Terbiasa sibuk bekerja, membuat Anyelir harus menekan rasa bosannya ketika lama-lama berada di rumah. Tugasnya sekarang hanya mengantar dan menjemput Ancala ke sekolah. Tidak ada kegiatan apa pun yang membuat dirinya benar-benar sibuk. Tapi mau tak mau, inilah konsekuensi yang harus dia terima atas semua keputusan yang diambil. Deringan ponselnya terdengar membuat Anyelir meneguk kesadarannya yang sejak tadi melayang entah ke mana. Nama ibu mertuanya terlihat dan dia segera menerimanya. “Ya, Ma? Sekarang? Tapi nanti aku harus jemput Acala pulang sekolah. Oh, oke. Aku langsung ke sana.” Anyelir beranjak dari sofa dan segera naik ke lantai atas untuk mengganti bajunya. Tak lupa dia juga harus izin kepada Ramon untuk pergi. Itu adalah sebuah keharusan yang tidak boleh dilupakan. Setelah izin sudah didapatkan, maka tak lupa dia juga memastikan kepada Sus Ayu untuk menjemput Ancala. Dalam waktu satu jam berkendara, Anyelir sampai di kediaman ibu mertuanya. Di sana sudah lumayan bany
“Boleh aku tanya sesuatu, Ma?” Akhirnya arisan itu selesai dilakukan. Anyelir belum pulang dan memilih di rumah mertuanya untuk sementara waktu sampai sore nanti. Teman-teman arisan ibu mertuanya termasuk Eliya pun sudah pulang juga. Kini tinggal Anyelir dan ibu Ramon yang tengah duduk di sofa ruang keluarga. “Boleh. Mau tanya apa?” tanya perempuan paruh baya tersebut. “Kok Mbak Eliya bisa ikut arisan ibu-ibu itu gimana ceritanya?” Anyelir tidak ingin berbasa-basi dan berbicara dengan berputar-putar. Cepat mendapatkan jawaban akan semakin baik.“Oh, Eliya itu sebenarnya putrinya teman Mama yang biasanya ikut arisan.” Jawaban itu akhirnya terkuak dan Anyelir segera memahami. “Karena hari ini mamanya nggak bisa ikut, maka dia yang mewakili. Kenapa? Kamu nggak senang ya ada dia?” Anyelir buru-buru menggeleng. “Bukan gitu, Ma. Biasanya kalau perempuan seperti Mbak Eliya itu ‘kan pasti punya gerombolan sendiri. Teman-temannya yang seusianya.” “Ya, ibunya itu ‘kan suka bepergian, jadi
“Menjadi istri yang baik.” Kata-kata itu terasa menempel di dalam pikiran Anyelir. Selama pernikahan ini, Anyelir selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk rumah tangganya bersama dengan Ramon. Dia bahkan mengurus semua keperluan Ramon. Tapi satu hal yang kurang, Ramon masih bersikap tak acuh terhadapnya. Anyelir mengakui kalau dia tidak kekurangan dalam hal materi, tapi tentu sangat kekurangan dalam kasih sayang. Siang ini, dia mencoba menghubungi Ramon untuk setidaknya hanya bertanya tentang makan siang. Tapi lagi-lagi, Ramon tidak terdengar antusias ketika menjawabnya dan seperti diburu waktu. Menjawab pertanyaan Anyelir pun terdengar malas-malasan. Kalau seperti ini, hubunganya dengan Ramon akan jalan di tempat. Maka Anyelir tidak bisa membiarkannya. Berusaha sendiri memang sangat melelahkan, tapi Anyelir tidak akan menyerah. “Oh, Ibu. Maaf, tapi Bapak baru saja keluar.” Anyelir harus menelan kekecewaannya ketika dia mendapatkan informasi yang diberikan oleh petugas reseps
Ramon hanya menatap Anyelir yang mondar-mandir menyiapkan sarapan pagi. Lebih tepatnya hanya menata makanan ke meja makan setelah Bibi selesai memasaknya. Tidak ada perbincangan apa pun yang terjadi, sehingga ruangan luas itu hanya diliputi keheningan. Anyelir duduk setelah itu untuk memulai sarapannya. “Jadi, reuninya?” tanya Ramon memecah keheningan. Ramon selama beberapa hari ini merasakan perubahan besar pada sikap Anyelir kepadanya dan itu terasa tidak nyaman. “Jadi. Setelah Mas berangkat, aku yang akan berangkat.” Dan karena Anyelir bahkan tidak memedulikan Ramon yang enggan memberikannya izin, maka pada akhirnya Ramon mengalah. Membiarkan Anyelir pergi bertemu dengan teman-teman lamanya. “Sepagi ini?” “Ya, karena ada acara amal dan aku ikut bantu-bantu di sana, aku harus berangkat pagi.”“Panitia?” “Kurang lebihnya begitu.” Anyelir mengangguk mantap. Perempuan itu tampak tak acuh ketika mengatakan hal tersebut dan itu sangat menjengkelkan. Meletakkan sendok dan garpunya
Anyelir merapatkan selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos. Desahan panjangnya terdengar membuat Ramon membuka matanya menghunuskan tatapannya pada sang istri. Tidak ada yang bicara di antara mereka dan hanya larut pada manik bening satu dengan lainnya. Rasa kesal Anyelir muncul tiba-tiba dan membuatnya membalikkan tubuhnya untuk memunggungi sang suami. Tapi yang luput dari Anyelir adalah ketika selimut itu tak bisa menutupi punggung putihnya. Hal itu dimanfaatkan oleh Ramon. Lelaki itu mengulurkan tangannya untuk mengelus punggung mulus sang istri. “Jangan suka memunggungi suamimu, Anyelir. Kamu nggak takut Tuhan murka?” Begitu katanya dengan santai. “Jangan bawa-bawa Tuhan. Mas yang buat aku kesal.” Tadinya, Anyelir pikir Ramon akan benar-benar akan ikut donor darah. Ternyata setelah dia membawa Anyelir di tempat sepi, lelaki itu menarik Anyelir untuk meninggalkan tempat itu dan membawanya ke hotel tak jauh dari sana. Memesan kamar kemudian membuat hal-hal yang tidak senonoh
“Mas mau makan apa? Aku mau pesan makan. Perutku udah laper banget.” Keluar dari kamar mandi, Anyelir segera melontarkan pertanyaan itu kepada Ramon yang masih duduk di atas ranjang dengan ekspresi yang tidak bisa terbaca. Dingin seperti biasanya. Namun kali ini Anyelir tidak ingin ambil pusing karena dia tahu suaminya itu tengah marah karena ‘si mantan kekasih’ yang Anyelir ceritakan tadi. Anyelir mengeluarkan pelembab dari dalam tasnya sehingga dia bisa segera menggunakannya setelah dia selesai mandi. “Mas mau makan atau nggak?” Sekali lagi, Anyelir bertanya pada Ramon dan sama sekali tidak mendapatkan jawaban sama sekali. Anyelir menyerah dan membiarkan Ramon membisu di tempatnya. Dia lantas memesan makanan untuk dua orang meskipun Ramon nantinya tidak ingin bergabung dengannya. Masih dengan mengenakan bathrobe, Anyelir duduk di sofa memainkan ponselnya. Untuk selanjutnya menghubungi ibu mertuanya dan menanyakan Ancala. “Ancala lagi renang sama Opanya.” Terdengar suara tawa di
“Kenapa hanya aku yang diminta mencintai Mas sedangkan Mas sendiri nggak mau mencintaiku?” Anyelir menjawab dengan ringan. Ingin mengetahui sejauh mana lelaki itu mendesaknya. “Aku masih berusaha. Membutuhkan waktu untuk itu. Jadi, sabar saja.” Setelah mengatakan itu, Ramon kembali naik ke ranjang dan menutup matanya. Hal itu membuat Anyelir kesal bukan kepalang. “Mas, nggak mau pulang?” tanya Anyelir setelah itu. Mendekati Ramon kemudian menggoyang tubuhnya. “Kita akan pulang kalau aku mau pulang.” Setelah mengatakan itu, mata Ramon kembali terpejam. Dan pada akhirnya, Anyelir benar-benar harus tertahan di kamar hotel bersama sang suami. Beberapa panggilan dan chat dari teman-temannya pun bergantian menanyakan keberadaannya, tapi Anyelir hanya memberikan jawaban yang sebenarnya. Merasa menyesal karena sudah meninggalkan tempat acara tanpa pamit kepada teman-temannya. Anyelir melirik Ramon dengan kesal sebelum menunduk dan menggigit lengan lelaki itu. Membuat Ramon terbangun dan m
“Mas, aku dengar dari Mama katanya Arga akan dijodohkan dengan relasi bisnis orang tuanya, ya?” Anyelir melontarkan pertanyaan itu kepada Ramon tanpa ada maksud apa pun. Dia yang mendapatkan informasi itu dari ibu mertuanya pun tampak terkejut. Mungkin orang tua Arga sudah tidak sabar melihat putra keduanya itu segera menikah. Karena bagaimanapun, usia Arga dan Ramon sama. Mereka hanya berjarak beberapa bulan saja lebih tua Ramon sedikit. Begitulah kata ibu mertua Anyelir tadi. “Kenapa kalau Arga mau dijodohkan? Kamu nggak senang?” Ramon terusik sehingga dengan tajam dia melirik istrinya yang tengah berbaring sambil memeluk gulingnya. “Aku sudah bilang jangan bahas orang lain kalau kita sedang bersama.” Decakan pun keluar dari mulut Anyelir. “Aku ‘kan hanya bicara. Ditanggepi aja kenapa sih. Repot amat.” “Aku nggak mau bahas orang lain.” Ramon menegaskan sekali lagi. “Mau dia nikah, mau enggak bukan urusanku.” “Jahat banget.” Anyelir menggelengkan kepalanya dramatis. “Gimana