“Bening!” Anggi menyambut Bening dengan ramah di depan ruangan VIP sebuah restoran. Dia masih ada di luar, tapi sudah terdengar keramaian dari dalam sana. “Aku pikir kamu tetap nggak mau datang.” Anggi mengelus pundak Bening dengan lembut. Menatap penampilan cantik yang melekat di tubuh Bening. Tidak ada pakaian berlebihan yang dikenakan. Dia hanya mengenakan satu set kulot dan atasan formal berwarna nude. Sepatu tinggi yang membalut kakinya itu membuat terlihat semakin tinggi. Tidak ada kata jelek yang terlihat dalam fisik Bening. Wajah cantiknya yang terbungkus dengan ekspresi dingin itu tidak pernah berubah sejak dulu. “Karena kamu datang langsung ke tokoku, aku akhirnya mempertimbangkan untuk datang. Aku melakukannya demi kamu.” Terdengar picisan, tapi memang itulah nyatanya. Seandainya Anggi tidak mendatangi dirinya, maka dia tak akan pernah datang ke acara reuni tersebut. Bening dan Anggi masuk ke dalam ruangan tersebut yang otomatis pandangan orang-orang yang ada di sana men
“Berapa banyak kamu dibayar sama Dahlia untuk mengatakan semua itu, San?” Bening kembali bersuara. “Aku tahu kalian tidak seintens itu lagi berhubungan setelah lulus sekolah. Sampai-sampai, Dahlia menceritakan semua masalahnya ke kamu.” Sandra tergagap dan tampak pucat. Lalu dia mengelak. “Bayaran apa sih, Ning? Nggak ada yang kayak gitu.” Bening hanya menyeringai. Dia tak akan mendesak Sandra. “Mungkin selama ini kalian menganggap aku rendahan. Kalian selalu memandangku seperti sampah yang harus dibuang. Aku merasa diam adalah jalan terbaik. Ternyata setelah selama bertahun-tahun, pandangan kalian ke aku masih sama. Kalau saja Dahlia bisa menahan dirinya untuk tidak mengatakan hal-hal tak penting, aku juga nggak akan membuka aib Dahlia.” Bening berdiri. Bukan hanya dalam satu meja itu yang memperhatikannya, tapi semua meja di ruang privat tersebut mengarahkan atensinya ke arahnya. “Nggi, aku nggak bisa lama-lama di sini. Aku pamit ya. Terima kasih udah repot-repot nyamperin aku d
“Kalau aku nggak ingat dia perempuan, udah aku hajar habis-habisan dia.” Arga mendumel sejak pulang dari restoran, mampir ke apotek, lalu pulang ke rumah. Sekarang, dia tengah mengobati sudut bibir Bening yang terluka. Ada sedikit sobekan di sana. Tangan yang sejak tadi mengolesi obat itu seolah tengah menahan agar tidak melayangkan pukulan ke tembok. Perasaannya kesal luar biasa. Bagaimana mungkin Dahlia terus membuat masalah dengan Bening bahkan saat acara resmi seperti reuni. “Aku benar-benar harus mengurus perempuan itu.” “Mas mau apain dia?” tanya Bening setelah itu. Rasa perih di bibirnya itu semakin pedih ketika dia berbicara. “Jangan lakukan apa pun, Mas. Aku tahu dia akan membalasku. Tapi mungkin itu tidak akan dalam waktu dekat ini. Udah, nggak usah dipikirkan. Biarkan aku aja yang mengurusnya.” “Nggak bisa!” Arga meletakkan kapas bekas di atas meja. Menatap sang istri dengan lekat dan serius. “Kamu ini istriku, Yang. Nggak seharusnya kamu melakukan semuanya sendiri.” “
“Gara-gara keegoisanmu, masalah besar terjadi.” Jaya melanjutkan berapi-api dan menyudutkan putrinya. Arga menarik Bening untuk disembunyikan di belakang punggungnya. Tatapannya sedingin salju. Menatap ayah mertuanya yang tampak marah. Mereka saling tatap seolah mereka adalah musuh bebuyutan. Di sofa sana, ada Ambar dan Dahlia yang menatap ke arah Jaya dan Arga. Dahlia tampak menangis dengan Ambar mengelus punggung putrinya penuh dengan kasih sayang. Suami Bening itu lantas bersuara. “Kenapa kalian suka sekali kekerasan? Kemarin, Dahlia yang menampar istriku sampai bibirnya robek, sekarang, Bapak yang melakukannya. Ada apa sebenarnya dengan keluarga ini?” “Kalau istrimu tidak berulah, kami tidak akan melakukannya.” Jaya menjawab. “Bagaimana bisa dia melakukan hal-hal yang akan membuat masalah dengan keluarganya? Dia juga bagian dari keluar Airlangga, seharusnya dia juga melindungi keluarga ini.” Tatapan Jaya mengarah pada belakang punggung Arga sebelum melanjutkan. “Dahlia itu ad
Ketegangan itu terasa semakin kental. Malam semakin kelam, dan hari akan segera berganti. Tapi pertengkaran itu belum usai. Arga sudah masuk dalam pertengkaran tersebut meskipun tadinya dia ingin diam saja. Tapi dia adalah suami Bening. Seperti yang pernah dia katakan kepada istrinya saat itu, dia sedang berusaha mati-matian untuk membahagiakan sang istri. Jadi tidak ada yang boleh menyakitinya meskipun itu adalah keluarga istrinya sendiri. “Bening adalah istriku sekarang, kalian seharusnya tidak berhak menyakitinya lagi. Dia sudah menjadi tanggung jawabku, jadi semua hal yang berkaitan dengan Bening, dengan terpaksa aku harus ikut campur.” “Kamu benar-benar sudah terhasut dengan dia, Mas.” Dahlia menggeleng. “Apa yang membuat kamu menyukai dia? Lihat aku, Mas. Mas harusnya memilihku. Aku lebih segalanya dari Bening.” Pertengkaran itu membuat mereka melupakan tujuan Jaya memanggil Bening. Sejak tadi mereka sibuk adu nada tinggi dan emosi sampai Jaya tak kunjung mengatakan apa yang
Arga tidak bisa menutup matanya barang sebentar saja. Pertanyaan Bening beberapa waktu lalu membuatnya terus berpikir tentang anak yang suatu saat nanti akan dimiliki. Entah itu perempuan atau laki-laki, dia akan bahagia jika Tuhan mempercayainya memiliki keturunan. Ada sebuah bayangan kebahagiaan yang tidak bisa ditolak yang kini tengah menari-nari di dalam kepalanya. Anak-anak kecil dan celotehan mereka yang nanti akan didengar di dalam rumahnya, istananya. Kalau sudah begini, dia tak sabar untuk bisa segera memiliki sebuah rumah besar yang kini baru dibangun. Bahkan rumah itu masih berjalan sepuluh persen. Masih lama untuk menyelesaikannya. “Terima kasih, Yang. Aku nggak pernah sekalipun merasa menyesal sudah memilih kamu. Meskipun sekarang kita masih belajar untuk saling mencintai, tapi aku yakin kita bisa menjalani semuanya.” Arga mengelus lembut punggung polos Bening. Senyumnya tampak bahagia luar biasa. Akhirnya, malam ini dia bisa memiliki Bening seutuhnya. Ingatannya terlem
“Aku salah ya, Mas udah nyebarin foto-foto itu?” Dan mau tak mau, Bening khawatir dengan masalah baru yang barangkali timbul pada perusahaan Abimanyu. Tapi senyum Arga mengembang. “Abimanyu mungkin akan terlibat, tapi nggak akan ada yang serius. Nggak perlu dipikirkan. Aku bisa mengatasi semua ini dengan baik.” “Aku hanya takut Papa dan Mama marah karena ini.” “Percaya sama aku kalau mereka nggak akan menyalahkanmu. Jadi, jangan berpikir macam-macam.” Arga sama sekali tidak tertarik dengan berita apa pun yang mungkin sekarang sedang ada di luaran sana. Karena toh dia sekarang tengah bahagia dengan kehidupannya bersama sang istri. “Keluar ayo, jalan-jalan,” ajaknya kepada sang istri. “Ke mana?” tanya Bening kurang bersemangat. “Jalan-jalan, Yang. Cari angin. Masa seharian kita di rumah aja.” “Kan Mas sendiri yang punya ide nggak mau kerja. Sekarang rasain deh gimana bosannya nggak punya kegiatan.” Arga tersenyum jail. “Kamar, Yang.” Bening hanya menarik napasnya panjang. Tidak
Di luar kemelut masalah yang menimpa keluarga Airlangga, Bening sedang tenang menikmati kebahagiaannya berumah tangga yang sesungguhnya bersama sang suami. Dia juga berharap agar bisa segera memiliki momongan seperti yang sudah direncanakan. Seperti yang dikatakan oleh Arga, mereka tengah berusaha lebih keras untuk mewujudkannya. Setelah kejadian pertengkaran saat itu di kediaman Airlangga, Jaya sudah tidak pernah lagi menghubungi Bening. Bening pun merasa itu lebih baik. Dia ingin hidup dengan tenang dan nyaman bersama sang suami. Tidak lagi melibatkan diri dengan orang-orang yang pernah menyakitinya. Bening juga tidak tahu bagaimana kabar Dahlia sekarang. Dia lebih memilih fokus pada pekerjaannya yang mulai berdatangan kembali. Dia berpikir sebentar lagi tokonya akan pulih seperti sedia kala. “Nanti ada kerja di luar nggak, Yang?” Arga baru saja keluar dari kamar ketika bertanya kepada sang istri. Duduk di kursi makan, lalu mencomot perkedel yang ada di piring. “Ada. Ada yang bua