“Kita tidak perlu membahas masalah yang sudah usang.” Jaya menjawab tak kalah tegasnya. “Kita hanya perlu mengubur masalah itu dalam-dalam dan tidak perlu dibongkar lagi.”“Itu artinya, Ayah memang ingin membenarkan kesalahan yang dilayangkan kepadaku. Agar semua orang memandangku anak yang salah karena sudah dilahirkan di dunia ini.” “Tidak bisakah kita berdamai dengan keadaan, Bening?” Jaya menegakkan tubuhnya. “Semua hal itu sudah berlalu. Kita tidak perlu terus mengusik dan membahas masalah itu lagi dan lagi. Lupakan, dan kita hidup tenang.” “Karena Ayah tidak pernah mengatakan kebenarannya, maka Dahlia selalu menginjak-injakku.” “Papa benar, nggak seharusnya ada yang dijelaskan. Karena memang kebenarannya, kamu adalah anak dari perempuan perebut suami orang. Kamu itu salah dilahirkan di dunia ini.” Meskipun Bening merasa kalau dia sangat kecewa untuk yang kesekian kalinya, tapi dia hanya mengangguk sama sekali tidak menjawab ucapan Dahlia. Lalu dia mengeluarkan foto-foto yang
“Aku nggak papa, Mas.” Bening melepaskan pelukan sang suami dengan lembut. Dia bahkan tidak menyangka kalau Arga akan datang dan menunggunya di luar rumah. Menatap sang suami dalam keremangan malam, Bening tersentuh atas tindakan yang dilakukan oleh Arga. “Kita pulang sekarang. Aku ingin bicara sama Mas di rumah.” Arga hanya mengangguk sebagai jawaban. Sesampainya mereka di apartemen, Bening duduk di pinggiran kasur dan menceritakan tentang pertemuan yang baru saja terjadi. Arga hanya mendengarkan dengan saksama apa yang dikatakan oleh Bening kepadanya. “Jadi, Ayah sudah bertemu dengan Mas dan Papa?” Bening memastikan lagi.“Iya, hari ini,” balas Arga terus terang. “Ayah marah banget?” “Kalau boleh aku tahu, seberapa parah sebenarnya perusahaan Airlangga, Mas? Apa ada kemungkinan pailit?” “Sebenarnya, perusahaan Airlangga nggak separah itu. Cuma memang perlu dana untuk sebuah peningkatan. Kalau nggak banyak proyek yang masuk, sedangkan biaya-biaya operasional harus tetap jalan,
“Jadi kamu ingin bertemu denganku karena ingin kerja sama. Begitu, ‘kan?” tanya Januar akhirnya bersuara meskipun Dahlia belum mengatakan apa pun tentang maksud perempuan tersebut.Dahlia tersenyum puas. “Ternyata kamu masih pintar, Januar.” Januar balas menyeringai. “Kamu memang perempuan nggak punya malu. Dulu kamu memanfaatkan aku untuk bisa menyakiti Binar, setelah itu kamu mencampakkan aku. Lalu sekarang kamu kembali untuk kerja sama?” Januar menggeleng miris. “Aku nggak berminat.” Dahlia mengubah raut wajahnya menjadi kelam kembali mendengar jawaban lelaki itu. Dia menatap Januar dengan tajam merasa kesal luar biasa. “Kita adalah lawan yang sudah ditargetkan oleh Bening. Kamu pikir, kalau aku jatuh, kamu tidak akan jatuh juga? Dia adalah perempuan yang licik. Setidaknya kalau kita bersama melawan Bening, maka itu akan lebih mudah.” “Abang yakin bisa menghadapi Bening sendiri? Bagaimanapun, dia punya senjata yang kapan saja bisa dilayangkan kepada kita. Sudah seharusnya kita
Arga menepati janjinya untuk membawa Bening bertemu dengan Binar. Lelaki itu menjelaskan kepada kakak iparnya tentang dugaannya. Karena saat di acara Anyelir waktu itu, Bening dan Arga belum memiliki dugaan sampai sejauh ini. Berharap kali ini, mereka mendapatkan jalan keluar. Kala juga ada di sana mendengarkan cerita Arga dengan saksama. Jika dibutuhkan nanti, dia akan memberikan pendapatnya. “Udah jelas kalau itu memang orang bayaran.” Binar menanggapi. “Nanti aku tanyain anak-anak. Kemarin ada karyawan yang minta aku buat bayar orang untuk penilaian yang lebih bagus. Tapi aku nggak mau.” “Perlu nggak ya, Mbak aku lakuin itu? Aku sebenarnya masih ragu. Ragunya, itu udah kayak pembohongan gitu lho." Bening menyuarakan isi pikirannya."Kalau dalam masalahmu ini, Bening, hal seperti ini juga perlu dilakukan. Anggap aja ini untuk penyelamatan. Beda sama aku yang nolak karena emang tokonya nggak ada masalah.” Bening tadinya merasa seperti membohongi pelanggannya dengan 'kecurangan’ j
“Mas yakin?” Dahlia merasakan keterkejutan yang luar biasa mendengar ucapan Arga. Tangannya dilepaskan dari perut Arga. Namun Arga tetap berdiri di tempatnya. Dahlia beralih berdiri di depan Arga untuk meyakinkan sekali lagi ucapan Arga. “Mas mau kita menjalin hubungan diam-diam? Aku ....” Dahlia terlihat bahagia dan salah tingkah. “Aku janji Bening kali ini nggak akan tahu. Aku akan menyembunyikannya dari siapapun kalau memang Mas nggak menghendaki.”Arga menyeringai. “Kamu senang?” tanya lelaki itu. Dahlia mengangguk dengan semangat. “Tentu saja aku senang. Tapi, kenapa Mas tiba-tiba berubah pikiran?” Di dalam pikiran Dahlia, lelaki mana yang tidak menerima penawaran yang begitu menyenangkan. "Jadi, hubungan ini akan berjalan sejauh mana?” Arga bertanya alih-alih menjawab pertanyaan Dahlia. “Aku menyerahkan semuanya kepada Mas. Mas ingin hubungan kita berjalan seperti apa? Aku akan menerimanya.” “Bagaimana dengan hotel? Kamu pasti tahu apa maksudku.” Dahlia tidak segera menjaw
“Bu, ada undangan buat Ibu.” Lia menyerahkan kertas undangan berwarna putih kepada Bening. Di depan sudah terlihat jelas jika itu adalah undangan reuni. Lebih tepatnya, undangan reuni SMA. Sebelumnya, Bening tidak pernah datang untuk hal-hal seperti ini karena dia enggan berurusan dengan teman-temannya. Mengingat bagaimana image buruknya di depan mereka karena ulah satu orang. Dia dipandang sebelah mata oleh teman-teman SMA-nya bahkan saat kuliah pun, Dahlia juga terus mengeluarkan kata-kata tidak penting untuk membuat dirinya dijauhi oleh semua orang. “Siapa yang antarkan, Lia?” tanya Bening setelah itu. “Ada, Bu. Mereka perempuan dan laki-laki. Katanya, kalau nanti ada waktu, mereka akan datang lagi.” Bening tidak menanggapi lagi setelah itu dan memilih untuk masuk ke dalam ruangannya. Dia tidak terlalu memikirkan acara tersebut, karena dia pun tak memiliki minat untuk pergi. Bening tidak memiliki teman dekat dan sudah pasti dia hanya akan terlihat bodoh di antara mereka. Sehar
“Bening!” Anggi menyambut Bening dengan ramah di depan ruangan VIP sebuah restoran. Dia masih ada di luar, tapi sudah terdengar keramaian dari dalam sana. “Aku pikir kamu tetap nggak mau datang.” Anggi mengelus pundak Bening dengan lembut. Menatap penampilan cantik yang melekat di tubuh Bening. Tidak ada pakaian berlebihan yang dikenakan. Dia hanya mengenakan satu set kulot dan atasan formal berwarna nude. Sepatu tinggi yang membalut kakinya itu membuat terlihat semakin tinggi. Tidak ada kata jelek yang terlihat dalam fisik Bening. Wajah cantiknya yang terbungkus dengan ekspresi dingin itu tidak pernah berubah sejak dulu. “Karena kamu datang langsung ke tokoku, aku akhirnya mempertimbangkan untuk datang. Aku melakukannya demi kamu.” Terdengar picisan, tapi memang itulah nyatanya. Seandainya Anggi tidak mendatangi dirinya, maka dia tak akan pernah datang ke acara reuni tersebut. Bening dan Anggi masuk ke dalam ruangan tersebut yang otomatis pandangan orang-orang yang ada di sana men
“Berapa banyak kamu dibayar sama Dahlia untuk mengatakan semua itu, San?” Bening kembali bersuara. “Aku tahu kalian tidak seintens itu lagi berhubungan setelah lulus sekolah. Sampai-sampai, Dahlia menceritakan semua masalahnya ke kamu.” Sandra tergagap dan tampak pucat. Lalu dia mengelak. “Bayaran apa sih, Ning? Nggak ada yang kayak gitu.” Bening hanya menyeringai. Dia tak akan mendesak Sandra. “Mungkin selama ini kalian menganggap aku rendahan. Kalian selalu memandangku seperti sampah yang harus dibuang. Aku merasa diam adalah jalan terbaik. Ternyata setelah selama bertahun-tahun, pandangan kalian ke aku masih sama. Kalau saja Dahlia bisa menahan dirinya untuk tidak mengatakan hal-hal tak penting, aku juga nggak akan membuka aib Dahlia.” Bening berdiri. Bukan hanya dalam satu meja itu yang memperhatikannya, tapi semua meja di ruang privat tersebut mengarahkan atensinya ke arahnya. “Nggi, aku nggak bisa lama-lama di sini. Aku pamit ya. Terima kasih udah repot-repot nyamperin aku d
“Istriku.” Ancala baru saja sampai rumah ketika melihat penampilan Gemi yang sudah cantik. Meskipun hanya mengenakan daster rumahan kebanggaannya, kecantikan perempuan itu selalu terpancar. Dan inilah yang selalu disukai oleh Ancala, Gemi akan selalu menunggu kepulangannya di teras rumah sambil membaca buku. Tidak di rumah Kala, atau bahkan di rumah mereka sendiri, Gemi memiliki perpustakaan sendiri dengan koleksi buku-bukunya. Gemi tersenyum melihat Ancala yang berjalan ke arahnya. Perempuan itu beranjak untuk menerima tas kerja lelaki itu. “Suamiku capek banget kayaknya.” Ancala memeluk Gemi sambil mencium pipi perempuan itu. Bagi Ancala, energinya akan kembali ketika sudah bertemu dengan sang istri setelah seharian bekerja. Rasa lelah itu seolah menguap begitu saja. Pelukan mereka terurai. Masih dengan memeluk pinggang sang istri, Ancala sedikit menjauhkan tubuhnya untuk menatap wajah Gemi yang halus. “Makan apa malam ini?” tanyanya, “lama nggak ke angkringan. Kangen nasi
“Kalian udah datang?” Ancala mendekati istri dan kedua adiknya dengan senyum kecil. Meskipun pagi tadi dia sempat kesal, tetapi setelah Gemi sekarang datang ke kantor, perasaannya menjadi sedikit membaik. Tatapannya mengarah pada ‘tiga tamunya’ yang tidak membawa apa pun. “Jadi belanjanya?” tanyanya. Perempuan yang dimaksud oleh Laksa tadi tidak mengikuti Ancala dan kembali lebih dulu. Gemi tidak bertanya siapa perempuan tersebut karena dia tahu kalau itu adalah sekretaris Ancala. Laksa pun sebenarnya juga tahu, tetapi dia hanya pura-pura untuk mengerjai Gemi. “Bang, aku laper banget, lho.” Laksa mengadu. “Aku laper, Bang.” Ulangnya lagi. “Kalian nggak makan dulu tadi?” Ancala mengernyit aneh menatap satu per satu saudaranya. “Istri Abang ngambek karena diajak desak-desakan. Jadi, nggak memedulikan aku yang kelaparan. Tapi, aku nggak mau makan di kantin ini. Abang tolong pesankan aku makanan yang enak, ya.” Laksa memang benar-benar membuat kakak-kakaknya kesal kalau sudah me
“Gem, bangun!” Ancala menepuk paha sang istri pelan ketika sudah sampai di rumah. Mereka baru saja sampai rumah ketika Gemi tidak sadarkan diri, tidur. Sepanjang jalan, Ancala memegangi tangan Gemi takut-takut kalau istrinya itu terjatuh. Bukannya apa-apa, Gemi tidur sepanjang jalan sedangkan mereka menggunakan motor. Kebanyakan makan kepala ayam membuat Gemi lemas sepertinya. “Bang, aku nggak sanggup jalan. Gendong.” Dengan suara lemas, perempuan itu masih memeluk pinggang Ancala dengan erat takut jatuh. Matanya masih tertutup erat enggan untuk terjaga. Napas panjang Ancala terbuang kasar. Menikahi Gemi adalah impiannya, tetapi kalau sifat manja perempuan keluar, maka habislah dia. “Iya, tapi tunggu dulu deh. Aku turun dulu.” Ancala melepaskan tangan Gemi dari pinggangnya sebelum dia turun dengan pelan dari motor. Baru setelahnya menarik tangan Gemi agar istrinya itu naik ke gendongannya. Diam-diam Ancala tersenyum kecil. Terkadang istrinya itu memang menyebalkan, tetapi juga me
Perdebatan yang terjadi malam itu dianggap bukan apa-apa. Pernikahan antara Gemi dan Ancala bahkan akan segera dilakukan dalam waktu dua hari lagi. Pernikahan mewah itu akan dilakukan di outdoor di pinggir pantai. Tidak banyak yang diundang karena Gemi dan Ancala benar-benar memilih orang-orang terdekat mereka saja yang datang. Kabar pernikahan yang sudah merebak itu membuat banyak orang terkejut. Tidak pernah menyangka kalau Gemi dan Ancala akan menikah. Semua orang tahu jika Abimanyu dan Sambara group adalah saudara. Tentu saja hal itu menjadi perbincangan banyak orang. “Gimana rasanya mau menikah?” Denta datang ke rumah Ancala untuk sekedar menemani sahabatnya itu mengobrol. “Dan menikah dengan perempuan yang lo cintai?” “Setelah semua yang terjadi, tentu saja gue bahagia, Den.” Ancala memainkan kakinya yang ada di kolam renang, menimbulkan bunyi kecipak air. “Gue kira akan sulit mendapatkan restu dari para tetua.” Denial mengatakan itu merujuk pada nenek dan kakek Ancala, lela
“Kamu sudah benar-benar yakin akan menikah dengan Gemi, Bang?” Ramon meyakinkan sekali lagi kepada sang putra atas keputusan untuk meminang sang pencuri hati. Para tetua, nenek kakeknya sudah memberikan izin untuk mempersatukan dua keluarga yang seharusnya tetap menjadi keluarga yang sesungguhnya. Namun, mereka memilih untuk memberikan restu dan menyingkirkan segala ego yang ada. Dua anak manusia itu sudah tidak bisa dipisahkan, untuk apa lagi mereka menahannya dan akan berakhir buruk. “Aku udah yakin, Yah. Aku sudah berbicara dengan Gemi dan dia menerima lamaranku.” Senyum lebar tersemat di bibir Ancala dan wajah sumringah itu tidak bisa berbohong jika dia sangat bahagia. “Kalau begitu, Ayah dan Bunda akan berbicara kepada Papa Kala kalau kami akan segera melamar Gemi. Pikirkan juga kamu ingin menikah di mana? Outdoor atau indoor, masalah biaya jangan khawatir, semua biaya Ayah yang urus.” Rasa sayang Ramon yang diberikan kepada Ancala tidak surut sedikitpun sejak dulu. Lelaki it
Setelah obrolan semalam, Gemi bangun tidur dengan perasaan yang terasa ringan. Hubungannya dengan sang ayah sudah membaik dan dia sudah memaafkan apa pun yang pernah sang ayah lakukan. Semua yang dilakukan oleh sang ayah semata untuk melindungi keluarganya. Suasana hati Gemi pun terlihat sangat baik seharian ini. Meskipun Ancala sejak tadi tak kunjung menghubunginya seperti yang sudah dijanjikan semalam, dia masih baik-baik saja. Seperti yang sudah Ancala bilang semalam, lelaki itu akan membicarakan masalah kerjaan dengan sang ayah. “Jadi, kamu mau balik kerja lagi?” Gemi yang baru saja duduk di sofa di samping sang bunda, segera mendapatkan pertanyaan tersebut. “Aku akan pikirkan lagi, Ma.” Sudah kebiasaan berada di rumah selama beberapa bulan, menjadikan Gemi enggan untuk kembali beraktivitas. “Tapi, Ma, Papa ngeluarin aku dari kantor dengan alasan apa, ya?” Benar, Binar pun tampaknya belum tahu tentang masalah tersebut karena dia tak pernah bertanya dengan Kala. “Mama juga
Binar dan Kala mendengar dengan jelas ucapan putri mereka meskipun kata-kata yang diucapkan terbata-bata. Mereka mendengarkan di balik dinding hanya untuk mengetahui reaksi Gemi ketika bertemu dengan Ancala. Nyatanya, Gemi mengatakan sesuatu yang membuat orang tuanya menahan kesedihannya. “Jangan bicara yang tidak-tidak. Sekarang fokuslah pada kesembuhanmu dulu. Papa bilang, kamu masih perlu bertemu dengan psikiater. Kapan jadwalnya? Aku temani ya?” “Aku nggak butuh psikiater lagi, Bang. Obatku udah ada di sini.” Kala mendesah pasrah mendengar jawaban Ancala atas ucapan sang putri. Sudah pasti perasaan Kala sekarang dipenuhi oleh rasa penyesalan yang amat besar. Di ruang tamu, Gemi dan Ancala melepaskan pelukan mereka. Ancala mengusap air mata Gemi yang mengalir menganak sungai di wajahnya. “Aku nggak akan ke mana-mana lagi, Gemi. Aku udah pulang sekarang. Jadi, kamu nggak perlu takut aku pergi lagi.” “Memangnya, Abang dari mana kemarin?” Ancala menyodorkan minuman yang disiapka
Kala pasti tidak pernah menyangka jika Ramon akan menurunkan egonya untuk meminta putranya pulang. Dia tahu betul bagaimana Ramon menolak permintaannya saat itu. Namun, sekarang tiba-tiba Ancala sudah ada di rumahnya dan menanyakan kabar Gemi. Hal itu tentu saja membuat Kala sedikit bingung. Apa pun itu, Kala tentulah merasa senang dengan kedatangan Ancala ke rumahnya. “Keadaan Gemi sudah lebih baik. Dia sekarang sedang istirahat.” Tepat setelah itu, Binar datang dan segera duduk di samping Ancala. Perempuan paruh baya itu mengelus punggung Ancala tanpa berbicara. Kelegaan terpancar dari matanya. “Kamu dari mana saja, Bang?” tanyanya setelah itu, “Mama cariin kamu.” “Aku jalan-jalan, Ma,” jawab Ancala dengan lembut, “Mama baik-baik aja ‘kan?” “Mama baik. Anca, kamu masih mau nemuin Gemi ‘kan? Setelah waktu itu, dia murung dan tidak ingin berurusan dengan siapa pun.” “Tentu saja aku mau, Ma. Gemi adalah adikku. Kalau memang perlu, aku akan menemaninya sampai dia sembuh.” “Apa mak
“Aku harus pulang, Den. Sorry, ya.” Gemi memilih menghindar daripada harus menjawab ucapan Denta. Gadis itu berdiri, lalu buru-buru pergi meninggalkan Denta yang tampak kebingungan. “Gem!” Denta berteriak memanggil gadis itu, tetapi seolah tuli, Gemi tetap berjalan dan sesekali berlari untuk menghindari sahabat Ancala tersebut. Setelah memasuki komplek perumahannya, barulah dia berjalan dengan tenang. Gemi berpikir, kalau Denta saja tidak tahu keberadaan Ancala, itu artinya, kepergian lelaki itu dirahasiakan. Sepertinya, masalah ini benar-benar serius. Gemi berhenti di pinggir jalan, terpaku di tempatnya, lalu berpikir sejenak. Apa dia harus menghubungi Ancala? Apa lelaki itu akan menerima panggilannya kalau dia melakukannya? Kebingungan itu melanda dirinya. Gara-gara kedatangan Denta, menjadikannya berpikir lebih keras tentang Ancala. Gadis berdaster coklat itu kembali melangkah untuk kembali ke rumah. Meskipun dia banyak memikirkan banyak hal, tapi beruntung kini halusinasinya ti