Anyelir merapatkan selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos. Desahan panjangnya terdengar membuat Ramon membuka matanya menghunuskan tatapannya pada sang istri. Tidak ada yang bicara di antara mereka dan hanya larut pada manik bening satu dengan lainnya. Rasa kesal Anyelir muncul tiba-tiba dan membuatnya membalikkan tubuhnya untuk memunggungi sang suami. Tapi yang luput dari Anyelir adalah ketika selimut itu tak bisa menutupi punggung putihnya. Hal itu dimanfaatkan oleh Ramon. Lelaki itu mengulurkan tangannya untuk mengelus punggung mulus sang istri. “Jangan suka memunggungi suamimu, Anyelir. Kamu nggak takut Tuhan murka?” Begitu katanya dengan santai. “Jangan bawa-bawa Tuhan. Mas yang buat aku kesal.” Tadinya, Anyelir pikir Ramon akan benar-benar akan ikut donor darah. Ternyata setelah dia membawa Anyelir di tempat sepi, lelaki itu menarik Anyelir untuk meninggalkan tempat itu dan membawanya ke hotel tak jauh dari sana. Memesan kamar kemudian membuat hal-hal yang tidak senonoh
“Mas mau makan apa? Aku mau pesan makan. Perutku udah laper banget.” Keluar dari kamar mandi, Anyelir segera melontarkan pertanyaan itu kepada Ramon yang masih duduk di atas ranjang dengan ekspresi yang tidak bisa terbaca. Dingin seperti biasanya. Namun kali ini Anyelir tidak ingin ambil pusing karena dia tahu suaminya itu tengah marah karena ‘si mantan kekasih’ yang Anyelir ceritakan tadi. Anyelir mengeluarkan pelembab dari dalam tasnya sehingga dia bisa segera menggunakannya setelah dia selesai mandi. “Mas mau makan atau nggak?” Sekali lagi, Anyelir bertanya pada Ramon dan sama sekali tidak mendapatkan jawaban sama sekali. Anyelir menyerah dan membiarkan Ramon membisu di tempatnya. Dia lantas memesan makanan untuk dua orang meskipun Ramon nantinya tidak ingin bergabung dengannya. Masih dengan mengenakan bathrobe, Anyelir duduk di sofa memainkan ponselnya. Untuk selanjutnya menghubungi ibu mertuanya dan menanyakan Ancala. “Ancala lagi renang sama Opanya.” Terdengar suara tawa di
“Kenapa hanya aku yang diminta mencintai Mas sedangkan Mas sendiri nggak mau mencintaiku?” Anyelir menjawab dengan ringan. Ingin mengetahui sejauh mana lelaki itu mendesaknya. “Aku masih berusaha. Membutuhkan waktu untuk itu. Jadi, sabar saja.” Setelah mengatakan itu, Ramon kembali naik ke ranjang dan menutup matanya. Hal itu membuat Anyelir kesal bukan kepalang. “Mas, nggak mau pulang?” tanya Anyelir setelah itu. Mendekati Ramon kemudian menggoyang tubuhnya. “Kita akan pulang kalau aku mau pulang.” Setelah mengatakan itu, mata Ramon kembali terpejam. Dan pada akhirnya, Anyelir benar-benar harus tertahan di kamar hotel bersama sang suami. Beberapa panggilan dan chat dari teman-temannya pun bergantian menanyakan keberadaannya, tapi Anyelir hanya memberikan jawaban yang sebenarnya. Merasa menyesal karena sudah meninggalkan tempat acara tanpa pamit kepada teman-temannya. Anyelir melirik Ramon dengan kesal sebelum menunduk dan menggigit lengan lelaki itu. Membuat Ramon terbangun dan m
“Mas, aku dengar dari Mama katanya Arga akan dijodohkan dengan relasi bisnis orang tuanya, ya?” Anyelir melontarkan pertanyaan itu kepada Ramon tanpa ada maksud apa pun. Dia yang mendapatkan informasi itu dari ibu mertuanya pun tampak terkejut. Mungkin orang tua Arga sudah tidak sabar melihat putra keduanya itu segera menikah. Karena bagaimanapun, usia Arga dan Ramon sama. Mereka hanya berjarak beberapa bulan saja lebih tua Ramon sedikit. Begitulah kata ibu mertua Anyelir tadi. “Kenapa kalau Arga mau dijodohkan? Kamu nggak senang?” Ramon terusik sehingga dengan tajam dia melirik istrinya yang tengah berbaring sambil memeluk gulingnya. “Aku sudah bilang jangan bahas orang lain kalau kita sedang bersama.” Decakan pun keluar dari mulut Anyelir. “Aku ‘kan hanya bicara. Ditanggepi aja kenapa sih. Repot amat.” “Aku nggak mau bahas orang lain.” Ramon menegaskan sekali lagi. “Mau dia nikah, mau enggak bukan urusanku.” “Jahat banget.” Anyelir menggelengkan kepalanya dramatis. “Gimana
Hanya sebuket bunga, tapi perasaan Anyelir sudah kocar-kacir tak karuan. Hanya sedikit sikap romantis yang ditujukkan Ramon kepadanya, tapi dia sudah blingsatan. Efek cinta benar-benar luar biasa. Senyumnya lebar ketika melihat sekali lagi bunga mawar yang masih segar tersebut. Jika Ramon bersikap semanis ini, mana mungkin Anyelir bisa menjauh dari lelaki itu. Dengusan dari Ramon terdengar di telinga Anyelir. Lelaki itu baru saja keluar dari kamar mandi dan menatap Anyelir dengan bosan. “Bunga itu nggak akan lari ke mana-mana, Anyelir. Jangan berlebihan.” “Eh … panggilannya.” Anyelir melotot gemas pada Ramon namun hanya dihadiahi oleh putaran bola mata oleh Ramon. “Jangan dilihat terus itu bunganya. Mati nanti dia.” “Mas kalau romantis begini ‘kan aku jadi bahagia.” Anyelir beranjak dari sofa. Mengikuti Ramon yang masuk ke dalam walk ini closet. Bersandar para lemari tinggi yang ada di sana sambil menatap Ramon lekat. “Nggak masalah kalau Mas harus tanya dulu pada mesin pencarian.
Anyelir masih tidak tahu ke mana mereka akan pergi. Dia sungguh tidak mendapatkan jawaban apa pun dari Ramon dan hanya perlu ikut saja tanpa banyak bicara. Meskipun dia merasakan ini sangat konyol, entah bagaimana dia sangat percaya dengan sang suami. Dia sempat benar-benar ingin kembali ke rumah karena dia tak membawa satu baju ganti pun, tapi Ramon mengatakan mereka akan membelinya setelah sampai di tempatnya nanti. Begitu kata Ramon. “Mas, ini di Lombok?” tanya Ramon dengan mengerjapkan matanya. Dia baru saja masuk ke dalam hotel dan mencapai lobby ketika matanya membelalak lebar. Tak sengaja membaca beberapa selebaran yang ada di meja resepsionis. “Terima kasih.” Ramon menerima kunci dari resepsionis lalu menarik Anyelir untuk pergi dari sana. “Iya, di Lombok.” “Mas mau mengurus kasus criminal seperti apa sebenarnya?” Alih-alih sadar jika dia dikerjai oleh Ramon, Anyelir masih kukuh jika mereka di sana tengah mengurus kasus. “Jangan bertanya tentang kasusku. Sekarang kita haru
Ramon kali ini tidak bisa mengalihkan tatapannya dari tubuh Anyelir yang berbalut bikini. Bathrobe yang tadi menutupi tubuh Anyelir itu kini sudah dilepaskan oleh si empunya dan diletakkan di atas kursi malas. Makanan pesanan mereka juga sudah diantarkan. Meskipun rasa malu itu menggulung perasaan Anyelir, tapi dia merasa harus tetap menghadapi rasa malunya. Di bawah tatapan lekat yang Ramon lemparkan, Anyelir turun dengan pelan ke dalam air. Ternyata kolam renangnya tidak begitu dalam. Hanya sebatas pundak Anyelir, namun itu sudah cukup membuat tubuh Anyelir itu tertutup dengan air. Ramon dengan cepat meluncur mendekati Anyelir. Mengungkung istrinya itu dengan kedua lengannya. “Kenapa?” tanyanya. Membuat Anyelir mengernyit tak mengerti. “Kenapa apanya?” Anyelir bertanya balik. “Aku suka kamu dengan penampilan seperti ini.” Ramon menyeringai sebelum mencium istrinya dalam-dalam. Anyelir tidak bisa menghalau perbuatan Ramon dan memilih menikmati. Lebih berani, perempuan itu justru
Satu minggu honeymoon terasa singkat bagi Anyelir. Setengah menginap dua malam di hotel Mataram, Anyelir dibawa oleh Ramon ke Gili Meno. Mereka hanya bermain-main di pinggir pantai dan menikmati keindahan alam di sana. Suatu hari, dia mungkin akan meminta Ramon membawanya kembali ke sana bersama dengan Ancala agar mereka bisa liburan keluarga. Anyelir menyentuh perutnya ketika mengingat honeymoon yang sudah dijalaninya. Ada harapan besar dia bisa segera memiliki anak. Memenuhi keinginan Ancala memiliki adik dan menggenapkan kebahagiaan keluarga kecilnya bersama dengan Ramon. “Bunda, apa adiknya sudah ada?” Ancala yang baru saja diantarkan oleh neneknya itu segera mendekati Anyelir yang tengah duduk di sofa ruang keluarga. Bocah itu duduk tepat di samping ibunya dengan tatapan penuh harap. “Oma bilang kalau Bunda dan Ayah sedang ambil adik Ancala.” Ibu Ramon itu justru terkekeh mendengar pertanyaan cucunya. Tidak merasa bersalah sudah mengarahkan pikiran yang tidak-tidak kepada anak
“Istriku.” Ancala baru saja sampai rumah ketika melihat penampilan Gemi yang sudah cantik. Meskipun hanya mengenakan daster rumahan kebanggaannya, kecantikan perempuan itu selalu terpancar. Dan inilah yang selalu disukai oleh Ancala, Gemi akan selalu menunggu kepulangannya di teras rumah sambil membaca buku. Tidak di rumah Kala, atau bahkan di rumah mereka sendiri, Gemi memiliki perpustakaan sendiri dengan koleksi buku-bukunya. Gemi tersenyum melihat Ancala yang berjalan ke arahnya. Perempuan itu beranjak untuk menerima tas kerja lelaki itu. “Suamiku capek banget kayaknya.” Ancala memeluk Gemi sambil mencium pipi perempuan itu. Bagi Ancala, energinya akan kembali ketika sudah bertemu dengan sang istri setelah seharian bekerja. Rasa lelah itu seolah menguap begitu saja. Pelukan mereka terurai. Masih dengan memeluk pinggang sang istri, Ancala sedikit menjauhkan tubuhnya untuk menatap wajah Gemi yang halus. “Makan apa malam ini?” tanyanya, “lama nggak ke angkringan. Kangen nasi
“Kalian udah datang?” Ancala mendekati istri dan kedua adiknya dengan senyum kecil. Meskipun pagi tadi dia sempat kesal, tetapi setelah Gemi sekarang datang ke kantor, perasaannya menjadi sedikit membaik. Tatapannya mengarah pada ‘tiga tamunya’ yang tidak membawa apa pun. “Jadi belanjanya?” tanyanya. Perempuan yang dimaksud oleh Laksa tadi tidak mengikuti Ancala dan kembali lebih dulu. Gemi tidak bertanya siapa perempuan tersebut karena dia tahu kalau itu adalah sekretaris Ancala. Laksa pun sebenarnya juga tahu, tetapi dia hanya pura-pura untuk mengerjai Gemi. “Bang, aku laper banget, lho.” Laksa mengadu. “Aku laper, Bang.” Ulangnya lagi. “Kalian nggak makan dulu tadi?” Ancala mengernyit aneh menatap satu per satu saudaranya. “Istri Abang ngambek karena diajak desak-desakan. Jadi, nggak memedulikan aku yang kelaparan. Tapi, aku nggak mau makan di kantin ini. Abang tolong pesankan aku makanan yang enak, ya.” Laksa memang benar-benar membuat kakak-kakaknya kesal kalau sudah me
“Gem, bangun!” Ancala menepuk paha sang istri pelan ketika sudah sampai di rumah. Mereka baru saja sampai rumah ketika Gemi tidak sadarkan diri, tidur. Sepanjang jalan, Ancala memegangi tangan Gemi takut-takut kalau istrinya itu terjatuh. Bukannya apa-apa, Gemi tidur sepanjang jalan sedangkan mereka menggunakan motor. Kebanyakan makan kepala ayam membuat Gemi lemas sepertinya. “Bang, aku nggak sanggup jalan. Gendong.” Dengan suara lemas, perempuan itu masih memeluk pinggang Ancala dengan erat takut jatuh. Matanya masih tertutup erat enggan untuk terjaga. Napas panjang Ancala terbuang kasar. Menikahi Gemi adalah impiannya, tetapi kalau sifat manja perempuan keluar, maka habislah dia. “Iya, tapi tunggu dulu deh. Aku turun dulu.” Ancala melepaskan tangan Gemi dari pinggangnya sebelum dia turun dengan pelan dari motor. Baru setelahnya menarik tangan Gemi agar istrinya itu naik ke gendongannya. Diam-diam Ancala tersenyum kecil. Terkadang istrinya itu memang menyebalkan, tetapi juga me
Perdebatan yang terjadi malam itu dianggap bukan apa-apa. Pernikahan antara Gemi dan Ancala bahkan akan segera dilakukan dalam waktu dua hari lagi. Pernikahan mewah itu akan dilakukan di outdoor di pinggir pantai. Tidak banyak yang diundang karena Gemi dan Ancala benar-benar memilih orang-orang terdekat mereka saja yang datang. Kabar pernikahan yang sudah merebak itu membuat banyak orang terkejut. Tidak pernah menyangka kalau Gemi dan Ancala akan menikah. Semua orang tahu jika Abimanyu dan Sambara group adalah saudara. Tentu saja hal itu menjadi perbincangan banyak orang. “Gimana rasanya mau menikah?” Denta datang ke rumah Ancala untuk sekedar menemani sahabatnya itu mengobrol. “Dan menikah dengan perempuan yang lo cintai?” “Setelah semua yang terjadi, tentu saja gue bahagia, Den.” Ancala memainkan kakinya yang ada di kolam renang, menimbulkan bunyi kecipak air. “Gue kira akan sulit mendapatkan restu dari para tetua.” Denial mengatakan itu merujuk pada nenek dan kakek Ancala, lela
“Kamu sudah benar-benar yakin akan menikah dengan Gemi, Bang?” Ramon meyakinkan sekali lagi kepada sang putra atas keputusan untuk meminang sang pencuri hati. Para tetua, nenek kakeknya sudah memberikan izin untuk mempersatukan dua keluarga yang seharusnya tetap menjadi keluarga yang sesungguhnya. Namun, mereka memilih untuk memberikan restu dan menyingkirkan segala ego yang ada. Dua anak manusia itu sudah tidak bisa dipisahkan, untuk apa lagi mereka menahannya dan akan berakhir buruk. “Aku udah yakin, Yah. Aku sudah berbicara dengan Gemi dan dia menerima lamaranku.” Senyum lebar tersemat di bibir Ancala dan wajah sumringah itu tidak bisa berbohong jika dia sangat bahagia. “Kalau begitu, Ayah dan Bunda akan berbicara kepada Papa Kala kalau kami akan segera melamar Gemi. Pikirkan juga kamu ingin menikah di mana? Outdoor atau indoor, masalah biaya jangan khawatir, semua biaya Ayah yang urus.” Rasa sayang Ramon yang diberikan kepada Ancala tidak surut sedikitpun sejak dulu. Lelaki it
Setelah obrolan semalam, Gemi bangun tidur dengan perasaan yang terasa ringan. Hubungannya dengan sang ayah sudah membaik dan dia sudah memaafkan apa pun yang pernah sang ayah lakukan. Semua yang dilakukan oleh sang ayah semata untuk melindungi keluarganya. Suasana hati Gemi pun terlihat sangat baik seharian ini. Meskipun Ancala sejak tadi tak kunjung menghubunginya seperti yang sudah dijanjikan semalam, dia masih baik-baik saja. Seperti yang sudah Ancala bilang semalam, lelaki itu akan membicarakan masalah kerjaan dengan sang ayah. “Jadi, kamu mau balik kerja lagi?” Gemi yang baru saja duduk di sofa di samping sang bunda, segera mendapatkan pertanyaan tersebut. “Aku akan pikirkan lagi, Ma.” Sudah kebiasaan berada di rumah selama beberapa bulan, menjadikan Gemi enggan untuk kembali beraktivitas. “Tapi, Ma, Papa ngeluarin aku dari kantor dengan alasan apa, ya?” Benar, Binar pun tampaknya belum tahu tentang masalah tersebut karena dia tak pernah bertanya dengan Kala. “Mama juga
Binar dan Kala mendengar dengan jelas ucapan putri mereka meskipun kata-kata yang diucapkan terbata-bata. Mereka mendengarkan di balik dinding hanya untuk mengetahui reaksi Gemi ketika bertemu dengan Ancala. Nyatanya, Gemi mengatakan sesuatu yang membuat orang tuanya menahan kesedihannya. “Jangan bicara yang tidak-tidak. Sekarang fokuslah pada kesembuhanmu dulu. Papa bilang, kamu masih perlu bertemu dengan psikiater. Kapan jadwalnya? Aku temani ya?” “Aku nggak butuh psikiater lagi, Bang. Obatku udah ada di sini.” Kala mendesah pasrah mendengar jawaban Ancala atas ucapan sang putri. Sudah pasti perasaan Kala sekarang dipenuhi oleh rasa penyesalan yang amat besar. Di ruang tamu, Gemi dan Ancala melepaskan pelukan mereka. Ancala mengusap air mata Gemi yang mengalir menganak sungai di wajahnya. “Aku nggak akan ke mana-mana lagi, Gemi. Aku udah pulang sekarang. Jadi, kamu nggak perlu takut aku pergi lagi.” “Memangnya, Abang dari mana kemarin?” Ancala menyodorkan minuman yang disiapka
Kala pasti tidak pernah menyangka jika Ramon akan menurunkan egonya untuk meminta putranya pulang. Dia tahu betul bagaimana Ramon menolak permintaannya saat itu. Namun, sekarang tiba-tiba Ancala sudah ada di rumahnya dan menanyakan kabar Gemi. Hal itu tentu saja membuat Kala sedikit bingung. Apa pun itu, Kala tentulah merasa senang dengan kedatangan Ancala ke rumahnya. “Keadaan Gemi sudah lebih baik. Dia sekarang sedang istirahat.” Tepat setelah itu, Binar datang dan segera duduk di samping Ancala. Perempuan paruh baya itu mengelus punggung Ancala tanpa berbicara. Kelegaan terpancar dari matanya. “Kamu dari mana saja, Bang?” tanyanya setelah itu, “Mama cariin kamu.” “Aku jalan-jalan, Ma,” jawab Ancala dengan lembut, “Mama baik-baik aja ‘kan?” “Mama baik. Anca, kamu masih mau nemuin Gemi ‘kan? Setelah waktu itu, dia murung dan tidak ingin berurusan dengan siapa pun.” “Tentu saja aku mau, Ma. Gemi adalah adikku. Kalau memang perlu, aku akan menemaninya sampai dia sembuh.” “Apa mak
“Aku harus pulang, Den. Sorry, ya.” Gemi memilih menghindar daripada harus menjawab ucapan Denta. Gadis itu berdiri, lalu buru-buru pergi meninggalkan Denta yang tampak kebingungan. “Gem!” Denta berteriak memanggil gadis itu, tetapi seolah tuli, Gemi tetap berjalan dan sesekali berlari untuk menghindari sahabat Ancala tersebut. Setelah memasuki komplek perumahannya, barulah dia berjalan dengan tenang. Gemi berpikir, kalau Denta saja tidak tahu keberadaan Ancala, itu artinya, kepergian lelaki itu dirahasiakan. Sepertinya, masalah ini benar-benar serius. Gemi berhenti di pinggir jalan, terpaku di tempatnya, lalu berpikir sejenak. Apa dia harus menghubungi Ancala? Apa lelaki itu akan menerima panggilannya kalau dia melakukannya? Kebingungan itu melanda dirinya. Gara-gara kedatangan Denta, menjadikannya berpikir lebih keras tentang Ancala. Gadis berdaster coklat itu kembali melangkah untuk kembali ke rumah. Meskipun dia banyak memikirkan banyak hal, tapi beruntung kini halusinasinya ti