Ucapan sang ayah sebenarnya tidak begitu dipedulikan oleh Ramon, tapi mau tak mau kalimat itu terasa terngiang di dalam kepalanya. Kini ruangan rawat inap Ancala itu sudah sepi. Kedua orang tua Ramon sudah pulang dan tinggallah Ramon dan Anyelir menunggu Ancala. Tatapan Ramon mengarah pada istrinya yang duduk tak bergerak di kursi di dekat ranjang. Tangannya terus memegang tangan Ancala dengan lembut seolah takut jika dia melepaskannya maka putranya itu akan pergi lagi. “Kamu bisa istirahat dulu. Tidur dulu di sofa. Biar aku yang jaga Ancala.” Ramon mendekati istrinya dan berdiri di depan perempuan itu. Anyelir mendongak dengan menatap Ramon. Dia tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi dia takut jika pertanyaannya akan membuat Ramon marah. Maka dia memilih untuk diam dan menjawab dengan lembut. “Mas dulu aja yang istirahat. Mas nggak tidur beberapa hari ini. Mas pasti lelah.” Anyelir mengalihkan tatapannya pada tangan kecil Ancala sambil mengelusnya. “Mas udah bekerja keras, sedangka
“Kamu mau bertemu dengan nenek kakek Ancala?” Ramon menawarkan kepada Anyelir sekiranya perempuan itu mungkin ingin berbicara dengan mereka. Ancala sudah diizinkan pulang oleh dokter karena keadaannya sudah membaik. Maka Ramon memulai mengurus hal lain termasuk kasus yang sudah membuat keluarganya kelabakan. Anyelir yang tengah duduk berselonjor di atas ranjang itu mendongak menatap Ramon yang tengah duduk di kursi kerjanya yang ada di dalam kamar. Ada pertimbangan yang tengah ada di dalam pikiran Anyelir. Jika dia bertemu dengan pasangan paruh baya tersebut, apa yang akan dikatakan? Memarahinya? Tidak ada pengaruhnya. Karena di balik jeruji besi sangat pantas untuk mereka. “Aku nggak perlu bertemu dengan mereka. Aku serahkan semuanya sama Mas. Apa yang memang pantas mereka dapatkan, maka berikan saja.” Anyelir tidak sudi lagi berhubungan dengan mereka, orang-orang yang jahat. Pertemuan itu hanya akan membuka luka lama di dalam hati Anyelir. Dia akan mengingat-ingat semua hal buru
Diluar dugaan Anyelir, perempuan itu justru terkekeh kecil. Menatap wajah Ramon dengan penuh puja. Sedangkan Ramon justru tampak tak acuh kepada perempuan itu. Yang dikatakan oleh Ramon ternyata benar. Jika dia tak akan berselingkuh. Tapi bagi Anyelir, sekeras apa pun laki-laki menolak perempuan, bisa saja akan melunak jika si perempuan itu berusaha keras. “Kamu tahu, Ram? Sejak kamu benci sama aku, aku justru penasaran sama kamu. Aku pernah menundukkan Kala sampai rumah tangganya hancur, kali ini aku ingin mencoba denganmu. Kamu tahu? Aku merasa laki-laki yang susah didapatkan itu sangat seksi.” Suara itu kembali terdengar membuat Anyelir merasa kesal luar biasa. Dia tak tahu siapa perempuan itu, tapi membuat rumah tangga Kala hancur, pasti ada hal rumit yang pernah terjadi. Haruskah dia bertanya dengan Ramon nanti? Atau tidak, karena Ramon belum tentu akan menjelaskan. Tapi jika dia tak bertanya, dia hanya akan diliputi rasa penasaran yang tiada henti. Tapi yang paling masuk akal
Terbiasa sibuk bekerja, membuat Anyelir harus menekan rasa bosannya ketika lama-lama berada di rumah. Tugasnya sekarang hanya mengantar dan menjemput Ancala ke sekolah. Tidak ada kegiatan apa pun yang membuat dirinya benar-benar sibuk. Tapi mau tak mau, inilah konsekuensi yang harus dia terima atas semua keputusan yang diambil. Deringan ponselnya terdengar membuat Anyelir meneguk kesadarannya yang sejak tadi melayang entah ke mana. Nama ibu mertuanya terlihat dan dia segera menerimanya. “Ya, Ma? Sekarang? Tapi nanti aku harus jemput Acala pulang sekolah. Oh, oke. Aku langsung ke sana.” Anyelir beranjak dari sofa dan segera naik ke lantai atas untuk mengganti bajunya. Tak lupa dia juga harus izin kepada Ramon untuk pergi. Itu adalah sebuah keharusan yang tidak boleh dilupakan. Setelah izin sudah didapatkan, maka tak lupa dia juga memastikan kepada Sus Ayu untuk menjemput Ancala. Dalam waktu satu jam berkendara, Anyelir sampai di kediaman ibu mertuanya. Di sana sudah lumayan bany
“Boleh aku tanya sesuatu, Ma?” Akhirnya arisan itu selesai dilakukan. Anyelir belum pulang dan memilih di rumah mertuanya untuk sementara waktu sampai sore nanti. Teman-teman arisan ibu mertuanya termasuk Eliya pun sudah pulang juga. Kini tinggal Anyelir dan ibu Ramon yang tengah duduk di sofa ruang keluarga. “Boleh. Mau tanya apa?” tanya perempuan paruh baya tersebut. “Kok Mbak Eliya bisa ikut arisan ibu-ibu itu gimana ceritanya?” Anyelir tidak ingin berbasa-basi dan berbicara dengan berputar-putar. Cepat mendapatkan jawaban akan semakin baik.“Oh, Eliya itu sebenarnya putrinya teman Mama yang biasanya ikut arisan.” Jawaban itu akhirnya terkuak dan Anyelir segera memahami. “Karena hari ini mamanya nggak bisa ikut, maka dia yang mewakili. Kenapa? Kamu nggak senang ya ada dia?” Anyelir buru-buru menggeleng. “Bukan gitu, Ma. Biasanya kalau perempuan seperti Mbak Eliya itu ‘kan pasti punya gerombolan sendiri. Teman-temannya yang seusianya.” “Ya, ibunya itu ‘kan suka bepergian, jadi
“Menjadi istri yang baik.” Kata-kata itu terasa menempel di dalam pikiran Anyelir. Selama pernikahan ini, Anyelir selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk rumah tangganya bersama dengan Ramon. Dia bahkan mengurus semua keperluan Ramon. Tapi satu hal yang kurang, Ramon masih bersikap tak acuh terhadapnya. Anyelir mengakui kalau dia tidak kekurangan dalam hal materi, tapi tentu sangat kekurangan dalam kasih sayang. Siang ini, dia mencoba menghubungi Ramon untuk setidaknya hanya bertanya tentang makan siang. Tapi lagi-lagi, Ramon tidak terdengar antusias ketika menjawabnya dan seperti diburu waktu. Menjawab pertanyaan Anyelir pun terdengar malas-malasan. Kalau seperti ini, hubunganya dengan Ramon akan jalan di tempat. Maka Anyelir tidak bisa membiarkannya. Berusaha sendiri memang sangat melelahkan, tapi Anyelir tidak akan menyerah. “Oh, Ibu. Maaf, tapi Bapak baru saja keluar.” Anyelir harus menelan kekecewaannya ketika dia mendapatkan informasi yang diberikan oleh petugas reseps
Ramon hanya menatap Anyelir yang mondar-mandir menyiapkan sarapan pagi. Lebih tepatnya hanya menata makanan ke meja makan setelah Bibi selesai memasaknya. Tidak ada perbincangan apa pun yang terjadi, sehingga ruangan luas itu hanya diliputi keheningan. Anyelir duduk setelah itu untuk memulai sarapannya. “Jadi, reuninya?” tanya Ramon memecah keheningan. Ramon selama beberapa hari ini merasakan perubahan besar pada sikap Anyelir kepadanya dan itu terasa tidak nyaman. “Jadi. Setelah Mas berangkat, aku yang akan berangkat.” Dan karena Anyelir bahkan tidak memedulikan Ramon yang enggan memberikannya izin, maka pada akhirnya Ramon mengalah. Membiarkan Anyelir pergi bertemu dengan teman-teman lamanya. “Sepagi ini?” “Ya, karena ada acara amal dan aku ikut bantu-bantu di sana, aku harus berangkat pagi.”“Panitia?” “Kurang lebihnya begitu.” Anyelir mengangguk mantap. Perempuan itu tampak tak acuh ketika mengatakan hal tersebut dan itu sangat menjengkelkan. Meletakkan sendok dan garpunya
Anyelir merapatkan selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos. Desahan panjangnya terdengar membuat Ramon membuka matanya menghunuskan tatapannya pada sang istri. Tidak ada yang bicara di antara mereka dan hanya larut pada manik bening satu dengan lainnya. Rasa kesal Anyelir muncul tiba-tiba dan membuatnya membalikkan tubuhnya untuk memunggungi sang suami. Tapi yang luput dari Anyelir adalah ketika selimut itu tak bisa menutupi punggung putihnya. Hal itu dimanfaatkan oleh Ramon. Lelaki itu mengulurkan tangannya untuk mengelus punggung mulus sang istri. “Jangan suka memunggungi suamimu, Anyelir. Kamu nggak takut Tuhan murka?” Begitu katanya dengan santai. “Jangan bawa-bawa Tuhan. Mas yang buat aku kesal.” Tadinya, Anyelir pikir Ramon akan benar-benar akan ikut donor darah. Ternyata setelah dia membawa Anyelir di tempat sepi, lelaki itu menarik Anyelir untuk meninggalkan tempat itu dan membawanya ke hotel tak jauh dari sana. Memesan kamar kemudian membuat hal-hal yang tidak senonoh