“Mama!” Ramon menginterupsi. Tidak senang dengan ide yang Ramon duga sudah kelewat batas. “Apa? Apa yang salah dengan ide itu?” Bu Ratna berkacak pinggang menantang putranya. “Kamu menyukai Ancala. Kamu bahkan sudah menganggapnya sebagai anakmu sendiri. Sekalian saja kalian menikah dan membina hubungan rumah tangga sungguhan.” Tantangan itu membuat bukan hanya Ramon yang tampak kesal, sedangkan Anyelir membeku di tempatnya. Sebenarnya apa yang terjadi dengan dunia ini? Dia mengenal Ramon hanya untuk bisa membantunya menyelesaikan masalah hak asuh Ancala. Lalu Ramon tiba-tiba saja menyukai Ancala. Bukan, lebih tepatnya Ancala lebih dulu yang memanggil Ramon ayah dan Ramon menyambutnya dengan suka cita. Sekarang, justru dia terjebak dengan permainan yang tidak dia mengerti. “Kamu bahkan menolak perempuan pilihan Mama dan mengatakan tidak tertarik dengannya.” Sebelum melanjutkan ucapannya, Bu Ratna menarik Anyelir agar lebih mendekat ke arahnya. “Anyelir ini juga cantik sekali. Kalau
Ancala terlihat sangat bahagia. Itulah yang Anyelir lihat seharian ini. Ramon benar-benar menunjukkan jika dia memang bisa menjadi sosok seorang ayah meskipun sebelumnya belum pernah memiliki anak. Anyelir pada akhirnya menyadari jika Ramon tidak salah jika Ancala memang membutuhkan seorang ayah. Maka dia menekan segala keraguan yang ketakutan jika semua ini mungkin hanyalah sebuah kebahagiaan semu. “Aku akan langsung mengantarkanmu ke apartemen. Mobilmu, besok pagi aku yang antarkan.” Setelah makan malam, mereka memutuskan untuk pulang. Seharian itu, Ramon memenuhi janjinya kepada Ancala untuk bersenang-senang. Bahkan, tanpa lelah mereka mampir ke mal hanya untuk mandi bola dan naik kuda-kuda seperti yang Ancala mau. “Itu akan merepotkan. Lebih baik ke rumah Mas langsung biar aku bawa mobilku sekalian. Nanti aku pulang sendiri saja.” Dan panggilan Anyelir untuk Ramon pun berubah. Pada awalnya memang untuk menyesuaikan peran mereka sebagai sepasang ibu dan ayah untuk Ancala. Tapi ke
“Ada yang salah?” Alih-alih Anyelir yang menjawab, justru Ramon lah yang bersuara. “Anyelir tidak sedang memiliki hubungan dengan siapapun. Kami tidak melanggar norma.” Erik terkekeh sinis. Tatapannya masih mengarah lurus pada Anyelir. “Kalau kamu bisa memberikan kesempatan kepada orang lain, kenapa kamu tidak memberikannya kepadaku dan justru kamu menolakku?” “Aku minta maaf, Rik. Tapi, aku udah jelaskan sama kamu saat itu. Aku hanya menganggap kamu sebagai teman.” “An ….” “Saya rasa semua sudah jelas.” Ramon memotong ucapan Erik yang baru satu kata. “Anyelir sekarang sudah bersama dengan saya. Tolong jangan mengharapkan apa pun.” Ramon tidak memberikan waktu Erik untuk berbicara lebih banyak lagi karena dia sudah menarik tangan Anyelir untuk masuk ke dalam mobilnya. Mengantarkan Anyelir kembali ke kantornya. Ramon yang tadi menjemput gadis itu, tentu saja dia sekarang harus mengantarkannya. “Sepertinya dia benar-benar menyukai kamu.” Ramon memecah keheningan lebih dulu. “Ya,
Setelah obrolan malam itu, Anyelir mencoba menekan perasaannya sampai dalam agar dia tidak bertindak ceroboh dan menjatuhkan hatinya untuk mencintai seorang Ramon. Mengingatkan dirinya sendiri jika yang Ramon lakukan adalah karena Ancala. Semua kebaikan itu demi Ancala tidak ada keterlibatan hati di sana apalagi urusan romansa yang menyangkut dirinya. Meskipun hatinya terasa hancur, tapi Anyelir tidak bisa melakukan apa pun.“Gue denger, lo sekarang deket sama Ramon?” Pertanyaan itu muncul dari mulut Refa. Teman baiknya yang dulu memperkenalkan Anyelir dengan Ramon untuk menjadikan kuasa hukumnya. “Aku dengar dari Fajar.” Fajar adalah suami Refa yang juga teman Ramon. Anyelir menggeleng sebelum mengangguk. “Dia dekat sama Anca.” Lalu sedikit cerita tentang hubungan Ramon dengan Ancala pun dia ungkapkan agar tidak salah paham. “Lo suka sama dia?” Refa menyelidik. “Wajar sih kalau lo suka dia. Ganteng begitu.” Refa tersenyum kecil ketika mengatakan hal itu. Anyelir tahu kalau Ramon m
“Hari ini aku yang bawa Ancala. Kamu nggak keberatan ‘kan?” Pertanyaan itu keluar dari mulut Ramon pagi ini. Lelaki itu datang pagi-pagi sekali untuk menjemput Ancala sekaligus meminta izin kepada Anyelir untuk mengajak bocah kecil itu pergi. “Ada acara di rumah tante. Aku mau mengajak Ancala ikut serta.” Setelah perbincangan Ramon dengan Anyelir sore itu, Anyelir sedikit demi sedikit benar-benar menjauh dari Ramon. Dia tahu posisinya dan dia tahu kalau dia harus segera mencari orang lain agar perasaannya untuk Ramon tidak mengembang begitu besar. Sulit, itu benar. Tapi mati-matian dia bisa melewatinya. “Kira-kira jam berapa Mas bisa antarkan? Atau biar nanti aku aja yang jemput.” “Acaranya malam. Kamu datang aja, itu acara keluarga.” Anyelir tampak berpikir. Tapi dia segera bersuara. “Aku nggak bisa janji sih, Mas. Tapi aku usahakan untuk datang. Mas kasih alamatnya aja.” “Janji?” ulang Ramon. “Dengan siapa? Cowok?” Anyelir tersenyum kecil. Bukan jenis senyum mengejek. “Kita ud
“Jadi, Mas Arga dan Mas Ramon itu sepupuan?” Anyelir pada akhirnya tertahan di rumah besar orang tua Kala. Mereka mengajak Anyelir sekalian makan malam. Tentu saja Anyelir tidak bisa menghindarinya. Setelah itu, Arga dan Anyelir berbicara berdua dan menjauh dari para orang-orang di sana termasuk Ramon. “Iya. Kami sepupuan dari pihak ibu. Kami seumuran.” Jawaban itu membuat Anyelir mengangguk paham. “Kamu sendiri, udah kenal lama sama Ramon?” tanyanya balik. “Kok dia udah dekat aja sama Ancala.” “Belum terlalu sih sebenarnya. Baru beberapa bulan ini.” Jika dibandingkan dengan Ramon, Arga jauh lebih menyenangkan. Arga adalah sosok yang humble dan bahkan tidak memberikan tatapan tajam kepada Anyelir seperti yang dilakukan oleh Ramon selama ini. Tentang ‘jodoh-jodohan’ yang diungkapkan oleh ibu Arga itu harus disingkirkan lebih dulu oleh Anyelir dan dianggap bukan sesuatu yang perlu dipikirkan. Obrolan yang terlihat intens itu faktanya tak luput dari tatapan tajam Ramon. Lelaki it
“Aku nggak perlu jawab pertanyaanmu.” Ramon tampak sewot ketika menjawab pertanyaan Anyelir. “Aku sudah bilang semuanya dan terserah kamu mau mendengarkanku atau tidak. Bukannya, kamu bilang sama aku kalau kamu jatuh cinta sama aku? Apa cinta bisa semudah itu hilang dari hati kamu?” Ramon mungkin tidak menyadari ketika kalimat yang dikeluarkan itu menunjukkan jika dirinya cemburu kepada siapa pun lelaki yang dekat dengan Anyelir. “Kalau sekarang Mas tanya apakah aku masih mencintai Mas, ya aku masih mencintai Mas. Tapi apa gunanya aku mempertahankan perasaanku kepada Mas kalau aku hanya bertepuk sebelah tangan?” Anyelir mengedikkan bahunya tak acuh lalu menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa. “Berjuang sendirian itu nggak enak, Mas. Aku ini orangnya santai aja. Nggak akan mengejar sesuatu yang nggak mau dikejar. Lagian, Mas kemarin udah bilang dengan jelas ke aku kalau Mas nggak akan membalas perasaanku. Jadi ya, aku cukup tahu diri.” Mau tak mau, ucapan Anyelir itu menyentil Ramon
“Kenapa harus menjadi urusan Mas tentang kedekatanku dengan Arga? Bahkan di saat seperti ini, Mas menekanku?” Anyelir merasa kalau Ramon sudah keterlaluan. Dia bahkan belum memiliki hubungan apa pun dengan Arga atau mungkin juga hubungan mereka hanya akan sebatas teman. Tapi tingkah Ramon ini sungguh tidak masuk akal. Lelaki itu takut jika Arga disakiti oleh Anyelir karena perempuan itu tidak mencintainya. “Terserah kamu mau bilang apa. Take it or leave it. Aku juga nggak akan memaksamu untuk menerimanya. Karena itu artinya, aku nggak akan memberikan informasi tambahan meskipun aku mendapatkannya.” Ramon berdiri dari sofa dan melewati Anyelir begitu saja. Melangkah menuju pintu, tapi setelahnya suara Anyelir terdengar. Anyelir ternyata merasa membutuhkan jawaban atas rasa penasaran yang sudah dipendam. Dia kehilangan keluarganya dengan kecelakaan tersebut. Maka baiklah, dia harus menuruti permintaan Ramon. “Aku akan melakukannya.” Begitu kata Anyelir. “Tolong ungkap semuanya tentan