arga hanya mendengarkan dengan saksama apa yang dikatakan oleh Bening kepadanya. “Jadi, Ayah sudah bertemu dengan Mas dan Papa?” Bening memastikan lagi.“Iya, hari ini,” balas Arga terus terang. “Ayah marah banget?” “Kalau boleh aku tahu, seberapa parah sebenarnya perusahaan Airlangga, Mas? Apa ada kemungkinan pailit?” “Sebenarnya, perusahaan Airlangga nggak separah itu. Cuma memang perlu dana untuk sebuah peningkatan. Kalau nggak banyak proyek yang masuk, sedangkan biaya-biaya operasional harus tetap jalan,